You are on page 1of 36

I.

IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
Jenis kelamin
Agama
Status
Alamat
Pendidikan
Pekerjaan
Tanggal masuk

: Tn. Y
: 25 tahun
: Laki-laki
: islam
: Lajang
: kampung rawa selatan
: SMA
: swasta
: 2-juli-2014

II. Anamnesis
Pasien mengeluh sesak nafas 2 minggu SMRS, sesak makin parah bila berbaring,
dan beraktivitas disertai keluhan batuk berdahak yang lama 8 bulan
III. Riwayat penyakit sekarang
Auto anamnesis pasien pada tanggal 2 juli 2014 pasien datang ke poli RS MRM
dengan keluhan sesak nafas yang di rasa 2 minggu SMRS. Sesak dirasakan makin
parah apabila berbaring. Selain sesak pasien juga mengeluh batuk berdahak 8 bulan,
dahak berwarna kuning kehijauan dan kadang disertai darah. Pasien mengeluh berat
badan nya semakin berkurang, demam (-), mual, muntah sudah 5x. Pasien sudah
berobat ke klinik akan tetapi batuk tidak kunjung sembuh.pasien sehari-hari bekerja
sebagai pegawai percetakan, teman sekantor pasien tidak ada yang batuk-batuk seerti
pasien, pasien biasa nya naik motor ke kantor dan tidak pakai masker, pasien
merokok. Sebelum nya pasien tidak pernah punya penyakit seprti ini. Pasien tidak
mempunyai riwayat penyakit kronik apapun. Dari riwayat keluarga ibu pasien
menderita batuk-batuk juga, dan belum pernah berobat, tidak ada iwayat hipertesi,
DM dan hiperkolesterolemia.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat penyakit paru
: disangkal
- Riwayat penyakit jantung : disangkal
- Riwayat hipertensi
: disangkal
- Riwayat diabetes mellitus: disangkal
- Riwayat alergi
: disangkal
- Riwayat penyakit kuning :disangkal
- Riwayat batu ginjal
:disangkal
Riwayat penyakit keluarga
-

Riwayat penyakit paru


: ibu pasien menderita batuk lama
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat diabetes mellitus: disangkal
1

IV.

- Riwayat penyakit paru


: disangkal
- Riwayat alergi
: disangkal
- Riwayat penyakit kuning : disangkal
- Riwayat bau ginjal
: disangkal
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 2 juli 2014, pada pukul 13.00 :
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos Mentis, E=4 M=6 V=5
Tanda- tanda vital : - tekanan darah : 120/90 mmhg
- Nadi : 80 X/menit
- Suhu : 36,2 C
- Saturasi O2 : 99%
Status Generalis :
Kepala : Normochepal, Distribusi rambut merata, tidak mudah dicabut,
warna
hitam
Mata : konjungtiva anemis +/+, sclera ikterik -/-, secret -/-, edema -/Telinga : bentuk normal, simetris, serumen -/-, secret-/Hidung : bentuk normal, deviasi septum(-), secret -/-, darah -/Mulut : bibir lebab (+), mukosa(+),, faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1
Leher : deviasi trakea (-), kelenjar tiroid tidak membesar, KGB tidak teraba
Thorax ;
Cor : inspeksi : iktus kordis tak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba, tidak kuat angkat di ICS V linea midklavikula sinistra,
tidak ada thrill di ICS II linea parasternalis sinistra
Perkusi : batas pinggang jantung : ICS III parasternalis sinistra
Batas jantung kiri : ICS IV linea sternalis sinistra
Batas kanan jantuung :
Auskultasi : bunyi jantung I dan II regular, gallop (-) , murmur(-)
Pulmo :
Inspeksi : dinding dada simetris, pernafasan abdomino thorakal
Palpasi : fremitus vocal+/+, fremitus taktil +/+, nyeri tekan (-)
Perkusi : sonor kedea lapang paru
Auskultasi vesikuler +/+, ronki +/+, wheezing -/Abdomen :
Inspeksi : datar, striae (-), venektasi (-)
Auskultasi : bising usus (+)
Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium (-), undulasi (-) hepar tidak teraba, lien tidak
teraba
Perkusi : timpani
Genitalia : tidak diperiksa
Ekstremitas : akral hangat, edema (-)
Kulit
: dalam batas normal

V.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan lab pada tanggal 2 juli 2014
Hb : 9,4 g/dl
Leukosit : 8600/uL
Hematokrit : 31%
Trombosit : 432000
Ureum : 19mg/dl
Creatinin : 0,89mg/dl
SGOT : 31 U/L
SGPT : 86 U/L
Pemeriksaan lab pada tanggal 3 juli 2014
BTA I : -/Negatif
BTA II : -/ Negatif
BTA III : -/ Negatif
Pemeriksaan lab pada tanggal 5 juli 2014
SGOT : 21 U/L
SGPT : 37 U/L
Pemeriksaan foto thorax

Tampak perselubungn inhomogen di kedua lapang paru atas terutama sisi kiri dengan
efusi pleura kanan. Jantung CR <50% kontur baik
Kesan : KP dupleks, cor normal.
3

VI.

Resume
Auto anamnesis pasien pada tanggal 2 juli 2014 pasien datang ke poli RS MRM
dengan keluhan sesak nafas yang di rasa 2 hari SMRS. Sesak dirasakan makin parah
apabila berbaring. Selain sesak pasien juga mengeluh batuk berdahak 8 bulan,
dahak berwarna kuning kehijauan dan kadang disertai darah. Pasien mengeluh berat
badan nya semakin berkurang, demam (-), mual (-), muntah. Sebelum nya pasien
tidak pernah punya penyakit seprti ini. Pasien tidak mempunyai riwayat penyakit
kronik apapun. Dari riwayat keluarga ibu pasien menderita batuk-batuk juga, dan
belum pernah berobat, tidak ada iwayat hipertesi, DM dan hiperkolesterolemia.

VII. Diagnosa kerja


TB dengan efusi pleura
VIII. DIAGNOSIS BANDING
PPOK
Asma
bronkopneumonia
IX.

PENATALAKSANAAN
Non farmakologis :
- Bed rest
- O2 2L/menit
Farmakologis :
-

X.

IVFD RL : D 5% =1:1
Ceftriaxone :1x2gr
Rivastar 1x3 tab
Inhalasi ventolin 3x1
INH 1x300mg
Etambutol 1x1000mg
Curcuma 3x1

Prognosis
Quo ad vitam
: dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam

XI.

Follow Up
tg
l

2 Juli 2014

3 Juli 2014

4 Juli2014

Pasien datang ke IGD


dengan keluhan sesak
sejak 2 minggu
SMRS,pusing, mual,
muntah 5x, batuk sejak
8 bulan yang lalu,
sesak saat beraktivitas

Sesak nafas lemas,


pusing mual

Seak sedikit berkurang,


lemas, pusing, nafsu
makan menurun

KU/KES : TSS/CM

KU/KES : TSS/CM

TD : 130/90 mmhg
HR : 120x/menit
RR: 44x/menit
S: 37,8C

TD : 130/90 mmhg
HR : 100x/menit
RR: 28x/menit
S: 36,7C

Cor : BJ 1&2 reguler,


M (-), G(-)

Cor : BJ 1&2 reguler,


M (-), G(-)

Pulmo : Vesikuler +/+,


R+/+, Wh -/-

Pulmo : Vesikuler +/+,


R+/+, Wh -/-

Ekstremitas : akral

Ekstremitas : akral
5

KU/KES : TSS/CM

TD : 120/80 mmhg
HR : 80x/menit
RR: 30x/menit
S: 36,5C
Cor : BJ 1&2 reguler, M
(-), G(-)
Pulmo : Vesikuler +/+,
R+/+, Wh -/-

hangat, edema
Abdomen : BU (+),
NT(-), cembung,
undulasi (-), hepar dan
lien tidak teraba
Mata : CA -/-, SI -/A

TB paru dengan efusi


pleura

T
gl

Abdomen : BU (+),
NT(-), cembung,
undulasi (-), hepar dan
lien tidak teraba
Mata : CA -/-, SI -/TB paru dengan efusi
pleura

Ekstremitas : akral
hangat, edema
Abdomen : BU (+),
NT(-), cembung, undulasi
(-), hepar dan lien tidak
teraba
Mata : CA -/-, SI -/TB paru dengan efusi pleura

-IVFD RL : D5% = 1:1

-IVFD RL : D5% = 1:1


-O2 2L/menit
- ceftriaxone 1x2gr
-rivastar 1x3 tab
- inhalasi ventolin 3x1

hangat, edema

-O2 2L/menit
- ceftriaxone 1x2gr
-INH 1x300mg
-etambutol 1x1000mg
-curcuma 3x1
- inhalasi ventolin 3x1

6 juli 2014
5 juli 2014
Sesak berkurang, batuk
berdahak bening, mual
(-), muntah (+)

KU/KES : TSS/CM

Sesak nafas sedikit,


batuk berdahak warna
bening

-IVFD RL : D5% = 1:1

-O2 2L/menit
- ceftriaxone 1x2gr
-rimfamisin 1x300mg
-INH 1x300mg
-etambutol 1x1000mg
-curcuma 3x1
- inhalasi ventolin 3x1

7 juli 2014
Sesak (-) , batuk
berkurang

KU/KES : TSS/CM

TD : 110/70 mmhg

TD : 110/70 mmhg

KU/KES : TSS/CM

HR : 80x/menit

HR : 82x/menit

TD : 130/90 mmhg

RR: 21x/menit

RR: 22x/menit

HR : 100x/menit

S: 36,7C
6

Cor : BJ 1&2 reguler,


M (-), G(-)
Pulmo : Vesikuler +/+,
R+/+, Wh -/Ekstremitas : akral
hangat, edema
Abdomen : BU (+),
NT(-), cembung,
undulasi (-), hepar dan
lien tidak teraba

Mata : CA -/-, SI -/-

S: 36C

RR: 28x/menit

Cor : BJ 1&2 reguler,


M (-), G(-)

S: 36,2C

Pulmo : Vesikuler +/+,


R+/+, Wh -/Ekstremitas : akral
hangat, edema
Abdomen : BU (+),
NT(-), cembung,
undulasi (-), hepar dan
lien tidak teraba
Mata : CA -/-, SI -/-

Cor : BJ 1&2 reguler, M


(-), G(-)
Pulmo : Vesikuler +/+,
R+/+, Wh -/Ekstremitas : akral
hangat, edema
Abdomen : BU (+),
NT(-), cembung, undulasi
(-), hepar dan lien tidak
teraba
Mata : CA -/-, SI -/-

TB paru dengan efusi


pleura

TB paru dengan efusi


pleura
TB paru dengan efusi
pleura

IVFD RL : D5% = 1:1


-O2 2L/menit
- ceftriaxone 1x2gr
-rimfamisin 1x300mg
-INH 1x300mg
-etambutol 1x1000mg
-curcuma 3x1
- inhalasi ventolin 3x1

IVFD RL : D5% = 1:1


-O2 2L/menit
- ceftriaxone 1x2gr
-rimfamisin 1x300mg
-INH 1x300mg
-etambutol 1x1000mg
-curcuma 3x1
- inhalasi ventolin 3x1

IVFD RL : D5% = 1:1


-O2 2L/menit
- ceftriaxone 1x2gr
-rimfamisin 1x300mg
-INH 1x300mg
-etambutol 1x1000mg
-curcuma 3x1
- inhalasi ventolin 3x1
-pirazinamid 1x500

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI TB PARU
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman

TB

(Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya.

2.2. EPIDEMIOLOGI TB PARU


WHO menyatakan bahwa dari sekitar 1,9 milyar manusia, sepertiga penduduk dunia ini telah
terinfeksi oleh kuman tuberkulosis. Pada tahun 1993 WHO juga menyatakan bahwa TB sebagai
reemerging disease. Angka penderita TB paru di negara berkembang cukup tinggi, di Asia
jumlah penderita TB paru berkisar 110 orang penderita baru per 100.000 penduduk. Hasil survey
prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA positif

secara nasional 110 per 100.000 penduduk. Secara regional prevalensi TB BTA positif di
Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu:
1. wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk,
2. wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk,
3. wilayah Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah 210 per 100.000 penduduk.
Khusus untuk propinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB adalah 68 per 100.000
penduduk. Berdasar pada hasil survey prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan
insiden TB BTA positif secara Nasional 3-4 % setiap tahunnya.
2.3 Mycobacterium Tuberculosis
Kuman tuberkulosis berbentuk batang dengan ukuran 2-4 x 0,2-0,5m, dengan bentuk
uniform, tidak berspora dan tidak bersimpai. Dinding sel mengandung lipid sehingga
memerlukan pewarnaan khusus agar dapat terjadi penetrasi zat warna. Yang lazim digunakan
adalah pengecatan Ziehl-Nielsen. Kandungan lipid pada dinding sel menyebabkan kuman TB
sangat tahan terhadap asam basa dan tahan terhadap kerja bakterisidal antibiotika.
M.Tuberculosis mengandung beberapa antigen

dan determinan antigenik yang dimiliki

mikobakterium lain sehingga dapat menimbulkan reaksi silang. Sebagian besar antigen kuman
terdapat pada dinding sel yang dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Kuman
TB tumbuh secara obligat aerob. Energi diperoleh dari oksidasi senyawa karbon yang sederhana.
CO2 dapat merangsang pertumbuhan. Dapat tumbuh dengan suhu 30-40 0 C dan suhu optimum
37-380 C. Kuman akan mati pada suhu 600 C selama 15-20 menit. Pengurangan oksigen dapat
menurunkan metabolisme
9

kuman.
2.4 Diagnosis TB Paru
TB paru sering menimbulkan gejala klinis yang dapat dibagi menjadi 2 yaitu gejala respiratorik
dan gejala sistematik. Gejala respiratorik seperti batuk, batuk darah, sesak napas, nyeri dada,
sedangkan gejala sistemik seperti demam, keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan dan
malaise. Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luasnya lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up.
Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka mungkin pasien tidak ada gejala batuk.
Batuk yang pertama terjadi akibat adanya iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk
membuang dahak keluar.
Pada awal perkembangan penyakit sangat sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisik.
Kelainan yang dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Kelainan paru pada umumnya
terletak di daerah lobus superior terutama di daerah apeks dan segmen posterior. Pada
pemeriksaan fisik dapat dijumpai antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas
melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diapragma dan mediastinum.
Untuk yang diduga menderita TB paru, diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari yaitu
sewaktu pagi sewaktu (SPS). Berdasarkan panduan program TB nasional, diagnosis TB paru
pada orang dewasa ditegakkan dengan dijumpainya kuman TB (BTA). Sedangkan pemeriksaan
lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis
sesuai dengan indikasinya dan tidak dibenarkan dalam mendiagnosis TB jika diagnosis dibuat
hanya berdasarkan pemeriksaan foto thorak

10

11

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


2.5.1 Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman TB mempunyai arti yang sangat penting
dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologis
ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, bilasan bronkus, liquor cerebrospinal, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, faeces, dan jaringan biopsi.
2.5.2. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan rutin adalah foto toraks PA. Pemeriksaan atas indikasi seperti foto apikolordotik,
oblik, CT Scan. Tuberkulosis memberikan gambaran bermacam-macam pada foto toraks.
Gambaran radiologis yang ditemukan dapat berupa:
bayangan lesi di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus bawah
bayangan berawan atau berbercak
Adanya kavitas tunggal atau ganda
Bayangan bercak milier
Bayangan efusi pleura, umumnya unilateral
Destroyed lobe sampai destroyed lung
Kalsifikasi
Schwarte.
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia luasnya proses yang tampak pada foto toraks dapat
dibagi sebagai berikut:3 - Lesi minimal (Minimal Lesion): Bila proses tuberkulosis paru
mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dengan volume paru
12

yang terletak diatas chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra
torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas. - Lesi luas
(FarAdvanced): Kelainan lebih luas dari lesi minimal
Penelitian di Bangalore, India yang melibatkan 2229 orang dengan gejala respiratorik dan
sistemik (batuk 2 minggu atau lebih, nyeri dada, panas lebih dari 4 minggu dan batuk darah)
yang kemudian dievaluasi secara radiologi (foto toraks) dan bakteriologi (hapusan dahak)
menghasilkan tabel berikut :
Tabel 2 : Perbandingan Gambaran Radiologi dengan pemeriksaan mikrobiologi sputum pada
penderita dengan dugaan TB di Bangalore India

2.5.3. Pemeriksaan Khusus Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang
dapat mendeteksi kuman TB seperti :
a. BACTEC: dengan metode radiometrik , dimana CO2 yang dihasilkan dari metabolisme
asam lemak M.tuberculosis dideteksi growth indexnya.
b. Polymerase chain reaction (PCR) dengan cara mendeteksi DNA dari M.tuberculosis,
hanya saja masalah teknik dalam pemeriksaan ini adalah kemungkinan kontaminasi.
13

c. Pemeriksaan serologi : seperti ELISA, ICT dan Mycodot

2.5.4. Pemeriksaan Penunjang Lain : Seperti analisa cairan pleura dan histopatologi
jaringan, pemeriksaan darah dimana LED biasanya meningkat, tetapi tidak dapat digunakan
sebagai indikator yang spesifik pada TB. Di Indonesia dengan prevalensi yang tinggi, uji
tuberkulin sebagai alat bantu diagnosis penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini
mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau kepositifan yang didapat besar sekali.

2.6 Klasifikasi TB Paru


Dalam Klasifikasi TB Paru ada beberapa pegangan yang prinsipnya hampir bersamaan.
PDPI membuat klasifikasi berdasarkan gejala klinis, radiologis dan hasil pemeriksaan
bakteriologis dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini dipakai untuk menetapkan
strategi pengobatan dan penanganan pemberantasan TB:
1. TB Paru BTA positif yaitu:
- Dengan atau tanpa gejala klinis
- BTA positif mikroskopis + mikroskopis + biakan + mikroskopis + radiologis +
- Gambaran radiologis sesuai dengan TB Paru
2. TB Paru (kasus baru) BTA negatif yaitu:
- Gejala klinis dan gambaran radiologis sesuai dengan TB Paru aktip
- Bakteriologis (sputum BTA): negatif, jika belum ada hasil tulis belum diperiksa.
- Mikroskopis -, biakan, klinis dan radiologis +
3. TB Paru kasus kambuh :

14

- Riwayat pengobatan OAT yang adekuat, gejala klinis dan gambaran radiologis sesuai
dengan TB Paru aktif tetapi belum ada hasil uji resistensi.

4. TB Paru kasus gagal pengobatan :


- Gejala klinis dan gambaran radiologis sesuai dengan TB Paru aktif, pemeriksaan
mikroskopis + walau sudah mendapat OAT, tetapi belum ada hasil uji resistensi.

5. TB Paru kasus putus berobat :


- Pada pasien paru yang lalai berobat

6. TB Paru kasus kronik yaitu:


- Pemeriksaan mikroskopis + , dilakukan uji resistensi.

PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
15

TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas Paduan obat yang diberikan : 2 RHZE / 4 RH

Alternatf : 2 RHZE / 4R3H3 Atau (program P2TB)2 RHZE/ 6HE


Paduan ini dianjurkan untuk
a. TB paru BTA (+), kasus baru
b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru)
c. TB di luar paru kasus berat

Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7 bulan, dengan paduan
2RHZE / 7 RH, dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3, seperti pada keadaan:
a. TB dengan lesi luas
b. Disertai penyakit komorbid (Diabetes Melitus,
Pemakaian obat imunosupresi / kortikosteroid)
c. TB kasus berat (milier, dll)

Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi

TB Paru (kasus baru), BTA negative Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH

Alternatif : 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE Paduan ini dianjurkan untuk :


a. TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi minimal

b. TB di luar paru kasus ringan

TB paru kasus kambuh

16

Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT pada fase intensif selama 3
bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji
resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya,
sehingga paduan obat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH Bila tidak ada / tidak dilakukan uji
resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3

TB Paru kasus gagal pengobatan

Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan minimal menggunakan 4 -5 OAT
dengan minimal 2 OAT yang masih sensitif ( seandainya H resisten, tetap diberikan). Dengan
lama pengobatan minimal selama 1 2 tahun . Menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan
dahulu 2 RHZES , untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi
- Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2
RHZES/1 RHZE/5H3R3E3
- Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal
- Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru

TB Paru kasus lalai berobat

Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria
sebagai berikut :
- Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu, pengobatan OAT dilanjutkan sesuai
jadual
- Penderita menghentikan pengobatannya 2 minggu
1) Berobat 4 bulan , BTA negatif dan klinik, radiologik negatif, pengobatan OAT STOP

17

2) Berobat > 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih
kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
3) Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama
4) Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan , BTA negatif, akan tetapi klinik dan atau
radiologic positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama
5) Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat
2-4 minggu pengobatan diteruskan kembali sesuai jadual.

TB Paru kasus kronik

- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika
telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 2 macam
OAT yang masih sensitive dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat
lain seperti kuinolon, betalaktam, makrolid
- Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
- Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan
- Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
Catatan : TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus

2. Efusi pleura pada tuberkulosis


2.1. Definisi Efusi Pleura Tuberkulosis

18

Efusi pleura TB adalah efusi pleura yang disebabkan oleh M. TB yang dikenal juga dengan
nama pleuritis TB. Peradangan rongga pleura pada umumnya secara klasik berhubungan dengan
infeksi TB paru primer. Berbeda dengan bentuk TB di luar paru, infeksi TB pada organ tersebut
telah terdapat kuman M. TB pada fase

basilemia primer. Proses di pleura terjadi akibat

penyebaran atau perluasan proses peradangan melalui pleura viseral sebagai proses
hipersensitiviti tipe lambat.

Mekanisme ini berlaku pada beberapa kasus tetapi data

epidemiologi terbaru pleuritis TB mengarahkan mekanisme patogenik lain pada sebagian besar
proporsi kasus. Pada pasien dewasa yang lebih tua kelainan pada pleura berhubungan dengan
reaktivasi TB paru. Efusi pleura harus dicurigai akibat penyebaran infeksi sebenarnya ke ruang
pleura dibandingkan prinsip reaksi imunologi terhadap Ag M. TB.28
2.2. Epidemiologi
TB masih menjadi penyebab kesakitan dan kematian utama khususnya di negara-negara
berkembang. Karena itu TB masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia ini. Pada tahun 1992 WHO telah mencanangkan TB sebagai Global Emergency.2
Menurut data yang dilaporkan WHO tahun 2008 diperkirakan sebanyak 9.2 juta kasus baru TB
yang terjadi di seluruh dunia pada tahun 2006 (139 per 100.000), termasuk sekitar 4.1 juta (62
per 100.000) kasus baru dengan apusan BTA positif. Diantara kasus baru itu diperkirakan 709
000 (7.7%) dengan HIV-positif.Asia mencapai 55% dari seluruh kasus di dunia, dan Afrika
sekitar 31%.3 Menurut laporan WHO tahun 2004 diperkirakan angka kematian akibat TB adalah
8000 setiap hari dan 2-3 juta setiap tahun di seluruh dunia, dimana jumlah terbesar kematian
akibat TB terdapat di Asia Tenggara yaitu 625 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per
100.000 penduduk. Angka mortalitas tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk,
prevalensinya meningkat seiring dengan peningkatan kasus HIV. Indonesia masih menempati
19

urutan ke-3 setelah India, dan China dengan angka insiden TB tertinggi di dunia. Di Indonesia
setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia
TB adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian
nomor 3 setelah penyakit jantung dan pernafasan akut pada seluruh kalangan usia.TB sering
bermanifestasi ke organ-organ lain. Manifestasi ke pleura berupa pleuritis atau efusi pleura
merupakan salah satu manifestasi TB ekstraparu yang paling sering terjadi selain limfadenitis
TB.4,5 Sekitar 30% infeksi aktif M. TB bermanifestasi ke pleura. Menurut Jing dkk efusi
pleura TB terjadi pada 10% penderita yang tidak diobati, dimana hasil tes tuberkulin positif dan
sebagai komplikasi dari TB paru primer. Menurut Siebert dkk efusi pleura dapat terjadi pada 5%
pasien dengan TB. Biasanya efusi pleura yang disebabkan oleh TB selain bersifat eksudatif juga
bersifat limfositik.Frekuensi TB sebagai penyebab efusi pleura tergantung kepada prevalensi TB
pada populasi yang diteliti. Penelitian di Spanyol terhadap 642 penderita efusi pleura ditemukan
TB menjadi penyebab terbanyak efusi pleura; insidennya mencapai 25% dari seluruh kasus efusi
pleura. Penelitian di Saudi Arabia terhadap 253 kasus dijumpai 37% disebabkan oleh TB. Di US
insiden efusi pleura yang disebabkan TB diperkirakan mencapai 1.000 kasus. Atau sekitar 3-5%
pasien dengan TB akan mengalami efusi pleura TB. Kelihatannya jumlah ini rendah, diakibatkan
banyak pasien efusi pleura TB cenderung tidak terlaporkan karena sering sekali kultur M. TB
hasilnya negatif. Di UK infeksi TB yang melibatkan pleura < 10% kasus.Sedangkan penelitian
yang dilakukan di Rwanda pada 127 penderita efusi pleura dijumpai sekitar 86% penyebabnya
adalah TB. Sedangkan efusi pleura pada penderita HIV dengan TB insidennya bisa lebih tinggi.
Penelitian di Carolina Selatan dijumpai insidennya mencapai 11% penderita efusi pleura TB
dengan HIV positif sedangkan pada HIV negatif dijumpai sekitar 6%.Penelitian di Burundi dan
Tanzania ditemukan 60% penderita efusi pleura TB dengan HIV positif.35 Sedangkan pada

20

penelitian di Afrika Selatan ditemukan bahwa 38% penderita efusi pleura TB dengan HIV positif
sedangkan pada penderita efusi pleura TB dengan HIV negatif hanya 20%. Indonesia menempati
urutan ke-3 dari antara negara-negara dengan prevalensi TB tertinggi, dimana penyebab utama
efusi pleuranya adalah TB paru (30,26%) dengan umur terbanyak adalah 21-30 tahun.
2.3. Patogenesis
Efusi pleura TB adalah efusi pleura yang disebabkan oleh M. TB suatu keadaan dimana
terjadinya akumulasi cairan dalam rongga pleura. Mekanisme terjadinya efusi pleura TB bisa
dengan beberapa cara:
1. Efusi pleura TB dapat terjadi dengan tanpa dijumpainya kelainan radiologi toraks. Ini
merupakan sekuele dari infeksi primer dimana efusi pleura TB biasanya terjadi 6-12 minggu
setelah infeksi primer, pada anak-anak dan orang dewasa muda. Efusi pleura TB ini diduga
akibat pecahnya fokus perkijuan subpleura paru sehingga bahan perkijuan dan kuman M. TB
masuk ke rongga pleura dan terjadi interaksi dengan Limfosit T yang akan menghasilkan suatu
reaksi hipersensitiviti tipe lambat. Limfosit akan melepaskan limfokin yang akan menyebabkan
peningkatan permeabilitas dari kapiler pleura terhadap protein yang akan menghasilkan
akumulasi cairan pleura.Cairan efusi umumnya diserap kembali dengan mudah. Namun
terkadang bila terdapat banyak kuman di dalamnya, cairan efusi tersebut dapat menjadi purulen,
sehingga membentuk empiema TB.
2. Cairan yang dibentuk akibat penyakit paru pada orang dengan usia lebih lanjut. Jarang,
keadaan seperti ini bia berlanjut menjadi nanah (empiema).Efusi pleura ini terjadi akibat proses
reaktivasi yang mungkin terjadi jika penderita mengalami imuniti rendah.

21

3. Efusi yang terjadi akibat pecahnya kavitas TB dan keluarnya udara ke dalam rongga pleura.
Keadaan ini memungkinkan udara masuk ke dalam ruang antara paru dan dinding dada. TB dari
kavitas yang memecah mengeluarkan efusi nanah (empiema). Udara dengan nanah bersamaan
disebut piopneumotoraks.
2.4.4. Sistem Imun pada TB
M.TB adalah patogen intraseluler yang dapat bertahan hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag. Makrofag dan limfosit T sangat berperan penting dalam respon imun terhadap TB.
Makrofag alveolar memiliki reseptor khusus tool like receptors (TLRs) yang dapat mengenali
bahan-bahan asing seperti lipoprotein mikobakterium. Makrofag memangsa M.TB dan
menghasilkan sitokin, khususnya IL-12 dan IL-18 yang akan merangsang pertumbuhan limfosit
T CD4+ melepaskan IFN-. IFN- penting dalam aktivasi mekanisme mikrobisid makrofag dan
merangsang makrofag melepaskan TNF- yang diperlukan dalam pembentukan granuloma.
Makrofag akan memproses antigen (Ag) M.TB dan mempresentasikannya ke limfosit T CD4+
(helper T cell) dan limfosit T CD8+ (cytotoxic T-cell). Ini akan berbentuk ekspansi klonal dari
limfosit T yang spesifik.
Responnya berupa tipe Th1 dengan sel CD4+, IFN-, dan IL-2 memainkan peranan penting.
Reaksi hipersensitiviti jaringan menghasilkan pembentukan granuloma yang akan membatasi
replikasi dan penyebaran mikobakteria. Granuloma perkijuan adalah lesi patologik klasik TB.
Pada individu dengan imunokompromis reaksi hipersensitiviti jaringan berkurang sehingga
terjadi respon inflamasi non spesifik dengan serbukan sedikit leukosit polimorfonuklear dan
monosit dan basil dalam jumlah besar tetapi tanpa bentukan granuloma. Sel-sel mesotel pleura
bertanggungjawab dan berperan terhadap terjadinya penumpukan netrofil dan fagositosis
mononuklear dalam rongga pleura. Baru-baru ini dikelompokkan famili sitokin-kemotaktik
22

disebut famili kemokin yang terbentuk dari tiga subfamili polipeptida yang berhubungan pada
sel-sel mesotel. Subfamili ini secara generik dikenal sebagai famili kemokin dan termasuk
kemokin C-X-R,kemokin C-C, atau kemokin C atau yang dikenal dengan limfotaktin.

Pada penyakit-penyakit granulomatous pleura, cairan pleura paling banyak mengandung sel-sel
mononuklear. Pada hewan dengan pleuritis TB, netrofil lebih dominan pada 24 jam pertama
setelah masuknya BCG (Bacillus Calmette Guerin) diikuti masuknya makrofag dalam jumlah
yang banyak. Kemokin C-C yang dinamai Monocyte Chemotactic Protein (MCP)-1, dijumpai
dalam jumlah yang besar pada cairan efusi TB. Macrophage Inflammatory Protein (MIP)-1 juga
dijumpai pada cairan pleura pasien-pasien efusi pleura TB. Pada pasien-pasien dimana fungsi
kekebalan tubuhnya menurun seperti pada pasien dengan AIDS, kadar monosit dan kemokin
monosit spesifik cairan pleura pasien efusi pleura TB lebih rendah. IFN- merupakan sitokin
pertama yang penting dan dijumpai dalam jumlah yang besar pada cairan efusi pleura TB.
Adanya IFN- ini sesuai dengan yang dilaporkan pada penelitian penelitian sebelumnya yang
memberikan kesan bahwa sel T helper tipe 1 (Th1) subset memperantarai limfosit dalam
23

memberi respon terhadap infeksi M.TB. Saat terdapat pembagian sel-sel CD4 dalam rongga
pleura pasien dengan efusi pleura TB, terdapat peningkatan jumlah produksi IFN-. Netralisasi
produksi IFN- menyebabkan penghapusan produksi kemokin lokal oleh sel-sel mesotel dan
penurunan pelepasan MIP-1 dan MCP-1.

2.5. Manifestasi Klinis


Kadang-kadang efusi pleura TB asimptomatik jika cairan efusinya masih sedikit dan
sering terdeteksi pada pemeriksaan radiologi yang dilakukan untuk tujuan tertentu.48 Namun
jika cairan efusi dalam jumlah sedang sampai banyak maka akan memberikan gejala dan
kelainan dari pemeriksaan fisik.Efusi pleura TB biasanya memberikan gambaran klinis yang
bervariasi berupa gejala respiratorik, seperti nyeri dada, batuk, sesak nafas. Gejala umum berupa
demam, keringat malam, nafsu makan menurun, penurunan berat badan, rasa lelah dan lemah
juga bisa dijumpai. Gejala yang paling sering dijumpai adalah batuk (~70%) biasanya tidak
berdahak, nyeri dada (~75%) biasanya nyeri dada pleuritik, demam sekitar 14% yang subfebris,
penurunan berat badan dan malaise. Walaupun TB merupakan suatu penyakit yang kronis akan
tetapi efusi pleura TB sering manifestasi klinisnya sebagai suatu penyakit yang akut.Sepertiga
penderita efusi pleura TB sebagai suatu penyakit akut yang gejalanya kurang dari 1 minggu.
Pada suatu penelitian terhadap 71 penderita ditemukan 31% mempunyai gejala kurang dari 1
minggu durasinya dan 62% dengan gejala kurang dari satu bulan. Umur penderita efusi pleura
TB lebih muda daripada penderita TB paru. Pada suatu penelitian yang dilakukan di Qatar dari
100 orang yang menderita usia rata-rata 31.5 tahun, sementara di daerah industri seperti US usia
ini cenderung lebih tua sekitar 49.9 tahun. Efusi pleura TB paling sering unilateral dan biasanya
efusi yang terjadi biasanya ringan sampai sedang dan jarang massif. Pada penelitian yang

24

dilakukan Valdes dkk pada tahun 1989 sampai 1997 terhadap 254 penderita efusi pleura TB
ditemukan jumlah penderita yang mengalami efusi pleura di sebelah kanan 55,9%, di sebelah kiri
42,5% dan bilateral efusi 1,6% penderita serta 81,5% penderita mengalami efusi pleura kurang
dari dua pertiga hemitoraks.

2.6. Diagnosis
Diagnosis efusi pleura TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan radiologi torak, pemeriksaan bakteri tahan asam sputum, cairan pleura dan jaringan
pleura, uji tuberkulin, biopsi pleura dan analisis cairan pleura.Diagnosis dapat juga ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan ADA, IFN-, dan PCR cairan pleura. Hasil darah perifer tidak
bermanfaat; kebanyakan pasien tidak mengalami lekositosis.30 Sekitar 20% kasus efusi pleura
TB menunjukkan gambaraninfiltrat pada foto toraks.
Kelainan yang dapat dijumpai pada pemeriksaan fisik sangat tergantung pada banyaknya
penumpukan cairan pleura yang terjadi. Pada inspeksi dada bisa dilihat kelainan berupa bentuk
dada yang tidak simetris, penonjolan pada dada yang terlibat sela iga melebar, pergerakan
tertinggal pada dada yang terlibat. Pada palpasi stem fremitus melemah sampai menghilang,
perkusi dijumpai redup pada daerah yang terlibat, dari auskultasi akan dijumpai suara pernafasan
vesikuler melemah sampai menghilang, suara gesekan pleura. Berdasarkan pemeriksaan
radiologis toraks menurut kriteria American Thoracic Society (ATS), TB paru dapat dibagi
menjadi 3 kelompok yaitu lesi minimal, lesi sedang, dan lesi luas. Sedangkan efusi pleura TB
pada pemeriksaan radiologis toraks posisi Posterior Anterior (PA) akan menunjukkan gambaran
konsolidasi homogen dan meniskus, dengan sudut kostophrenikus tumpul, pendorongan trakea
dan mediastinum ke sisi yang berlawanan.

25

2.6.1. Apusan dan Kultur Sputum, Cairan Pleura dan Jaringan Pleura
Diagnosis pasti dari efusi pleura TB dengan ditemukan basil TB pada sputum, cairan pleura dan
jaringan pleura.30 Pemeriksaan apusan cairan pleura secara Ziehl-Nielsen (ZN) walaupun cepat
dan tidak mahal akan tetapi sensitivitinya rendah sekitar 35%.10,43,44,51 Pemeriksaan apusan
secara ZN ini memerlukan konsentrasi basil 10.000/ml dan pada cairan pleura pertumbuhan basil
TB biasanya sejumlah kecil. Sedangkan pada kultur cairan pleura lebih sensitif yaitu 11-50%
karena pada kultur diperlukan 10-100 basil TB. Akan tetapi kultur memerlukan waktu yang lebih
lama yaitu sampai 6 minggu untuk menumbuhkan M.TB.

2.6.2. Biopsi Pleura


Biopsi pleura merupakan suatu tindakan invasif dan memerlukan suatu pengalaman dan
keahlian yang baik karena pada banyak kasus, pemeriksaan histopatologi dari biopsi spesimen
pleura sering negatif dan tidak spesifik.Akan tetapi, diagnosis histopatologis yang didapat dari
biopsi pleura tertutup dengan dijumpainya jaringan granulomatosa sekitar 60-80%.34 Sementara
pemeriksaan yang dilakukan oleh A. H. Diacon dkk sensitiviti histologis, kultur dan kombinasi
histologis dengan kultur secara biopsi jarum tertutup mencapai 66%, 48%, 79%
danpemeriksaann secara torakoskopi sensitivitinya 100, 76%, 100% dan spesifisitinya 100%.

2.6.3. Uji Tuberkulin


Dulu tes ini menjadi pemeriksaan diagnostik yang penting pada pasien yang diduga efusi
pleura TB. Test ini akan memberikan hasil yang positif setelah mengalami gejala > 8 minggu.

26

Pada penderita dengan status gangguan kekebalan tubuh dan status gizi buruk, tes ini akan
memberikan hasil yang negatif.

2.6.4. Analisis Cairan Pleura


Analisis cairan pleura ini bermanfaat dalam menegakkan diagnosis efusi pleura TB. Sering
kadar protein cairan pleura ini meningkat > 5 g/dl. Pada pasien kebanyakan hitung jenis sel darah
putih cairan pleura mengandung limfosit > 50%.50,54 Pada sebuah penelitian dengan 254 pasien
dengan efusi pleura TB, hanya 17 (6,7%) yang mengandung limfosit < 50% pada cairan
pleuranya. Pada pasiendengan gejala < 2 minggu, hitung jenis sel darah putih menunjukkan
PMN lebih banyak. Pada torakosentesis serial yang dilakukan, hitung jenis lekosit ini
menunjukkan adanya perubahan ke limfosit yang menonjol.30 Pada efusi pleura TB kadar LDH
cairan pleura > 200 U, kadar glukosa sering menurun.Analisis kimia lain memberi nilai yang
terbatas dalam menegakkan diagnostic efusi pleura TB.
Pada penelitian-penelitian dahulu dijumpai kadar glukosa cairan pleura yang menurun,
namun pada penelitian baru-baru ini menunjukkan kebanyakan pasien dengan efusi pleura TB
mempunyai kadar glukosa diatas 60 mg/dl. Kadar Ph cairan pleura yang rendah dapat kita
curigai suatu efusi pleura TB. Kadar CRP cairan pleura lebih tinggi pada efusi pleura TB
dibandingkan dengan efusi pleura eksudatif lainnya.

2.6.5. Adenosin Deaminase (ADA)


ADA pertama sekali ditemukan tahun 1970 sebagai penanda kanker paru dan pada tahun
1978 Piras dkk menemukan ADA sebagai penanda efusi pleura TB. ADA merupakan enzim yang
mengkatalis perubahan adenosine menjadi inosin. ADA merupakan suatu enzim Limfosit T yang

27

dominan, dan aktivitas plasmanya tinggi pada penyakit dimana imuniti seluler dirangsang. Ada
beberapa isomer ADA dimana yang menonjol adalah ADA 1 dan ADA 2. Dimana ADA 1
ditemukan pada semua sel dan ADA 2 mencerminkan aktivitas dari monosit atau makrofag.
Penderita efusi pleura TB lebih dominan ADA Gambaran yang menunjukkan peningkatan kadar
ADA bermanfaat dalam menentukan diagnosis efusi pleura TB.
Beberapa peneliti menggunakan berbagai tingkat cut-off untuk ADA efusi pleura TB antara
30-70 U/l. Pada kadar ADA cairan pleura yang lebih tinggi cenderung pasien efusi pleura TB.
Pada studi metaanalisis yang meninjau 40 artikel menyatakan bahwa ADA mempunyai nilai
spesifisiti dan sensitivitinya mencapai 92% dalam menegakkan diagnosis efusi pleura
TB.Kebanyakan pasien dengan efusi pleura TB mempunyai kadar ADA > 40 U/l. Pada pasien
dengan gangguan kekebalan tubuh dengan efusi pleura TB kadar ini lebih tinggi lagi. Efusi
pleura limfositik yang bukan disebabkan oleh TB biasanya mengandung kadar ADA < 40 U/l.34
Namun penggunaan ini juga tergantung pada prevalensi TB Pada populasi dengan prevalensi
efusi pleura TB yang rendah spesifisiti ADA dapat sangat rendah. Sehingga pada daerah dengan
prevalensi rendah kemungkinan tinggi nilai positif palsu yang mana dapat menimbulkan
penanganan yang berlebihan dan keterlambatan diagnosis penyakit lain seperti kanker.

2.6.6. Interferon gamma (IFN-)


Tes lain yang bermanfaat dalam mendukung diagnosis efusi pleura TB adalah pemeriksaan
kadar IFN- cairan pleura. IFN- merupakan suatu regulator imun yang penting dimana dapat
berfungsi sebagai antivirus dan sitotoksik. IFN- diproduksi oleh limfosit T CD4+ dari pasienpasien dengan efusi pleura TB.

28

Produksi IFN- muncul sebagai mekanisme pertahanan yang bermanfaat. IFN-


membantu polymyristate acetate merangsang produksi hidrogen peroksida dalam makrofag,
dimana ini memfasilitasi aktifitas eliminasi parasit intraselular. Limfokin ini juga menghambat
pertumbuhan mikobakteria dalam monosit manusia.Dari studi yang telah dilakukan Villena dkk
yang mengukur kadar IFN- cairan pleura dari 595 pasien, dimana 82 kasus penyebabnya adalah
TB, dan dilaporkan bahwa level cut-off 3.7 IU/ml; dengan nilai sensitiviti 98% dan spesifisiti
98% dalam menegakkan diagnosis efusi pleura TB. Valdes dkk juga melaporkan pada penelitian
yang dilakukan terhadap 145 pasien menunjukkan bahwa 74% dengan efusi pleura TB
mempunyai kadar IFN- > 200 pg/ml. Pada penelitian lain dijumpai pasien-pasien dengan
empiema sering sekali kadar IFN- cairan pleura ini meningkat.16 Pada penelitian yang
dilakukan Ekanita di Jakarta didapati peningkatan kadar IFN- yang cukup bermakna pada
pasien efusi pleura TB dimana kadarnya rata-rata 1,63 0,59 IU/ml.26 Greco dkk meninjau
kembali semua studi dari tahun1978 - November 2000.
Studi ini mengikutsertakan 4.738 pasien dimana kadar ADA cairan pleura diukur dan
1.189 pasien dengan kadar IFN- yang diukur. Penelitian ini melaporkan bahwa nilai sensitiviti
dan spesifisiti untuk ADA adalah 93% dan untuk IFN- adalah 96%.

2.6.7. Polymerase Chain Reaction (PCR)


Ini merupakan tehnik amplifikasi DNA yang dengan cepat mendeteksi M.TB. Dewasa
ini telah dikembangkan beberapa metode untuk amplifikasi asam nukleat in vitro. Dimana tujuan
utama dari teknik ini adalah untuk memperbaiki sensitiviti uji yang berdasarkan pada asam
nukleat dan untuk menyederhanakan prosedur kerjanya melalui automatisasi dan bentuk deteksi
non-isotopik.

29

PCR ini merupakan salah satu tehnik pemeriksaan yang digunakan dalam penegakan
diagnosis efusi pleura TB karena metode konvensional masih rendah sensitivitinya. Sensitiviti
PCR pada efusi pleura TB berkisar 20-81% dan spesitifiti nya berkisar 78-100%. Penelitian yang
dilakukan di Spanyol menunjukkan bahwa PCR mempunyai sensitiviti 81% dan spesifisiti
98%.37 Penelitian Babu dkk di India tahun 1997 terhadap 20 penderita efusi pleura TB, PCR
mempunyai sensitiviti 70% dan spesifisiti 100%.51 Penelitian yang dilakukan Bambang dkk
terhadap 62 pasien yang diduga efusi pleura TB pada tahun 2004 dijumpai sensitiviti PCR
53,19% dan spesifisiti 93,33%.59 Pada tahun 2006 Amni melakukan penelitian mengenai
pemeriksaan PCR dalam menegakkan diagnosis efusi pleura TB terhadap 20 orang penderita
efusi pleura TB yang ada di Medan; dimana disimpulkan bahwa PCR mempunyai nilai sensitiviti
71,4% dan 100%.

30

BAB III
PEMBAHASAN

Menurut anamnesis yang dilakukan pada pasien, keluhan sesak nafas yang di rasa 2 minggu
SMRS. Sesak dirasakan makin parah apabila berbaring. Selain sesak pasien juga mengeluh batuk
berdahak 8 bulan, dahak berwarna kuning kehijauan dan kadang disertai darah. Pasien
mengeluh berat badan nya semakin berkurang, demam (-), mual, muntah sudah 5x.
2 jam SMRS pasien merasa sesak makin parah, sehingga pasien dilarikan ke Rumah sakit, jika
berbaring dan beraktivitas sesak makin parah. Psien dianjurkan untuk di rawat inap. Pasien tidak
ada riwayat Sebelum nya pasien tidak pernah punya penyakit seprti ini. Pasien tidak mempunyai
riwayat penyakit kronik apapun. Dari riwayat keluarga ibu pasien menderita batuk-batuk juga,
dan belum pernah berobat, tidak ada riwayat hipertesi, DM dan hiperkolesterolemia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkanTD : 130/90 mmhg, HR : 120x/menit, RR: 44x/menit S:
37,8C, Cor : BJ 1&2 reguler, M (-), G(-), Pulmo : Vesikuler +/+, R+/+, Wh -/-, Ekstremitas :
akral hangat, edema Abdomen : BU (+), NT(-), cembung, undulasi (-), hepar dan lien tidak
teraba, Mata : CA -/-, SI -/-. Pada pemeriksaan BTA I (-) BTA II (-) BTA III (-). Dilakukan
pemeriksaan radiologi didapatkan ada nya efusi pleura pada sisi kanan paru dan ada nya KP
(koch pulmoner) yang menandakan ada nya infeksi kuman TBC dan telah terjadi efusi pleura
yang menyebabkan pasien merasa sesak. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan penunjang
yang dilakukan pasien didiagnosis menderita efusi pleura TB. Efusi pleura TB terjadi akibat

31

pecahnya fokus perkijuan subpleura paru sehingga bahan perkijuan dan kuman M. TB masuk ke
rongga pleura dan terjadi interaksi dengan Limfosit T yang akan menghasilkan suatu reaksi
hipersensitiviti tipe lambat. Limfosit akan melepaskan limfokin yang akan menyebabkan
peningkatan permeabilitas dari kapiler pleura terhadap protein yang akan menghasilkan
akumulasi cairan pleura.
Penatalaksanaa pada pasien ini diberikan IVFD RL : D5% = 1:1, O2 2L/menit, ceftriaxone
1x2gr, rimfamisin 1x300mg, INH 1x300mg, etambutol 1x1000mg, curcuma 3x1, inhalasi
ventolin 3x1, terapi OAT diberikan kepada pasien ini guna membunuh kuman M.tb yang
bersarang di paru-paru pasien, pasien juga diberikan terapi ventolininhalasi guna untuk
mengurangi sesak yang pasien rasakan, karena ventolin merupakan bronkodilator, pasien juga
diberikan curcuma yang berguna sebagai hepatoprotektor, seperti yang kita ketahui efek samping
OAT bisa menyebabkan kerusakan hati dan juga curcuma digunakan untuk meningkatkan nafsu
makan pasien.

32

DAFTAR PUSTAKA
Baliga, Ragavendra. Hough, Rachel. Haq, Iftikhar. Crash course internalmedicine. United
Kingdom: Elsevier Mosby. 2007.4.
Eastman et all. Getting started in clinical radiology from image to
diagnosis.Germany:Thieme. 200610.
Fauci, Anthony S. Kasper, Dennis L. Longo, Dan L. Braunwald, Hauser, EugeneStephen L.
Jameson, J. Larry. Loscalzo, Joseph. Chapter 158 Tuberculosis in:Harrison principle of internal
medicine 17th edition. USA: Mc Graw Hill. 20082.
Fitzpatrick, Lisa K. Braden, Christopher. Chapter 294 Tuberculosis in: Humes,David. Dupont,
Herbert L. Kelley textbook of medicine USA: LippincottWilliams & Wilkins 2000.
Ganguly KC, Hiron MM, Mridha ZU, Biswas M, Hassan MK, Saha SC,Rahman MM.
Comparison of sputum induction with bronchoalveolar lavage inthe diagnosis of smear negative
pulmonary tuberculosis. Mymensingh Med J.2008 Jul;17(2):115-23
Iseman, Michael D. Chapter 345 Tuberculosis in: Goldman, Lee. Ausiello,Dennis. Cecil
medicine 23rd edition. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2008.
Rao, C. Kosen, S. Bisara, D. Usman, Y. Adair, T. Djaja, S. Suhardi, S. Soemantri,S. Lopez, AD.
Tuberculosis mortality differentials in Indonesia during 2007-2008: evidence for health policy
and monitoring. Int J Tuberc Lung Dis.2011 Dec;15(12):1608-14.
World Health Organization. World Global Tuberculosis Control 2011. GenevaWorld Health
Organization. 20116.
World Health Organization. Multi drug and extensively drug 2010 global reporton surveillance
and response. Geneva: World Health Organization 2011.
World Health Organization. World Global Tuberculosis Control 2010. GenevaWorld Health
Organization. 2010
Waite, Stephen. Jeudy, Jean. White, Charles S. Chapter 12. Acute lunginfections in normal and
immunocompromised hosts in : Mirvis, Stuart E.Shanmuganathan, Kathirkamanathan.
Emergency chest imaging. Canada:Elsevier 2006.
33

LAPORAN KASUS
TB PARU DENGAN EFUSI PLEURA

DISUSUN OLEH:
DYANA PASTRIA UTAMI (1102010084)
RAHMI RAHMA ANDINI (1102010229)
SYAHIRAH SHAHAB (1102010274)

PEMBIMBING :
Dr. ENDAH ARYA ASTUTI Sp.P

34

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT


MOH. RIDWAN MEURAKSA JAKARTA 2014

35

You might also like