You are on page 1of 15

Pengertian

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi
yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet,
1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis
alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Berdasarkan penyebabnya, ada 2 golongan rhinitis :
1. Rhinitis alergi disebabkan oleh adanya alergen yang terhirup oleh hidung.
2. Rhinitis non alergi disebabkan oleh faktor-faktor pemicu tertentu : Rhinitis vasomotor,
rhinitis medicamentosa, rhinitis struktural
Menurut WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjad i:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai, berolahraga,
belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas(Bousquet et al,
2001).

Etiologi rinitis alergi


Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis
alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada
dewasa dan ingestan pada anakanak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari
klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan
rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang

tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides
farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan
binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai
tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi
merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan
memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau
aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994).
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau,
serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat,
ikan dan udang.
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan
lebah.
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya
bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).

Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan
diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu :

1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung
sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya. Munculnya segera dalam 5-30 menit,
setelah terpapar dengan alergen spesifik dan gejalanya terdiri dari bersin-bersin, rinore karena
hambatan hidung dan atau bronkospasme. Hal ini berhubungan dengan pelepasan amin vasoaktif
seperti histamin.
2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai
24-48 jam. Muncul dalam 2-8 jam setelah terpapar alergen tanpa pemaparan tambahan. Hal ini
berhubungan dengan infiltrasi sel-sel peradangan, eosinofil, neutrofil, basofil, monosit dan CD4 +

sel T pada tempat deposisi antigen yang menyebabkan pembengkakan, kongesti dan sekret
kental.

Patogenesis Rinitis Alergi

Patofisiologi rinitis alergi dapat dibedakan ka dalam fase sensitisasi dan elisitasi. Fase elisitasi
dibedakan atas tahap aktivasi dan tahap efektor.
Fase sensitisasi diawali dengan paparan alergen yang menempel dimukosa hidung bersama udara
pernapasan. Alergen tersebut ditangkap kemudian dipecah oleh sel penyaji antigen (APC) seperti
sel Langerhans, sel dendritik dan makrofag menjadi peptida rantai pendek. Hasil pemecahan
alergen ini akan dipresentasikan di permukaan APC melalui molekul kompleks
histokompatibilitas mayor kelas II (MHC kelas II). Ikatan antara sel penyaji antigen dan sel Th 0
(sel T helper) melalui MHC-II dan reseptornya (TcR-CD4) memicu deferensiasi Sel Th0
menjadi sel Th2. Beberapa sitokin yaitu IL3, IL4, IL5, IL9,IL10, IL13 dan granulocytemacrophage colony-stimulating factor (GMCSF) akan dilepaskan.
IL-4 dan IL-13 selanjutnya berikatan dengan reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga
sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE) yang akan dilepaskan
di sirkulasi darah dan jaringan sekitarnya. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan

berikatan dengan reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator membentuk
ikatan IgE-sel mast. Individu yang mengandung komplek tersebut disebut individu yang
sudah tersensitisasi, yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Fase aktivasi bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua
rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan menyebabkan terjadinya degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed
Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4),
bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa
gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel
goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang
ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFL, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini
saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL

ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,
netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5
dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret
hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil
dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban
udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel
goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang
tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi
jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan
masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari :
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat
berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi
respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas
seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini,
reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka
reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.Gell dan Coombs
mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate
hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau

reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak
dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

Gejala klinik
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin
merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan
sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan
sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap
serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis
(Soepardi, Iskandar, 2004).
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan
mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda
alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan
hidung melintang garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering
menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema
mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret
mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar
hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani
atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk
faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara
serak dan edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO,
2001).
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi,
penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah
dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur (Harmadji, 1993).

Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah
terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak
air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama
atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya,
identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi
rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat
ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5
kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat,
dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan
gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati, 2002).
Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi
bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh
punggung tangan (allergic salute).
Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid
dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan
septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat
pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis
dan otitis media (Irawati, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan
IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila
tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga
menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno

Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi
hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi
inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan
sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk
alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial
untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000).

Tujuan terapi
Meminimalisasi/mencegah gejala dengan efek samping seminimal mungkin dan biaya
pengobatan rasional serta pasien dapat mempertahankan pola hidup normal.

Penatalaksanaan
1. Terapi Non-farmakologi
Terapi non-farmakologi yang paling ideal adalah dengan menghindari alergen penyebabnya
(avoidance) dan eliminasi.
2. Terapi Farmakologi (Terapi Simptomatis)

a. Medikamentosa- Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan simpatomimetik,


kortikosteroid dan antikolinergik topikal.
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1. Antagonis reseptor histamin H1 berikatan
dengan reseptor H1 tanpa mengaktivasi reseptor, yang mencegah ikatan dan kerja histamin.
Merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan
rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1
(klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat

menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek
kolinergik.
Generasi kedua lebih bersifat lipofobik dan memiliki ukuran molekul lebih besar sehingga lebih
banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma dan berkurang kemampuannya melintasi
otak. Generasi kedua AH1 mempunyai rasio efektivitas, keamanan dan farmakokinetik yang
baik, dapat diminum sekali sehari, serta bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi
gejala hidung dan mata, namun obat generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi kongesti
hidung.

Farmakokinetik AH generasi kedua (Cetirizin dan Loratadin).

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral
dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal
hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.
Beraksi pada reseptor adrenergik pada mukosa hidung untuk menyebabkan vasokonstriksi,
menciutkan mukosa yang membengkak, dan memperbaiki pernapasan.

a.

Dekongestan oral
Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan obat
simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada
pasien dengan penyakit jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain hipertensi,
berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan membran mukosa,
retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan oral dapat diberikan
dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan antihistamin-H1 oral
efektifitasnya dapat meningkat, namun efek samping juga bertambah.

b. Dekongestan intranasal
Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin, dan xilometazolin)
juga merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Obat ini

bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi kurang
dari 10 hari untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama seperti
sediaan oral tetapi lebih ringan. Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk rinitis
alergik pada anak di bawah usia l tahun karena batas antara dosis terapi dengan dosis toksis yang
sempit. Pada dosis toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem saraf pusat.

Preparat Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan sangat luas dalam pengobatan berbagai penyakit alergi oleh karena
sifat anti inflamasinya yang kuat. Beragam kerja anti inflamasi kortikosteroid diperantarai oleh
pengaturan ekspresi dari bermacam gen target spesifik. Telah diketahui bahwa kortikosteroid
menghambat sintesis sejumlah sitokin seperti interleukin IL-1 sampai IL-6, tumor nekrosis
factor- (TNF-), dan granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF).
Kortikosteroid juga menghambat sintesis khemokin IL-8, regulated on activation normal T cell
expressed and secreted (RANTES), eotaxin, macrophage inflammatory protein- 1 (MIP-1),
dan monocyt chemoattractant protein-1.

a.

Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,
mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat ini
merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis alergik dan efektif terhadap
kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terlihat setelah
beberapa hari. Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak dipertentangkan karena
efek sistemik pemakaian lama dan efek lokal obat ini. Namun belum ada laporan tentang efek
samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis steroid topikal
hidung dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa dan dianjurkan sekali sehari pada waktu
pagi hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergik dengan keluhan hidung tersumbat yang
menonjol.

b. Kortikosteroid oral/IM
Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison, metilprednisolon,
prednisolon, prednison, triamsinolon, dan betametason) poten untuk mengurangi inflamasi dan

hiperreaktivitas nasal. Pemberian jangka pendek mungkin diperlukan. Jika memungkinkan,


kortikosteroid intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian kortikosteroid oral/IM. Efek
samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping sistemik mempunyai batas yang luas.
Pemberian kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak. Pada anak
kecil perlu dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat intranasal dan inhalasi.

Sodium Kromolin
Sebagai suatu penstabil sel mast sehingga mencegah degranulasi sel mast dan pelepasan
mediator termasuk histamin dengan cara memblokade pengangkutan kalsium yang dirangsang
antigen melewati membran sel mast.

Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi


rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).

Anti-leukotrien seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, akan memblok reseptor


CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam kombinasi
dengan antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data mengenai obat-obat ini. Efek
sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.

c.

Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior
hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau
troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).

d. Imunoterapi - Imunoterapi atau hiposensitisasi digunakan ketika pengobatan medikamentosa


gagal mengontrol gejala atau menghasilkan efek samping yang tidak dapat dikompromi.
Imunoterapi menekan pembentukan IgE. Imunoterapi juga meningkatkan titer antibodi IgG
spesifik. Jenisnya ada desensitisasi, hiposensitisasi & netralisasi. Desensitisasi dan
hiposensitisasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya
berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan. Netralisasi tidak
membentuk blocking antibody dan untuk alergi inhalan (Mulyarjo, 2006).


o
o
o
o

Bila ada konjungtivitis, tambahkan :


Penghambat H1 oral
Atau penghambat H1 Intra-okuler
Atau kromolin intra-okuler
(atau larutan garam fisiologis)

Pertimbangkan Imunoterapi spesifik


Bila ada perbaikan turunkan ke tahap sebelumnya, kalau memburuk naikkan ke tahap berikutnya.

Komplikasi
1. Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan polip
hidung.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal.
4. Masalah ortodonti dan efek penyakit lain dari pernafasan mulut yang lama khususnya
pada anak-anak.

5. Asma bronkial. Pasien alergi hidung memiliki resiko 4 kali lebih besar mendapat asma
bronkial.

Daftar Pustaka
Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 135-142.
ARIA -World Health organisation initiative, allergic rhinitis and its impact on asthma. J
allergy clinical immunology : S147-S276.
Becker, W., Naumann, H., Pfaltz, C., 1994. Ear, Nose, and Throat Disease. Edisi kedua.
Thieme. New York: 242-260.
Benjamini E., Coico R., Sunshine G., 2000. Immunology: A Short Course. 4th ed. John
Wiley & sons. Available from: URL http:// www.wiley.com. [Accessed 01 March 2010].
Bousquet J, Cauwenberge P V., Khaltaev N., 2001. ARIA workshop group.
World Health organisation initiative, allergic rhinitis and its impact on asthma.J allergy clinical
immunol : S147-S276.
Harmadji S, 1993. Gejala dan Diagnosa Penyakit Alergi THT. Dalam : Kumpulan
Makalah Kursus Penyegar Alergi Imunologi di Bidang THT, Bukit Tinggi.
Hassan, rusepno dkk. 1985. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 2. Jakarta: Info Medika
Irawati N, 2002. Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi, Dalam :
Kumpulan Makalah Simposium Current Opinion In Allergy andClinical Immunology, Divisi
Alergi- Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM, Jakarta:55-65.
Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono, N, 2008. Alergi Hidung dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI,.
Kaplan AP dan Cauwenberge PV, 2003. Allergic Rhinitis In : GLORIA Global Resources
Allegy Allergic Rhinitis and Allergic Conjunctivitis, Revised Guidelines, Milwaukeem USA:P, 12
Mulyarjo, 2006. Penanganan Rinitis Alergi Pendekatan Berorientasi pada Simptom,
Dalam: Kumpulan Naskah Simposium Nasional Perkembangan Terkini Penatalaksanaan
Beberapa Penyakit Penyerta Rinitis Alergi dan Kursus Demo Rinotomi Lateral, Masilektomi dan
Septorinoplasti, Malang : pp10, 2, 1-18.
Roland P, McCluggage CM., Sciinneider GW., 2005. Evaluation and Management of
Allergic Rhinitis : a Guide for Family Physicians. Texas Acad. Fam. Physicians. 1-15 .

Soepardi E., Iskandar N, 2004. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: UI
Sumarman, Iwin. 2000. Patogenesis, Komplikasi, Pengobatan dan Pencegahan Rinitis
Alergi, Tinjauan Aspek Biomolekuler. Bandung : FK UNPAD. 1-17.
Von Pirquet C. Klinische studien uber Vaccination und vaccinale allergie. ... J. Immunol
1986. 133: 1594-1600. (Accepted 12 March 1986).

You might also like