You are on page 1of 20

Topik: Ketuban Pecah Dini

Tanggal (kasus): 20 Oktober 2015

Presentan: dr. Rainhard Octovianto

Tanggal presentasi:

Pendamping: dr. Yolanda Desire

Tempat Presentasi: RumahSakit TK IV CijantungKesdam


Obyek Presentasi:
Keilmuan
Penyegaran

Keterampilan

Tinjauan Pustaka

Diagnostik
Istimewa

Manajemen

Masalah

Bayi

Anak

Neonatus

Bumil
Remaja

Dewasa

Lansia

Deskripsi: Perempuan, 24 tahun. Sedang hamil 39 minggu datang ke rumah sakit


setelah terbangun dari tidurnya akibat keluar cairan bening yang mengalir dari
kemaluannya dan perut serta pinggangnya terasa kencang seperti dililit.
Tujuan: Mendiagnosa kerja pasien, memberikan penatalaksanaan, serta perawatan luka
dan menurunkan kadar gula darah.

Bahanbahasan:
Cara
Membahas:

Data Pasien:

Tinjauan
Pustaka
Diskusi

Riset

Presentasi dan
diskusi

Nama: Ny. F

Nama Rumah Sakit: Rumah Sakit TK


IV Cijantung Kesdam
Data utama untuk bahan diskusi:

Telp: 02187793332

Kasus

Email

Audit

Pos

NomorRegistrasi: 049587

Terdaftar Sejak: 22
Januari 2015

1. Diagnostik/ Gambaran Klinis:


Autoanamnesa dilakukan pada ruang VK (09.00 WIB tanggal 20 Oktober
2015)
Pasien datang (pukul 02.30 WIB tanggal 20 Oktober 2015) ke Rumah Sakit RS TK
IV Kesdam. Pasien mengeluh keluar cairan berwarna bening dan agak lengket dari

jalan lahirnya yang dirasakan setelah terbangun dari tidurnya pukul 02.00 WIB.
Cairan tidak disertai lendir ataupun darah. Cairan keluar secara tiba-tiba dan
dirasakan merembes hingga saat ini (7 Jam dari onset).
Pasien juga mengeluh perut dan pinggangnya mulai terasa kencang yang
dirasakan nyeri beberapa saat setelah cairan keluar. Pasien mengaku kencang
yang dirasakan kurang lebih dalam satu jam terasa dua hingga tiga kali dan
hilang dalam waktu yang tidak lama.
Pada anamnesa lebih lanjut pasien mengatkan selama hamil dirinya tidak
mengalami demam , tidak batuk pilek , tidak diare , tidak anyang-anyangan ,
tidak ada nyeri BAK , tidak ada BAB cair dan tidak ada cairan yang keluar dari
telinga. BAB dan BAK dalam batas normal.
Pasien merupakan seorang ibu hamil primi (G1P0A0) dengan usa kehamilan
aterm (39 minggu), gerakan janin diarasakan sejak usia kehamilan 24 minggu.
Selama kehamilan pasien rutin memeriksakan diri ke bidan , pasien tidak merokok
, tidak mengonsumsi alcohol dan tidak menonsumsi obat-obatan dalam jangka
panjang.
2. RIwayat Pengobatan:
Pasien rutin memeriksakan kehamilannya ke bidan dan sudah mendapat suntikan
TT sebanyak 2x
Pasien pernah melakukan pemeriksaan USG kehamilan
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit
Riwayat DM disangkal
Riwayat Hipertensi disangkal
4. Riwayat Keluarga
RIwayat DM & HT keluarga disangkal
5. RIwayat Pekerjaan
Ibu Rumah Tangga
Daftar Pustaka:

Hasil Pembahasan:
1. Diagnosa KPD
2. Tatalaksana KPD
Rangkuman hasil pembahasan portofolio:
1. Subyektif: Pasien yang sedang hamil
erdapat luka di punggung kaki kanan sejak 1 bulan. Luka dibersihkan
sendiri dengan alkohol dan Betadine. Demam sejak 2 hari. Nyeri perut atas.
Riwayat DM sejak 5 tahun. Tidak pernah kontrol gula darah secara teratur
2. Objektif: Pemeriksaan abdomen terdapat nyeri tekan epigastrium (+).
Status lokalis plantar pedis dextra didapatkan ulcus dengan diameter 3cm;
kedalaman 1cm, pus(+), darah (+), nyeri tekan (-). Pada kasus ini diagnosis
ditegakkan berdasarkan gejala klinis, status lokalis serta pemeriksaan GDS.
3. Asessment: Pada anamnesis didapatkan terdapat luka pada punggung kaki
kanan 1 bulan yang semakin memburuk serta pada pasien juga terdapat
riwayat DM sejak 5 tahun namun tidak pernah kontrol berobat secara rutin.
Selain itu pasien mengeluh demam sejak 2 hari serta nyeri ulu ati, pasien
mengaku memiliki riwayat sakit maag. Pada pemeriksaan status lokalis
plantar pedis dextra didapatkan ulcus dengan diameter 3cm; kedalaman
1cm, pus(+), darah (+), nyeri tekan (-). Hasil pemeriksaan lab GDS 258 mg/dl
dengan leukosit 23500/mm3
4. Plan:
Diagnosis: Ulcus diabetic plantar pedis dextra dan gastritis kronik
Pengobatan: Rawat luka, tatalaksana medikamentosa, rawat gabung dokter
spesialis penyakit dalam dan dokter spesialis bedah.
Pendidikan: Edukasi kepada pasien dan keluarga untuk bekerjasama
dengan dokter dalam proses penyembuhan dan pemulihan. Pengobatan DM
secara teratur dan berkelanjutan.
Konsultasi: Dijelaskan secara rasional perlunya konsultasi dengan dokter
spesialis penyakit dalam dan dokter spesialis bedah.

TINJAUAN PUSTAKA

ULKUS DM
Ulkus adalah luka terbuka pada permukaan kulit atau selaput lendir disertai kematian
jaringan yang luas dan invasif kuman saprofit. Ulkus diabetikum adalah salah satu
komplikasi kronik DM berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai
adanya kematian jaringan setempat.
Pada pasien dengan ulkus diabetikum akibat mikroangiopatik disebut juga gangren
panas karena walaupun nekrosis, daerah akral itu tampak merah dan terasa hangat oleh
peradangan, dan biasanya teraba pulsasi arteri di bagian distal. Biasanya terdapat ulkus
diabetik pada telapak kaki. Proses makroangiopati menyebabkan sumbatan pembuluh darah
Proses makroangiopati menyebabkan sumbatan pembuluh darah yang akan
memberikan gejala klinis 5 P, yaitu:
1) Pain (nyeri).
2) Paleness (kepucatan)
3) Paresthesia (parestesia dan kesemutan).
4) Pulselessness (denyut nadi hilang).
5) Paralysis (lumpuh).
Menurut berat ringannya lesi, kelainan ulkus diabetikum dibagi menjadi enam derajat
menurut Wagner, yaitu:
1.

Derajat 0 : tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan disertai dengan
kelainan bentuk kaki "claw,callus"
2. Derajat I : ulkus superficial terbatas pada kulit
3. Derajat II : ulkus dalam, menembus tendon atau tulang
4. Derajat III : abses dalam dengan atau tanpa osteomilitas
5. Derajat IV : ulkus pada jari kaki atau bagian distal kaki atau tanpa selulitas
6. Derajat V : gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai
PENATALAKSANAAN DAN TERAPI
Penatalaksanaan pada pasien dengan ulkus DM adalah mengendalikan kadar gula darah dan
penanganan ulkus DM secara komprehensif.

1) PENGENDALIAN DIABETES
a) Terapi non farmakologis:
Langkah awal penanganan pasien dengan kaki diabetik adalah dengan
melakukan manajemen medis terhadap penyakit diabetes secara sistemik. Diabetes
melitus jika tidak dikelola dengan baik akan dapat menyebabkan terjadinya berbagai
komplikasi kronik diabetes, salah satunya adalah terjadinya gangren diabetik. Jika
kadar glukosa darah dapat selalu dikendalikan dengan baik, diharapkan semua
komplikasi yang akan terjadi dapat dicegah, paling sedikit dihambat. Dalam
mengelola diabetes melitus langkah yang harus dilakukan adalah pengelolaan non
farmakologis, Perubahan gaya hidup, dengan melakukan pengaturan pola makan
yang dikenal sebagai terapi gizi medis dan meningkatkan aktivitas jasmani
berupaolah raga ringan.
Perencanaan makanan pada penderita diabetes melitus juga merupakan
pengobatan utama pada penatalaksanaan diabetes melitus. Perencanaan makanan
yang memenuhi standar untuk diabetes umumnya berdasarkan dua hal, yaitu; a).
Tinggi karbohidrat, rendah lemak, tinggi serat, atau b). Tinggi karbohidrat, tinggi
asam lemak tidak jenuh berikatan tunggal. Edukasi kepada keluarga juga sangat
berpengaruh akan keadaan pasien. Peran keluarga sendiri adalah mengkontrol
asupan makanan, obat-obat gula yang dikonsumsi setiap

hari serta mencegah

semaksimal mungkin agar penderita tidak mengalami luka yang dapat memicu
b)

timbulnya infeksi.
Terapi farmakologis
Terapi farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi non
farmakologis yang telah dilakukan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah
sebagaimana yang diharapkan. Terapi farmakologis yang diberikan adalah
pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi insulin. Terdapat enam golongan obat
anti diabetes oral yaitu:
1) Golongan sulfonilurea
2) Glinid
3) Tiazolidindion
4) Penghambat Glukosidase
5) Biguanid
6) Obat-obat kombinasi dari golongan-golangan diatas
6

2). PENANGANAN ULKUS DIABETIKUM


Penanganan pada ulkus diabetikum dilakukan secara komprehensif.
Penanganan luka merupakan salah satu terapi yang sangat penting dan dapat
berpengaruh besar akan kesembuhan luka dan pencegahan infeksi lebih lanjut.
Penanganan luka pada ulkus diabetikum dapat melalui beberapa cara yaitu:
menghilangkan atau mengurangi tekanan beban (offloading), menjaga luka agar
selalu lembab (moist), penanganan infeksi, debridemen, revaskularisasi dan skin
graft.
a) Debridemen
Tindakan debridemen merupakan salah satu terapi penting pada kasus
ulkus diabetika. Debridemen dapat didefinisikan sebagai upaya pembersihkan
benda asing dan jaringan nekrotik pada luka. Luka tidak akan sembuh apabila
masih didapatkan jaringan nekrotik, debris, calus, fistula atau rongga yang
memungkinkan kuman berkembang. Setelah dilakukan debridemen luka harus
diirigasi dengan larutan garam fisiologis atau pembersih lain dan dilakukan
dressing (kompres). Tujuan dilakukan debridemen bedah adalah:

Mengevakuasi bakteri kontaminasi

Mengangkat jaringan nekrotik sehingga dapat mempercepat penyembuhan

Menghilangkan jaringan kalus

Mengurangi risiko infeksi lokal

Mengurangi beban tekanan (off loading)


Ada

beberapa

pilihan

dalam

tindakan

debridemen,

yaitu

debridemen mekanik, enzimatik, autolitik, biologik. Debridemen mekanik


dilakukan menggunakan irigasi luka cairan fisiolofis, ultrasonic laser, dan
sebagainya, dalam rangka untuk membersihkan jaringan nekrotik. Debridemen
secara enzimatik dilakukan dengan pemberian enzim eksogen secara topikal pada
permukaan lesi. Enzim tersebut akan menghancurkan residu residu protein.
Debridemen autolitik terjadi secara alami apabila seseorang terkena luka. Proses
ini melibatkan makrofag dan enzim proteolitik endogen yang secara alami akan
melisiskan jaringan nekrotik. Secara sintetis preparat hidrogel dan hydrocolloid
7

dapat menciptakan kondisi lingkungan yang optimal bagi fagosit tubuh dan
bertindak sebagai agent yang melisiskan jaringan nekrotik serta memacu proses
granulasi. Menghilangkan atau mengurangi tekanan beban (offloading).
b) Perawatan Luka
Perawatan luka modern menekankan metode moist wound healing atau
menjaga agar luka dalam keadaan lembab. Lingkungan luka yg seimbang
kelembabannya memfasilitasi pertumbuhan sel dan proliferasi kolagen didalam
matrik non selular yg sehat. Luka akan menjadi cepat sembuh apabila eksudat
dapat dikontrol, menjaga agar luka dalam keadaan lembab, luka tidak lengket
dengan bahan kompres, terhindar dari infeksi dan permeabel terhadap
gas.Tindakan dressing merupakan salah satu komponen penting dalam
mempercepat penyembuhan lesi. Prinsip dressing adalah bagaimana menciptakan
suasana dalam keadaan lembab sehingga dapat meminimalisasi trauma dan risiko
operasi. Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih dressing
yang akan digunakan, yaitu tipe ulkus, ada atau tidaknya eksudat, ada tidaknya
infeksi, kondisi kulit sekitar dan biaya. Ada beberapa jenis dressing yang sering
dipakai dalam perawatan luka, seperti: hydrocolloid, hydrogel, calcium alginate,
foam, kompres anti mikroba.
c) Pengendalian Infeksi
Pemberian antibitoka didasarkan pada hasil kultur kuman. Pada infeksi berat
pemberian antibitoika diberikan selama 2 minggu atau lebih. Pada beberapa
penelitian menyebutkan bahwa bakteri yang dominan pada infeksi ulkus diabetik
diantaranya

adalah

staphylococcus

s.aureus

koagulase

kemudian

negative,

diikuti

Enterococcus,

dengan

streotococcus,

corynebacterium

dan

pseudomonas. Pada ulkus diabetika ringan atau sedang antibiotika yang diberikan
di fokuskan pada patogen gram positif. Pada ulkus terinfeksi yang berat kuman
lebih bersifat polimikrobial (mencakup bakteri gram positif berbentuk coccus,
gram negatif berbentuk batang, dan bakteri anaerob) antibiotika harus bersifat
broadspektrum, diberikan secara injeksi.
d) Skin Graft

Gambar Skin graft


Suatu tindakan penutupan luka dimana kulit dipindahkan dari lokasi donor
dan ditransfer ke lokasi resipien. Terdapat dua macam skin graft yaitu full thickness
dan split thickness. Skin graft merupakan salah satu cara rekonstruksi dari defek
kulit, yang diakibatkan oleh berbagai hal. Tujuan skin graft digunakan pada
rekonstruksi

setelah

operasi

pengangkatan

keganasan

kulit,

mempercepat

penyembuhan luka, mencegah kontraktur, mengurangi lamanya perawatan,


memperbaiki defek yang terjadi akibat eksisi tumor kulit, menutup daerah kulit yang
terkelupas dan menutup luka dimana kulit sekitarnya tidak cukup menutupinya.
Selain itu skin graft juga digunakan untuk menutup ulkus kulit yang kronik dan sulit
sembuh. Terdapat 3 fase dari skin graft yaitu: imbibition, inosculation, dan
revascularization. Pada fase imbibition terjadi proses absorpsi nutrient ke dalam
graft yang nantinya akan menjadi sumber nutrisi pada graft selam 24-48 jam
pertama. Fase kedua yaitu inosculation yang merupakan proses dimana pembuluh
darah donor dan resipien saling berhubungan. Selama kedua fase ini, graft saling
menempel ke jaringan resipien dengan adanya deposisi fibrosa pada permukaannya.
Pada fase ketiga yaitu revascularization terjadi diferensiasi dari pembuluh darah
pada arteriola dan venula.
e) Tindakan Amputasi
Tindakan amputasi dilakukan bila dijumpai adanya gas gangren, jaringan
terinfeksi, untuk menghentikan perluasan infeksi, mengangkat bagian kaki yang
mengalami ulkus berulang. Komplikasi berat dari infeksi kaki pada pasien DM

adalah fasciitis nekrotika dan gas gangren. Pada keadaan demikian diperlukan
tindakan

bedah

emergensi

berupa

amputasi.

Amputasi

bertujuan

untuk

menghilangkan kondisi patologis yang mengganggu fungsi, penyebab kecacatan atau


menghilangkan penyebab yang didapat.
Penanganan ulkus diabetik dapat dilakukan dalam beberapa tingkatan sesuai dengan
pembagian menurut wanger, yaitu:
a) Tingkat 0 :
Penanganan meliputi edukasi kepada pasien tentang alas kaki khusus dan pelengkap
alas kaki yang dianjurkan. Sepatu atau sandal yang dibuat secara khusus dapat
mengurangi tekanan yang terjadi. Bila pada kaki terdapat tulang yang menonjol atau
adanya deformitas, biasanya tidak dapat hanya diatasi dengan pengguna-an alas kaki
buatan umumnya memerlukan tindakan pemotongan tulang yang menonjol
(exostectomy) atau dengan pembenahan deformitas.
b) Tingkat I
Memerlukan debridemen jaringan nekrotik atau jaringan yang infeksius, perawatan
lokal luka dan pengurangan beban.
c) Tingkat II :
Memerlukan debridemen, antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur, perawatan lokal
luka dan teknik pengurangan beban yang lebih berarti.
d) Tingkat III :
Memerlukan debridemen jaringan yang sudah menjadi gangren, amputasi sebagian,
imobilisasi yang lebih ketat, dan pemberian antibiotik parenteral yang sesuai dengan
kultur.
f) Tingkat IV :

10

Pada tahap ini biasanya memerlukan tindakan amputasi sebagian atau amputasi
seluruh kaki.

11

3). EVALUASI ULKUS DIABETIKUM


Prinsip dasar yang baik pengeolaan terhadap ulkus diabetikum adalah:
a) Evaluasi keadaan klinis luka, dalamnya luka, gambaran radiologi (benda asing,
osteomielitis, adanya gas subkutis), lokasi, biopsy vaskularisasi (non invasive).
Pengobatan ulkus sangat dipengaruhi oleh derajat dan dalamnya ulkus. Hati-hati
apabila menjumpai ulkus yang nampaknya kecil dan dangkal karena kadang-kadang
hal tersebut hanya merupakan puncak dari gunung es dan pada pemeriksaan yang
seksama penetrasi itu mungkin mencapai jaringan yang lebih dalam.
b) Pengelolaan terhadap neuropati diabetic
Pada dasarnya pengelolaan neuropati diabetic dilakukan dengan mengontrol gula
darah dan pemberian obat-obatan kausal dan simptomatik. Pengontrolan gula darah
secara terus menerus dan pengobatan DM yang intensif akan menghambat
progresitifitas neuropati sebesar 60%.
c) Kontrol metabolik
Terjadinya aterosklerosis adalah akibat defek metabolik dan defek fisik. Faktor resiko
terjadinya aterosklerosis antara lain hiperglikemia, hiperinsulinemia, dislipidemia,
hipertensi, obesitas, hiperkoagulabilitas, genetik, dan merokok. Semua faktor resiko
yang dapat diobati seharusnya segera dikontrol dengan sebaik-baiknya untuk
menghambat proses terjadinya aterosklerosis lebih lanjut.
d) Debridemen dan pembalutan
Pada dasarnya terapi ulkus diabetikum sama dengan terapi lain, yaitu mempersiapkan
bed luka yang baik untuk menunjang tumbuhnya jaringan granulasi, sehingga proses
penyembuhan luka dapat terjadi. Kita mengenalnya dengan preparasi bed luka. Harus
diketahui bahwa tidak ada obat-obatan topikal yang dapat menggantikan debridement
yang baik dengan teknik yang benar dan proses penyembuhan luka selalu dimulai dari
jaringan yang bersih. Tujuan dasar dari debridement adalah mengurangi kontaminasi
pada luka untuk mengontrol dan mencegah infeksi. Pemeriksaan kultur diperlukan
terutama pada ulkus yang dalam dan diambil dari jaringan yang dalam. Diperlukan
debridement yang optimal sampai nampak jaringan sehat dengan cara membuang
jaringan nekrotik. Debridemen yang tidak optimal akan menghambat penyembuhan
ulkus.
Pembalutan berguna untuk menjaga dan melindungi kelembaban jaringan, perangsang
penyembuhan luka, melindungi dari suhu luar, serta mudah dibuka tanpa rasa nyeri

12

dan merusak luka. Suasana lembab membuat suasana optimal untuk akselerasi
penyembuhan dan memacu pertumbuhan jaringan.
e) Biakan kultur
Untuk menentukan bakteri penyebab infeksi diperlukan kultur. Pengambilan bahan
kultur dengan cara swab tidak dianjurkan. Hasil kultur akan lebih dipercaya apabila
pengambilan bahan dengan cara curettage dari hasil ulkus setelah debridement.
f) Antibiotika
Pada ulkus diabetika ringan/sedang antibiotika yang diberikan difokuskan pada
pathogen gram positif. Pada ulkus terinfeksi berat lebih bersifat polimikrobial.
Antibiotika harus bersifat broadspectrum dan diberikan secara injeksi.
g) Perbaikan sirkulasi
Penderita DM mempunyai kecenderungan untuk lebih mudah mengalami koagulasi
dibandingkan yang bukan DM akibat adanya gangguan viskositas pada plasma,
deformibilitas eritrosit, agregasi trombosit serta adanya peningkatan trogen dan faktor
Willbrand. Obat-obat yang mempunyai efek reologik bencyclame, pentoxyfilin dapat
memperbaiki eritrosit disamping mengurangi agregasi eritrosit pada trombosit.
h) Non weight bearing
Tindakan ini diperlukan karena umumnya kaki penderita tidak peka lagi terhadap rasa
nyeri, sehingga apabila dipakai berjalan maka akan menyebabkan luka bertambah
besar dan dalam, cara terbaik untuk mencapainya dengan mempergunakan gips.
i) Nutrisi
Faktor nutrisi merupakan salah satu faktor yang berperan dalam penyembuhan luka.
Adanya anemia dan hipoalbuminemia akan sangat berpengaruh terhadap proses
penyembuhan. Perlu dilakukan monitor kadar Hb dan albumin darah minimal satu
minggu sekali. Besi, vitamin B12, asam folat membantu sel darah membawa oksigen
ke jaringan. Besi juga merupakan suatu kofaktor dalam sintesis kolagen sedangkan
vitamin C dan zinc penting untuk perbaikan jaringan. Zinc juga berperan dalam respon
imun.

13

TERAPI INSULIN
Pasien yang dirawat di rumah sakit dapat dibagi ke dalam dua kelompok. Kelompok
pertama pasien yang memerlukan perawatan di ruang intensif, misalnya pasien ketoasidosis,
pascaoperasi, atau pasien penyakit gawat seperti sepsis. Kelompok kedua adalah pasien yang
tidak memerlukan perawatan di ruang intensif, misalnya pasien praoperatif atau pasien dengan
penyakit yang tidak gawat.
Secara umum, cara pemberian terapi insulin bagi kedua kelompok di atas memiliki
perbedaan. Pasien yang dirawat di ruang intensif umumnya memerlukan terapi intensif dengan
cara pemberian insulin infus (drip) intravena atau secara intramuskular. Cara intramuskular
jarang dilakukan dan hanya dilakukan bila fasilitas insulin drip intravena tidak tersedia. Pasien
yang dirawat di ruang biasa umumnya tidak memerlukan terapi insulin infus intravena. Terapi
untuk pasien ini cukup dengan pemberian subkutan atau dengan pompa insulin (CSII). Bahkan
pada kasus yang ringan, terapi dengan obat antidiabetik oral masih dapat diberikan untuk pasien
DM, terutama pasien DMT2.
A. Sasaran Kendali Glukosa Darah
Dulu hal yang terpenting dalam penanganan pasien DM yang dirawat di rumah sakit
adalah mencegah keadaan hipoglikemia. Oleh sebab itu muncul ungkapan bahwa sebaiknya
pasien-pasien tersebut dipertahankan tetap sedikit manis atau dalam Bahasa Inggris dikatakan
keep the patient a little sweet. Persepsi tersebut ternyata keliru sebab diabetes dan hiperglikemia
di rumah sakit bukan merupakan kondisi yang ringan (benign). Sementara itu, terapi insulin
intensif untuk mempertahankan kadar glukosa darah < 110 mg/dL dapat menurunkan morbiditas
dan mortalitas pasien di unit perawatan intensif. Sasaran kendali glukosa darah adalah
normoglikemi.

14

B. Cara Pemberian Insulin


1. Insulin Infus Intravena
a. Sasaran kadar glukosa darahSasaran kadar glukosa darah dan batas kadar glukosa darah untuk
memulai pemberian terapi insulin tergantung dari setiap kasus yang dihadapi. Pada pasien bedah
yang kritis (sakit berat/gawat), sasaran kadar glukosa darah lebih rendah daripada pasien
penyakit kritis nonbedah atau penyakit bedah tidak kritis.
b. Indikasi insulin infus intravenaPada prinsipnya, pasien penyakit berat atau kritis yang dirawat
di rumah sakit memerlukan terapi insulin. Sebagian besar dari mereka membutuhkan terapi
insulin yang diberikan secara infus intravena, misalnya pada pasien kritis/akut seperti
hiperglikemia gawat darurat, infark miokard akut, stroke, fraktur, infeksi sistemik, syok
kardiogenik, pasien transplantasi organ, edema anasarka, kelainan kulit yang luas, persalinan,
pasien yang mendapat terapi glukokortikoid dosis tinggi, dan pasien pada periode perioperatif.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya strategi untuk mencapai dosis yang tepat sebelum
konversi dari terapi insulin infus intravena ke terapi insulin subkutan.
Selain itu, hal yang juga perlu diperhatikan adalah derajat bukti manfaat penggunaan insulin
infus intravena. Hal tersebut telah disebutkan dalam jurnal yang ditulis oleh Clement et al
(2004).
c. Protokol insulin infus intravenaBagi pasien kritis pascabedah yang dirawat di ruang intensif,
protokol terapi insulin yang dapat dipakai sebagai acuan adalah protokol yang dipaparkan oleh
Van den Berghe

15

Protokol ini dimulai dengan tahap persiapan yaitu dengan memberi- kan infus D5% 100cc/jam.
Setelah itu, bila terdapat fasilitas syringe pump, siapkan 50 unit insulin reguler (RI) dalam spuit
berukuran 50 cc, kemudian encerkan dengan larutan NaCl 0,9 % hingga mencapai 50 cc (1 cc
NaCl = 1 unit RI). Bila diperlukan 1,5 unit insulin/jam, petugas tinggal mengatur kecepatan
tetesan 1,5 cc/jam. Dapat pula diberikan 125 RI dalam 250 ml larutan NaCl 0,9%, yang berarti
setiap 2 cc NaCl = 1 unit RI. Bila tidak tersedia syringe pump, dapat digunakan botol infus 500
cc larutan NaCl 0,9%. Masukkan 12 unit RI (dapat juga 6 unit atau angka lain, sebab nantinya
akan diperhitungkan dalam tetesan) ke dalam botol infus 500 cc larutan NaCl 0.9%. Bila
dibutuhkan 1 unit insulin/jam, maka dalam botol infus yang berisi 12 unit RI, diatur kecepatan
tetesan 12 jam/botol, sehingga 12 unit RI akan habis dalam 12 jam. Bila dibutuhkan 2 unit
perjam, kecepatan tetesan infus diatur menjadi 6 jam/botol, karena 12 unit RI akan habis dalam 6
jam, demikian seterusnya, tetesan diatur sesuai permintaan. Sebagai patokan tetesan, 1 cc cairan
infus= 20 tetesan makro = 60 tetesan mikro.
Peralihan Insulin Infus Intravena Ke Insulin Subkutan
16

Setelah kadar glukosa darah stabil dan pasien mulai mendapatkan makanan, terapi insulin dapat
dialihkan menjadi jalur subkutan dengan tetap memperhatikan kaidah terapi insulin basal dan
bolus, serta disesuaikan dengan pola respon insulin fisiologis. Sebelum terapi insulin infus
intravena dihentikan, terapi insulin subkutan sebaiknya sudah dimulai supaya diperoleh waktu
yang cukup untuk awitan kerja insulin. Terapi insulin infus intravena dapat dihentikan 2 jam
setelah pemberian insulin subkutan. Kebutuhan insulin subkutan dihitung berdasarkan total
kebutuhan insulin infus intravena dalam 24 jam. Dosis total harian insulin subkutan adalah 80%
dari dosis total insulin infus intravena selama 24 jam. Dosis total harian tersebut dibagi menjadi
dosis insulin basal dan insulin bolus subkutan. Dosis insulin basal
adalah sebesar 50% dari dosis harian total. Jenis insulin yang diberikan biasanya long acting
insulin (lebih baik digunakan insulin yang tidak memiliki puncak kerja/peak, seperti insulin
glargine atau detemir). Dosis insulin bolus subkutan adalah 50% dari dosis harian total subkutan.
Dalam pemberiannya, dosis dibagi rata sesuai jumlah kali makan, umumnya 3 kali/hari. Jenis
insulin yang diberikan berupa short atau rapid acting insulin.

17

Insulin Subukutan
Program pemberian insulin terjadwal terbagi atas kebutuhan insulin basal dan insulin
prandial. Insulin basal dapat diberikan dengan menggunakan pompa insulin (CSII),
insulin kerja intermediate. Jika protokol dimulai dengan pemberian NPH (bukan
glargine/detemir), maka dosis yang diberikan 0,25 U/kgBB NPH saat makan pagi dan
sebelum tidur (0,15 U/kgBB bila kuatir terjadi hipoglikemia ; 0,35 U/kg untuk kondisi
dengan peningkatan kebutuhan insulin basal). Selain itu, tetap diberikan 0,1 U/kgBB
rapid acting insulin setiap makan. Sementara itu, kebutuhan insulin prandial dapat
dipenuhi dengan insulin kerja cepat (insulin regular atau rapid acting insulin analog).
Insulin tersebut diberikan sebelum makan atau setelah makan (hanya untuk penggunaan
rapid acting insulin analog) apabila jadwal dan jumlah asupan makanan tidak pasti.

18

Komplikasi Terapi Insulin


A. Hipoglikemia
Komplikasi terapi insulin yang paling penting adalah hipoglikemia. Terapi insulin intensif
untuk mencapai sasaran kendali glukosa darah yang normal atau mendekati normal
cenderung meningkatkan risiko hipoglikemia. Edukasi terhadap pasien dan penggunaan
rejimen terapi insulin yang mendekati fisiologis dapat mengurangi frekuensi
hipoglikemia.
B. Peningkatan berat badan
Pada pasien dengan kendali glukosa yang buruk, peningkatan berat badan tidak dapat
dihindari karena terapi insulin memulihkan massa otot dan lemak (pengaruh anabolik
insulin). Penyebab peningkatan berat badan yang lain adalah makan yang berlebihan serta
kebiasaan mengudap untuk menghindari hipoglikemia. Pasien yang menjalani terapi
insulin umumnya melakukan diet yang lebih longgar dibandingkan dengan diet ketat saat
terapi dengan obat antidiabetik oral. Hal tersebut juga dapat menyebabkan peningkatan
berat badan.
C. Edema insulin
Edema dapat muncul pada pasien yang memiliki kendali glukosa darah buruk (termasuk
pasien KAD) akibat retensi garam dan air yang akut. Edema dapat menghilang secara
spontan dalam beberapa hari. Kadang-kadang dibutuhkan terapi diuretika untuk
menatalaksana hal tersebut.
D. Reaksi lokal terhadap suntikan insulin
Lipohipertrofi merupakan pertumbuhan jaringan lemak yang berlebihan akibat pengaruh
lipogenik dan growth-promoting dari kadar insulin yang tinggi di tempat penyuntikan.
Hal itu dapat muncul pada pasien yang menjalani beberapa kali penyuntikan dalam sehari
dan tidak melakukan rotasi tempat penyuntikan. Lipoatrofi adalah hilangnya jaringan
lemak pada tempat penyuntikan. Saat ini, dengan penggunaan sediaan insulin yang sangat
murni, lipoatrofi sudah sangat jarang terjadi.
E. Alergi
Saat ini, dengan penggunaan sediaan insulin yang sangat murni, alergi insulin sudah
sangat jarang terjadi.

19

LAMPIRAN

20

You might also like