You are on page 1of 69

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN LUKA BAKAR

(COMBUSTIO)
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN LUKA BAKAR
A. Definisi
Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan kimia dan
petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Guyton & Hall, 1997).
B. Insiden
Perawatan luka bakar mengalami perbaikan / kemajuan dalam dekade terakhir ini, yang
mengakibatkan menurunnya angka kematian akibat luka bakar. Pusat-pusat perawatan luka bakar
telah tersedia cukup baik, dengan anggota team yang menangani luka bakar terdiri dari berbagai
disiplin yang saling bekerja sama untuk melakukan perawatan pada klien dan keluarganya. Di
Amerika kurang lebih 2 juta penduduknya memerlukan pertolongan medik setiap tahunnya untuk
injuri yang disebabkan karena luka bakar. 70.000 diantaranya dirawat di rumah sakit dengan
injuri yang berat.
Luka bakar merupakan penyebab kematian ketiga akibat kecelakaan pada semua kelompok
umur. Laki-laki cenderung lebih sering mengalami luka bakar dari pada wanita, terutama pada
orang tua atau lanjut usia ( diatas 70 th) (Rohman Azzam, 2008).
C. Etiologi
Etiologi dari luka bakar (Guyton & Hall, 1997) :
1. Luka Bakar Suhu Tinggi(Thermal Burn)
a. Gas
b. Cairan
c. Bahan padat (Solid)
2. Luka Bakar Bahan Kimia (hemical Burn)
3. Luka Bakar Sengatan Listrik (Electrical Burn)
4. Luka Bakar Radiasi (Radiasi Injury)

D. Fase Luka Bakar


Fase fase luka bakar (Guyton & Hall, 1997) yaitu :
1. Fase akut.
Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Dalam fase awal penderita akan
mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas), breathing (mekanisme bernafas), dan
circulation (sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat
setelah terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran pernafasan akibat cedera inhalasi
dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah penyebab kematian utama penderita pada
fase akut. Pada fase akut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat
cedera termal yang berdampak sistemik.
2. Fase sub akut.
Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau kehilangan
jaringan akibat kontak denga sumber panas. Luka yang terjadi menyebabkan:
1. Proses inflamasi dan infeksi.
2. Problem penutupan luka dengan titik perhatian pada luka telanjang atau tidak berbaju epitel
luas dan atau pada struktur atau organ organ fungsional.
3. Keadaan hipermetabolisme.
3. Fase lanjut.
Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan pemulihan fungsi
organ-organ fungsional. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang
hipertropik, keloid, gangguan pigmentasi, deformitas dan kontraktur.

E. Klasifikasi luka bakar (Hudak & Gallo, 1997)


1. Dalamnya luka bakar
Kedalaman

Penyebab

Penampilan

Warna

Perasaan

Ketebalan

Jilatan

api, Kering

tidak

partial

sinar ultraviolet gelembung,

superfisial

(terbakar

(tingkat I)

matahari)

ada Bertambah

Nyeri

edema merah

oleh minimal atau tidak ada,


pucat

bila

dengan
berisi

ditekan

ujung

jari,

kembali

bila

Lebih

tekanan dilepas
dalam Kontak dengan Blister
besar

dari

partial bahan air atau lembab

dan Berbintik Sangat


yang bintik yang nyeri

(tingkat II)

bahan

padat. ukurannya

Superfisial

Jilatan

Dalam

kepada pakaian. ditekan dengan ujung coklat, pink,

api besar.

bertambah kurang

Pucat
bila

bila jelas, putih,

Jilatan

jari,

tekanan daerah

langsung

dilepas berisi kembali

kimiawi, sinar

merah
coklat

Ketebalan

ultraviolet
Kontak dengan Kering disertai kulit Putih,

Tidak sakit,

sepenuhnya

bahan cair atau yang

sedikit

mengelupas. kering,

padat.

Nyala Pembuluh darah seperti hitam,

sakit,

api,

kimia, arang terlihat dibawah coklat tua,

rambut

kontak dengan kulit yang mengelupas. hitam,

mudah

arus listrik

Gelembung

jarang, merah

lepas

dindingnya

sangat

dicabut

bila

tipis, tidak membesar,


tidak pucat bila ditekan
2. Luas luka bakar
Wallace membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatan 9 yang terkenal dengan
nama rule of nine atua rule of wallace yaitu:
3. Berat ringannya luka bakar
Untuk mengkaji beratnya luka bakar harus dipertimbangkan beberapa faktor antara lain :
1) Persentasi area (Luasnya) luka bakar pada permukaan tubuh.

2) Kedalaman luka bakar.


3) Anatomi lokasi luka bakar.
4) Umur klien.
5) Riwayat pengobatan yang lalu.
6) Trauma yang menyertai atau bersamaan.
American college of surgeon membagi dalam:
A. Parah critical:
a) Tingkat II : 30% atau lebih.
b) Tingkat III : 10% atau lebih.
c) Tingkat III pada tangan, kaki dan wajah.
d) Dengan adanya komplikasi penafasan, jantung, fractura, soft tissue yang luas.
B. Sedang moderate:
a) Tingkat II : 15 30%
b) Tingkat III : 1 10%
C. Ringan minor:
a) Tingkat II : kurang 15%
b) Tingkat III : kurang 1%
F. Patofisilogi
WOC terlampir (http://www.artanto.com)
G. Perubahan Fisiologis Pada Luka Bakar (Guyton & Hall, 1997)
Tingkatan hipovolemik (s/d Tingkatan diuretik (12 jam
Perubahan
Fungsi renal

48-72 jam pertama)


Mekanisme
Dampak dari
Aliran darah Oliguri

18/24 jam pertama


Interstitial ke
Hemodilusi
vaskuler
Peningkatan
Diuresis

renal

aliran

darah

berkurang

renal

karena

karena

desakan

desakan

meningkat

darah

turun

darah

dan

CO

berkurang
Kadar sodium / Na+
natrium

Defisit sodium

Kehilangan Na+ Defisit sodium

direabsorbsi

melalui diuresis

oleh

(normal

ginjal,

tapi

kembali setelah

kehilangan

1 minggu)

Na+

melalui

eksudat

dan

tertahan
dalam cairan
Kadar potassium

edema
K+
dilepas Hiperkalemi

K+

sebagai

kembali dalam

akibat cidera

sel,

jaringan sel

terbuang

sel

darah

melalui diuresis

K+

(mulai 4-5 hari

merah,
berkurang

setelah

ekskresi

bakar)

bergerak Hipokalemi
K+

luka

karena fungsi
renal
Kadar protein

berkurang
Kehilangan
protein

ke

dalam
jaringan

Hipoproteinem
ia

akibat
kenaikan
Keseimbangan

permeabilitas
Katabolisme

Keseimbangan

Katabolisme

Keseimbangan

nitrogen

jaringan,

nitrogen

jaringan,

nitrogen negatif

kehilangan

negatif

kehilangan

protein dalam

protein,

jaringan,

immobilitas

lebih banyak
kehilangan
Keseimbangan

dari masukan
Metabolisme

Asidosis

Kehilangan

Asidosis

asam basa

anaerob

metabolik

sodium

metabolik

karena

bicarbonas

perfusi

melalui

jaringan

diuresis,

berkurang,

hipermetabolis

peningkatan

me

asam

peningkatan

dari

disertai

produk akhir,

produk

fungsi

metabolisme

renal

berkurang
(menyebabka
n

retensi

produk akhir
tertahan),
kehilangan
bikarbonas
serum

akhir

Terjadi

Stres

karena

sifat luka

karena

cidera
Aliran darah renal
berkurang

berlangsung
lama

dan

terancam
psikologi
Eritrosit

pribadi
Terjadi

Luka

bakar Tidak

terjadi Hemokonsentra

karena panas, termal

pada hari hari si

pecah

pertama

menjadi
Lambung

fragil
Curling ulcer Rangsangan
(ulkus

Jantung

pada central

gaster),

hipotalamus

perdarahan

dan

lambung,

peningkatan

nyeri

jumlah

MDF

cortison
Disfungsi

Akut
di dan

dilatasi Peningkatan
paralise jumlah cortison

usus

Peningkatan zat CO menurun

meningkat 2x jantung

MDF (Miokard

lipat,

Depresant

merupakan

Factor) sampai

glikoprotein

26

yang

bertanggung

toxic

unit,

yang

jawab terhadap

dihasilkan

syok septic

oleh

kulit

yang terbakar
H. Indikasi Rawat Inap Luka Bakar (Guyton & Hall, 1997)

A. Luka bakar grade II :


1) Dewasa > 20%
2) Anak/orang tua > 15%
B. Luka bakar grade III
C. Luka bakar dengan komplikasi: jantung, otak dll.
I. Penatalaksanaan (Long, Barbara C, 1996)
A. Resusitasi A, B, C.
1) Pernafasan
a) Udara panas

mukosa rusak

oedem

obstruksi.

b) Efek toksik dari asap: HCN, NO2, HCL, Bensin


Bronkhokontriksi

obstruksi

iritasi

gagal nafas.

2) Sirkulasi:
Gangguan permeabilitas kapiler: cairan dari intra vaskuler
pindah ke ekstra vaskuler

hipovolemi relatif

syok

B. Infus, kateter, CVP, oksigen, Laboratorium, kultur luka.


C. Resusitasi cairan

Baxter.

Dewasa : Baxter.
RL 4 cc x BB x % LB/24 jam.
Anak: jumlah resusitasi + kebutuhan faal:
RL : Dextran = 17 : 3
2 cc x BB x % LB.
Kebutuhan faal:
< 1 tahun : BB x 100 cc
1 3 tahun : BB x 75 cc
3 5 tahun : BB x 50 cc
diberikan 8 jam pertama
diberikan 16 jam berikutnya.
Hari kedua:
Dewasa : Dextran 500 2000 + D5% / albumin.

ATN

gagal ginjal.

( 3-x) x 80 x BB gr/hr
100
(Albumin 25% = gram x 4 cc) 1 cc/mnt.
Anak : Diberi sesuai kebutuhan faal.
D. Monitor urine dan CVP.
E. Topikal dan tutup luka
- Cuci luka dengan savlon : NaCl 0,9% ( 1 : 30 ) + buang jaringan nekrotik.
- Tulle.
- Silver sulfadiazin tebal.
- Tutup kassa tebal.
- Evaluasi 5 7 hari, kecuali balutan kotor.
F. Obat obatan:
o Antibiotika : tidak diberikan bila pasien datang < 6 jam sejak kejadian.
o Bila perlu berikan antibiotika sesuai dengan pola kuman dan sesuai hasil kultur.
o Analgetik : kuat (morfin, petidine)
o Antasida : kalau perlu

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito,J,L. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2. PT EGC. Jakarta.
Guyton & Hall. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit Buku Kedoketran EGC. Jakarta
Hudak & Gallo. (1997). Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik.Volume I. Penerbit Buku Kedoketran EGC.
Jakarta.
Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan). Yayasan Ikatan Alumni
Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.

Marylin E. Doenges. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Penerbit Buku Kedoketran EGC. Jakarta.
Anonim. (2009). Kumpulan Artikel Keperawatan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Luka Bakar
(Combustio). (Online) http://www.artanto.com.

ASKEP PADA PASIEN DENGAN NYERI DADA (CHEST PAIN)


ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
PADA KLIEN DENGAN NYERI DADA

A. PENGERTIAN

Nyeri dada adalah perasaan nyeri / tidak enak yang mengganggu daerah dada dan seringkali
merupakan rasa nyeri yang diproyeksikan pada dinding dada (referred pain)

Nyeri Coroner adalah rasa sakit akibat terjadinya iskemik miokard karena suplai aliran darah
koroner yang pada suatu saat tidak mencukupi untuk kebutuhan metabolisme miokard.

Nyeri dada akibat penyakit paru misalnya radang pleura (pleuritis) karena lapisan paru saja yang
bisa merupakan sumber rasa sakit, sedang pleura viseralis dan parenkim paru tidak menimbulkan
rasa sakit (Himawan, 1996)

B. ETIOLOGI
Nyeri Dada:
a.

Cardial

Koroner

Non Koroner

b. Non Cardial
-

Pleural

Gastrointestinal

Neural

Psikogenik (Abdurrahman N, 1999)

C. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala yang biasa menyertai nyeri dada adalah :
-

Nyeri ulu hati

Sakit kepala

Nyeri yang diproyeksikan ke lengan, leher, punggung

Diaforesis / keringat dingin

Sesak nafas

Takikardi

Kulit pucat

Sulit tidur (insomnia)

Mual, Muntah, Anoreksia

Cemas, gelisah, fokus pada diri sendiri

Kelemahan

Wajah tegang, m erintih, menangis

Perubahan kesadaran

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.

EKG 12 lead selama episode nyeri

Takhikardi / disritmia

Rekam EKG lengkap : T inverted, ST elevasi / depresi, Q Patologis

b. Laboratorium
-

Kadar enzim jantung : CK, CKMB, LDH

Fungsi hati : SGOT, SGPT

Fungsi Ginjal : Ureum, Creatinin

Profil Lipid : LDL, HDL

c.

Foto Thorax

d. Echocardiografi
e.

Kateterisasi jantung
E. PATHWAY

F. PENGKAJIAN
1. Pengkajian Primer

a.

Airway

Bagaimana kepatenan jalan nafas

Apakah ada sumbatan / penumpukan sekret di jalan nafas?

Bagaimana bunyi nafasnya, apakah ada bunyi nafas tambahan?

b. Breathing
-

Bagaimana pola nafasnya ? Frekuensinya? Kedalaman dan iramanya?

Aapakah menggunakan otot bantu pernafasan?

Apakah ada bunyi nafas tambahan?

c.

Circulation

Bagaimana dengan nadi perifer dan nadi karotis? Kualitas (isi dan tegangan)

Bagaimana Capillary refillnya, apakah ada akral dingin, sianosis atau oliguri?

Apakah ada penurunan kesadaran?

Bagaimana tanda-tanda vitalnya ? T, S, N, RR, HR?

2. Pengkajian Sekunder
Hal-hal penting yang perlu dikaji lebih jauh pada nyeri dada (koroner) :
a.

Lokasi nyeri
Dimana tempat mulainya, penjalarannya (nyeri dada koroner : mulai dari sternal menjalar ke
leher, dagu atau bahu sampai lengan kiri bagian ulna)

b. Sifat nyeri
Perasaan penuh, rasa berat seperti kejang, meremas, menusuk, mencekik/rasa terbakar, dll.
c.

Ciri rasa nyeri

Derajat nyeri, lamanya, berapa kali timbul dalam jangka waktu tertentu.
d. Kronologis nyeri
Awal timbul nyeri serta perkembangannya secara berurutan
H. INTERVENSI KEPERAWATAN
Prinsip-prinsip Tindakan :
1. Tirah baring (bedrest) dengan posisi fowler / semi fowler
2. Melakukan EKG 12 lead kalau perlu 24 lead
3. Mengobservasi tanda-tanda vital
4. Kolaborasi pemberian O2 dan pemberian obat-obat analgesik, penenang, nitrogliserin, Calcium
antagonis dan observasi efek samping obat.
5. Memasang infus dan memberi ketenangan pada klien
6. Mengambil sampel darah
7. Mengurangi rangsang lingkungan
8. Bersikap tenang dalam bekerja
9. Mengobservasi tanda-tanda komplikasi

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdurrahman, N, Anamnesa dan pemeriksaan Jasmani Sistem Kardiovaskuler dalam IPD Jilid
I, Jakarta: FKUI, 1999.
2. Doenges, Marilynn E,Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta : EGC, 2000.
3. Himawan, Buku Kuliah Gangguan Sistem Kardiovaskuler,1994.
4. Hudak&Gallo, Keperawatan Kritis cetakan I, Jakarta : EGC, 1995

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA KLIEN YANG


MENGALAMI PENURUNAN KESADARAN
A.

PENGERTIAN

Kesadaran adalah pengetahuan penuh atas diri, lokasi dan waktu. ( Corwin, 2001 )
Penurunan kesadaran adalah keadaan dimanapenderita tidak sadar dalam arti tidak
terjaga / tidak terbangun secara utuh sehingga tidak mampu memberikan respons
yang normal terhadap stimulus.
Kesadaran secara sederhana dapat dikatakan sebagai keadaan dimana seseorang
mengenal / mengetahui tentang dirinya maupun lingkungannya. ( Padmosantjojo,
2000 )
Dalam menilai penurunan kesadaran dikenal beberapa istilah yaitu :

1. Kompos mentis
Kompos mentis adalah kesadaran normal, menyadari seluruh asupan dari panca
indra dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar
maupun dalam.
2. Somnelen / drowsiness / clouding of consciousness
Mata cenderung menutup, mengantuk, masih dapat dibangunkan dengan perintah,
masih dapat menjawab pertanyaan walau sedikit bingung, tampak gelisah dan
orientasi terhadap sekitarnya menurun.
3. Stupor / Sopor
Mata tertutup dengan rangsang nyeri atau suara keras baru membuka mata atau
bersuara satu dua kata . Motorik hanya berupa gerakan mengelak terhadap
rangsang nyeri.
4. Soporokoma / Semikoma
Mata tetap tertutup walaupun dirangsang nyeri secara kuat, hanya dapat
mengerang tanpa arti, motorik hanya gerakan primitif.
5. Koma
Dengan rangsang apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka
mata, bicara maupun reaksi motorik. ( Harsono , 1996 )
B.

ETIOLOGI

Untuk memudahkan mengingat dan menelusuri kemungkinan kemungkinan


penyebab penurunan kesadaran dengan istilah SEMENITE yaitu :
1. S : Sirkulasi
Meliputi stroke dan penyakit jantung
2. E : Ensefalitis
Dengan tetap mempertimbangkan adanya infeksi sistemik / sepsis yang mungkin
melatarbelakanginya atau muncul secara bersamaan.

3. M : Metabolik
Misalnya hiperglikemia, hipoglikemia, hipoksia, uremia, koma hepatikum
4. E : Elektrolit
Misalnya diare dan muntah yang berlebihan.
5. N : Neoplasma
Tumor otak baik primer maupun metastasis
6. I

: Intoksikasi

Intoksikasi berbagai macam obat maupun bahan kimia dapat menyebabkan


penurunan kesadaran
7. T : Trauma
Terutama trauma kapitis : komusio, kontusio, perdarahan epidural, perdarahan
subdural, dapat pula trauma abdomen dan dada.
8. E : Epilepsi
Pasca serangan Grand Mall atau pada status epileptikus dapat menyebabkan
penurunan kesadaran.( Harsono , 1996 )
C.

MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinik yang terkait dengan penurunan kesadaran adalah :


1.

Penurunan kesadaran secara kwalitatif

2.

GCS kurang dari 13

3.

Sakit kepala hebat

4.

Muntah proyektil

5.

Papil edema

6.

Asimetris pupil

7.

Reaksi pupil terhadap cahaya melambat atau negatif

8.

Demam

9.

Gelisah

10. Kejang
11. Retensi lendir / sputum di tenggorokan
12. Retensi atau inkontinensia urin
13. Hipertensi atau hipotensi
14. Takikardi atau bradikardi
15. Takipnu atau dispnea
16. Edema lokal atau anasarka
17. Sianosis, pucat dan sebagainya
D.

PATHWAYS ( terlampir )

E.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menentukan penyebab penurunan


kesadaran yaitu :
1.

Laboratorium darah
Meliputi tes glukosa darah, elektrolit, ammonia serum, nitrogen urea darah ( BUN ),
osmolalitas, kalsium, masa pembekuan, kandungan keton serum, alcohol, obatobatan dan analisa gas darah ( BGA ).

2.

CT Scan
Pemeriksaan ini untuk mengetahui lesi-lesi otak

3.

PET ( Positron Emission Tomography )


Untuk meenilai perubahan metabolik otak, lesi-lesi otak, stroke dan tumor otak

4.

SPECT ( Single Photon Emission Computed Tomography )


Untuk mendeteksi lokasi kejang pada epilepsi, stroke.

5.

MRI
Untuk menilai keadaan abnormal serebral, adanya tumor otak.

6.

Angiografi serebral
Untuk

mengetahui

adanya

gangguan

vascular,

aneurisma

dan

malformasi

arteriovena.
7.

Ekoensefalography
Untuk mendeteksi sebuuah perubahan struktur garis tengah serebral yang
disebabkan hematoma subdural, perdarahan intraserebral, infark serebral yang luas
dan neoplasma.

8.

EEG ( elektroensefalography )
Untuk menilai kejaaang epilepsy, sindrom otak organik, tumor, abses, jaringan parut
otak, infeksi otak

9.

EMG ( Elektromiography )
Untuk membedakan kelemahan akibat neuropati maupun akibat penyakit lain.
F.

1.

PENGKAJIAN PRIMER

Airway

a. Apakah pasien berbicara dan bernafas secara bebas


b. Terjadi penurunan kesadaran
c. Suara nafas abnormal : stridor, wheezing, mengi dll
d. Penggunaan otot-otot bantu pernafasan
e. Gelisah
f. Sianosis
g. Kejang
h. Retensi lendir / sputum di tenggorokan

i. Suara serak
j. Batuk
2.

Breathing

a. Adakah suara nafas abnormal : stridor, wheezing, mengi dll


b. Sianosis
c. Takipnu
d. Dispnea
e. Hipoksia
f. Panjang pendeknya inspirasi ekspirasi
3.

Circulation

a. Hipotensi / hipertensi
b. Takipnu
c. Hipotermi
d. Pucat
e. Ekstremitas dingin
f. Penurunan capillary refill
g. Produksi urin menurun
h. Nyeri
i. Pembesaran kelenjar getah bening
G.
1.

PENGKAJIAN SEKUNDER

Riwayat penyakit sebelumnya


Apakah klien pernah menderita :

a. Penyakit stroke
b. Infeksi otak
c. DM
d. Diare dan muntah yang berlebihan
e. Tumor otak
f. Intoksiaksi insektisida
g. Trauma kepala
h. Epilepsi dll.
2.

Pemeriksaan fisik

a. Aktivitas dan istirahat


Data Subyektif:
kesulitan dalam beraktivitas
kelemahan
kehilangan sensasi atau paralysis.
mudah lelah
kesulitan istirahat
nyeri atau kejang otot
Data obyektif:
Perubahan tingkat kesadaran
Perubahan tonus otot ( flasid atau spastic), paraliysis ( hemiplegia ) , kelemahan
umum.
gangguan penglihatan

b. Sirkulasi
Data Subyektif:
Riwayat penyakit stroke
Riwayat penyakit jantung
Penyakit katup jantung, disritmia, gagal jantung ,

endokarditis bacterial.

Polisitemia.
Data obyektif:
Hipertensi arterial
Disritmia
Perubahan EKG
Pulsasi : kemungkinan bervariasi
Denyut karotis, femoral dan arteri iliaka atau aorta abdominal
c. Eliminasi
Data Subyektif:
Inkontinensia urin / alvi
Anuria
Data obyektif
Distensi abdomen ( kandung kemih sangat penuh )
Tidak adanya suara usus( ileus paralitik )
d. Makan/ minum
Data Subyektif:

Nafsu makan hilang


Nausea
Vomitus menandakan adanya PTIK
Kehilangan sensasi lidah , pipi , tenggorokan
Disfagia
Riwayat DM, Peningkatan lemak dalam darah
Data obyektif:
Obesitas ( faktor resiko )
e. Sensori neural
Data Subyektif:
Syncope
Nyeri kepala : pada perdarahan intra serebral atau perdarahan sub arachnoid.
Kelemahan
Kesemutan/kebas
Penglihatan berkurang
Sentuhan : kehilangan sensor pada ekstremitas dan pada muka
Gangguan rasa pengecapan
Gangguan penciuman
Data obyektif:
Status mental
Penurunan kesadaran

Gangguan tingkah laku (seperti: letargi, apatis, menyerang)


Gangguan fungsi kognitif

Ekstremitas

kelemahan

paraliysis

genggaman

tangan

tidak

imbang,

berkurangnya reflek tendon dalam


Wajah: paralisis / parese
Afasia ( kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan ekspresif/ kesulitan
berkata kata, reseptif / kesulitan berkata kata komprehensif, global / kombinasi dari
keduanya. )
Kehilangan kemampuan mengenal atau melihat, stimuli taktil
Kehilangan kemampuan mendengar
Apraksia : kehilangan kemampuan menggunakan motorik
Reaksi dan ukuran pupil : reaksi pupil terhadap cahaya positif / negatif, ukuran pupil
isokor / anisokor, diameter pupil
f. Nyeri / kenyamanan
Data Subyektif:
Sakit kepala yang bervariasi intensitasnya
Data obyektif:
Tingkah laku yang tidak stabil
Gelisah
Ketegangan otot
g. Respirasi
Data Subyektif : perokok ( faktor resiko )
h. Keamanan

Data obyektif:
Motorik/sensorik : masalah dengan penglihatan
Perubahan persepsi terhadap tubuh
Kesulitan untuk melihat objek
Hilang kewaspadaan terhadap bagian tubuh yang sakit
Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang pernah dikenali
Gangguan berespon terhadap panas, dan dingin/gangguan regulasi suhu tubuh
Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap keamanan
Berkurang kesadaran diri
i. Interaksi sosial
Data obyektif:
Problem berbicara
Ketidakmampuan berkomunikasi
3.

Menilai GCS
Ada 3 hal yang dinilai dalam penilaian kuantitatif kesadaran yang menggunakan
Skala Coma Glasgow :

Respon motorik
Respon bicara
Pembukaan mata
Ketiga hal di atas masing-masing diberi angka dan dijumlahkan.
Penilaian pada Glasgow Coma Scale
Respon motorik

Nillai 6 : Mampu mengikuti perintah sederhana seperti : mengangkat tangan, menunjukkan


jumlah jari-jari dari angka-angka yang disebutkan oleh pemeriksa, melepaskan
gangguan.
Nilai 5:

Mampu menunjuk tepat, tempat rangsang nyeri yang diberikan seperti tekanan
pada sternum, cubitan pada M. Trapezius

Nilai 4 :

Fleksi menghindar dari rangsang nyeri yang diberikan , tapi tidak mampu menunjuk
lokasi atau tempat rangsang dengan tangannya.

Nilai 3 :

fleksi abnormal .
Bahu aduksi fleksi dan pronasi lengan bawah , fleksi pergelangan tangan dan tinju
mengepal, bila diberi rangsang nyeri ( decorticate rigidity )

Nilai 2 :

ekstensi abnormal.
Bahu aduksi dan rotasi interna, ekstensi lengan bawah, fleksi pergelangan tangan
dan tinju mengepal, bila diberi rangsang nyeri ( decerebrate rigidity )
Nilai 1 :

Sama sekali tidak ada respon

Catatan :
- Rangsang nyeri yang diberikan harus kuat
- Tidak ada trauma spinal, bila hal ini ada hasilnya akan selalu negatif
Respon verbal atau bicara
Respon verbal diperiksa pada saat pasien terjaga (bangun). Pemeriksaan ini tidak
berlaku bila pasien :
- Dispasia atau apasia
- Mengalami trauma mulut
- Dipasang intubasi trakhea (ETT)
Nilai 5 :

pasien orientasi penuh atau baik dan mampu berbicara .


tempat , orang, siapa dirinya , berada dimana, tanggal hari.

orientasi waktu,

Nilai 4 :
Nilai 3 :

pasien confuse atau tidak orientasi penuh


bisa bicara , kata-kata yang diucapkan jelas dan baik tapi tidak menyambung
dengan apa yang sedang dibicarakan

Nilai 2 :

bisa berbicara tapi tidak dapat ditangkap jelas apa artinya (ngrenyem), suarasuara tidak dapat dikenali makna katanya

Nilai 1 :

tidak bersuara apapun walau diberikan rangsangan nyeri


Respon membukanya mata :
Perikasalah rangsang minimum apa yang bisa membuka satu atau kedua matanya
Catatan:
Mata tidak dalam keadaan terbalut atau edema kelopak mata.

Nilai 4 :

Mata membuka spontan misalnya sesudah disentuh

Nilai 3 : Mata baru membuka bila diajak bicara atau dipanggil nama atau diperintahkan
membuka mata
Nilai 2 :

Mata membuka bila dirangsang kuat atau nyeri

Nilai 1 :

Tidak membuka mata walaupaun dirangsang nyeri

4.

Menilai reflek-reflek patologis :

a. Reflek Babinsky
Apabila kita menggores bagian lateral telapak kaki dengan suatu benda yang
runcing maka timbullah pergerakan reflektoris yang terdiri atas fleksi kaki dan jarijarinya ke daerah plantar
b. Reflek Kremaster :
Dilakukan dengan cara menggoreskan kulit dengan benda halus pada bagian dalam
(medial) paha. Reaksi positif normal adalah terjadinya kontrkasi M.kremaster
homolateral yang berakibat tertariknya atau mengerutnya testis. Menurunnya atau
menghilangnya reflek tersebut berarti adanya ganguan traktus corticulspinal

5.
NI.N.

Uji syaraf kranial :


Olfaktorius penghiduan diperiksa dengan bau bauhan seperti tembakau, wangiwangian, yang diminta agar pasien menyebutkannya dengan mata tertutup

N.II. N. Opticus
Diperiksa dengan pemerikasaan fisus pada setiap mata . digunakan optotipe
snalen yang dipasang pada jarak 6 meter dari pasien . fisus ditentukan dengan
kemampuan membaca jelas deretan huruf-huruf yang ada
N.III/

Okulomotoris.

N.IV/TROKLERIS , N.VI/ABDUSEN
Diperiksa bersama dengan menilai kemampuan pergerakan bola mata kesegala
arah , diameter pupil , reflek cahaya dan reflek akomodasi
N.V.

Trigeminus berfungsi sensorik dan motorik,


Sensorik diperiksa pada permukaan kulit wajah bagian dahi , pipi, dan rahang
bawah serta goresan kapas dan mata tertutup
Motorik

diperiksa

kemampuan

menggigitnya,

rabalah

kedua

tonus

muskulusmasketer saat diperintahkan untuk gerak menggigit


N.VII/

Fasialis fungsi motorik N.VII diperiksa kemampuan mengangkat alis, mengerutkan


dahi, mencucurkan bibir , tersentum , meringis (memperlihatkan gigi depan )
bersiul , menggembungkan pipi.fungsi sensorik diperiksa rasa pengecapan pada
permukaan lidah yang dijulurkan (gula , garam , asam)

N.VIII/ Vestibulo - acusticus


Fungsi pendengaran diperiksa dengan tes Rinne , Weber , Schwabach dengan
garpu tala.
N.IX/

Glosofaringeus,

N.X/vagus : diperiksa letak ovula di tengah atau deviasi dan kemampuan menelan pasien

N.XI /

Assesorius diperiksa dengan kemampuan mengangkat bahu kiri dan kanan


( kontraksi M.trapezius) dan gerakan kepala

N.XII/

Hipoglosus diperiksa dengan kemampuan menjulurkan lidah pada posisi lurus ,


gerakan lidah mendorong pipi kiri dan kanan dari arah dalam

H.
1.

DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia jaringan, ditandai


dengan peningkatan TIK, nekrosis jaringan, pembengkakan jaringan otak, depresi
SSP dan oedema
Tujuan : gangguan perfusi jaringan berkurang/hilang setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 jam.
Kriteria hasil :

Tidak ada tanda tanda peningkatan TIK

Tanda tanda vital dalam batas normal

Tidak adanya penurunan kesadaran


Intervensi :
Mandiri :

Tentukan

faktor

yang

berhubungan

dengan

keadaan

tertentu,

yang

dapat

menyebabkan penurunan perfusi dan potensial peningkatan TIK


-

Catat status neurologi secara teratur, bandingkan dengan nilai standart

Kaji respon motorik terhadap perintah sederhana

Pantau tekanan darah

Evaluasi : pupil, keadaan pupil, catat ukuran pupil, ketajaman pnglihatan dan
penglihatan kabur

Pantau suhu lingkungan

Pantau intake, output, turgor

Beritahu klien untuk menghindari/ membatasi batuk,muntah

Perhatikan adanya gelisah meningkat, tingkah laku yang tidak sesuai

Tinggikan kepala 15-45 derajat


Kolaborasi :

Berikan oksigen sesuai indikasi

Berikan obat sesuai indikasi

2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d obstruksi jalan nafas oleh sekret
Tujuan : bersihan jalan nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
1 jam.
Kriteria hasil:
-

Pasien memperlihatkan kepatenan jalan napas

- Ekspansi dada simetris


- Bunyi napas bersih saat auskultasi
- Tidak terdapat tanda distress pernapasan
- GDA dan tanda vital dalam batas normal
Intervensi:
Mandiri :
- Kaji dan pantau pernapasan, reflek batuk dan sekresi
- Posisikan tubuh dan kepala untuk menghindari obstruksi jalan napas dan
memberikan pengeluaran sekresi yang optimal
- Penghisapan sekresi
- Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi jalan napas setiap 4 jam

Kolaborasi :
- Berikan oksigenasi sesuai advis
- Pantau BGA dan Hb sesuai indikasi
3. Pola nafas tak efektif berhubungan dengan adanya depresan pusat pernapasan
Tujuan :
Pola nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam
Kriteria hasil:
-

RR 16-24 x permenit

Ekspansi dada normal

Sesak nafas hilang / berkurang

Tidak suara nafas abnormal


Intervensi :
Mandiri :

Kaji frekuensi, irama, kedalaman pernafasan.

Auskultasi bunyi nafas.

Pantau penurunan bunyi nafas.

Berikan posisi yang nyaman : semi fowler

Berikan instruksi untuk latihan nafas dalam


Catat kemajuan yang ada pada klien tentang pernafasan
Kolaborasi :

Berikan oksigenasi sesuai advis

Berikan obat sesuai indikasi

4.

Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi


sekunder terhadap hipoventilasi
Tujuan :
Setelah

diberikan

tindakan

keperawatan

selaama

jam,

pasien

dapat

mempertahankan pertukaran gas yang adekuat


Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan :
-Bunyi paru bersih
-Warna kulit normal
-Gas-gas darah dalam batas normal untuk usia yang diperkirakan
Intervensi :
Mandiri :
-Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksia dan hiperkapnia
-Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap[ jam dan prn, laporkan perubahan
tinmgkat kesadaran pada dokter.
-Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya kecenderungan kenaikan dalam
PaCO2 atau penurunan dalam PaO2
-Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi, kaji perlunya CPAP atau
PEEP.
-Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam
-Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan peningkatan atau
penyimpangan
-Evaluasi AKS dalam hubungannya dengan penurunan kebutuhan oksigen.
-Pantau irama jantung

Kolaboraasi :
-Berikan cairan parenteral sesuai pesanan
-Berikan obat-obatan sesuai pesanan : bronkodilator, antibiotik, steroid.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Carolyn M. Hudak. Critical Care Nursing : A Holistic Approach. Edisi VII. Volume II.
Alih Bahasa : Monica E. D Adiyanti. Jakarta : EGC ; 1997

2. Susan Martin Tucker. Patient Care Standarts. Volume 2. Jakarta : EGC ; 1998
3. Lynda Juall Carpenito. Handbook Of Nursing Diagnosis. Edisi 8. Jakarta : EGC ; 2001
4.

Long, B.C. Essential of medical surgical nursing : A nursing process approach.


Volume 2. Alih bahasa : Yayasan IAPK. Bandung: IAPK Padjajaran; 1996 (Buku asli
diterbitkan tahun 1989)

5. Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. Brunner and Suddarths textbook of medical surgical
nursing. 8th Edition. Alih bahasa : Waluyo, A.

Jakarta: EGC; 2000 (Buku asli

diterbitkan tahun 1996)


6. Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC;
2001 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)
7. Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease processes. 4th
Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 1994 (Buku asli diterbitkan tahun
1992)
8. Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines for
planning and documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa, I.M. Jakarta: EGC;
1999 (Buku asli diterbitkan tahun 1993)
9. Harsono, Buku Ajar Neurologi Klinis, Yokyakarta, Gajah Mada University Press,
1996 )

10. Padmosantjojo, Keperawatan Bedah Saraf, Jakarta, Bagian Bedah Saraf FKUI, 2000
11. Markum, Penuntun Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis, Jakarta, Pusat Informasi dan
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2000

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA KLIEN


DENGAN NYERI DADA
A. PENGERTIAN

Nyeri dada adalah perasaan nyeri / tidak enak yang mengganggu daerah dada dan
seringkali merupakan rasa nyeri yang diproyeksikan pada dinding dada (referred
pain)

Nyeri Coroner adalah rasa sakit akibat terjadinya iskemik miokard karena suplai
aliran darah koroner yang pada suatu saat tidak mencukupi untuk kebutuhan
metabolisme miokard.

Nyeri dada akibat penyakit paru misalnya radang pleura (pleuritis) karena lapisan
paru saja yang bisa merupakan sumber rasa sakit, sedang pleura viseralis dan
parenkim paru tidak menimbulkan rasa sakit (Himawan, 1996)

B.

ETIOLOGI
Nyeri Dada:

a.

Cardial

Koroner

Non Koroner

b.

Non Cardial

Pleural

Gastrointestinal

Neural

Psikogenik (Abdurrahman N, 1999)

C.

TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala yang biasa menyertai nyeri dada adalah :

Nyeri ulu hati

Sakit kepala

Nyeri yang diproyeksikan ke lengan, leher, punggung

Diaforesis / keringat dingin

Sesak nafas

Takikardi

Kulit pucat

Sulit tidur (insomnia)

Mual, Muntah, Anoreksia

Cemas, gelisah, fokus pada diri sendiri

Kelemahan

Wajah tegang, m erintih, menangis

Perubahan kesadaran

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.

EKG 12 lead selama episode nyeri

Takhikardi / disritmia

Rekam EKG lengkap : T inverted, ST elevasi / depresi, Q Patologis

b.

Laboratorium

Kadar enzim jantung : CK, CKMB, LDH

Fungsi hati : SGOT, SGPT

Fungsi Ginjal : Ureum, Creatinin

Profil Lipid : LDL, HDL

c.

Foto Thorax

d.

Echocardiografi

e.

Kateterisasi jantung

E.

PENGKAJIAN

1.

Pengkajian Primer

a.

Airway

Bagaimana kepatenan jalan nafas

Apakah ada sumbatan / penumpukan sekret di jalan nafas?

Bagaimana bunyi nafasnya, apakah ada bunyi nafas tambahan?

b.

Breathing

Bagaimana pola nafasnya ? Frekuensinya? Kedalaman dan iramanya?

Aapakah menggunakan otot bantu pernafasan?

Apakah ada bunyi nafas tambahan?

c.

Circulation

Bagaimana dengan nadi perifer dan nadi karotis? Kualitas (isi dan tegangan)

Bagaimana Capillary refillnya, apakah ada akral dingin, sianosis atau oliguri?

Apakah ada penurunan kesadaran?

Bagaimana tanda-tanda vitalnya ? T, S, N, RR, HR?

2.

Pengkajian Sekunder
Hal-hal penting yang perlu dikaji lebih jauh pada nyeri dada (koroner) :

a.

Lokasi nyeri
Dimana tempat mulainya, penjalarannya (nyeri dada koroner : mulai dari sternal
menjalar ke leher, dagu atau bahu sampai lengan kiri bagian ulna)

b.

Sifat nyeri
Perasaan penuh, rasa berat seperti kejang, meremas, menusuk, mencekik/rasa
terbakar, dll.

c.

Ciri rasa nyeri

Derajat nyeri, lamanya, berapa kali timbul dalam jangka waktu tertentu.
d.

Kronologis nyeri
Awal timbul nyeri serta perkembangannya secara berurutan

e.

Keadaan pada waktu serangan


Apakah timbul pada saat-saat / kondisi tertentu

f.

Faktor yang memperkuat / meringankan rasa nyeri misalnya sikap/posisi tubuh,


pergerakan, tekanan, dll.

g.

Gejala lain yang mungkin ada atau tidaknya hubungan dengan nyeri dada.

F.

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1.

Perubahan kenyamanan nyeri (nyeri akut) b.d iskemia jaringan sekunder terhadap
sumbatan arteri, inflamasi jaringan

2.
3.

Perubahan perfusi jaringan (otot jantung) b.d penurunan aliran darah


Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai O2 dan kebutuhan
metabolisme jaringan

G. INTERVENSI KEPERAWATAN
Prinsip-prinsip Tindakan :
1.

Tirah baring (bedrest) dengan posisi fowler / semi fowler

2.

Melakukan EKG 12 lead kalau perlu 24 lead

3.

Mengobservasi tanda-tanda vital

4.

Kolaborasi

pemberian

O2

dan

pemberian

obat-obat

analgesik,

penenang,

nitrogliserin, Calcium antagonis dan observasi efek samping obat.


5.

Memasang infus dan memberi ketenangan pada klien

6.

Mengambil sampel darah

7.

Mengurangi rangsang lingkungan

8.

Bersikap tenang dalam bekerja

9.

Mengobservasi tanda-tanda komplikasi


DAFTAR PUSTAKA

1.

Abdurrahman, N, Anamnesa dan pemeriksaan Jasmani Sistem Kardiovaskuler


dalam IPD Jilid I, Jakarta: FKUI, 1999.

2.

Doenges, Marilynn E,Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta : EGC, 2000.

3.

Himawan, Buku Kuliah Gangguan Sistem Kardiovaskuler,1994.

4.

Hudak&Gallo, Keperawatan Kritis cetakan I, Jakarta : EGC, 1995

ASKEP KEGAWATDARURATAN AKIBAT ASMA


A.

Pengertian

Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversible dimana trakea
dan bronkus berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu, dan
dimanifestasikan dengan penyempitan jalan napas, yang mengakibatkan dispnea,
batuk dan mengi. (Brunner & Suddarth, Edisi 8, Vol. 1, 2001. Hal. 611).
Asma adalah suatu penyakit peradangan kronik pada jalan napas yang mana
peradangan ini menyebabkan perubahan derajat obstruksi pada jalan napas dan
menyebabkan kekambuhan. (Lewis, 2000, hal. 660).

Status asmatikus adalah asma yang berat dan persisten yang tidak berespons
terhadap terapi konvensional. Serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam. Ini
merupakan situasi yang mengancam kehidupan dan memerlukan tindakan segera.
Jenis-jenis Asma :
a) Asma alergik
Yaitu asma yang disebabkan oleh alergen, misalnya: serbuk sari binatang, marah,
makanan dan jamur. Biasanya mempunyai riwayat keluarga yang alergen dan
riwayat medis masa lalu, iskemia dan rhinita alergik.
b) Asma idiopatik atau non alergik
Yaitu tidak berhubungan dengan alergen spesifik, faktor-faktor seperti common cold,
infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi dan lingkungan pencetus serangan.
Serangan menjadi lebih berat dan dapat berkembang menjadi bronkitis kronis dan
empisema.
c) Asma gabungan
Yaitu bentuk asma yang paling umum, mempunyai karakteristik dari bentuk alergik
maupun bentuk idiopatik atau non alergik.
Klasifikasi Asma:
1.

Mid Intermiten
Yaitu kurang dari 2 kali seminggu dan hanya dalam waktu yang pendek; tanpa
gejala, diantara serangan-serangan pada waktu malam kurang dari 2 kali sebulan.
Fungsi paru-paru FEV dan PEF diperkirakan lebih dari 80%.

2.

Mid Persistent
Yaitu serangan lebih ringan tetapi tidak setiap hari, serangan pada waktu malam
timbul lebih dari 2 kali sebulan. Fungsi paru-paru FEV atau PEF diperkirakan sebesar
80%.

3.

Moderat Persistent
Yaitu serangan timbul setiap hari dan memerlukan penggunaan bronkodilator
serangan timbul 2 kali atau lebih dalam seminggu dan pada waktu malam timbul
gejala berat setiap minggu. Fungsi paru-paru FEV atau PEF diperkirakan 60-80%.

4.

Severe Persistent
Yaitu gejala muncul terus menerus dengan aktivitas yang terbatas, peningkatan
frekuensi serangan dan peningkatan frekuensi gejala pada waktu malam.
Penyebab / Faktor resiko serangan asma

1.

Faktor Ekstrinsik
Ditemukan pada sejumlah kecil pasien dan disebabkan oleh alergen yang
diketahui karena kepekaan individu, biasanya protein, dalam bentuk serbuk sari

yang hidup, bulu halus binatang, kain pembalut atau yang lebih jarang terhadap
makanan seperti susu atau coklat, polusi.
2.

Faktor Intrinsik
Faktor ini sering tidak ditemukan faktor-faktor pencetus yang jelas. Faktorfaktor non spefisik seperti flu biasa, latihan fisik atau emosi dapat memicu serangan
asma. Asma instrinsik ini lebih biasanya karena faktor keturunan dan juga sering
timbul sesudah usia 40 tahun. Dengan serangan yang timbul sesudah infeksi sinus
hidung atau pada percabangan trakeobronchial.
Patofisiologi
Asma adalah obstruksi jalan nafas difus revesible yang disebabkan oleh satu atau
lebih dari faktor berikut ini.

1.

Kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkhi yang menyempitkan jalan nafas.

2.

Pembengkakan membran yang melapisi bronchi.

3.

Pengisian bronchi dengan mukus yang kental.


Selain itu, otot-otot bronchial dan kelenjar membesar. Sputum yang kental, banyak
dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflamasi dengan udara terperangkap di dalam
paru.
Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru.
Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi
menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (mediator) seperti: histamin,
bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari suptamin yang bereaksi lambat.
Pelepasan mediator ini mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan nafas
menyebabkan broncho spasme, pembengkakan membran mukosa dan
pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem syaraf otonom mempengaruhi paru, tonus otot bronchial diatur oleh impuls
syaraf pagal melalui sistem para simpatis. Pada asthma idiopatik/non alergi, ketika
ujung syaraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti: infeksi, latihan, udara
dingin, merokok, emosi dan polutan. Jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat.
Pelepasan astilkolin ini secara langsung menyebabkan bronchikonstriksi juga
merangsang pembentukan mediator kimiawi.
Pada serangan asma berat yang sudah disertai toxemia, tubuh akan mengadakan
hiperventilasi untuk mencukupi kebutuhan O 2. Hiperventilasi ini akan menyebabkan
pengeluaran CO2 berlebihan dan selanjutnya mengakibatkan tekanan CO 2 darah
arteri (pa CO2) menurun sehingga terjadi alkalosis respiratorik (pH darah
meningkat). Bila serangan asma lebih berat lagi, banyak alveolus tertutup oleh
mukus sehingga tidak ikut sama sekali dalam pertukaran gas. Sekarang ventilasi

tidak mencukupi lagi, hipoksemia bertambah berat, kerja otot-otot pernafasan


bertambah berat dan produksi CO2 yang meningkat disertai ventilasi alveolar yang
menurun menyebabkan retensi CO2 dalam darah (Hypercapnia) dan terjadi asidosis
respiratori (pH menurun). Stadium ini kita kenal dengan gagal nafas.
Hipotermi yang berlangsung lama akan menyebabkan asidosis metabolik dan
konstruksi jaringan pembuluh darah paru dan selanjutnya menyebabkan sunting
peredaran darah ke pembuluh darah yang lebih besar tanpa melalui unit-unit
pertukaran gas yang baik. Sunting ini juga mengakibatkan hipercapni sehingga
akan memperburuk keadaan.
Tanda dan Gejala
- Batuk produktif
- Wheezing
- Dispnea
- Mengi
- Ekspirasi memanjang
- Barrel chest (dada tong)
- Orthopnea
- Berkeringat
- Tachypnea
- Tachycardia.
Pemeriksaan Diagnostik
a) Test Fungsi paru ( spirometri)
Pemeriksaan fungsi paru adalah cara yang paling akurat dalam mengkaji obstruksi
jalan napas akut. Fungsi paru yang rendah mengakibatkan dan menyimpangkan gas
darah ( respirasi asidosis) , mungkin menandakan bahwa pasien menjadi lelah dan
akan membutuhkan ventilasi mekanis, adalah criteria lain yang menandakan
kebutuhan akan perawatan di rumah sakit. Meskipun kebanyakan pasien tidak
membutuhkan ventilasi mekanis, tindakan ini digunakan bila pasien dalam keadaan
gagal napas atau pada mereka yang kelelahan dan yang terlalu letih oleh upaya
bernapas atau mereka yang kondisinya tidak berespons terhadap pengobatan awal.
b) Pemeriksaan gas darah arteri
Dilakukan jika pasien tidak mampu melakukan maneuver fungsi pernapasan karena
obstruksi berat atau keletihan, atau bila pasien tidak berespon terhadap tindakan.
Respirasi alkalosis ( CO2 rendah ) adalah temuan yang paling umum pada pasien
asmatik. Peningkatan PCO2 ( ke kadar normal atau kadar yang menandakan
respirasi asidosis ) seringkali merupakan tanda bahaya serangan gagal napas.
Adanya hipoksia berat, PaO2 < 60 mmHg serta nilai pH darah rendah.
c) Arus puncak ekspirasi
APE mudah diperiksa dengan alat yang sederhana, flowmeter dan merupakan data
yang objektif dalam menentukan derajat beratnya penyakit. Dinyatakan dalam
presentase dari nilai dungaan atau nilai tertinggi yang pernah dicapai. Apabila
kedua nilai itu tidak diketahui dilihat nilai mutlak saat pemeriksaan.

d) Pemeriksaan foto thoraks


Pemeriksaan ini terutama dilakukan untuk melihat hal hal yang ikut memperburuk
atau komplikasi asma akut yang perlu juga mendapat penangan seperti atelektasis,
pneumonia, dan pneumothoraks. Pada serangan asma berat gambaran radiologis
thoraks memperlihatkan suatu hiperlusensi, pelebaran ruang interkostal dan
diagfragma yang menurun. Semua gambaran ini akan hilang seiring dengan
hilangnya serangan asma tersebut.
e) Elektrokardiografi
Tanda tanda abnormalitas sementara dan refersible setelah terjadi perbaikanklinis
adalah gelombang P meninggi ( P pulmonal ), takikardi dengan atau tanpa aritmea
supraventrikuler, tanda tanda hipertrofi ventrikel kanan dan defiasi aksis ke kanan.
Penanganan Asma
1.

Agenis Beta : untuk mendilatasi otot-otot polos bronkial dan meningkatkan


gerakan sililaris. Contoh obat : epinefrin, albutenol, meta profenid, iso proterenoli
isoetharine, dan terbutalin. Obat-obat ini biasa digunakan secara parenteral dan
inhalasi.

2.

Metil salin untuk bronkodilatasi, merilekskan otot-otot polos, dan meningkatkan


gerakan mukus dalam jalan nafas. Contoh obat: aminophyllin, teophyllin, diberikan
secara IV dan oral.

3.

Antikolinergik, contoh obat : atropin, efeknya : bronkodilator, diberikan secara


inhalasi.

4.

Kortikosteroid, untuk mengurangi inflamasi dan bronkokonstriktor. Contoh obat:


hidrokortison, dexamethason, prednison, dapat diberikan secara oral dan IV.

5.

Inhibitor sel mast, contoh obat: natrium kromalin, diberikan melalui inhalasi untuk
bronkodilator dan mengurangi inflamasi jalan nafas.

6.
7.

Oksigen, terapi diberikan untuk mempertahankan PO 2 pada tingkat 55 mmHg.


Fisioterapi dada, teknik pernapasan dilakukan untuk mengontrol dispnea dan batuk
efektif untuk meningkatkan bersihan jalan nafas, perkusi dan postural drainage
dilakukan hanya pada pasien dengan produksi sputum yang banyak.
KAJIAN KEPERAWATAN KRITIS
Pengkajian
a. Keluhan :
Sesak nafas tiba-tiba, biasanya ada faktor pencetus
Terjadi kesulitan ekspirasi / ekspirasi diperpanjang
Batuk dengan sekret lengket
Berkeringat dingin
Terdengar suara mengi / wheezing keras
Terjadi berulang, setiap ada pencetus

Sering ada faktor genetik/familier


AIRWAY
Pengkajian:
Pada pasien dengan status asmatikus ditemukan adanya penumpukan sputum pada
jalan nafas. Hal ini menyebabkan penyumbatan jalan napas sehingga status
asmatikus ini memperlihatkan kondisi pasien yang sesak karena kebutuhan akan
oksigen semakin sedikit yang dapat diperoleh.
Diagnosa keperawatan :
Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d penumpukan sputum
Intervensi :
a. Amankan pasien ke tempat yang aman
R/ lokasi yang luas memungkinkan sirkulasi udara yang lebih banyak untuk
pasien
b. Kaji tingkat kesadaran pasien
R/ dengan melihat, mendengar, dan merasakan dapat dilakukan untuk
mengetahui tingkat kesadaran pasien
c.

Segera minta pertolongan


R/ bantuan segera dari rumah sakit memungkinkan pertolongan yang lebih
intensif
d. Auskultasi bunyi napas dengan mendekatkan telinga ke mulut pasien
R/ mengetahui tingkat pernapasan pasien dan mengetahui adanya
penumpukan sekret
e. Berikan teknik membuka jalan napas dengan cara memiringkan pasien
setengah telungkup dan membuka mulutnya
R/ memudahkan untuk mengeluarkan sputum pada jalan napas
BREATHING
Pengkajian :
Adanya sumbatan pada jalan napas pasien menyebabkan bertambahnya usaha
napas pasien untuk memperoleh oksigen yang diperlukan oleh tubuh. Namun pada
status asmatikus pasien mengalami nafas lemah hingga adanya henti napas.
Sehingga ini memungkinkan bahwa usaha ventilasi pasien tidak efektif. Disamping
itu adanya bising mengi dan sesak napas berat sehingga pasien tidak mampu
menyelesaikan satu kalimat dengan sekali napas, atau kesulitan dalam bergerak.
Pada pengkajian ini dapat diperoleh frekuensi napas lebih dari 25 x / menit. Pantau
adanya mengi.
Diagnose keperawatan :
Ketidakefektifan pola napas b/d penurunan kemampuan bernapas
Intervensi :
a. Kaji usaha dan frekuensi napas pasien
R/ mengetahui tingkat usaha napas pasien
b. Auskultasi bunyi napas dengan mendekatkan telinga pada hidung pasien serta
pipi ke mulut
pasien

R/ mengetahui masih adanya usaha napas pasien


c. Pantau ekspansi dada pasien
R/ mengetahui masih adanya pengembangan dada pasien
CIRCULATION
Pengkajian :
Pada kasus status asmatikus ini adanya usaha yang kuat untuk memperoleh
oksgien maka jantung berkontraksi kuat untuk memenuhi kebutuhan tersebut hal
ini ditandai dengan adanya peningkatan denyut nadi lebih dari 110 x/menit. Terjadi
pula penurunan tekanan darah sistolik pada waktu inspirasi, arus puncak ekspirasi
( APE ) kurang dari 50 % nilai dugaan atau nilai tertinggi yang pernah dicapai atau
kurang dari 120 lt/menit. Adanya kekurangan oksigen ini dapat menyebabkan
sianosis yang dikaji pada tahap circulation ini.
Diagnosa Keperawatan :
Perubahan perfusi jaringan perifer b/d kekurangan oksigen
Intervensi :
pantau tanda tanda vital ( nadi, warna kulit ) dengan menyentuh nadi jugularis
R/ mengetahui masih adanya denyut nadi yang teraba
DAFTAR PUSTAKA
1.
Hudak & Gallo, Keperawatan Kritis, Edisi VI,Vol I, Jakarta, EGC, 2001
2.
Tucker S. Martin, Standart Perawatan Pasien, Jilid 2, Jakarta, EGC, 1998
3.
Reeves. Keperawatan Medikal Bedah. Ed 1. Jakarta : Salemba Medika; 2001
4.
Halim Danukusantoso, Buku Saku Ilmu Penyakit Paru, Jakarta, Penerbit
Hipokrates , 2000
5.

Smeltzer, C . Suzanne,dkk, Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol 1.


Jakarta , EGC, 2002

6.

Krisanty Paula, dkk. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Cetakan Pertama,


Jakarta, Trans Info Media, 2009.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN LUKA BAKAR

A. Definisi
Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan
kimia dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam
(Guyton & Hall, 1997).
B. Insiden
Perawatan luka bakar mengalami perbaikan / kemajuan dalam dekade terakhir
ini, yang mengakibatkan menurunnya angka kematian akibat luka bakar. Pusat-

pusat perawatan luka bakar telah tersedia cukup baik, dengan anggota team yang
menangani luka bakar terdiri dari berbagai disiplin yang saling bekerja sama untuk
melakukan perawatan pada klien dan keluarganya. Di Amerika kurang lebih 2 juta
penduduknya memerlukan pertolongan medik setiap tahunnya untuk injuri yang
disebabkan karena luka bakar. 70.000 diantaranya dirawat di rumah sakit dengan
injuri yang berat.
Luka bakar merupakan penyebab kematian ketiga akibat kecelakaan pada
semua kelompok umur. Laki-laki cenderung lebih sering mengalami luka bakar dari
pada wanita, terutama pada orang tua atau lanjut usia ( diatas 70 th) (Rohman
Azzam, 2008).
C. Etiologi
Etiologi dari luka bakar (Guyton & Hall, 1997) :
1. Luka Bakar Suhu Tinggi(Thermal Burn)
a. Gas
b. Cairan
c. Bahan padat (Solid)
2. Luka Bakar Bahan Kimia (hemical Burn)
3. Luka Bakar Sengatan Listrik (Electrical Burn)
4. Luka Bakar Radiasi (Radiasi Injury)
D. Fase Luka Bakar
Fase fase luka bakar (Guyton & Hall, 1997) yaitu :
1. Fase akut.
Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Dalam fase awal penderita akan
mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas), breathing (mekanisme
bernafas), dan circulation (sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi
segera atau beberapa saat setelah terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi

saluran pernafasan akibat cedera inhalasi dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera
inhalasi adalah penyebab kematian utama penderita pada fase akut. Pada fase akut
sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat cedera termal
yang berdampak sistemik.
2. Fase sub akut.
Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau
kehilangan jaringan akibat kontak denga sumber panas. Luka yang terjadi
menyebabkan:
1. Proses inflamasi dan infeksi.
2. Problem penutupan luka dengan titik perhatian pada luka telanjang atau tidak
berbaju epitel luas dan atau pada struktur atau organ organ fungsional.
3. Keadaan hipermetabolisme.
3. Fase lanjut.
Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan
pemulihan fungsi organ-organ fungsional. Problem yang muncul pada fase ini
adalah penyulit berupa parut yang hipertropik, keloid, gangguan pigmentasi,
deformitas dan kontraktur.
E. Klasifikasi luka bakar (Hudak & Gallo, 1997)
1. Dalamnya luka bakar
Kedalaman

Penyebab

Penampilan

Warna

Perasaa
n

Ketebalan

Jilatan

api,

Kering

partial

sinar

gelembung, edema

superfisial

ultraviolet

minimal atau tidak

(tingkat I)

(terbakar

ada,

oleh

ditekan

matahari)

ujung
kembali

tidak

pucat

ada

bila

dengan
jari,

berisi
bila

Bertamba
h merah

Nyeri

tekanan dilepas
Lebih

dalam

Kontak

Blister

dari

partial

dengan

lembab

(tingkat II)
Superfisial
Dalam

bahan
atau

besar

dan
yang

air

ukurannya

bahan

bertambah

Berbintik

Sangat

bintik

nyeri

yang
besar.

padat. Jilatan

Pucat

ditekan

jelas,

api

dengan ujung jari,

putih,

pakaian.

bila tekanan dilepas

coklat,

Jilatan

berisi kembali

pink,

kepada

bila

kurang

langsung

daerah

kimiawi, sinar

merah

ultraviolet

coklat

Ketebalan

Kontak

Kering disertai kulit

Putih,

Tidak

sepenuhnya

dengan

yang

kering,

sakit,

bahan
atau
Nyala

cair

mengelupas.

Pembuluh

darah

hitam,

sedikit

padat.

seperti

arang

coklat

sakit,

api,

terlihat

dibawah

tua,

rambut

hitam,

mudah

merah

lepas bila

kimia, kontak

kulit

dengan

mengelupas.

listrik

arus

yang

Gelembung

jarang,

dindingnya

sangat

tipis,

tidak

membesar,

tidak

dicabut

pucat bila ditekan

2. Luas luka bakar


Wallace membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatan 9 yang terkenal dengan
nama rule of nine atua rule of wallace yaitu:
3. Berat ringannya luka bakar
Untuk mengkaji beratnya luka bakar harus dipertimbangkan beberapa faktor antara
lain :

1) Persentasi area (Luasnya) luka bakar pada permukaan tubuh.


2) Kedalaman luka bakar.
3) Anatomi lokasi luka bakar.
4) Umur klien.
5) Riwayat pengobatan yang lalu.
6) Trauma yang menyertai atau bersamaan.
American college of surgeon membagi dalam:
A. Parah critical:
a) Tingkat II : 30% atau lebih.
b) Tingkat III : 10% atau lebih.
c) Tingkat III pada tangan, kaki dan wajah.
d) Dengan adanya komplikasi penafasan, jantung, fractura, soft tissue yang luas.
B. Sedang moderate:
a) Tingkat II : 15 30%
b) Tingkat III : 1 10%
C. Ringan minor:
a) Tingkat II : kurang 15%
b) Tingkat III : kurang 1%
F. Patofisilogi
WOC terlampir (http://www.artanto.com)
G. Perubahan Fisiologis Pada Luka Bakar (Guyton & Hall, 1997)
Perubahan

Tingkatan
(s/d

hipovolemik

48-72

jam

Tingkatan

diuretik

(12

pertama)

Fungsi renal

jam 18/24 jam pertama

Mekanism

Dampak

Hemodilusi

dari

Interstitial ke
vaskuler

e
Aliran darah

Oliguri

Peningkatan

Diuresis

renal

aliran

berkurang

renal karena

karena

desakan

desakan

darah

darah turun

meningkat

dan

darah

CO

berkurang
Kadar

sodium

natrium

Na+

Defisit

Kehilangan

Defisit

direabsorbsi

sodium

Na+

sodium

oleh

ginjal,

melalui

diuresis

tapi

(normal

kehilangan

kembali

Na+ melalui

setelah

eksudat dan

minggu)

tertahan
dalam
cairan
edema
Kadar potassium

K+

dilepas

Hiperkalemi

K+ bergerak

sebagai

kembali

akibat

dalam

cidera

K+ terbuang

jaringan sel

melalui

sel darah

diuresis

merah,

K+

sel,

(mulai

4-5

berkurang

hari

ekskresi

luka bakar)

karena
fungsi renal

setelah

Hipokalemi

berkurang
Kadar protein

Kehilangan
protein

ke

dalam
jaringan
akibat

Hipoprotein
emia

kenaikan
permeabilit
as
Keseimbangan

Katabolisme

Keseimbang

Katabolisme

Keseimbang

nitrogen

jaringan,

an nitrogen

jaringan,

an

kehilangan

negatif

kehilangan

negatif

protein

protein,

dalam

immobilitas

nitrogen

jaringan,
lebih
banyak
kehilangan
dari
masukan
Keseimbangan

Metabolism

Asidosis

Kehilangan

Asidosis

asam basa

metabolik

sodium

metabolik

anaerob

karena

bicarbonas

perfusi

melalui

jaringan

diuresis,

berkurang,

hipermetabol

peningkata

isme disertai

n asam dari

peningkatan

produk

produk akhir

akhir,

metabolisme

fungsi renal
berkurang
(menyebab

kan retensi
produk
akhir
tertahan),
kehilangan
bikarbonas
serum
Terjadi

Stres karena

karena sifat

luka

cidera
Aliran darah renal
berkurang

berlangsun
g lama dan
terancam
psikologi
pribadi

Eritrosit

Terjadi

Luka

karena

termal

bakar

panas,

Tidak terjadi

Hemokonsen

pada hari

trasi

hari pertama

pecah
menjadi
fragil
Lambung

Jantung

Curling

Rangsangan

Akut dilatasi

Peningkatan

ulcer (ulkus

central

dan paralise

jumlah

pada

hipotalamus

usus

cortison

gaster),

dan

perdarahan

peningkatan

lambung,

jumlah

nyeri

cortison

MDF

Disfungsi

Peningkatan

CO menurun

meningkat

jantung

zat

2x

lipat,

merupakan

di

MDF

(Miokard
Depresant

glikoprotein

Factor)

yang

sampai

toxic

26

yang

unit,

dihasilkan

bertanggung

oleh

jawab

kulit

yang

terhadap

terbakar

syok septic

H. Indikasi Rawat Inap Luka Bakar (Guyton & Hall, 1997)


A. Luka bakar grade II :
1) Dewasa > 20%
2) Anak/orang tua > 15%
B. Luka bakar grade III
C. Luka bakar dengan komplikasi: jantung, otak dll.
I.

Penatalaksanaan (Long, Barbara C, 1996)

A. Resusitasi A, B, C.
1) Pernafasan
a) Udara panas

mukosa rusak

oedem

obstruksi.

b) Efek toksik dari asap: HCN, NO2, HCL, Bensin iritasi Bronkhokontriksi obstruksi
gagal nafas.
2) Sirkulasi:
Gangguan permeabilitas kapiler: cairan dari intra vaskuler pindah ke ekstra vaskuler
hipovolemi relatif syok ATN gagal ginjal.
B. Infus, kateter, CVP, oksigen, Laboratorium, kultur luka.
C. Resusitasi cairan Baxter.
Dewasa : Baxter.

RL 4 cc x BB x % LB/24 jam.
Anak: jumlah resusitasi + kebutuhan faal:
RL : Dextran = 17 : 3
2 cc x BB x % LB.
Kebutuhan faal:
< 1 tahun : BB x 100 cc
1 3 tahun : BB x 75 cc
3 5 tahun : BB x 50 cc
diberikan 8 jam pertama
diberikan 16 jam berikutnya.
Hari kedua:
Dewasa : Dextran 500 2000 + D5% / albumin.

( 3-x) x 80 x BB gr/hr
100
(Albumin 25% = gram x 4 cc) 1 cc/mnt.
Anak : Diberi sesuai kebutuhan faal.
D. Monitor urine dan CVP.
E. Topikal dan tutup luka
- Cuci luka dengan savlon : NaCl 0,9% ( 1 : 30 ) + buang jaringan nekrotik.
- Tulle.
- Silver sulfadiazin tebal.

- Tutup kassa tebal.


- Evaluasi 5 7 hari, kecuali balutan kotor.
F. Obat obatan:
o Antibiotika : tidak diberikan bila pasien datang < 6 jam sejak kejadian.
o Bila perlu berikan antibiotika sesuai dengan pola kuman dan sesuai hasil kultur.
o Analgetik : kuat (morfin, petidine)
o Antasida : kalau perlu
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito,J,L. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2. PT
EGC. Jakarta.
Guyton & Hall. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit Buku
Kedoketran EGC. Jakarta
Hudak & Gallo. (1997). Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik.Volume I. Penerbit
Buku Kedoketran EGC. Jakarta.
Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan). Yayasan
Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.
Marylin E. Doenges. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.

Edisi 3. Penerbit Buku

Kedoketran EGC. Jakarta.


Anonim. (2009). Kumpulan Artikel Keperawatan Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Dengan Luka Bakar (Combustio). (Online) http://www.artanto.com.
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN
DENGAN INTOKSIKASI INSEKTISIDA (IFO)

A. Pengertian

Intoksikasi (keracunan) adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh
manusia yang menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya.
Istilah peptisida pada umumnya dipakai untuk semua bahan yang dipakai manusia
untuk membasmi hama yang merugikan manusia. Termasuk peptisida ini adalah
insektisida. Ada dua macam insektisida yang paling banyak digunakan dalam
pertanian adalah :
1.

insektisida hidrokarbo khlorin (IHK = chlorinated hydrocarbon)

2.

insektisida fosfat organic (IFO = organo phosphate insecticide).


Yang paling sering digunakan adalah IFO yang pemakaiannya terus menerus
meningkat. Sifat - sifat dari IFO adalah insektisida poten yang paling banyak
digunakan dalam pertanian dengan toksisitas yang tinggi. Salah satu derivatnya
adalah Tabun dan Sarin. Bahan ini menembus kulit yang normal (intact), juga dapat
diserap di paru dan saluran makanan, namun tidak berakumulasi dalam jaringan
tubuh seperti halnya golongan IHK.
Macam macam IFO adalah Malathion (Tolly), Paraathion, Diazinon, Basudin,
Paraoxon dan lain lain. IFO sebenarnya dibagi 2 macam yaitu IFO murni dan
golongan carbamate. Salah satu contoh golongan carbamate adalah baygon.

B.

Patogenesis
IFO bekerja dengan cara menghambat (inaktivasi) enzim asetilkolinesterase
tubuh (KhE). Dalam keadaan normal enzim KhE bekerja untuk menghidrolisis Akh
dengan jalan mengadakan ikatan Akh- KhE yang bersifat inaktif. Bila konsentrasi
racun lebih tinggi ikatan IFO KhE lebih banyak terjadi. Akibatnya akan terjadi
penumpukan AKh di tempat tempat tertentu, sehingga timbul gejala gejala
rangsangan AKh yang berlebihan, yang akan menimbulkan efek muscarinik,
nikotinik dan SSP (menimbulkan stimulasi kemudian depresi SSP).
Pada keracunan IFO, ikatan IFO KhE bersifat menetap (irreversible), sedangkan
pada keracunan carbamate ikatan ini bersifat sementara (reversible). Secara
farmakologis efek AKh dapat dibagi dalan 3 bagian, yaitu :

1.

Muskarini, terutama pada saluran pencernaan, kelenjar ludah dan keringat, pupil,
bronkus dan jantung.

2.

Nikotinik, terutama pada otot otot skeletal, bola mata, lidah, kelopak mata dan
otot pernapasan.

3.

SSP, menimbulkan nyeri kepala, perubahan emosi, kejang kejang (konvulsi)


sampai koma.

C.

Gambaran klinik
Yang paling menonjol adalah kelainan visus, hiperaktivitas kelenjar ludah, keringat
dan saluran pencernaan, serta kesukaran bernapas.
Keracunan ringan : anoreksia, nyeri kepala, rasa lemah, rasa takut, tremor lidah,
kelopak mata, pupil miosis.
Keracunan sedang : nausea, muntah muntah, kejang atau kram perut, hipersaliva,
hiperhidrosis, fasikulasi otot dan bradikardi.
Keracunan berat : diare, pupil pi point, reaksi cahaya negatif, sesak napas,
sianosis, edema paru, inkontinensia urine dan feses, konvulsi, koma, blokade
jantung, akhirnya meninggal.

D. Pemeriksaan .
1.

Laboratorik.
Pengukuran kadar KhE dalam sel darah merah dan plasma, penting untuk
memastikan diagosis keracunan IFO akut maupun kronik (menurun sekian % dari
harga normal).
Keracunan akut : ringan : 40 70 %
sedang : 20 40 %
berat

: < 20 %.

Keracunan kronik bila kadar KhE menurun sampai 25 - 50 %, setiap individu


yang berhubungan dengan insektisida ini harus segera disingkirkan dan baru
diizinkan bekerja kembali bila kadar KhE telah meningkat > 75 % N.

2.

Patologi Anatomi (PA)


Pada keracunan akut, hasil pemeriksaan patologi biasanya tidak khas. Sering hanya
ditemukan edema paru, dilatasi kapiler, hiperemi paru, otak dan organ organ lain.

E.

Penatalaksanaan

1.

Resusitasi
Setelah jalan napas dibebaskan dan dibersihkan, periksa pernapasan dan
nadi. Infus dextrose 5 % kecepatan 15 20 tts/mnt, napas buatan + oksigen, hisap

lendir dalam saluran napas, hindari obat obat depresan saluran napas, kalau perlu
respirator pada kegagalan napas berat. Hindar pernapasan buatan dari mulut ke
mulut sebab racun organofosfat akan meracuni lewat mulut penolong. Pernapasan
buatan hanya dilakukan dengan meniup face mask atau menggunakan alat bag
valve mask.
2.

Eliminasi
Emesis, merangsang penderita supaya muntah pada penderita yang sadar
atau dengan pemberian sirup ipecac 15 30 ml. Dapat diulan setelah 20 menit bila
tidak berhasil. Katarsis (intestinal lavage), dengan pemberian laksans bila diduga
racun telah sampai di usus halus dan tebal. Kumbah lambung (KL atau gastric
lavage), pada penderita yang kesadaran yang menurun, atau pada mereka yang
tidak kooperatif. Hasil paling efektif bila KL dikerjakan dalam 4 jam setelah
keracunan.
Keramas rambut dan mandikan seluruh tubuh dengan sabun.
Emesis, katarsis dan KL sebaiknya hanya dilakukan bila keracunan terjadi kurang
daari 4 6 jam. Pada koma derajat sedang hingga berat tindakan KL sebaiknya
dikerjakan dengan bantuan pemasangan pipa endotrakeal berbalon, untuk
mencegah aspirasi pneumonia.

3.

Antidotum
Atropin sulfat (SA) bekerja dengan menghambat efek akumulasi AKh pada tempat
penumpukan.

a.

Mula mula diberikan bolus iv 1 2,5 mg

b.

Dilanjutkan dengan 0,5 1 mg setiap 5 10 15 menit sampai timbul gejala


gejala atropinisasi (muka merah, mulut kering, takikardi, midriasis, febris, dan
psikosis).

c.

Kemudian interval diperpanjang setiap 15 30 60 menit, selanjutnya setiap 2 4


6 8 dan 12 jam

d.

Pemberian SA dihentikan minimal setelah 2 X 24 jam. Penghentian yang mendadak


dapat menimbulkan rebound effect berupa edema paru dan kegagalan pernapasan
akut yang sering fatal.

ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian

Pengkajian difokuskan pada masalah yang mendesak seperti jalan napas dan
sirkulasi yang mengancam jiwa, adaya gangguan asam basa, keadaan status
jantung, status kesadaran. Riwayat kesehatan : riwayat keracunan, bahan racun
yang digunakan, berapa lama diketahui setelah keracunan, ada masalah lain
sebagai pencetus keracunan dan sindroma toksis yang ditimbulkan dan kapan
terjadinya.

B.

Masalah keperawatan
Masalah keperawatan yang bisa timbul adalah tidak efektifnya pola napas, resiko
tinggi kekurangan cairan tubuh, gangguan kesadaran, tidak efektifnya koping
indicidu.

C.

Intervensi
Pertolongan pertama yang dilakukan meliputi tindakan umum yang bertujuan untuk
keselamatan hidup, mencegah penyerapan dan penawar racun (antidotum) yang
meliputi resusitasi : air way, breathing dan circulation, eliminasi untuk menghambat
absorbsi melalui pencernaan dengan cara kumbah lambung, emesis atau katartasis
dan keramas rambut.
Berikan antidotum sesuai pesanan dokter minimal 2 X 24 jam yaitu Atropin sulfat
(SA).
Perawatan suportif meliputi pertahankan agar pasien tidak sampai demam atau
mengigil, monitor perubahan perubahan fisik seperti perubahan nadi yang cepat,
distress pernapasan, sianosis, diaphoresis, dan tanda tanda lain kolaps pembuluh
darah dan kemungkinan fatal atau kematian. Monitor tanda vital setiap 15 menit
untuk beberapa jam dan laporkam perrubahannya segera kepada dokter. Catat
tanda tanda seperti muntah, mual dan nyeri abdomen serta monitor semua
muntah akan adanya darah. Observasi feses dan urine serta pertahankan cairan
intravenous sesuai pesanan.
Jika pernapasan depresi, berikan oksigen dan lakukan suction. Ventilator mungkin
bias diperlukan. Jika keracunan sebagai suatu usaha untuk membunuh diri maka
lakukan safety precautions. Konsultasi psikiatri atau perawat psikiatris klinis.
Pertimbangkan juga masalah kelainan kepribadian, reaksi depresi, psikosis,
neurosis, mental retardasi dan lain lain.

SUMBER :

1.

Lab./UPF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo, (1994), Pedoman Diagnosis dan
Terapi, Surabaya

2.

Phipps, etc. (1991), Medical Surgical Nursing ; Cencept and Clinical Practice, 4th,
Mosby Year Book, Toronto.

3.

Departemen Kesehatan RI, (2000), Resusistasi Jantung Paru Otak ; Bantuan


Hidup Lanjut (Advanced Life Support), Jakarta.

4.

Emerton, D.M., (1989), Principles and Practice of Nursing, University of


Queensland Press, Australia

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWAT DARUTATAN PADA KLIEN


DENGAN EDEMA PARU
BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial
paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau
melalui saluran limfatik. Edema paru dibedakan oleh karena sebab Kardiogenik
dan NonKardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat
berbeda. Edema Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri
apapun sebabnya. Edema Paru Kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya
Payah Jantung Kiri Akut. Tetapi dengan adanya faktor , dapat terjadi pula pada
penderita Payah Jantung Kiri Khronik.
B.

1.
2.
3.

Rumusan Masalah

Apakah yang dimaksud dengan respiratory distress syndrome ?


Apa penyebab dari respiratory distress syndrome?
Bagaimana manifestasi klinis dari respiratory distress syndrome?

4.
5.
6.
7.

Bagaimana patofisiologi dari respiratory distress syndrome?


Apa pemeriksaan penunjang untuk respiratory distress syndrome?
Bagaimana komplikasi respiratory distress syndrome?
Bagaimana penatalaksanaan respiratory distress syndrome ?
8.
Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan respiratory distress
syndrome?
C. Tujuan
Tujuan Umum
Menjelaskan tentang RDS dan Asuhan Keperawatan pada klien dengan kasus RDS.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Tujuan Khusus
Menjelaskan tentang respiratory distress syndrome.
Menjelaskan tentang penyebab dari respiratory distress syndrome.
Menjelaskan tentang manifestasi klinis dari respiratory distress syndrome.
Menjelaskan tentang patofisiologi dari respiratory distress syndrome.
Menjelaskan tentang pemeriksaan penunjang untuk respiratory distress syndrome.
Menjelaskan tentang komplikasi respiratory distress syndrome.
Menjelaskan tentang penatalaksanaan respiratory distress syndrome.
Menjelaskan tentang asuhan keperawatan pada klien dengan respiratory distress
syndrome.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A.

DEFINISI
Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat
peningkatan tekanan intravaskular. (Elizabeth J Corwin, 2001)
Edema paru adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya cairan ekstravaskular
yang patologis pada jaringan parenkim paru. (Titin Suprihatin, 2000)

B.
1.
a.
1)

ETIOLOGI
Ketidak-seimbangan Starling Forces :
Peningkatan tekanan kapiler paru :
Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri

2)

(stenosis mitral).
Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel

3)

kiri.
Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan

b.

arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).


Penurunan tekanan onkotik plasma.

Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, penyakit dermatologi


c.
1)
2)

atau penyakit nutrisi.


Peningkatan tekanan negatif intersisial :
Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).
Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut

bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).


Peningkatan tekanan onkotik intersisial.
Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.
2.
Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress

d.

a.
b.
c.

Syndrome)
Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon, NO2, dsb).
Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl

d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
3.
a.
b.
c.
4.
a.
b.
c.
d.
e.

thiourea).
Aspirasi asam lambung.
Pneumonitis radiasi akut.
Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
Disseminated Intravascular Coagulation.
Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
Pankreatitis Perdarahan Akut.
Insufisiensi Limfatik :
Post Lung Transplant.
Lymphangitic Carcinomatosis.
Fibrosing Lymphangitis (silicosis).
Tak diketahui/tak jelas
High Altitude Pulmonary Edema.
Neurogenic Pulmonary Edema.
Narcotic overdose.
Pulmonary embolism.
Eclampsia
f.

f.
g.

Post Cardioversion.
Post Anesthesia.
Post Cardiopulmonary Bypass.
C. PATOFISIOLOGI
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi ketika cairan
dari bagian dalam pembuluh-pembuluh darah merembes keluar pembuluh darah
kedalam jaringan-jaringan sekelilingnya, menyebabkan pembengkakan. Ini dapat
terjadi karena terlalu banyak tekanan dalam pembuluh-pembuluh darah atau tidak
ada cukup protein-protein dalam aliran darah untuk menahan cairan dalam plasma
(bagian

dari

darah

yang

tidak

megandung

segala

sel-sel

darah).

Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru-paru. Area
yang langsung diluar pembuluh-pembuluh darah kecil pada paru-paru ditempati
oleh kantong-kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah

dimana oksigen dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbon dioksida
dalam darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli
normalnya mempunyai dinding yang sangat tipis yang mengizinkan pertukaran
udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dindig ini
kehilangan integritasnya.
Edema Paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan kelebihan cairan yang merembes
keluar dari pembuluh-pembuluh darah dalam paru sebagai gantinya udara. Ini
dapat menyebabkan persoalan-persoalan dengan pertukaran gas (oksigen dan
karbon dioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan pengoksigenan darah yang
buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai air dalam paru-paru ketika
menggambarkan

kondisi

ini

pada

pasien-pasien.

Pulmonary

edema

dapat

disebabkan oleh banyak faktor-faktor yang berbeda. Ia dapat dihubungkan pada


gagal jantung, disebut cardiogenic pulmonary edema, atau dihubungkan pada
sebab-sebab lain, dirujuk sebagai non-cardiogenic pulmonary edema.
D. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan radiografi (foto
toraks). Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun kenyataannya secara klinik
sukar

dideteksi

dini.

1. Stadium 1.
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan
pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja.
Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya
ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat
inspirasi.
2. Stadium 2.
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru menjadi
kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal
(garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor inter-sisial, akan
lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh karena
pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat
takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi
takhipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan
intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit
perubahan saja.
3. Stadium 3.

Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi
hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih
kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi
right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi
pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia.
Pada keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-hati (Ingram and
Braunwald, 1988).
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Elektrokardiografi
Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium, tergantung
penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia bisa
2.
a.

ditemukan,
Laboratorium
Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian

b.
c.

hiperkapnia.
Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim

jantung (CK-MB, Troponin T), angiografi koroner


3. Foto thoraks
Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada. Radiograph (X-ray)
dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang menyinggung jantung dan
pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang dari vertebral column,
dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-bidang yang lebih
gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur tulang dari dinding
dada.
X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak
tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-kasus
yang

lebih

parah

dari

pulmonary

edema

dapat

menunjukan

opacification

(pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari
bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli
sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi
yang minimal tentang penyebab yang mungkin mendasarinya.
F. PENATALAKSANAAN
1.
Posisi duduk.
2.
Oksigen (40 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk
(pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan
60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau

tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi
3.
4.

endotrakeal, suction, dan ventilator.


Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 0,6 mg tiap 5
10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin
intravena mulai dosis 3 5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka
dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi
respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau
sampai tekanan darah sistolik 85 90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai
tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke

5.

organ-organ vital.
Morfin sulfat 3 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya

6.

dihindari).
Diuretik Furosemid 40 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap

7.

4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 5
ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan

8.
9.

hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.


Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil

dengan oksigen.
10. Atasi aritmia atau gangguan konduksi.
11. Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur
dinding ventrikel / corda tendinae.
G. KOMPLIKASI
Kebanyakan komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema mungkin timbul dari
komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan penyebab yang mendasarinya.
Lebih spesifik, pulmonary edema dapat menyebabkan pengoksigenan darah yang
dikompromikan secara parah oleh paru-paru. Pengoksigenan yang buruk (hypoxia)
dapat secara potensial menjurus pada pengantaran oksigen yang berkurang ke
organ-organ tubuh yang berbeda, seperti otak.
H. PENCEGAHAN
Dalam hal tindakan-tindakan pencegahan, tergantung

pada

penyebab

dari

pulmonary edema, beberapa langkah-langkah dapat diambil. Pencegahan jangka


panjang dari penyakit jantung dan serangan-serangan jantung, kenaikan yang
perlahan ke ketinggian-ketinggian yang tinggi, atau penghindaran dari overdosis
obat dapat dipertimbangkan sebagai pencegahan. Pada sisi lain, beberapa sebab-

sebab mungkin tidak sepenuhnya dapat dihindari atau dicegah, seperti ARDS yang
disebabkan oleh infeksi atau trauma yang berlimpahan.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Data umum:
1.
Identitas :
Umur : Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan remaja/dewasa
2.

muda
Riwayat Masuk
Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis atau batukbatuk disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang sudah menurun dan
dapat terjadi dengan tiba-tiba pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar

3.

dengan masing-masik tanda klinik mungkin menyertai klien


Riwayat Penyakit Dahulu
Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis, pancreatitis,
Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta penyakit ginjal
mungkin ditemui pada klien

1.

Pemeriksaan fisik
Sistem Integumen
Subyektif

Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder), banyak
2.

keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan


Sistem Pulmonal
Subyektif : sesak nafas, dada tertekan, cengeng
Obyektif : Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk (produktif/nonproduktif),
sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan diafragma dan
perut meningkat, Laju pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang

3.

paru.
Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit kepala
Obyektif : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas darah

menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan


Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
5.
Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
4.

Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan penggunaan
otot aksesoris pernafasan
Sistem genitourinaria
Subyektif :
Obyektif : produksi urine menurun/normal.
7.
Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare
Pemeriksaan Laboratorium :
1.
Hb : menurun/normal
2.
Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah, kadar
6.

karbon darah meningkat/normal.


3.
Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal.
B.

PRIORITAS MASALAH

1.

Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d intubasi, ventilasi, proses penyakit,

2.

kelemahan dan kelelahan.


Gangguan pertukaran Gas b.d sekresi tertahan, proses penyakit, atau pengesetan

3.
4.

ventilator tidak tepat.


Gangguan komunikasi verbal b.d pemasangan selang endotrakeal.
Resiko tinggi infeksi b.d pemasangan selang endotrakeal.
C.

INTERVENSI KEPERAWATAN

Diagnosa Keperawatan :
1.

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
a.

Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d intubasi, ventilasi, proses penyakit,
kelemahan dan kelelahan
Tujuan : Jalan nafas dapat dipertahankan kebersihannya
Kriteria : Suara nafas bersih, ronchii tidak terdengar pada seluruh lapang paru
Rencana Tindakan
Auskultasi bunyi nafas tiap 2-4 jam
Lakukan hisap lendir bila ronchii terdengar
Monitor humidivier dan suhu ventilator
Monitor status hidrasi klien
Monitor ventilator tekanan dinamis
Beri Lavase cairan garam faali sesuai indikasi
Beri fisioterapi dada sesuai indikasi
Beri bronkodilator
Ubah posisi, lakukan postural drainage
Rasional
Monitor produksi secret

b.

Tekanan penghisapan tidak lebih 100-200 mmHg. Hiperoksigenasi dengan 4-5 kali
pernafasn dengan O2 100 % dan hiperinflasi dengan 1 kali VT menggunakan

c.
d.
e.

resusitasi manual atau ventilator. Auskultasi bunyi nafas setelah penghisapan


Oksigen lembab merangasang pengenceran sekret. Suhu ideal 35-37,8OC
Mencegah sekresi kental
Peningkatan tekanan tiba-tiba mungkin menunjukkan adanya perlengketan jalan

f.
g.
h.
2.

nafas
Fasilitasi pembuangan sekret.
Fasilitasi pengenceran dan penge-luaran sekret menuju bronkus utama.
Fasilitasi pengeluaran sekret menuju bronkus utama.
Gangguan pertukaran Gas b.d sekresi tertahan, proses penyakit, atau pengesetan

a.

ventilator tidak tepat


Tujuan : Pertukaran gas jaringan paru optimal
Kriteria : Gas Darah Arteri dalam keadaan normal
Rencana Tindakan
Periksa AGD 10-30 menit setelah pengesetan ventilator atau setelah adanya

perubahan ventilator
Monitor AGD atau oksimetri selama periode penyapihan
Kaji apakah posisi tertentu menimbulkan ketidaknyamanan pernafasan
Monitor tanda hipoksia dan hiperkapnea
Rasional
a.
AGD diperiksa sebagai evaluasi status pertukaran gas; menunjukkan konsentrasi

b.
c.
d.

b.
c.
d.
3.

O2 & CO2 darah.


Periode penyapihan rawan terhadap perubahan status oksigenasi.
Dalam berbagai kondisi, ketidak-nyamanan dapat mempengaruhi klinis penderita.
Hipoksia dan hiperkapnea ditandai adanya gelisah dan penurunan kesadaran,
asidosis, hiperventilasi, diaporesis dan keluhan sesak meningkat.
Gangguan komunikasi verbal b.d pemasangan selang endotrakeal
Tujuan : Klien dan petugas kesehatan dapat berkomunikasi secara efektif selama
pemasangan selang endotrakeal
Kriteria : Klin dan perawat menentukan dan menggunakan metodayang tepat untuk
berkomunikasi, tidak terjadi hambatan komunikasi berarti, menggunakan metode
yang

a.

tepat

Rencana Tindakan:
Jelaskan lingkungan, semua prosedur, tujuan dan alat yang berhubungan dengan

a.

klien
Berikan bel atau papan catatan serta alat tulis untuk momunikasi
Ajukan pertanyaan tertutup
Yakinkan pasien bahwa suara akan kembali bila endotrakela dilepas.
Rasional
Mengurangi kebingungan klien dan meminimalisasi adanya komunikasi yang sulit

b.
c.

antara klien dan perawat


Sebagai media komunikasi antara klien dan perawat
Menghindari komunikasi tidak efektif

b.
c.
d.

d.

a.

Mengurangi kecemasan yang mungkin timbul akibat kehilangan suara


Resiko tinggi infeksi b.d pemasangan selang endotrakeal
Tujuan : Klien tidak mengalami infeksi nosokomial
Kriteria : tidak terdapat tanda-tanda infeksi nosokomial
Rencana Tindakan
Evaluasi warna, jumlah, konsistensi dan bau sputum tiap kali penghisapan
Tampung spesimen untuk kultur dan sensitivitas sesuai indikasi
Pertahankan teknis steril selama penghisapan lender
Ganti selang ventilator tiap 24 72 jam
Rasional
Infeksi traktus respiratorius dapat mengakibatkan sputum bertambah banyak,

b.
c.
d.

bau lebih menyengat, warna berubah lebih gelap


Memastikan adanya kuman dalam sputum/jalan nafas
Mengurangi resiko infeksi nosokomial
Mengurangai resiko infeksi nosokomial

4.

a.
b.
c.
d.

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall (2000), Buku saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC,
Jakarta
Corwin, Elizabeth J, (2001), Buku saku Patofisiologi, Edisi bahasa Indonesia, EGC,
Jakarta
Doengoes, E. Marilyn (1989), Nursing Care Plans, Second Edition, FA Davis,
Philadelphia
Mansjoer Arif:1999: Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga jilid I: Medi Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta

Suprihatin, Titin (2000), Bahan Kuliah Keperawatan Gawat Darurat PSIK Angkatan I,
Universitas Airlangga, Surabaya

You might also like