You are on page 1of 19

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Lanjut usia adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua

orang yang dikarunia usia panjang, terjadi tidak bisa dihindari oleh siapapun,
namun manusia dapat berupaya untuk menghambat kejadiannya (Arya, 2008).
Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi
fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan
itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun
kesehatan jiwa secara khusus pada lansia (Kuntjoro, 2002).
Lansia tidak hanya meliputi aspek biologis, tetapi juga psikologis dan
sosial. Lansia banyak menghadapi berbagai masalah kesehatan yang perlu
penanganan segera dan terintegrasi (Akhmadi, 2009).Menurut Laksamana
(1983:77), perubahan yang terjadi pada lansia dapat disebut sebagai perubahan
`senesens` dan perubahan 'senilitas'. Perubahan `senesens' adalah perubahanperubahan normal dan fisiologik akibat usia lanjut. Perubahan 'senilitas' adalah
perubahan-perubahan patologik permanent dan disertai dengan makin
memburuknya kondisi badan pada usia lanjut. Sementara itu, perubahan yang
dihadapi lansia pada umumnya adalah pada bidang klinik, kesehatan jiwa dan
problema bidang sosio ekonomi. Oleh karena itu lansia adalah kelompok dengan
resiko tinggi terhadap problema fisik dan mental.
Lansia sebagai tahap akhir dari siklus kehidupan manusia, sering diwarnai
dengan kondisi hidup yang tidak sesuai dengan harapan. Oleh karena itu dalam
pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lansia sangat perlu ditekankan
pendekatan yang dapat mencakup sehat fisik, psikologis, spiritual dan sosial. Hal
tersebut karena pendekatan dari satu aspek saja tidak akan menunjang pelayanan
kesehatan pada lansia yang membutuhkan suatu pelayanan yang komprehensif.

1.2

Rumusan Masalah

Bagaimanakah asuhan keperawatan lansia yang mengalami gangguan psikososial


?
1.3
1.3.1

Tujuan
Tujuan Umum
Mengetahui dan mempelajari tentang asuhan keperawatan lansia yang
mengalami gangguan psikososial.

1.3.2

Tujuan Khusus

Mengetahui tentang Konsep Teori Lansia


Mengetahui tentang Teori Psikososial Lansia
Mengetahui tentang Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan

Psikososial Lansia
Mengetahui tentang Perubahan Psikososial pada Lansia
Mengetahui tentang Macam-macam Masalah Keperawatan

Psikososial
Mengetahui tentang Tahap-tahap Asuhan Keperawatan Lansia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Konsep Teori Lansia

1.

Batasan Lansia

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Lanjut Usia meliputi:


a.

Usia pertengahan (Middle Age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun.

b.

Lanjut usia (Elderly) ialah kelompok usia antara 60 dan 74 tahun.

c.

Lanjut usia tua (Old) ialah kelompok usia antara 75 dan 90 tahun.

d.

Usia sangat tua (Very Old) ialah kelompok di atas usia 90 tahun.

2.

Proses Menua
Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti

seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa kanak-kanak, masa
dewasa dan masa tua (Nugroho, 1992). Tiga tahapan ini berbeda baik secara
biologis maupun secara psikologis. Memasuki masa tua berarti mengalami
kemunduran secara fisik maupun secara psikis. Kemunduran fisik ditandai dengan
kulit yang mengendor, rambut putih, penurunan pendengaran, penglihatan
menurun, gerakan lambat, kelainan berbagai fungsi organ vital, sensitivitas
emosional meningkat.
2.2

Teori Psikososial Lansia

1.

Definisi
Perkembangan psikososial lanjut usia adalah tercapainya integritas diri

yang utuh. Pemahaman terhadap makna hidup secara keseluruhan membuat lansia
berusaha menuntun generasi berikut (anak dan cucunya) berdasarkan sudut
pandangnya. Lansia yang tidak mencapai integritas diri akan merasa putus asa dan
menyesali masa lalunya karena tidak merasakan hidupnya bermakna (Anonim,
2006). Sedangkan menurut Erikson yang dikutip oleh Arya (2010) perubahan
psikososial lansia adalah perubahan yang meliputi pencapaian keintiman,
generatif dan integritas yang utuh.

2.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Psikososial Lansia


Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan

psikososial lansia menurut Kuntjoro (2002), antara lain:


a. Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi
adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple pathology),
misalnya tenaga berkurang, energi menurun, kulit makin keriput, gigi makin
rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik seseorang yang
sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal
ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik
maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan
ketergantungan kepada orang lain. Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap
menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhankebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak
mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir
fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik,
misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.
b. Penurunan Fungsi dan Potensial Seksual
c. Penurunan Fungsi dan Potensial Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan
dengan berbagai gangguan fisik seperti:
1)
2)

Gangguan jantung
Gangguan metabolisme, misal diabetes mellitus
3)

Vaginitis

4)

Baru selesai operasi : misalnya prostatektomi

5)

Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan

sangat kurang
6)

Penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid,

tranquilizer.
Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain:
a)

Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia.

b)

Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat

oleh

tradisi dan budaya .

c)

Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.

d)

Pasangan hidup telah meninggal

e)

Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan

jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dsb.


c. Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami
penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar,
persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan
reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik
(konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti
gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang
cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami
perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia.
Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian
lansia sebagai berikut:
1) Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini tidak
banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
2) Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada
kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia
tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya
3) Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya
sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu
harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup
meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika
tidak segera bangkit dari kedukaannya.
4) Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah
memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan

yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan


kondisi ekonominya menjadi morat-marit.
5) Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini
umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain
atau cenderung membuat susah dirinya.
d.

Perubahan Yang Berkaitan Dengan Pekerjaan


Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan

ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari
tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun
sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran,
kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih
tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada point tiga
di atas.
Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental setelah
lansia? Jawabannya sangat tergantung pada sikap mental individu dalam
menghadapi masa pensiun. Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut
kehilangan, ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua dan ada juga yang
seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-masing sikap tersebut
sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu, baik positif maupun
negatif. Dampak positif lebih menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan
mengganggu kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif
sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang benar-benar diisi dengan kegiatankegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan hanya diberi waktu untuk masuk kerja
atau tidak dengan memperoleh gaji penuh. Persiapan tersebut dilakukan secara
berencana, terorganisasi dan terarah bagi masing-masing orang yang akan
pensiun. Jika perlu dilakukan assessment untuk menentukan arah minatnya agar
tetap memiliki kegiatan yang jelas dan positif. Untuk merencanakan kegiatan
setelah pensiun dan memasuki masa lansia dapat dilakukan pelatihan yang
sifatnya memantapkan arah minatnya masing-masing. Misalnya cara
berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang sangat banyak jenis dan
macamnya. Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat

hasilnya sehingga menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping


pekerjaan yang selama ini ditekuninya, masih ada alternatif lain yang cukup
menjanjikan dalam menghadapi masa tua, sehingga lansia tidak membayangkan
bahwa setelah pensiun mereka menjadi tidak berguna, menganggur, penghasilan
berkurang dan sebagainya.
e. Perubahan Dalam Peran Sosial Di Masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik
dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada
lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang,
penglihatan kabur dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal
itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas,
selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau
diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk
berkomunikasi dengan orang lain dan kdang-kadang terus muncul perilaku regresi
seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak
berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga
perilakunya seperti anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia
yang memiliki keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat
beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan
kerabat umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan
pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya keluarga atau sanak saudara
karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak punya anak
dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri,
seringkali menjadi terlantar. Disinilah pentingnya adanya Panti Werdha sebagai
tempat untuk pemeliharaan dan perawatan bagi lansia di samping sebagai long
stay rehabilitation yang tetap memelihara kehidupan bermasyarakat. Disisi lain
perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa hidup dan kehidupan dalam
lingkungan sosial Panti Werdha adalah lebih baik dari pada hidup sendirian dalam
masyarakat sebagai seorang lansia.

3.

Perubahan Psikososial yang terjadi pada Lansia


Ada beberapa macam perubahan psikososial yang terjadi pada lansia

menurut Anonim (2006) antara lain :


1) Perubahan fungsi sosial
Perubahan yang dialami oleh lansia yang berhubungan dengan aktivitas-aktivitas
sosial pada tahap sebelumnya baik itu dengan lingkungan keluarga atau
masyarakat luas.
2) Perubahan peran sesuai dengan tugas perkembangan
Kesiapan lansia untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap tugas
perkembangan usia lanjut dipengaruhi oleh proses tumbuh kembang pada tahap
sebelumnya. Apabila pada tahap perkembangan sebelumnya melakukan kegiatan
sehari-hari dengan teratur dan baik serta membina hubungan yang serasi dengan
orang di sekitarnya, maka pada usia lanjut ia akan tetap melakukan kegiatan yang
biasa ia lakukan pada tahap perkembangan sebelumnya.
3) Perubahan tingkat depresi
Tingkat depresi adalah kemampuan lansia dalam menjalani hidup dengan tenang,
damai, serta menikmati masa pensiun bersama anak dan cucu tercinta dengan
penuh kasih sayang.
4) Perubahan stabilitas emosi
Kemampuan orang yang berusia lanjut untuk menghadapi tekanan atau konflik
akibat perubahan perubahan fisik, maupun sosial psikologis yang dialaminya
dan kemampuan untuk mencapai keselarasan antara tuntutan dari dalam diri
dengan tuntutan dari lingkungan, yang disertai dengan kemampuan
mengembangkan mekanisme psikologis yang tepat sehingga dapat memenuhi
kebutuhan kebutuhan dirinya tanpa menimbulkan masalah baru.
4.

Macam-macam Masalah Keperawatan Psikologi dan Psikososial

a. Depresi
1. Pengertian
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk

perubahan pada pola tidur dan nafsu rnakan, psikomotor, konsentrasi, keielahan,
rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kap'an dan Sadock,
1998).
2. Tanda Dan Gejala Depresi
Perilaku yang berhubungan dengan depresi menurut Kelliat (1996) meliputi
beberapa aspek seperti:
a) Afektif
Kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan, penyangkalan perasaan, kemurungan, rasa
bersalah, ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian, harga diri rendah, kesedihan.
b) Fisiologik
Nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung, konstipasi, pusing, keletihan,
gangguan pencernaan, insomnia, perubahan haid, makan berlebihan/kurang,
gangguan tidur, dan perubahan berat badan.
c) Kognitif
Ambivalensi, kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan minat
dan motivasi, menyalahkan diri sendiri, mencela diri sendiri, pikiran yang
destruktif tentang diri sendiri, pesimis, ketidakpastian.
d) Perilaku
Agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat aktivitas, kecanduan obat,
intoleransi, mudah tersinggung, kurang spontanitas, sangat tergantung, kebersihan
diri yang kurang, isolasi sosial, mudah menangis, dan menarik diri.
b. Berduka Cita
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu
yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau
keseluruhan. Periode duka cita merupakan suatu periode yang sangat rawan bagi
seorang penderita lanjut usia. Meninggalnya pasangan hidup, seorang teman dekat
atau bahkan seekor hewan yang sangat disanyangi bias mendadak memutuskan
ketahanan kejiwaan yang sudah rapuh dari seorang lansia, yang selanjutnya akan
memicu terjadinya gangguan fisik dn kesehatannya. Periode 2 tahun pertama

setelah ditinggal mati pasangan hidup atau teman dekat tersebut merupakan
periode yang sangat rawan. Pada periode ini orang tersebut justru harus dibiarkan
untuk dapat mengekspresikan dukacita tersebut. Sering diawali dengan perasaan
kosong, kemudian diikuti dengan menangis dan kemudian suatu periode depresi.
Depresi akibat duka-cita pada usia lanjut biasanya tidak bersifat self limiting.
Dokter atau petugas kesehatan harus memberi kesempatan pada episode tersebut
berlalu. Diperlukan pendamping yang dengan penuh empati mendengarkan
keluhan, memberikan hiburan dimana perlu dan tidak membiarkan tiap episode
berkepanjangan dan berjalan terlalu berat. Apabila upaya diatas tidak berhasil,
bahkan timbul depresi berat, konsultasi psikiatrik mungkin diperlukan, dengan
kemungkinan diberikan obat anti depresan.
c. Kesepian
Kesepian atau loneliness, biasanya dialami oleh seseorang lanjut usia pada
saat meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya sendiri
saat itu juga mengalami berbagai penurunan status kesehatan, misalnya menderita
berbagai penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik,
terutama gangguan pendengaran (Brocklehurts-Allen, 1987).
Harus dibedakan antara kesepian dengan hidup sendiri. Banyak di antara
lansia hidup sendiri tidak mengalami kesepian, karena aktivitas social yang masih
tinggi, tetapi dilain pihak terdapat lansia yang walaupun hidup di lingkungan yang
beranggotakan cukup banyak, tohh mengalami kesepian.
Pada penderita kesepian ini peran dari organisasi social sangat berarti,
karena bias bertindak menghibur, memberikan motivasi untuk lebih meningkatkan
peran social penderita, di samping memberikan bantuan pengerjaan pekerjaan di
rumah bila memang terdapat disabilitas penderita dalam hal-hal tersebut.
d. Dementia
1. Pengertian
Demensia dapat diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang
dapat mempengaruhi aktifitas sehari-hari. Grayson (2004) menyebutkan bahwa

demensia bukanlah sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang


disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu sehingga terjadi perubahan
kepribadian dan tingkahlaku.
2. Karakteristik Demensia
Menurut John (1994) bahwa lansia yang mengalami demensia juga akan
mengalami keadaan yang sama seperti orang depresi yaitu akan mengalami deficit
aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS), gejala yang sering menyertai demensia
adalah :
A.

Gejala Awal
Kinerja mental menurun
Fatique
Mudah lupa
Gagal dalam tugas

B.

Gejala Lanjut
Gangguan kognitif
Gangguan afektif
Gangguan perilaku
C. Gejala Umum
Mudah lupa
Aktivitas sehari-hari terganggu
Disorientasi
Cepat marah
Kurang konsentrasi
Resti jatuh

C. Tahap-tahap Asuhan Keperawatan Lansia


1. Pengkajian
Proses pengumpulan data untuk mengidentifikasi massalah keperawatan meliputi
aspek
a.

b.

Fisik
Wawancara
Pemeriksaan fisik: Head to Toe dan system tubuh

Psikologis

Pemeriksaan psikologis dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan Status


Mental.
Pemeriksaan status mental meliputi bagaimana penderita berpikir (proses
pikir), merasakan dan bertingkah laku selama pemeriksaan. Keadaan umum
penderita adalah termasuk penampilan, aktivitas psikomotorik, sikap terhadap
pemeriksa dan aktifitas bicara.
Gangguan motorik, antara lain gaya berjalan menyeret, posisi tubuh
membungkuk, gerakan jari seperti memilin pil, tremor dan asimetri tubuh perlu
dicatat (Kaplan et al, 1997). Banyak penderita depresi mungkin lambat dalam
bicara dan gerakannya. Wajah seperti topeng terdapat pada penderita penyakit
Parkinson (Kaplan et al, 1997; Hamilton, 1985).
Bicara penderita dalam keadaan teragitasi dan cemas mungkin tertekan.
Keluar air mata dan menangis ditemukan pada gangguan depresi dan gangguan
kognitif, terutama jika penderita merasa frustasi karena tidak mampu menjawab
pertanyaan pemeriksa (Weinberg, 1995; Kaplan et al, 1997; Hamilton, 1985).
Adanya alat bantu dengar atau indikasi lain bahwa penderita menderita gangguan
pendegaran, misalnya selalu minta pertanyaan diulang, harus dicatat (Gunadi,
1984).
Sikap penderita pada pemeriksa untuk bekerjasama, curiga, bertahan dan
tak berterima kasih dapat memberi petunjuk tentang kemungkinan adanya reaksi
transferensi. Penderita lanjut usia dapat bereaksi pada dokter muda seolah-olah
dokter adalah seorang tokoh yang lebih tua, tidak peduli, terhadap adanya
perbedaan usia (Weinberg, 1995; Laitman, 1990).
1. Gangguan Persepsi.
Halusinasi dan ilusi pada lanjut usia merupakan fenomena yang disebabkan
oleh penurunan ketajaman sensorik. Pemeriksa harus mencatat apakah penderita
mengalami kebingungan terhadap waktu atau tempat selama periode halusinasi.
Adanya kebingungan menyatakan suatu kindisi organic. Halusinasi dapat
disebabkan oleh tumor otak dan patologi fokal yang lain. Pemeriksaan yang lebih
lanjut siperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti (Hamilton, 1985).
2. Fungsi Visuospasial.

Suatu penurunan kapasitas visuospasial adalah normal dengan lanjutnya


usia. Meminta penderita untuk mencontoh gambar atau menggambar mungkin
membantu dalam penilaian. Pemeriksaan neuropsikologis harus dilaksanakan jika
fungsi visuospasial sangat terganggu (Kaplan et al, 1997; Hamilton, 1985).
3. Proses Berpikir.
Gangguan pada progesi pikiran adalah neologisme, gado-gado kata,
sirkumstansialitas, asosiasi longgar, asosiasi bunyi, flight of ideas, dan retardasi.
Hilangnya kemampuan untuk dapat mengerti pikiran abstrak mungkin merupakan
tanda awal dementia.
4. Isi pikiran harus diperiksa adanya obsesi, preokupasi somatic, kompulsi atau
waham.
Gagasan tentang bunuh diri atau pembunuhan harus dicari. Pemeriksa harus
menetukan apakah terdapat waham dan bagaimana waham tersebut
mempengaruhi kehidupan penderita. Waham mungkin merupakan alas an untuk
dirawat. Pasien yang sulit mendengar mungkin secara keliru diklasifikasikan
sebagai paranoid atau pencuriga (Weinberg, 1995; Kaplan et al, 1997; Hamilton,
1985; Laitman, 1990).
5. Sensorium dan Kognisi.
Sensorium mempermasalahkan fungsi dari indra tertentu, sedangkan kognisi
mempermasalahkan informasi dan intelektual (Hamilton, 1985; Weinberg, 1995).
6. Kesadaran.
Indicator yang peka terhadap disfungsi otak adalah adanya perubahan
kesadaran , adanya fluktuasi tingkat kesadaran atau tampak letargik. Pada keadaan
yang berat penderita dalam keadaan somnolen atau stupor (Kaplan et al, 1997;
Hamilton, 1985).
7. Orientasi.
Gangguan orientasi terhadap waktu, tempat dan orang berhubungan dengan
gangguan kognisi. Gangguan orientasi sering ditemukan pada gangguan kognitif,
gangguan kecemasan,. Gangguan buatan, gangguan konversi dan gangguan
kepribadian, terutama selama periode stress fisik atau lingkungan yang tidak
mendukung (Kaplan et al, 1997; Hamilton, 1985). Pemeriksa harus menguji

orientasi terhadap tempat dengan meminta penderita menggambar lokasi saat ini.
Orientasi terhadap orang mungkin dinilai dengan dua cara: apakah penderita,
mengenali namanya sendiri, dan apakah juga mengenali perawat dan dokter.
Orientasi waktu diuji dengan menanyakan tanggal, tahun, bulan dan hari.
8. Daya Ingat.
Daya ingat dinilai dalam hal daya ingat jangka panjang, pendek dan segera.
Tes yang siberikan pada penderita dengan memberikan angka enam digit dan
penderita diminta untuk mengulangi maju dan mundur. Penderita dengan daya
ingat yang tak terganggu biasanya dapat mengingat enam angka maju dan lima
angka mundur. Daya ingat jangka panjang diuji dengan menanyakan tempat dan
tanggal lahir, nama dan hari ulang tahun anak-anak penderita. Daya ingat jangka
pendek dapat diperiksa dengan beberapa cara, misalnya menyebut tiga benda pada
awal wawancara dan meminta penderita mengingat kembali benda tersebut
diakhir wawancara. Atau dengan mengulangi cerita tadi secara tepat/persis
(Hamilton, 1985).
9. Fungsi Intelektual, Konsentrasi, Informasi dan Kecerdasan.
Sejumlah fungsi intelektual mungkin diajukan untuk menilai pengetahuan
umum dan fungsi intelektual. Menghitung dapat diujikan dengan meminta
penderita untuk mengurangi 7 angka dari 100 dan mengurangi 7 lagi dari hasil
akhir dan seterusnya samapi dicapai angka 2. Pemeriksa mencatat respons sebagai
dasar untuk pengujian selanjutnya. Pemeriksa juga dapat meminta penderita untuk
menghitung mundur dari 20 ke 1, dan mencatat waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan pemeriksaan tersebut (Kaplan et al, 1997; Hamilton, 1985).
10. Pengetahuan umum adalah yang berhubungan dengan kecerdasan.
Penderita ditanya nama presiden Indonesia, nama kota besar di Indonesia.
Pemeriksa harus memperhitungkan tingkat pendidikan penderitam status social
ekonomi dan pengalaman hidup penderita dalam menilai hasil dari beberapa
pengujian tersebut.
11. Membaca dan Menulis.
Penting bagi klinisi untuk memeriksa kemampuan membaca dan menulis
dan menetukan apakah penderita mempunyai deficit bicara khusus. Pemeriksa

dapat meminta penderita membaca kisah singkat dengan suara keras atau menulis
pada penderita. Apakah menulis dengan tangan kiri atau kanan juga perlu dicatat.
(Hamilton, 1985).
12. Pertimbangan.
Pertimbangan (judgement) adalah kapasitas untuk bertindak sesuai dengan
berbagai situasi. Apakah penderita menunjukkan gangguan pertimbangan, apa
yang akan dilakukan oleh penderita, misalnya jika ia menemukan surat tertutup,
berperangko dan ada alamatnya di jalan anu? Apa yang akan dilakukan oleh
penderita bila ia mencium bau asap di sebuah gedung bioskop? Apakah penderita
mampu mengadakan pembedaan? Apakah penderita mampu membedakan antara
seorang kerdil dan seorang anak? Mengapa seorang memerlukan KTP atau surat
kawin? Dan seterusnya.
c.

Spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya (Maslow,

1970) Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaanya , hal ini terlihat dalam
berfikir dan bertindak dalam sehari-hari (Murray dan Zentner, 1970). Perawat
harus bias memberikan ketenangan dan kepuasan batin dalam hubungannya
dengan Tuhan atau agama yang dianutinya dalam keadaan sakit atau mendeteksi
kematian. Sehubungan dengan pendekatan spiritual bagi klien lanjut usia yang
menghadapi kematian, DR. Tony Styobuhi mengemukakan bahwa maut sering
kali menggugah rasa takut. Rasa semacam ini didasari oleh berbagai macam
faktor, seperti ketidakpastian akan pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit dan
kegelisahan ngumpul lagi dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Dalam
menghadapi kematian setiap klien lanjut usia akan memberika reaksi yang
berbeda, tergantung dari kepribadian dan cara menghadapi hidup ini. Adapun
kegelisahan yang timbul diakibatkan oleh persoalan keluarga perawat harus dapat
menyakinkan lanjut usia bahwa kalaupun keluarga tadi di tinggalkan, masih ada
orang lain yang mengurus mereka. Sedangkan rasa bersalah selalu menghantui
pikiran lanjut usia. Umumny pada waktu kematian akan dating agama atau
kepercayaan seseorang merupakan factor yang penting sekali. Pada waktu inilah
kelahiran seorang iman sangat perlu untuk melapangkan dada klien lanjut usia.

Dengan demikian pendekatan perawat pada klien lanjut usia bukan hanya
terhadap fisik saja, melainkan perawat lebih dituntut menemukan pribadi klien
lanjut usia melalui agama mereka.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Isolasi sosial berhubungan dengan menarik diri
Tujuan :
1) Pasien mampu mengekspresikan perasaannya
2.) Pasien mampu kembali bersosialisasi dengan lingkungan
Intervensi
Bina hubungan saling percaya
Bantu klien menguraikan kelebihan dan kekurangan interpersonal.
Bantu klien membina kembali hubungan interpersonal yang positf / adaptif dan

memberikan kepuasan timbal balik :

a)

Beri penguatan dan kritikan yang positif

b)

Dengarkan semua kata-kata klien dan jangan menyela saat klien bertanya.

c)

Berikan penghargaan saat klien dapat berprilaku yang positif

d)

Hindari ketergantungan klien


Libatkan dalam kegiatan ruangan.
Ciptakan lingkungan terapeutik
Libatkan keluarga/system pendukung untuk membantu mengatasi masalah

klien.
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan konsep diri
dan depresi
Tujuan :
1)

Pasien mampu berpartisipasi dalam memutuskan perawatan

dirinya
2) Pasien mampu melakukan kegiatan dalam menyelesaikan masalahnya

Intervensi
Bicara secara langsung dengan klien, hargai individu dan ruang pribadinya jika
tepat

Beri kesempatan terstruktur bagi klien untuk membuat pilihan perawatan

Beri kesempatan bagi pasien untuk bertanggung jawab terhadap


perawatan dirinya
Beri kesempatan menetapkan tujuan perawatan dirinya. Contoh : minta

pasien

memilih apakah mau mandi, sikat gigi atau gunting kuku.

Beri kesempatan untuk menetapkan aktifitas perawatan diri untuk mencapai


tujuan. Contoh : Jika pasien memilih mandi, bantu pasien untuk menetapkan
aktifitas untuk mandi (bawa sabun, handuk, pakaian bersih)

Berikan pujian jika pasien dapat melakukan kegiatannya.

Tanyakan perasaan pasien jika mampu melakukan kegiatannya.

Sepakati jadwal pelaksanaan kegiatan tersebut secara teratur.

Bersama keluarga memilih kemampuan yang bisa dilakukan pasien saat ini

Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian terhadap kemampuan yang masih

dimiliki pasien.
Anjurkan keluarga untuk membantu pasien melakukan kegiatan sesuai

kemampuan yang dimiliki.

Anjurkan keluarga memberikan pujian jika pasien melakukan kegiatan sesuai


dengan jadwal kegiatan yang sudah dibuat.
c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ansietas
Tujuan :
1) Pasien mampu mengidentifikasi penyebab gangguan pola tidur
2) Pasien mampu memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur
Intervensi

Identifikasi gangguan dan variasi tidur yang dialami dari pola yang biasanya

Anjurkan latihan relaksasi, seperti musik lembut sebelum tidur

Kurangi tidur pada siang hari

Minum air hangat/susu hangat sebelum tidur

Hindarkan minum yang mengandung kafein dan coca cola

Mandi air hangat sebelum tidur

Dengarkan musik yang lembut sebelum tidur

Anjurkan pasien untuk memilih cara yang sesuai dengan kebutuhannya)

Berikan pujian jika pasien memilih cara yang tepat untuk memenuhi kebutuhan

tidurnya
Anjurkan keluarga untuk menciptakan lingkungan yang tenang untuk
memfasilitasi agar pasien dapat tidur.

d. Resiko perilaku kekerasan berhubungan dengan perasaan tidak berharga dan


putusasa
Tujuan :

1) Pasien tidak membahayakan dirinya sendiri


2) Pasien mampu memilih alternatif penyelesaian masalah yang konstruktif
Intervensi

Identifikasi derajat resiko / potensi untuk bunuh diri

Bantu pasien mengenali perasaan yang menjadi penyebab timbulnya ide bunuh

diri.
Ajarkan beberapa alternatif cara penyelesaian masalah yang konstruktif.
Bantu pasien untuk memilih cara yang palin tepat untuk menyelesaikan

masalah secara konstruktif.


Beri pujian terhadap pilihan yang telah dibuat pasien dengan tepat.
Anjurkan pasien mengikuti kegiatan kemasyarakatan yang ada di

lingkungannya
Lakukan tindakan pencegahan bunuh diri
Mendiskusikan dengan keluarga koping positif yang pernah dimiliki klien
dalam menyelesaikan masalah
e. Harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tak efektif sekunder
terhadap respon kehilangan pasangan.

Tujuan :
1) Klien merasa harga dirinya naik.
2) Klien mengunakan koping yang adaptif.
3) Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya.
Intervensi

Bina hubungan saling percaya dan keterbukaan.


Maksimalkan partisipasi klien dalam hubungan terapeutik.
Bantu klien menerima perasaan dan pikirannya.
Bantu klien menjelaskan konsep dirinya dan hubungannya dengan orang lain

melalui keterbukaan.
Berespon secara empati dan menekankan bahwa kekuatan untuk berubah ada

pada klien.
Mengeksplorasi respon koping adaptif dan mal adaptif terhadap masalahnya.
Bantu klien mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah.
Bantu klien untuk melakukan tindakan yang penting untuk merubah respon

maladaptif dan mempertahankan respon koping yang adaptif.


Identifikasi dukungan yang positif dengan mengaitkan terhadap kenyataan.
Berikan kesempatan untuk menangis dan mengungkapkan perasaannya.

BAB 3

PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwa pelayanan geriatrik di Indonesia sudah saatnya diupayakan di seluruh
jenjang pelayanan kesehatan di Indonesia. Untuk itu pengetahuan mengenai
geriatric harus sudah merupakan pengetahuan yang harus diajarkan pada semua
tenaga kesehatan. Dalam hal ini pengetahuan mengenai psikogeriatri atau
kesehatan jiwa pada usia lanjut merupakan salah satu di antara berbagai
pengetahuan yang perlu diketahui. Tatacara pemeriksaan dasar psikogeriatri oleh
karena itu sering disertakan dalam pemeriksaan/assesmen geriatric, antara lain
mengenai pemeriksaan gangguan mental. Kognitif, depresi dan beberapa
pemeriksaan lain.
B. Saran
Melalui makalah ini kami mengharapkan mahasiswa dapat mengetahui
mengenai askep lansia masalah psikososial, mulai dari konsep psikososial,
masalah psikososial pada lansia serta asuhan keperawatan terkait dengan masalah
psikososial tersebut.

You might also like