You are on page 1of 25

MIASTENIA GRAVIS

PENDAHULUAN
Miastenia gravis adalah suatu keadaan yang ditandai oleh kelemahan atau
kelumpuhan otot-otot lurik setelah melakukan aktivitas dan akan pulih
kekuatannya setelah beberapa saat yaitu dari beberapa menit sampai jam. Jolly
(1895) adalah orang yang pertamakali menggunakan istilah miastenia gravis dan
ia juga mengusulkan pemakaian fisostigmin sebagai obatnya namun hal ini tidak
berlanjut. Baru kemudian Remen (1932) dan Walker (1934) menyatakan bahwa
fisostigmin merupakan obat yang baik untuk miastenia gravis1.
Anatomi Neuromuscular Junction
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi
dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat
saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga
beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan
yang disebut neuromuscular junction atau sambungan neuromuskular.
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang
disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di
sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post
sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk
neuromuscular junction.

Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction


Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran
post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu
lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa
yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi. Terminal presinaptik
mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin (ACh). Asetilkolin
disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat diabsorpsi ke
dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal terdapat di
bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate). Bila suatu impuls
saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong asetilkolin dilepaskan
dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi menyebar ke
seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian dalam
terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan
terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan
mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan
berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs)
pada membran post sinaptik.
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction
dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:
1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan
enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini:
Asetil-KoA + Kolin Asetilkolin + KoA
2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang
disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap
berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi
vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal
(sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu
vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan
potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami
depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka
saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan
aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini
memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan
asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps
ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian
yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin
(AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf.

Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini
akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor
yang memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+
akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial
end plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran
otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang
serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot.
5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh
enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis
rongga sinaps
6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif
di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.
Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran
yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari
5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta,
dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara
mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari
membran post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan
potensial setempat pada membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic
potential (potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah
mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada membran otot yang
selanjutnya menyebabkan kontraksi otot.
Beberapa sifat dari reseptor asetilkolin di neuromuscular junction adalah sebagai
berikut:6

Merupakan reseptor nikotinik (nikotin adalah agonis terhadap reseptor)


Merupakan glikoprotein bermembran dengan berat molekul sekitar 275
kDa.
Mengandung lima subunit : 2 alfa, beta, delta dan gamma.
Dua molekul asetilkolin harus berikatan untuk membuka saluran ion, yang
memungkinkan aliran baik Na+ maupun K+.
Bisa berikatan dengan erat pada subunit dan dapat digunakan untuk
melabel reseptor atau sebagai suatu ligand berafinitas untuk
memurnikannya.
Autoantibodi terhadap reseptor termasuk penyebab miastenia gravis.

PREVALENSI
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi
pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50
tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio
perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 6 : 4. Pada
wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun,
sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 42 tahun. Early-onset
miastenia gravis biasanya terjadi pada wanita pada usia 18-50 tahun dan lateonset miastenia gravis lebih sering pada laki-laki dengan usia 50 tahun ke atas5.
KLASIFIKASI
Untuk menentukan prognosis dan pengobatannya, penderita miastenia gravis
dibagi atas 4 golongan yaitu antara lain :
Golongan I : Miastenia Okular
Pada kelompok ini terdapat gangguan pada satu atau beberapa otot okular
yang menyebabkan timbulnya gejala ptosis dan diplopia, seringkali ptosis
unilateral. Bentuk ini biasanya ringan akan tetapi seringkali resisten terhadap
pengobatan.
Golongan II : Miastenia bentuk umum yang ringan
Timbulnya gejala perlahan-lahan dimulai dengan gejala okular yang
kemudian menyebar mengenai wajah, anggota badan dan otot-otot bulbar. Otototot respirasi biasanya tidak terkena. Perkembangan ke arah golongan III dapat
terjadi dalam dua tahun pertama dari timbulnya penyakit miastenia gravis.
Golongan III : Miastenia bentuk umum yang berat
Pada kasus ini timbulnya gejala biasanya cepat, dimulai dari gangguan otot
okular, anggota badan dan kemudian otot pernafasan. Kasus-kasus yang
mempunyai reaksi yang buruk terhadap terapi antikolinesterase berada dalam
keadaan bahaya dan akan berkembang menjadi krisis miastenia.
Golongan IV : Krisis miastenia

Kadang-kadang terdapat keadaan yang berkembang menjadi kelemahan otot


yang menyeluruh disertai dengan paralisis otot-otot pernafasan. Hal ini
merupakan keadaan darurat medik. Krisis miastenia dapat terjadi pada penderita
golongan III yang kebal terhadap obat-obat antikolinesterase yang pada saat yang
sama menderita infeksi lain. Keadaan lain yang berkembang menjadi kelumpuhan
otot-otot pernafasan adalah disebabkan oleh banyaknya dosis pengobatan dengan
antikolinesterase yang disebut krisis kolinergik. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi perjalanan penyakit ini, penderita akan bertambah lemah pada
waktu menderita demam, pada golongan III biasanya akan terjadi krisis miastenia
pada waktu adanya infeksi saluran nafas bagian atas, pada kebanyakan wanita
akan terjadi peningkatan kelemahan pada saat menstruasi1.
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kelas
I

subkelas

Gejala
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat
menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.

II
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta
adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot
okular.
Kelas

Subkelas
IIa

Gejala
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya.
Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan

IIb
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau
keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otototot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.
III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular.
Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami
kelemahan tingkat sedang.

IIIa
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot
orofaringeal yang ringan.
IIIb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat
ringan.
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan

IV

dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular


mengalami kelemahan dalam berbagai derajat
IVa
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh
dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami
kelemahan dalam derajat ringan.
IVb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau
keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat
kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan
feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
V
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak


akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas,
gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya
agak menurun.Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana
seperti dibawah ini :
a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.
b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk
mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut
menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.

c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot


okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik5.

ETIOLOGI
Miastenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang berhubungan dengan
penyakit-penyakit lain seperti : tirotoksikosis, miksedema, artritis rematoid dan
lupus eritematosus sistemik. Dulu di katakan bahwa IgG autoimun antibodi
merangsang pelepasan thymin, suatu hormon dari kelenjar timus yang mempunyai
kemampuan mengurangi jumlah asetilkolin. Sekarang dikatakan bahwa miastenia
gravis disebabkan oeh kerusakan reseptor asetilkolin neuromuscular junction
akibat penyakit autoimun1. Pada penyakit miastenia gravis yaitu kelemahan otot
yang berbahaya telah ditemukan adanya antibodi yang menduduki reseptor
acetylcholine dari motor end plate sehingga ia tidak dapat menggalakkan serabutserabut otot skeletal. Antibodi tersebut dikenal sebagai antiacetylcholine reseptor
antibodi ayng terbukti dibuat oleh kelenjar timus yang dihasilkan oleh proses
imunologik. Ketepatan konsep itu telah dikonfirmasi oleh tindakan operatif
menyingkirkan timus (timektomi) untuk melenyapkan penyakit miastenia gravis.
Membran postsinaptik dari sinaps itu menjadi atrofik akibat reaksi imunologik,
karena itu penyerapan acetylcholine sangat menurun. Lagipula jarak antar
membran

ujung terminal akson motoneuron dan membran motor end plate

menjadi lebih panjang sehingga cholinesterase mendapat kesempatan yang lebih


besar untuk menghancurkan lebih banyak acetylcholine sehingga potensial aksi
postsinaptik yang dicetuskan menjadi lebih kecil. Dalam pada itu kontraksi otot
skeletal pertama-tama berlalu secara normal, tetapi kontraksi-kontraksi berikutnya
menjadi semakin lemah dan berakhir pada kelumpuhan total. Setelah istirahat,
kontraksi otot pulih kembali untuk kemudian melemah dan lumpuh lagi.
Kelemahan yang bergelombang seperti itu dikenal sebagai kelemahan miastenik.

Otot-otot yang paling sering dilanda kelemahan mistenik adalah otot-otot okuler
dan otot-otot penelan. Otot-otot anggota gerak dan pernafasan dapat terkena juga
pada tahap lanjut miastenia gravis4.
Pada miastena gravis ciri-ciri imunologik lebih lengkap daripada penyakit
otot lainnya. Gejala tunggal utama adalah kelemahan otot setelah mengeluarkan
tenaga yang sembuh kembali setelah istirahat. Walaupun kelumpuhan khas itu
dapat timbul pada setiap otot terutama otot-otot okuler dan saraf kranial motorik
yang sering terkena juga adalah otot wajah dan otot penelan. Pembuktian etiologi
auto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa glandula timus mempunyai
hubungan yang erat. Pada 80% dari penderita mistenia gravis didapati glandula
timus yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur
timoma dan pada penderita lainnya terdapat infiltrat limfosit pada pusat
germinativa di glandula timus seperti juga ditemukan pada penderita lupus
eritematosus sistemik, tirotoksikosis, miksedema, penyakit Addison dan anemia
hemolitik eksperimental pada tikus. Gambaran histologik otot yang terkena terdiri
dari reaksi CMI. Antibodi dan faktor rheumatoid kedua-duanya ditemukan pada
maworitas penderita miastenia gravis. Kombinasi dengan arthritis rheumatid,
lupus, anemia pernisiosa, sarkoidosis, Hodgkin dan tiroidits sering dijumpai pada
beberapa penderita miastenia gravis4.
PATOFISIOLOGI
Kelemahan pada otot-otot pada miastenia gravis dan meningkatnya
kelemahan otot pada saat melakukan kegiatan fisik adalah disebabkan oleh
penurunan jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Pada orang
normal waktu untuk kegiatan fisik adalah lebih lama dibandingkan waktu yang
dibutuhkan untuk pemulihan kekuatan otot atau istirahat, sebaliknya pada
miastenia gravis justru waktu yang dibutuhkan untuk istirahat adalah lebih lama
dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan fisik1.

Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada


patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini
mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang
menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus
eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain. Sejak tahun 1960, telah
didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita miastenia gravis
secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang
peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miastenia gravis. Tidak
diragukan lagi, bahwa antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan
penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi
terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien
yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata. Mekanisme pasti tentang
hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita
miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat
dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan
produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada
patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ
sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus
seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien
dengan gejala miastenik. Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG
dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi
secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa
juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin
pada

reseptor

asetilkolin

akan

mengakibatkan

terhalangnya

transmisi

neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor


asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah
reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan
sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area
permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang
baru disintesis5.

GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan lokal yang
ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya
terdapat gejala kelainan okular disertai dengan kelemahan otot-otot lainnya. Kirakira 15% ditemukan kelemahan ektremitas tanpa disertai dengan gejala kelainan
okular. Yang lainnya kira-kira 20% penderita didapati kesulitan mengunyah dan
menelan. Anamnesis yang klasik dari penderita dengan miastenia okular adalah
adanya gejala diplopia yang timbul pada sore hari atau pada waktu maghrib dan
menghilang pada waktu pagiharinya. Dapat pula timbul ptosis pada otot-otot
kelopak mata. Bila otot-otot bulbar terkena, suaranya menjadi suara basal yang
cenderung berfluktuasi dan suara akan memburuk bila percakapan berlangsung
terus. Pada kasus yang berat akan terjadi afoni temporer. Adanya kelemahan
rahang yang progresif pada waktu mengunyah dan penderita seringkali
menunjang rahangnya dengan tangan sewaktu mengunyah. Keluhan lainnya
adalah disfagia dan regurgitasi makanan sewaktu makan1.
Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius
sering menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis. Walaupun otot levator
palpebra jelas lumpuh pada miastenia gravis, otot-otot okuler adakalanya masih
bisa bergerak normal, tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okuler kedua
belah sisi akan melengkapi ptosis. Ptosis miastenia gravis yang ringan dapat
diperjelas dengan test Wartenberg, dengan test tersebut pasien di suruh
menatapkan kedua matanya pada sesuatu yang berada sedikit lebih tinggi dari
matanya. Pada ptosis miastenik, kedua kelopak mata atas akan lebih tinggi dari
matanya dan akan menurun 1-2 menit setelah menjalani test tersebut. Setelah
bekerja secara bertenaga ptosis akan timbul dengan jelas. Mula timbulnya dengan
ptosis (90%) unilateral atau bilateral. Setelah beberapa minggu sampai bulan
ptosisi dapat dilengkapi dengan diplopia (paralisis okuler) dan suara sengau
(paralisis palatum mole). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari
menjelang sore. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga
pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak bebas

10

dari kesulitan penglihatan (karena diplopia dan ptosis) dan kesulitan


menelan/mengunyah. Penderita berkunjung ke dokter untuk pengobatan karena
diplopia yang sangat mengganggu. Kelemahan otot non bulbar baru dijumpai
pada tahap yang sudah lanjut sekali. Yang pertama terkena adalah otot-otot leher,
sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan, kemudian otot-otot anggota
gerak berikut otot-otot interkostal. Atropi otot dapat ditemukan pada permulaan,
tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi2.
Penyakit miastenia gravis biasanya mulai tampak pada umur 20-40 tahun.
Gejala utama pada penyakit ini adalah timbulnya kelemahan otot bila otot tersebut
digunakan terus menerus. Otot mata yang sering terkena sehingga timbul ptosis
dan strabismus. Selain itu juga dapat timbul kelemahan pada otot masseter,
sehingga mulut penderita sukar untuk menutup. Selain itu juga dapat pula timbul
kelemahan faring, lidah, palatum molle dan laring sehingga timbulnya kesukaran
untuk menelan dan kesukaran untuk bicara. Parese dari palatum molle akan
menimbulkan suara sengau, selain itu bicaranya juga menjadi kurang jelas.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis seperti ptosis dan strabismus akan tampak
dengan jelas pada sore hari dan pada cuaca panas, pada pemeriksaan tonus otot
tampak agak menurun3.
Gejala klinis miastenia gravis antara lain :

Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan


salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi
keluhan utama penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis
otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular
masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular
kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Kelemahan otot
bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan
ekstensi kepala.

11

Gambar 3. Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot


esktraokular (ptosis).

Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.


Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot
leher, hingga ke otot ekstremitas.

Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga


mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari
otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran
menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara
sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari
hidungnya5.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan bahwa :
1.

30-40% dari penderita dengan miastenia gravis memperlihatkan adanya


muscle binding complement fixing antibodies dalam serumnya dan 90100% pada penderita miastenia gravis dengan timoma.

2.

Patologi anatomi
a. Timus penderita memperlihatkan adanya proliferasi limfosit.
b. Dalam otot-otot ditemukan limforagia, yang terdiri dari lomfositlimfosit yang mengandung zat-zat imunologik.
3. Telah ditemukan antibodi dalam darah penderita miastenia gravis yaitu
acetycholine receptor basic protein antibodies. Hal ini memyebabkan

12

timbulnya suatu reaksi auto-imunologik, atrofi dari membran post-sinaptik


sehingga acetycoline reseptor pada membran post-sinaptik menjadi
berkurang. Atrofi membran post-sinaptik ini pula akan menyebabkan
melebarnya celah sinaptik sehingga penyeberangan acetycholine akan
memrlukan waktu yang lebih banyak. Akibat penyeberangan yang lebih
panjang adalah bahwa akan lebih banyak terjadi penguraian dari
acetycholine oleh cholinesterase sehingga acetycholine yang sampai pada
membran post-sinaptik tidaklah lagi mencukupi untuk menimbulkan
depolarisasi, maka timbullah gejala-gejala miastenia gravis3.

Pemeriksaan Laboratorium

Anti-asetilkolin reseptor antibodi. Hasil dari pemeriksaan ini dapat


digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat
hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis
generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni
menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada
pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive
anti-AChR antibodi. Rata-rata titer antibodi pada pemeriksaan antiasetilkolin reseptor antibodi, yang dilakukan oleh Tidall, di sampaikan
pada tabel berikut:

Tabel 1. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Miastenia Gravis

Osserman Class

Mean antibodi Titer

Percent Positive

0.79

24

2.17

55

IIA

49.8

80

IIB

57.9

100

III

78.5

100

IV

205.3

89

13

Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB =


moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe4
Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita
miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat
digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.

Antistriated muscle (anti-SM) antibody. Merupakan salah satu tes yang


penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif
pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari
40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun,
anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.

Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies. Hampir 50% penderita


miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia
gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.

Antistriational antibodies. Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia


gravis menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola crossstriational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini
bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR).
Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia
gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibodi merupakan suatu
kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan
miastenia gravis.

2. Imaging

Chest x-ray (foto roentgen thorak). Dapat dilakukan dalam posisi


anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat
diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.

Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya


thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan

14

untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis,


terutama pada penderita dengan usia tua.

MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan
rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari
penyebab defisit pada saraf otak.

3. Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuscular melalui 2 teknik4 :

Repetitive Nerve Stimulation (RNS). Pada penderita miastenia gravis


terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak
terdapat adanya suatu potensial aksi.

Single-fiber Electromyography (SFEMG). Menggunakan jarum singlefiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita.
SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval
interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang
sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal
yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya
defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan
fiber density yang normal5.

DIAGNOSIS MIASTENIA GRAVIS


Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis
suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang
berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di
kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam
batas normal. Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan
pada otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a
mask-like face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal. Kelemahan otot
bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis. Pada
pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan
suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta
regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu,

15

penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta


menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan
penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada
miastenia gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga
dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga
mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi
dari leher. Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering
dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh
atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh
bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jarijari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh
dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan
saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki
dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki. Kelemahan otot-otot
pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan
suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan.
Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi
karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otototot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang
ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat
diperlukan. Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak
hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini
merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis.
Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan
terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan
terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada
mata yang melakukan abduksi5.
Prosedur diagnostik dimulai dari anamnesis yang cermat dan dilanjutkan
dengan tes klinik sederhana untuk menilai berkurangnya kekuatan otot setelah

16

aktivitas ringan tertentu, kemudian ditegakkan dengan pemeriksaan farmakologik


yaitu tes endrofonium atau dengan tes neostigmin.
Tes klinik, didasarkan pada kelelahan otot-otot yang terkena
1. Memandang objek diatas level bola mata akan timbul ptosis pada
miastenia
okular.
2. Mengangkat lengan akan mengakibatkan jatuhnya lengan bila otot-otot
bahu yang terkena.
3. Pada kasus-kasus bulbar, penderita disuruh menghitung 1 sampai 100
maka volume suara akan menghilang atau timbul disartria.
4. Sukar menelan bila terdapat gejala disfagia.
Tes Farmakologik
1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Dengan pemberian injeksi 2 mg edrofonium, bila tidak ada efek samping
dilanjutkan dengan 8 mg yang diberikan intravena. Gejala miastenis gravis
akan membaik dalam waktu 30 detik sampai 1 menit dan efek akan hilang
dalam beberapa menit.
2. Uji Prostigmin (neostigmin)
Dengan pemberian 1,25 mg neostigmin secara intramuskularis, dapat
dikombinasi dengan atropi 0,6 mg untuk mencegah efek samping. Gejalanya akan
membaik dalam waktu 30 detik dan akan berakhir dalam 2 atau 3 jam
3. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3
tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lainlain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi
prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat1.
Untuk penegakan diagnosa dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut :

17

1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama


kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi
kurang jelas, penderita menjadi anartris dan afonis.
2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan mata secara terus menerus, lama
kelamaan akan timbul ptosis.
Setelah beristirahat maka suara penderita kembali normal tidak parau lagi dan
mata tidak akan tampak ptosis3.
DIAGNOSA BANDING
Meliputi tirotoksikosis, lupus eritematosus dan sindroma Fischer1.
1. Bila tampak ada ptosis atau strabismus maka hendaknyalah kita ingat akan
kemungkinan adanya lesi N.III yang dpat ditimbulkan oleh :
a. Meningitis basalis (tuberkulosa atau leutika).
b. Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring.
c. Aneurisma di sirkulus arteriosus willisii.
d. Paralisis pasca difteri.
e. Pseudoptosis pada trakhoma.
2. Bila terdapat suatu diplopia yang transient kemungkinan adanya sklerosis
multipleks
3. Histeri
4. Sindroma Eaton-Lambert, ditemukan gejal-gejal miastenia gravis. Disamping
itu akan tampak pula adanya suatu small cell bronchus carcinoma3.
PENATALAKSANAAN
Dasar pengobatan adalah dengan menggunakan obat-obat antikolinesterase
misalnya neostigmin dan piridostigmin. Obat-obat ini berperan menghambat
kolinesterase yang kerjanya menghancurkan asetilkolin. Biasanya dimulai dengan
1 tablet neostigmin atau piridostigmin 3 kali perhari, kemudian dosisnya
ditingkatkan bergantung pada reaksi penderita. Obat-obat antikolinesterase ini
mempunyai aktivitas muskarinik dan nikotinik. Efek muskarinik yaitu

18

mempengaruhi otot polos dan kelenjar, sedangkan efek nikotinik yaitu


mempengaruhi ganglion autonom dan myoneural junction. Efek muskarinik
seperti koli abdomen, diare dan hiperhidrosis dapat diatasi dengan pemberian
atropin. Pada penderita usia tua atau penderita dengan kontraindikasi untuk
dilakukan timektomi. Karena terapi steroid dapat menimbulkan efek samping
selam 2 minggu pengobatan, maka perlu perawatan di rumah sakit, terutama bila
timbul gejala-gejala bulbar. Obat antikolinesterase harus diteruskan dan prednison
diberikan serta ditingkatkan perlahan-lahan dari dosis inisial 25 mg sampai 100
mg perhari dan diberikan selang satu hari, tergantung pada reaksi penderita.
Setelah ada perbaikan, dosis neostigmin dan piridostigmin dapat diturunkan
perlahan-lahan. Kombinasi baik piridostigmin dan prednison yang diberikan
selang 1 hari merupakan terapi inisial pilihan untuk penderita dengan timoma1.
Dalam penatalaksanaan pada miastenia gravis dapat diberikan terapi sebagai
berikut :
1. Neostigmin bromide (prostigmin) 15 mg per tab.(per os). Biasanya
diberikan 3x1 tab sehari ) dapat ditingkatkan menjadi 3x2 tab). Untuk
menghindari timbulnya nyeri perut sebaiknya diberikan pula atropin atau
ext. Belladonnae.
2. Neostigmin methylsulfat (prostigmin) 0,5 mgr/amp (i.m / i.v). Bila perlu
diberikan 0,5 mgr prostigmin secara i.m (dapat ditingkatkan sampai 1,5
mgr. Prostigmin secara i.m).
3.

Endrophonium chloride (tensilon) 10 mgr. per amp. (i.v).

4. Pyridostigmin bromide (mestinon) 60 mgr per tab (per os).


5. Pyridostigmin bromide (mestinon time span) 180 mgr. per tab (per os)
Obat-obat tersebut diatas adalah obat-obat antikolinesterase (kolinesterase
inhibitor). Pemberian obat-obat antikolinesterase memiliki efek toksis yang dapat
mencakup efek muskarinik (parasimpatikomimetik), efek nikotinik dan central
nervous system effect. Over dosis obat-obat antikolinesterase akan dapat
menimbulkan krisis kolinergik dengan gangguan pernafasan. Gangguan

19

pernafasan yang timbul antara lain : bronkokonstriksi, bronkhorrhea, paralisis


otot-otot dada dan depresi pusat pernafasan (sentral)3.
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti,
tetapi miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.
Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi
merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase
biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada psien
dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang
rutin.Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombainasikan dengan
pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mapu menghambat terjadinya
mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis.
Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan
kekuatan otot secara cepat dan terpai yang memiliki onset lebih lambat tetapi
memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan 5.

1. Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut


1.1 Plasma Exchange (PE)
Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif.
Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. PE paling efektif
digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan
menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau
sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan
menjalani

thymektomi

atau

pasien

yang

kesulitan

menjalani

periode

postoperative. Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat
kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau
6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang
disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk
replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan
hingga lebih dari 10 minggu. Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya

20

pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium,


magnesium, dan natrium yang dpat menimbulkan terjadinya hipotensi.
Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat
terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan
yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian freshfrozen plasma tidak diperlukan
1.2 Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complementactivating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena.
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan
mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibodi tidak dapat
dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat
penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar
3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG diindikasikan pada pasien yang juga
menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat
dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan
beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG,
sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi
awal untuk pasien dalam kondisi krisis. Dosis standar IVIG adalah 400
mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari.
IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level antiasetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan
pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah
nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga
tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil,
mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.
Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang
1. Kortikosteroid

21

Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah
untuk pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid
mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja
kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3
bulan. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan
efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui.
Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada
fase proliferasi dari sel B. Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi
diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan
kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang
berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer
antibodinya. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis
yang sangat mengganggu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.
Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian
dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30
mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan
komplikasi obesitas serta hipertensi.
2. Azathioprine
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara
relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi.
Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin
yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan
RNA. Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3
mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis
optimafl tercapai. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat
ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang
lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Respon
Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36
bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali
penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.

22

3. Cyclosporine
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari
sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada
produksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari
terbagi dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat
dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping
berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
TINDAKAN PEMBEDAHAN
Tindakan bedah pada miastenia gravis adalah timektomi. Ini terutama
diindikasikan pada penderita-penderita wanita muda dengan riwayat yang kurang
dari 5 tahun menderita miastenia gravis. Prognosis pada kelompok ini biasanya
jelek. Pada wanita muda tanpa timoma kira-kira 80%-90% penderita akan
membaik atau akan terjadi remisi yang sempurna dalam beberapa tahun. Persiapan
untuk timektomi yaitu :
1. Terapi antikolinesterase dengan neostigmin atau piridostigmin yang
optimal dilanjutkan sampai saat operasi.
2. Harus dilakukan tes fungsi paru, bila kapasitas vital sangat menurun maka
harus dilakuka trakeotomi pada saat dilakukan timektomi supaya bantuan
respirasi dapat diberikan pada saat pascabedah.
3. Pada pascabedah, terapi antikolinesterase dimulai dengan memberikan
dosis rendah dn disesuaikan dnegan kebutuhan penderita.
Thymectomy (Surgical Care)
Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia
gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan thymoma denga atau tanpa
miastenia gravis sejak awal tahun 1900. Telah banyak dilakukan penelitian
tentang hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis.
Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin

23

bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Penelitian terbaru


menyebutkan bahwa terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan
berpengaruh terhadap perkembangan dan inisiasi imunologi pada miastenia
gravis. Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan
signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi
pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Banyak ahli
saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa thymektomi memiliki peranan
yang penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi,
sulit untuk dijelaskan dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang
seksama. Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam
waktu satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi
yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli
percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40%
tergantung dari jenis thymektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa
remisi yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara
40-60% lima hingga sepuluh tahu setelah pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono, 2011. Buku Ajar Neurologi Klinik PERDOSSI. Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press. Hal. 327-332.
2. Sidharta Priguna. 2008 Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi.
Jakarta. Penerbit Dian Rakyat. Hal. 129
3. Ngoerah Gd. Ng. Gst. I. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlangga
University Press. 1991. Hal: 301-305.
4. Sidharta Priguna dan Mardjono Mahar, 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta.
Penerbit Dian Rakyat. Hal 348
5. Benny dewa. Miastenia Gravis. www.miasteniagravisneurologi.com/120708,
etc Juli, 2008

24

25

You might also like