You are on page 1of 32

BAB I

LATAR BELAKANG
A. Latar Belakang
Data World Health Organization(WHO) menunjukkan bahwa selama lebih dari satu
abad perawatan bedah telah menjadi komponen penting dari perawatan kesehatan di
seluruh dunia. Diperkirakan setiap tahun ada 230 juta operasi utama dilakukan di seluruh
dunia, satu untuk setiap 25 orang hidup (Haynes, et al. 2009). Penelitian di 56 negara dari
192 negara anggota WHO tahun 2004 diperkirakan 234,2 juta prosedur pembedahan
dilakukan setiap tahun berpotensi komplikasi dan kematian (Weiser, et al. 2008).
Tindakan pembedahan wajib memperhatikan keselamatan pasien, kesiapan pasien,
dan prosedur yang akan dilakukan, karena resiko terjadinya kecelakaan sangat tinggi, jika
dalam pelaksanaannya tidak mengikuti standar prosedur operasional yang sudah ditetapkan.
Tim kamar bedah tentu tidak bermaksud menyebabkan cedera pasien, tetapi fakta
menyebutkan bahwa ada pasien yang mengalami KTD (kejadian tidak di harapkan), KNC
(kejadian nyaris cedera), ataupun kejadian sentinel yaitu KTD yang menyebabkan kematian
atau cedera serius (Depkes,2008), saat dilakukan tindakan pembedahan. Oleh sebab itu
diperlukan program untuk lebih memperbaiki proses pelayanan, karena sebagian KTD
merupakan kesalahan dalam proses pelayanan yang sebetulnya dapat dicegah melalui
program keselamatan pasien.
Komplikasi dan kematian akibat pembedahan menjadi salah satu masalah kesehatan
global. World Health Organization (WHO) memperkirakan sedikitnya ada setengah juta
kematian akibat pembedahan yang sebenarnya bisa dicegah. Di Inggris dan Wales,
National Patient Safety Agency (NPSA) melaporkan 127.419 insiden terkait pembedahan
pada tahun 2007.3 Di negara bagian Minnesota, AS, yang hanya berpopulasi kurang dari
2% dari total populasi AS, dilaporkan terjadi 21 operasi pada sisi yang salah hanya dalam
satu tahun (Oktober 2007 s/d Oktober 2008). Keadaan sesungguhnya kemungkinan besar
lebih parah lagi karena sebagian besar insiden tidak dilaporkan.
Program Keselamatan Pasien safe surgery saves lifes sebagai bagian dari upaya
WHO untuk mengurangi jumlah kematian bedah di seluruh dunia. Tujuan dari program ini
adalah untuk memanfaatkan komitmen dan kemauan klinis untuk mengatasi isu-isu
keselamatan yang penting, termasuk praktek-praktek keselamatan anestesi yang tidak

memadai, mencegah infeksi bedah dan komunikasi yang buruk di antara anggota tim.
Untuk membantu tim bedah dalam mengurangi jumlah kejadian ini, WHO menghasilkan
rancangan berupa checklistkeselamatan pasien di kamar bedah sebagai media informasi
yang dapat membina komunikasi yang lebih baik dan kerjasama antara disiplin klinis
Pada Juni 2008, WHO meluncurkan kampanye Safe Surgery Saves Lives.
Surgical Safety Checklist digunakan untuk memastikan bahwa seluruh tim operasi
mempunyai pemahaman yang sama terhadap tindakan operasi yang akan dilakukan dan
kondisi pasiennya, serta memastikan bahwa intervensi seperti antibiotik profilaksi dan
pencegahan deep vein thrombosis sudah diberikan. Checklist ini berisi 19 hal yang harus
dilakukan dalam tiga tahap, sebelum induksi anesthesia (sign in), sebelum insisi kulit (time
out), dan sebelum pasien meninggalkan kamar operasi (sign out). Halhal yang tercantum
dalam checklist ini harus dikonfirmasikan secara verbal kepada pasien dan anggota tim
operasi.
Selain penggunaan checklist, kelompok penelitian WHO juga melakukan intervensi
perkenalan tim operasi, brifing dan debrifing. Safety briefing memungkinkan anggota tim
saling memperkenalkan diri dan perannya dalam tim, kondisi pasien, potensi penyulit yang
mungkin muncul, kebutuhan peralatan khusus, posisi pasien, dll. Tanpa perkenalan yang
cukup, tim operasi bisa jadi bekerja tanpa saling mengetahui nama masingmasing.
Akibatnya, akan sulit bagi anggota tim untuk bertanya, mengingatkan atau memberitahu
jika ada masalah yang terjadi. Meskipun masih banyak dokter dan perawat yang masih
menganggap proses ini tidak penting, tetapi pada kenyataannya brifing berhasil
meningkatkan level komunikasi dalam tim, mengurangi terjadinya error dan keterlambatan
yang tidak diharapkan Berdasarkan fenomena tersebut kemudian diangkat topic analisis jurnal
terkait Surgical Safety Checklist dalam proses pembedahan, dengan judul Systematic review and

meta-analysis of the effect of the World Health Organization surgical safety checklist on
postoperative complications

B. RumusanMasalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut rumusan permasalahan yang penulis
tetapkan dalam analisis jurnal penelitian ini adalah Bagaimana pengaruh WHO Surgical Safety
Checklist terhadap komplikasi post operasi?
C. Tujuan
Tujuan dari laporan ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari surgical safety checklist
terhadap komplikasi post operasi.
D. Manfaat
1. Bagi Pasien
Untuk pencegahan terjadinya komplikasi pada pasien yang dilakukan tindakan
pembedahan.
2. Bagi Perawat Bedah
Memberikan informasi mengenai penerapan dan manfaat dari surgical safety
checklist dalam suatu proses pembedahan sehingga dapat dilakukan koreksi apabila tidak
sesuai dan dilakukan peningkatan untuk perawatan bedah.
3. Bagi Mahasiswa
Mengetahui iformasi tentang penerapan surgical safety checklist dalam suatu
proses pembedahan sehingga bertambah ilmu pengetahuannya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pelayanan Bedah di Rumah Sakit
Pembedahan merupakan salah satu tindakan medis yang penting dalam pelayanan
kesehatan. Tindakan pembedahan merupakan salah satu tindakan medis yang bertujuan untuk
menyelamatkan nyawa, mencegah kecacatan dan komplikasi (Haynes, et al. 2009). Menurut
Brunner & Sudarth (2010), pembedahan dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Bedah Mayor

Bedah mayor merupakan pembedahan yang relatif lebih sulit untuk dilakukan dari
pada pembedahan minor, membutuhkan waktu, dan melibatkan resiko terhadap nyawa
pasien, dan memerlukan bantuan asisten seperti contoh bedah sesar, mammektomi, bedah
torak, bedah otak.
b. Bedah Minor
Bedah minor merupakan pembedahan yang secara relatif dilakukan secara simple,
tidak memiliki risiko terhadap nyawa pasien dan tidak memerlukan bantuan asisten untuk
melakukannya seperti contoh membuka abses superficial, pembersihan luka, inokuasi,
superfisial neuroktomi dan tenotomi.
c. Bedah Emergency
Bedah emergency merupakan pembedahan yang dilakukan darurat, tidak boleh
ditunda dan membutuhkan perhatian segera (gangguan mungkin mengancam jiwa) seperti
contoh luka bakar sangat luas, perdarahan hebat. D
d. Bedah Elektif
Bedah elektif merupakan pembedahan yang dilakukan ketika diperlukan dan kalau
tidak dilakukan juga tidak terlalu membahayakan nyawa. Contoh: hernia sederhana,
perbaikan vaginal.
Brunner & Sudarth (2010), membagi tingkat luka operasi menjadi luka operasi bersih, luka
operasi bersih terkontaminasi, luka operasi terkontaminasi dan luka operasi kotor. Klasifikasi ini
mempermudah untuk memprediksikan tingkat infeksi luka setelah operasi.
a. Luka Operasi Bersih
Luka operasi bersih mempunyai kriteria elektif, tidak emergency, kasus non trauma,
tertutup secara primer, tidak ada peradangan akut, tidak ada kesalahan pada teknik aseptik,
tidak ada luka tembus ke sistem pernafasan, pencernaa, empedu, saluran kencing dan
kelamin. B
b. Luka Operasi Bersih Terkontaminasi
Luka operasi bersih terkontaminasi mempunyai kriteria darurat namun tidak
emergency atau luka bersih, pembedahan elektif sistem pernafasan, pencernaa, saluran
kemih, tidak termasuk pembukaan saluran empedu yang terinfeksi, kesalahan minor dalam
metode aseptik.
c. Luka Operasi Terkontaminasi
Luka operasi terkontaminasi mempunyai kriteria peradangan non purulen, luka ke
dalam empedu atau saluran kencing yang terinfeksi, kesalahan mayor pada teknik aseptik,
luka tembus kurang dari 4 jam. Luka terbuka kronis yang akan ditutup.

d. Luka Operasi Kotor


Luka operasi kotor mempunyai kriteria peradangan yang purulen (abses), perforasi
saluran pernafasan preoperatif, pencernaa, empedu dan luka tembeus selama 4 jam.
Menurut Cahyono (2008), untuk merancang sistem yang aman dalam tindakan
pembedahan, diperlukan beberapa hal yaitu:
a. Lingkungan Kerja
Lingkungan operasi harus memenuhi persyaratan agar tidak terjadinya
KTD. Lingkungan kerja yang memenuhi persyaratan misalnya tenang, sinar, AC,
sterilitas ruangan, terbebas dari interupsi seperti adanya panggilan atau telpon,
ketersediaan dan pemeliharaan peralatan, kualitas dan kuantitas staf serta beban
kerja staf.
b. Tim Bedah
Tim bedah harus mempunyai keterampilan, pengalaman kerja dan
komunikasi verbal dan tertulis sesama anggota tim. Tim bedah harus mempunyai
kondisi fisik dan psikologis yang baik (tidak lelah, stres) sehingga kejadian
komplikasi atau kejadian tidak diinginkan (KTD) tidak terjadi.
c. Proses dan Prosedur
Rangkaian tindakan pembedahan merupakan hal yang sangat penting.
Untuk mencegah terjadinya kejadian tidak diinginkan (KTD) pada prosedur dan
proses pembedahan harus dilakukan verifikasi checklist tempat operasi, prosedur
perhitungan instrumen operasi (kasa, gunting), adanya pedoman praktek klinis yang
evidence-based, penilaian operatif dan standarisasi prosedur anestesi dan bedah
d. Individu
Individu yang bertugas pada proses pembedahan adalah individu yang
memiliki pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan dan keterampilan seorang
petugas bedah sangat penting untuk mencegah adanya komplikasi dan kematian
pada pasien. Petugas bedah harus sehat fisik dan mental, bersertifikasi, lisensi dan
terakreditasi.

2. Keselamatan Pasien Operasi


a. Pengertian Keselamatan Pasien Operasi

Menurut Cahyono (2008), patient safety (keselamatan pasien) secara sederhana


dapat diartikan sebagai pemberian layanan yang tidak mencederai atau merugikan
pasien. Selanjutnya, Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1691/Menkes/Per/ VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit menyebutkan
bahwa keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,
kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk
meminimalkantimbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil.
Pasal 7 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit menyebutkan
bahwa setiap rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien, yang meliputi:
(1) hak pasien; (2) mendidik pasien dan keluarga; (3) keselamatan pasien dalam
kesinambungan pelayanan; (4) penggunaan metode peningkatan kinerja untuk
melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pada pasien; (5) peran
kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien; (6) mendidik staf tentang
keselamatan pasien; (7) komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai
keselamatan pasien
Selanjutnya Pasal 8 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit menyebutkan
bahwa setiap rumah sakit wajib mengupayakan pemenuhan sasaran keselamatan pasien
yang meliputi 6 sasaran, yaitu: (1) ketepatan identifikasi pasien; (2) peningkatan
komunikasi yang efektif; (3) peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai; (4)
kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi; (5) pengurangan risiko
infeksi terkait pelayanan kesehatan; dan (6) pengurangan risiko pasien jatuh.
Berkaitan dengan keselamatan pasien operasi, Cahyono (2008) menyebutkan bahwa
keselamatan pasien operasi merupakan pemberian layanan pembedahan yang aman dan
berkualitas pada pasien di ruang operasi dengan tidak mencederai atau merugikan
pasien.

3. Waktu dan Cara Pelaksanaan Keselamatan Pasien Operasi


Telah dipaparkan sebelumnya bahwa keselamatan pasien operasi merupakan pemberian
layanan pembedahan yang aman dan berkualitas pada pasien di ruang operasi dengan tidak
mencederai atau merugikan pasien. Dalam hal pembedahan dilakukan oleh tim profesional yang
terdiri dari dokter bedah, dokter anestesi, perawat, dan tenaga lainnnya yang diperlukan. Tim
bedah harus konsisten melakukan pembedahan dengan baik mulai dari the briefing phase, the time
out phase, the debriefing phase sehingga dapat meminimalkan setiap risiko yang tidak diinginkan.
Keselamatan pasien operasi dilakukan melalui 3 tahap, masingmasing sesuai dengan alur
waktu yaitu sebelum induksi anestesi (sign in), sebelum insisi kulit (time out) dan sebelum
mengeluarkan pasien dari ruang operasi (sign out).
a) Pada fase sign in sebelum induksi anestesi dilakukan pemeriksaan apakah
identitas pasien telah dikonfirmasi, prosedur dan sisi operasi sudah benar, sisi
yang akan dioperasi telah ditandai, persetujuan untuk operasi telah diberikan,
oksimeter pulse pada pasien berfungsi. Selain itu dilakukan konfirmasi faktor
resiko pasien, apakah pasien ada risiko kehilangan darah, kesulitan jalan nafas,
reaksi alergi, dan sebagainya
b) Pada fase time out setiap anggota tim operasi memperkenalkan diri dan peran
masing-masing. Tim operasi memastikan bahwa semua orang di ruang operasi
saling kenal. Sebelum melakukan sayatan pertama pada kulit tim mengkonfirmasi
dengan suara yang keras mereka melakukan operasi yang benar, pada pasien yang
benar. Mereka juga mengkonfirmasi bahwa antibiotik profilaksis telah diberikan
dalam 60 menit sebelumnya.
c) Pada fase sign out tim bedah akan meninjau operasi yang telah dilakukan.
Dilakukan pengecekan kelengkapan spons, penghitungan instrumen, pemberian
label pada spesimen, kerusakan alat atau masalah lain yang perlu ditangani.
Langkah akhir yang dilakukan tim bedah adalah rencana kunci dan memusatkan
perhatian pada manajemen post operasi serta pemulihan sebelum memindahkan
pasien dari kamar operasi (Surgery & Lives, 2008)
4. Surgical Patient Safety Checklist
a. Pengertian Surgical Safety Checklist
Surgical Safety Checklist adalah sebuah daftar periksa untuk memberikan
pembedahan yang aman dan berkualitas pada pasien. Surgical Safety Checklist

merupakan alat komunikasi untuk keselamatan pasien yang digunakan oleh tim
profesional di ruang operasi (Safety & Compliance, 2012)
b. Manfaat Surgical Safety Checklist
1) Mengurangi Kejadian yang tidak diharapkan (KTD)
Surgical Safety Checklist disusun untuk membantu tim bedah untuk
mengurangi angka kejadian yang tidak diharapkan (KTD). Banyaknya kejadian
tidak diinginkan (KTD) yang terjadi akibat pembedahan mengakibatkan WHO
membuat program surgical safety checklist untuk mengurangi kejadian tidak
diinginkan (KTD). Dalam praktiknya surgical safety checklist bermanfaat untuk
mengurangi angka kematian dan komplikasi, beberapa penelitian menunjukkan
angka kematian dan komplikasi berkurang setelah digunakan surgical safety
checklist.
Penelitian Haynes menunjukkan angka kematian berkurang dari 1,5%
menjadi 0,8% dan angka komplikasi berkurang dari 11% menjadi 7,0% (Haynes, et
al. 2009). Penelitian Latonsky menghasilkan hal yang serupa bahwa jika Surgical
Safety Checklist dilaksanakan secara konsisten maka angka kematian mengalami
penurunan dari 1,5% menjadi 0,8% dan angka komplikasi turun dari 11% menjadi
2)

7% (Latonsky, et al., 2010).


Menurunkan surgical site infection dan mengurangi risiko kehilangan darah lebih dari
500 ml.
Penelitian Weiser menunjukkan angka infeksi luka operasi (ILO) mengalami
penurunan setelah dilakukan penelitian dengan menggunakan SSCL. Angka ILO
turun dari 11,2% menjadi 6,6% dan risiko kehilangan darah lebih dari 500 ml turun

dari 20,2% menjadi 13,2% (Weizer, et al. 2008).


3) Menurunkan proporsi pasien yang tidak menerima antibotik sampai insisi kulit
Vries pada penelitian tentang a Surgical Patient Safety System menghasilkan
penerapan Surgical Patient Safety System pra operasi menghasilkan waktu yang
lebih lama dari 23,9-29,9 menjadi 32,9 menit, akan tetapi jumlah pasien yang tidak
menerimaantibiotik sampai insisi kulit menurun sebesar 6% (Depkes RI, 2006).
4) Fungsi yang paling umum adalah menyediakan informasi yang detail mengenai kasus
yang sedang dikerjakan, korfimasi detail, penyuaraan fokus diskusi dan kemudian
pembentukan tim (Depkes RI, 2006).
5) Penggunaan checklist kertas
merupakan salah satu solusi karena checklist kertas dapat disediakan dengan
cepat dan membutuhkan biaya sedikit, selain itu checklist kertas juga dapat

disesuaikan ukuran dan bentuknya sesuai dengan kebutuhan serta tidak memerlukan
penguasaan teknologi yang tinggi untuk mengisinya (Depkes RI, 2008).
c. Implementasi Surgical Safety
Checklist Surgical safety checklist di kamar operasi digunakan melalui 3 tahap,
masing-masing sesuai dengan alur waktu yaitu sebelum induksi anestesi (sign in). Sebelum
insisi kulit (time out) dan sebelum mengeluarkan pasien dari ruang operasi (sign out)
(Haynes, et al. 2009). Implementasi SurgIcal Safaty Checklist memerlukn seorang
koordinator yang bertanggung jawab untuk memeriksa checklis. Koordinator biasanya
seorang perawat, dokter atau profesional kesehatan lainnya yang terlibat dalam operasi.
Surgical Safety Checklist dibagi tiga tahap yaitu sebelum induksi anestesi (Sign In),
periode setelah induksi dan sebelum bedah sayatan (Time Out), serta periode selama atau
segera setelah penutupan luka sebelum mengeluarkan pasien dari kamar operasi (Sign Out).
Pada setiap fase, koordinator checklist harus diizinkan untuk mengkonfirmasi bahwa tim
telah menyelesaikan tugasnya sebelum melakukan kegiatan lebih lanjut Fase Sign In sebelum
induksi anestesi koordinator secara verbal memeriksa apakah identitas pasien delah
dikonfirmasi, prosedur dan sisi operasi sudah benar, sisi yang akan dioperasi telah ditandai,
persetujuan untuk operasi telah diberikan oksimeter pulse pada pasien berfungsi.
Koordinator dengan profesional anestesi mengkonfirmasi resiko pasien apakah pasien
ada risiko kehilangan darah, kesulitan jalan nafas, reaksi alergi. Fase Time Out setiap anggota
tim operasi memperkenalkan diri dan peran masing-masing. Tim operasi memastikan bahwa
semua orang di ruang operasi saling kenal. Sebelum melakukan sayatan pertama pada kulit
tim mengkonfirmasi dengan suara yang keras mereka melakukan operasi yang benar, pada
pasien yang benar. Mereka juga mengkonfirmasi bahwa antibiotik profilaksis telah diberikan
dalam 60 menit sebelumnya. Fase Sign Out tim bedah akan meninjau operasi yang telah
dilakukan. Dilakukan pengecekan kelengkapan spons, penghitungan instrumen, pemberian
label pada spesimen, kerusakan alat atau masalah lain yang perlu ditangani. Langkah akhir
yang dilakukan tim bedah adalah rencana kunci dan memusatkan perhatian pada manajemen
post operasi serta pemulihan sebelum memindahkan pasien dari kamar operasi (Surgery &
Lives, 2008).

1) Sebelum induksi anestesi (Sign In) Perawat melakukan sign in di ruang serah terima
sebelum pasien masuk kamar operasi. Langkah-langkah Surgical Safety Checklist sebagai
berikut:
a. Perawat mengkonfirmasi kepada pasien mengenai identitas, sisi yang akan
dioperasi, prosedur dan persetujuan tindakan di ruang serah terima instalasi.
Setelah konfirmasi lengkap maka pasien masuk ruang operasi untuk konfirmasi
tahapan berikutnya. Langkah ini sangat penting dilakukan untuk mencegah
b.

terjadinya operasi pada pasien yang salah, sisi yang salah dan prosedur.
Sisi yang akan dioperasi sudah ditandai Pada item pemberian sisi pada pasien
yang akan dioperasi koordinator checklist harus mengkonfirmasikan bahwa ahli

c.

bedah melakukan operasi telah menandai sisi yang akan dilakukan pembedahan.
Obat dan mesin anestesi telah diperiksa secara lengkap Koordinator meminta
dokter anestesi memeriksa peralatan anestesi, sistem pernafasan (oksigen dan
inhalansi) apakah berfungsi dengan baik serta memeriksa ketersediaan obat

sebelum melakukan induksi anestesi.


d. Pulse oksimetri pada pasien berfungsi Koordinator checklist menegaskan
sebelum induksi anestesi bahwa oksimeter pulse telah dipasang pada pasien dan
berfungsi dengan baik. Bila dimungkinkan sebuah sistem suara digunakan untuk

mengingatkan tim bedah tentang denyut nadi dan saturasi oksigen oksimetri.
Pulse oksimetri direkomendasikan oleh WHO sebagai komponen penting dalam
pemberian anesetesi.
e. Apakah pasien memiliki alergi Koordinator checklist menanyakan 2 pertanyaan
pada anestesi profesional. Pertanyaan pertama koordinator checklist menanyakan
apakah pasien mengalami alergi yang telah diketahui anestesi, kemudian
sebutkan jenis alerginya, hal ini dilakukan untuk mengkonfirmasi bahwa anestesi
mengetahui adanya alergi yang akan menimbulkan risiko pada pasien. Jika
koordinator mengetahui bahwa anestesi tidak tahu ada alergi maka informasi ini
harus dikomunikasi.
f. Apakah pasien memiliki risiko aspirasi Dokter anestesi akan menulis kesulitan
jalan nafas pada status sehingga pada tahapan Sign In tim bedah dapat
mengetahuinya dan mengantisipasi pemakaian jenis anestesi yang digunakan.
Risiko aspirasi divevaluasi sebagai bagian dari penilaian jalan nafas. Jika pasien
memiliki gejala refluks aktif atau perut penuh, dokter anestesi harus
mempersiapkan untuk kemungkinan aspirasi. Risiko ini dapat dikurangi dengan
memodifikasi rencana anestesi, misalnya menggunakan teknik induksi cepat dan
dengan bantuan asisten memberikan tekanan krikoid selama induksi untuk
mengantisipasi risiko aspirasi pasien dipuasakan 6 jam sebelum operasi.
g. Apakah pasien memiliki risiko kehiliangan darah lebih dari 500 ml? Kehilangan
darah merupakan salah satu bahaya yang paling umu dan penting bagi pasien.
Syok hipovelemik meningkat ketika darah mengalami kekurangan lebih dari 500
ml (7 mil/ kg pada anak). Pasien yang mempunyai risiko kehilangan darah lebih
dari 500 ml dipersiapkan darah sehari sebelum dilakukan operasi. Dokter anestesi
akan mempersiapkan infus 2 jalur atau kateter vena sentral dan tim harus
mengkonfirmasikan ketersediaan darah untuk resusitasi. Untuk meningkatkan
keamanan kehilangan darah harus ditinjau kembali oleh dokter bedah pada waktu
time out.
2) Sebelum Insisi Kulit (Time Out) Tindakan hening sejenak dengan melakukan doa
bersama dilakukan semua anggota tim bedah sebelum membuat insisi.
a. Konfirmasi identitas tim bedah

Konfirmasi tim bedah dengan cara tim bedah memperkenalkan diri dan
peranannya masing-masing karena anggota tim operasi sering berubah.
b. Dokter, anetesi dan perawat mengkonfirmasi secara lisan pasien, sisi operasi dan
prosedur pembedahan.
Sebelum melakukan tindakan operasi, operator memastikan identitas pasien.
Secara lisan anggota tim mengkonfirmasi nama pasien, sisi operasi, telah menandai
sisi yang di operasi. Sebagai contoh, perawat secara lisan mari kita Time Out dan
kemudian melanjutkan apakah semua orang setuju bahwa ini adalah X pasien,
mengalami Hernia Inguinal kanan. Jika pasien tidak dibius maka pasien dapat
mengkonfirmasi hal yang sama. Hal ini dilakukan untuk memastikan tim bedah
tidak melakukan salah sisi pada pasien.
c. Antisipasi peristiwa kritis
Komponen yang penting dalam operasi adalah mengantisipasi keadaan yang
membahayakan, komunikasi tim yang efektif, kerja tim yang efisiensi dan
pencegahan komplikasi.
d. Dokter review: apa langkah kritis, durasi operasi dan kehilangan darah
diantisipasi?
Diskusi langkah-langkah kritis yang dilakukan untuk meminimalkan risiko
pembedahan. Semua anggota tim mendapat informasi dari dokter. Risiko kehilangan
darah yang cepat, cidera atau morbiditas untuk meninjau langkah-langkah yang
memrukan peralatan khusus. Sebelum dilakukan operasi pasien dan anggota
keluarga diberitahukan risiko tindakan dan kemungkinan perubahan prosedur
tindakan.
e. Anaesthesia team reviews: are there any patient-specific concerns? Anggota tim
anestesi memperhatikan penyakit penyerta pasien.
Tim anestesi harus memperhatikan rencana tindakan untuk resusitasi,
penggunaan darah pada pasien yang berisiko kehilangan darah besar, ketidakstabilan
hemodinamik atau lainnya.
f. Nursing team reviews: has sterility (including indicator results) been confirmed?
Are there equipment issues oe\r any concerns?
Perawat menanyakan kepada dokter bedah mengenai alat-alat yang
diperlukan sehingga perawat memastikan istrumen di kamar operasi telah steril dan
lengkap.
g. Apakah antibiotik profilaksis telah diberikan 60 menit terakhir.

Anggota tim yang bertanggung jawab pada pemberian antibiotik profilaksis


adalah dokter anestesi (WHO, 2009). Jika antibiotik diberikan lebih dari 60 menint
sebelumnya maka tim bedah harus mempertimbangkan pemberian antibiotik ulang
pada pasien.
h. Ahli bedah akan memastikan pemeriksaan penunjang berupa foto apakah perlu
ditampilkan di kamar operasi.
Dokter bedah memberi keputusan apakah foto penunjang diperlukan dalam
pelaksaan operasi atau tidak. Jika foto penunjang diperlukan tapi tidak ada maka
harus diperoleh.
3) Sebelum mengeluarkan pasien dari ruang operasi (Sign Out)
a. Procedure Recorded Koordinator checklist mengkonfirmasi pada dokter bedah dan
tim apakah prosedur atau sebagai konfirmasi kami melakukan prosedur X,
benar?
b. Penghitungan instrumen, jarum dan kasa
Perawat instrumen memberitahukan secara lisan kepada tim mengenai
kelengkapan instrumen, jika jumlah tidak tepat maka anggota tim memeriksa di
lipatan kain operasi dan jika perlu memeriksa di tempat sampah.
c. Jika ada spesimen harus dilakukan pelabelan
Pelabelan sangat penting dilakukan, hal ini dilakukan untuk diagnostik
spesimen patologi. Perawat sirkuler dan dokter bedah membuat label dengan cara
membuat label pada spesimen yang diperoleh selama prosedur operasi dengan
membuat pengantar patologi dan menggambarkan bentuk dan ciri specimen
d. Are there any equipment problems to be addressed?
Apakah ada masalah peralatan di kamar operasi yang bersifat universal
sehingga koordinator harus mengidentifikasi peralatan yang bermasalah sehingga
dapat ditangani.
e. Surgeon, Anaesthesia Professional And Nurse Review
The Key Concerns For Recovery And Management Of This Patient Pada
tahap akhir, sebelum mengeluarkan pasien dari ruang operasi. Dokter bedah,
anestesi dan perawat harus memperhatikan rencana pemulihan pasca operasi.
Sebelum pasien dikeluarkan dari ruang operasi anggota tim melakukan pemeriksaan
keselamatan, saat pasien dipindahkan dari ruang operasi maka anggota tim bedah
memberikan informasi tentang pasien kepada perawat yang bertanggung jawab di

ruang pemulihan. Tujuan dari langkah ini adalah efisiensi dan tepat trasfer informasi
penting untuk seluruh tim (Surgery & Lives, 2008).

BAB III
ANALISIS JURNAL
A. IdentitasJurnal

Judul : Systematic review and meta-analysis of the effect of the World


Health Organization surgical safety checklist on postoperative complications

Penulis

: Rose Seavey, Seavey Healthcare Consulting, LLC,

Arvada, CO

Penerbit

: British Journal Surgery Society Ltd

Tahun Terbit : 2014

B. LATAR BELAKANG
Secara Keseluruhan, kejadian buruk di rumah sakit terjadi sekitar 10%, dimana
dari kejadian tersebut terkait dengan proses operasi. Dengan tujuan meningkatkan
keselamatan pasien saat operasi, sebuah checklist telah dikembangkan oleh World Health
Organisasi (WHO), mirip dengan yang digunakan dalam penerbangan, aeronautika dan
produk manufaktur yang disebut dengan Surgical Safety Checklist (SSC).

Surgical Safety Checklist (SSC) terdiri dari 19 item dan digunakan di tiga
perioperatif kritis saat: induksi, insisi dan sebelum pasien meninggalkan ruang operasi. Item
tersebut mengandung konfirmasi lisan oleh tim bedah dengan melengkapi beberapa langkah
kunci untuk memastikan pengiriman yang aman pada anestesi, profilaksis. Tujuan dari
tinjauan ini adalah untuk menilai efektivitas dari WHO SSC. Sasaran pertama adalah untuk
menilai efek dari SSC pada komplikasi pasca operasi dan kematian terkait dengan
implementasinya, kedua adalah untuk menilai hubungan antara hasil klinis dan kepatuhan
terhadap SSC.
C. Metode
a) Sumber data
Pencarian data dilakukan melalui The Cochrane Library, MEDLINE, Embase and
Cumulative Index to Nursing and Allied Health Literature (CINAHL) dilakukan secara
sistematis untuk semua publikasi sampai Februari 2013. Pencarian menggunakan istilah
pencarian sesuai The following medical subject heading (MeSH) dan menggunakan kata
kunci baik kata kunci tunggal maupun dalam kombinasi : 'pascaoperasi complication
'[MESH],' Checklist '[MESH],' postoperative complication, prevention and
control'[MESH].
Strategi pencarian MEDLINE (Lampiran S1, pendukung informasi) yang
disesuaikan dengan kamus database lain. Ini didampingi oleh permintaan-checklist tertentu
dengan menggunakan kata kunci berikut: prevention and control [MESH], Risk
Management [MESH], 'Checklist' [MESH]. Selain itu, bibliografi artikel juga dicari untuk
artikel yang relevan. Selama penyusunan naskah, strategi MEDLINE adalah berkonsultasi
setiap minggu untuk mengidentifikasi potensi publikasi yang relevan terbaru. Penelitian
yang belum jelas atau abu-abu tidak dianggap.
b) Pemilihan Penelitian
Kriteria Inklusi :
Penelitian menggunakan bahasa inggris
. Desain penelitian yang digunakan adalah:
- randomized clinical trials,
- non-randomized controlled trials,
- controlled beforeafter penelitianes, interrupted time series (ITS)
- repeated-measures penelitianes..
penelitian kuantitatif yang berhubungan dengan dampak dari WHO SSC pada
komplikasi pasca operasi, termasuk kematian pasca operasi,

Kriteria Ekslusi :
Penelitian dieklsusikan jika yang diteliti hanya masalah tertentu atau komplikasi
tertentu saja, seperti yang hanya berfokus pada efektivitas site marking pada
operasi
.
c) Ekstraksi data
Setelah melakukan penghapusan duplikat, pilihan pertama referensi dibuat
berdasarkan judul dan abstrak. Jurnal yang terpilih untuk direview teks secara lengkap
discreening sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Dua rewiewer independen
melakukan ekstraksi data dan penilaian kritis termasuk penelitian, jika ada perbedaan
pendapat dapat diselesaikan oleh reviewer ketiga. Tempat penelitian, desain, pemilihan dan
bias dari pengukuran, dasar dari pengukuran hasil dan karakteristik, risiko kontaminasi,
analisis data, hasil pelaporan selektif, risiko lainnya dari bias, dan isu-isu yang berkaitan
dengan generalisasi dan keberlanjutan selanjutnya diekstraksi dan dicatat. Pengkajian untuk
risiko bias dan penilaian kritis dilakukan menggunakan the Cochrane Collaborations
Effective Practice and Organisation of Care Group guidelines
d) Sintesis data dan analisis
Data dianalisis dengan menggunakan R (bahasa dan lingkungan untuk komputasi
statistik). Semua melaporkan nilai P dari dua sisi; P <0,050 dianggap untuk menunjukkan
signifikansi pada statistik. Komplikasi pasca operasi yang dibahas setidaknya ada dalam
dua penelitian yang dimasukkan dalam narasi sintesis. Meta analisis dilakukan untuk
mengukur tiga hasil dari pasien yang utama, yaitu : terjadinya komplikasi pasca operasi,
Infeksi pada area bedah/Surgical Site Infection (SSI) dan kematian. Jika dalam artikel
penelitian tersedia data lebih dari satu situs, data dari situs individu digunakan untuk
mengatasi efek agregat, data pelaporan serta membatasi dalam penelitian heterogenitas.
Rasio risiko (RR) dengan kepercayaan 95% (ci) dihitung sebagai perkiraan dari
efek dengan menggunakan model random-efek, seperti yang diusulkan oleh DerSimonian
dan Laird. Heterogenitas hasil penelitian dinilai menggunakan uji Cochran Q dan uji
Higgins I. P <0,100. Pada uji Cochran Q dan nilai I2 jika >50% dianggap menunjukkan
heterogenitas yang signifikan. Koefisien Yules Q contingency itu digunakan sebagai
pengukur dari hubungan antara efektivitas dan kepatuhan. Yules Q contingency adalah

transformasi rasio odds (OR) yang dirancang untuk hal yang bervariasi, tidak dari 0 hingga
tak terbatas dengan 1 menunjukkan tidak berpengaruh, tapi dari -1 sampai +1 dengan 0
menunjukkan tidak berpengaruh, karena Korelasi Pearson. Secara konseptual, ini adalah
jumlah pasang dalam persetujuan (ad) dikurangi jumlah yang tidak setuju (Bc) dibagi
dengan jumlah total pasangan observations.
Efektivitas WHO SSC ditunjukkan oleh variabel biner yang menunjukkan
terjadinya RR yang signifikan untuk komplikasi. Semua penulis meninjau langkah-langkah
kepatuhan. Secara individual dan ditentukan apakah kepatuhan yang adekuat dalam
menggunakan SSC bisa diharapkan. Kepatuhan yang adekuat didefinisikan sebagai
kepatuhan terhadap langkah-langkah yang disediakan untuk setidaknya 90 % dari semua
pasien. Setelah ini penilaian individu, pertemuan konsensus diadakan pada masing masing
situs, di mana consensus atau mufakat merupakan yang dicari dalam kasus ketidaksetujuan.
Sepanjang prosedur ini penulis membutakan hasil dan referensi penelitian. Perjanjian di
antara penulis mengenai interpretasi mereka pada kepatuhan checklist dinilai
menggunakan Fleiss '. hasil dari Keputusan dinyatakan sebagai variabel biner yang
mewakili ada atau tidak adanya kepatuhan yang adekuat terhadap WHO SSC.
D. HASIL
Secara total, 723 artikel yang berpotensi relevan dipertahankan. Setelah pengkajian dan
penilaian secara kritis dari judul dan abstrak, sembilan artikel dipilih untuk evaluasi teks
lengkap sementara dua penelitian diekslusikan karena tidak memenuhi kriteria inklusi. Pada
akhirnya, tujuh penelitian dipertimbangkan untuk dianalisis lebih lanjut. Satu penelitian
dikeluarkan dari meta-analisis karena merupakan reanalysis dari sub-kohort pasien yang
menjalani operasi non-elektif dan telah dilaporkan dalam penelitian lain (Gbr. 1).
E. Included Studies

1. Haynes, et al
Penelitian ini menilai efektivitas WHO SSC di delapan rumah sakit di seluruh dunia
yang dilakukan antara bulan oktober tahun 2007 dan September 2008. Penelitian ini,
menggunakan desain ITS (Interrupted Time Series), termasuk pasien berusia 16 tahun

atau lebih tua yang menjalani operasi non-jantung. Setelah eksplorasi pertama pada
pengukuran awal, masing-masing institusi menerima umpan balik tentang kekurangan
yang telah diidentifikasi dan kemudian diminta untuk melaksanakan WHO SSC.
Checklist telah diperkenalkan ke ruang operasi selama lebih sari 1 minggu sampai 1
bulan. Untuk memfasilitasi pelaksanaan, checklist diterjemahkan ke bahasa lokal dan
disesuaikan agar sesuai ke dalam proses perawatan di masing-masing instituti. Sebuah
tim penelitian local mendedikasikan sebagai pemandu dalam pengenalan checklist untuk
staf. Efektivitas diukur sebagai pengurangan dalam komplikasi utama, termasuk
kematian, selama pasca operasi di rumah sakit (sampai 30 hari) atau sampai debit rumah
sakit. Weiser melakukan analisis ulang dari sebuah sub-sampel pada pasien dewasa
yang menjalani operasi mendesak, noncardiac operasi. Subsampel yang diambil dari data
yang digunakan oleh Haynes dan colleagues
2. Sewell et al.
Penelitian ini mengevaluasi penggunaan WHO SSC sebelum dan setelah
pelaksanaan program pendidikan di satu rumah sakit di UK. Penelitian ini, menggunakan
desain ITS pada trauma dan bedah ortopedi. Program pendidikan yang dirancang untuk
meningkatkan penggunaan checklist, yang terdiri dari langkah-langkah berikut: Format
SSC ditempatkan di ruang operasi sehingga anggota staf bisa menjadi lebih familiar dengan
penggunaan SSC; pelatihan wajib menggunakan video yang telah diproduksi, merinci cara
yang benar untuk memenuhi checklist; dan sesi pendidikan yang disampaikan akan
membahas penyebab utama efek samping terkait dengan operasi, dan menjelaskan
bagaimana menggunakan checklist dengan tepat. Efektivitas diukur sebagai pengurangan
dalam komplikasi utama, termasuk kematian, selama pasca operasi di rumah sakit, sampai
30 hari atau sampai debit rumah saki
3. Askarian et al
Penelitian ini mengevaluasi efek dari WHO SSC pada tingkat morbiditas dan
mortalitas pasca operasi di sebuah rumah sakit perawatan tersier di Iran. Penelitian ini,
menggunakan desain ITS, termasuk pasien berusia minimal 16 tahun menjalani yang
bedah umum elektif. Pasien dengan stadium akhir dan immunocompromised
diekslusikan. Penilaian awal dilakukan selama 3 bulan pertama penelitian; komplikasi
pasca operasi dicatat dalam empat rumah sakit dari bangsal sampai keluar rumah sakit.
Checklist diperkenalkan selama pertemuan, dan pada paket pendidikan yang berisi

checklist dan disertai buku pedoman, diberikan kepada tim kamar operasi. Efektivitas
diukur sebagai penurunan komplikasi pasca operasi.
4. Van Klei et al
Van klei mengevaluasi efek dari versi disesuaikan dari WHO SSC pada kematian di
rumah sakit, dengan dampak dari hasil kepatuhan pada checklist, di sebuah rumah sakit
tersier di Belanda. Penelitian ini merupakan penelitian dengan kelompok penelitian
retrospektif yang menginklusikan semua pasien dewasa yang menjalani prosedur
pembedahan. Modifikasi WHO SSC dibuat untuk meningkatkan penerapan local yang
menghasilkan 22 item checklist. Seluruh bedah dan Tim anestesi mendiskusikan terlebih
dahulu setiap pasien yang akan dibedah, hal tersebut menggantikan SIGN IN dari WHO
SSC. Memastikan bahwa item checklist sudah tersedia untuk perawat sebelum pasien
masuk dan meninggalkan ruang operasi, terstruktur
Serah terima dilaksanakan dari bangsal ke ruang operasi, serta dari ruang operasi
ke ruang pemulihan. Informasi Pelaksanaan informasi disediakan baik pada pertemuan
rutin dan selama pertemuan tambahan dengan Seluruh staf (ahli bedah, dokter anestesi
dan perawat), di mana pentingnya checklist itu perlu ditekankan. Tambahan lagi,
checklist yang tersedia telah dibuat dalam format poster di setiap kamar operasi dan
dalam bentuk elektronik di system penjadwalan. Efektivitas diukur untuk mengurangi
adanya pengurangan jumlah kematian selama operasi dalam kurun waktu 30 hari.
5. Bliss et al
Penelitian ini mengevaluasi efek dari Asosiasi Perawat perioperatif secara comprehensif
padaSurgical Safety Checklist di fasilitas dengan 600 tempat tidur perawatan tersier dan
rumah sakit pendidikan di Amerika Serikat. Checklist ini menggabungkan amanat dari
praktek klinis yang diperlukan oleh WHO, Gabungan Komisi, dan Centers for Medicare
dan Medicaid Service. Penelitian ini menggunakan desain ITS dengan historical control
dan termasuk semua pasien berusia 18 tahun atau lebih tua yang menjalani prosedur
bedah beresiko tinggi. pelaksanaan checklist yang melibatkan tiga sesi tim berdasarkan
Program pelatihan. Staf layanan bedah diorientasikan dengan penggunaan checklist, dan
hambatan dalam penggunaan checklist yang dibahas pada sesi latihan. efektivitas adalah
dievaluasi sebagai pengurangan angka kematian 30 hari dan / atau komplikasi pasca
operasi
6. Kwok et al

Penelitian Kwok mengevaluasi efektivitas WHO SSC pada publik, universitas yang
berafiliasi umum dan rumah sakit trauma di Chisinau, Moldova, menggunakan Desain ITS.
Intervensi terdiri rumah sakit yang menggunaakan WHO SSC secara luas. Tim
Implementasi local yang dibentuk yang terdiri dari administrator rumah sakit dan
perwakilan dari bedah, anestesi dan departemen perawat. Tim Implementasi dilatih selama
empat kali menggunaan video konferensi 30-60 menit setiap minggu, dengan menggunakan
checklist dan materi pelatihan oksimetri yang dikembangkan oleh WHO, Harvard School
of Public Health, Federasi Dunia Perhimpunan of anestesi, dan Asosiasi Dokter-dokter
anestesi Britania Raya dan Irlandia.Bahan-bahan ini presentasi disertakan, manual, skenario
klinis dalam video. Data komplikasi Tiga puluh hari dikumpulkan dan akan didefinisikan
oleh the American College of Surgeons National Surgical Quality Improvement Program.

F.Risiko bias dalam Penelitian


Semua penelitian yang rentan terhadap pengganggu dan bias pada keputusan
metodologis. Semua artikel dalam review ini melaporkan hasil penelitian non-acak,
sehingga potensi bias ada . Sebagai informasi metodologis sulit untuk menemukan, banyak
pertanyaan mengenai bias dan membingungkan sehingga tidak terjawab. Potensi sumber
bias dan pembaur bisa digeneralisasi. Sumber pertama sesuai dengan checklist digunakan.
Enam penelitianes melaporkan pengukuran subkelompok indikator keselamatan yang
sesuai dengan checklist, dengan kisaran antara 0 dan 97, 3%. Semua penelitian
menunjukkan variabilitas yang sesuai diantara antara item checklist. Implementasi yang
tidak lengkap membuat sulit untuk ikut yang diukur menjadi efek pada WHO SSC sendiri.
Sumber kedua bias adalah strategi implementasi yang digunakan dalam berbagai penelitian,
sering tidak jelas, pendekatan implementasi yang digunakan, mungkin menghasilkan
berbagai tingkat kepatuhan dengan WHO SSC. Ketiga, dalam beberapa penelitian
observasi langsung digunakan untuk mengevaluasi berpotensi menyebabkan efek
Hawthorne. Pengaruh checklist digunakan pada pasca operasi komplikasi

G. Komplikasi Pacsa Operasi


Enam penelitian (Haynes et al, Weisel et all, Sewell, et all, Azkarian et al, Bliss et
al, Kwok et al) melaporkan data pada setiap komplikasi dalam 30 hari setelah operasi atau

sampai dikeluarkan dari rumah sakit (Tabel 1). Lima penelitian menemukan adanya
penurunan tingkat komplikasi:
a. 11, 0 menjadi 7 ,0 % (P <0 001) ,
b.4 menjadi 11, 7 % (P = 0 001) ;
c. 22, 9 menjadi 10% %(P = 0 03) ;
d. 6 menjadi 8 %(P <0 001)
e. 21,5 menjadi 8 ,8%(P <0 001)
Satu penelitian (Sewell et al) tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara
evaluasi interval (8,5 menjadi7,6 %; RR 0 89, 95 % ci 0 58-1 37). Meta-analisis untuk
setiap komplikasi di lima penelitian menghasilkan RR 0,59 (95 per ci 0 47 dengan 0 74;
P <0 001). Dengan demikian Ada heterogenitas yang signifikan (Cochran Q = 44 07, 11
df, P <0 001; I2 = 75 (95 per sen c.i. 56-86) %) (Gambar. 2)
H. Tingkat kematian
Kematian selama tiga puluh hari operasi dilaporkan dalam lima penelitian (Van
klei et al, Haynes et al, Weisel et all, Sewell, et all, Azkarian et al, Kwok et al) (Tabel 1).
Sebuah efek yang signifikan pada kematian ketika mengimplementasikan SSC ditemukan
dalam dua penelitian : 1, 5 menjadi 0, 8 % (P = 0 003) dan 3 ,7 menjadi 1, 4 % (P = 0
007. Van Klei melaporkan adanya penurunan rata rata tingkat kematian dari 3,1 sampai 2
,9 %, tapi ini tidak menunjukkan hasil yang signifikan menurut statistik (P = 0 ,19).
Setelah penyesuaian perbedaan dasar, angka kematian menurun secara signifikan
setelah checklist diimplementasikan (OR 0,85; 95% ci 0 ,73-0 ,98). Efek ini sangat terkait
dengan kepatuhan terhadap pengisian checklist; OR adalah 0,44 (0,28-0 ,70) jika checklist
diisi dengan komplit, dibandingkan dengan 1 ,09 (0 ,78-1 ,52) dan 1 ,16 (0 ,86-1 ,56) untuk
parsial dan non-kepatuhan masing-masing. Dua penelitian tidak menunjukkan penurunan
yang signifikan dalam angka kematian. Meta-analisis untuk mortalitas mengungkapkan
bahwa di empat penelitian, RR untuk mortalitas dengan penggunaan WHO SSC adalah 0,
77 (0 ,60-0 ,98; P = 0 ,035), tanpa heterogenitas signifikan (Q Cochran = 13, 15, P = 0, 216;
I2 = 24 (0-62) %) (Gambar. 3).

I. Surgical Site Infection (SSI)


SSI dilaporkan dalam enam penelitian (Haynes et al, Weisel et all, Sewell, et all,
Azkarian et al, Bliss et al, Kwok et al (Tabel 1). Tiga penelitian melaporkan penurunan
signifikan dalam implementasi SSC: Haynes et al melaporkan dari 6 ,2 sampai 3, 4 %(P
<0, 001) ; Weisell et al melaporkan adanya penurunan dari 11,2 menjadi 6, 6 % (P <, 001)
dan Kwok et al melaporkan adanya penurunan 14, 9 menjadi 4 ,7 % (P <0 001). Penelitian
lainnya tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dalam SSI setelah SSC
diimplementasikan: Sewell et al melaporkan 4 ,4 menjadi 3 ,5%, Axkaran et al melaporkan
dari 10 ,4 menjadi5 ,3 %(P = 0, 1) dan Bliss et al melaporkan 6 ,2 menjadi 5 % (P = 0 845)
Meta-analisis menunjukkan bahwa lima penelitian RR untuk SSI dengan penggunaan
WHO SSC adalah 0 , 57 (95 % ci 0 41-0 79; P <0 001) yang merupKn heterogenitas
signifikan (Cochran Q = 41 74, 11 d.f., P <0 001; I2 = 74 (53-85) %) (Gambar. 4)
J. Blood loss
Dua penelitian (Weiser et al dan Bliss et all) melaporkan kehilangan darah. Dalam
artikel oleh Weiser, proporsi pasien yang diperkirakan kehilangan darah lebih dari 500 ml
menurun dari 20 ,3 menjadi 13 ,3 % (P <0 001). Bliss et al tidak menunjukkan perbedaan
yang signifikan dalam %tase yang membutuhkan transfusi untuk perdarahan (6 ,1 sampai 5,
5 %;P = 0 392)

K. Unplanned Return To Recovery Theater


Tiga penelitian (Haynes et al, Sewell et al, Kwok et al) melaporkan rincian tentang
pasien yang kembali ke ruang operasi padahal tidak direncanakan. Dalam penelitian
Haynes tingkat pengembalian turun dari 2,4 menjadi 1,8 % (P = 0,047), Sewell
melaporkan tingkat pengembalian yang tidak direncanakan kembali ke ruang operasi
setelah 1% prosedur di kedua audit. Kwok melaporkan bahwa tingkat pengembalian yang
tidak direncanakan menurun dari 1 ,9 menjadi 1 5% (P = 0,151).
L. Pneumonia
Pneumonia atau infeksi saluran pernapasan bagian bawah yang dilaporkan dalam lima
penelitian, satu penelitian melaporkan perbedaan yang signifikan pada penurunan tingkat
pneumonia, dari 4 ,7 menjadi 2, 6 % (P <0 001). Sedangkan penelitian yang lain melaporkan
tidak adanya perbedaan yang signifikan 1, 1 berbanding 1,3 % (P = 0, 46; 2,1 menjadi 2 ,5 %,
7, 6 menjadi 3 ,3 % (P = 0 ,1) dan 2 ,4 menjadi 0 % (P = 0, 362)

.
M. Hubungan antara checklist kepatuhan dan efektivitas
Enam penelitian mengukur kepatuhan dengan SSC (Haynes et al, Weiser et al, Sewell et al,
Azkarian et al,Bliss et al, Kwok et al). Lima penelitian melaporkan kepatuhan terhadap

subkelompok pada six safety measure sebagai indikator kepatuhan terhadap checklist. Satu
penelitian (Kwok et al ) menggunakan subset dari five safety measure sebagai indicator
kepatuhan checklist (untuk rincian lihat Tabel S1, mendukung informasi). Sebuah RR yang
signifikan dalam penggunaan WHO SSC, ditemukan di enam dari 12 lokasi (Gambar. 2). dalam
Kelompok ini, empat melaporkan kepatuhan yang adekuat terhadap penilaian keamanan,. Dari
lima situs dengan kepatuhan yang adekuat, empat menunjukkan penurunan yang signifikan pada
komplikasi pascaoperasi. Sebaliknya, dua dari tujuh lokasi pelaporan kepatuhan yang tidak
adekuat menunjukkan penurunan yang signifikan komplikasi pasca operasi. Hasil ini
menunjukkan sebuah korelasi antara penurunan yang signifikan dalam komplikasi pascaoperasi
dan kepatuhan yang adekuat untuk melaporkan safety measure (Q = 0 82, P = 0 042)
N. Diskusi
Hasil meta-analisis ini menunjukkan bahwa WHO SSC mengurangi komplikasi pasca
operasi, termasuk mortalitas. Meta-analisis menunjukkan pengaruh yang signifikan dari
checklist pada komplikasi (RR 0 ,9, 95% c.i. 0, 47 menjadi 0 ,74), mortalitas (RR 0, 77, 0 ,
60 menjadi 0, 98) dan SSI (RR 0 57, 0 41-0 menjadi 0, 79). Penelitian ini juga
menyarankan bahwa lokasi dengan kepatuhan adekuat dengan aspek perawatan dalam
checklist lebih mungkin untuk menunjukkan penurunan yang signifikan dalam komplikasi
pasca operasi. Analisis yang dikumpulkan menunjukkan perbaikan yang signifikan dalam
komplikasi pasca operasi setelah WHO SSC diimplementasikan. Namun, terdapat
variabilitas efek jumlah dalam penelitian.
Variasi menjadi lebih jelas ketika penelitian Haynes dianalisis di tingkat lokasi (Tabel
1). Bahkan ketika metode pelaksanaan yang seragam digunakan (seperti yang diasumsikan
dalam penelitian Haynes), variasi kepatuhan dan hasil yang diamati. Sangat mungkin bahwa
Metode pelaksanaan memberikan dampak, tetapi bukan satu - satunya penentu. Haynes
menunjukkan bahwa peningkatan hasil pasca operasi dikaitkan dengan peningkatan persepsi
kerja sama tim dan keselamatan iklim antara responden, menunjukkan bahwa perubahan
aspek ini mungkin sebagian bertanggung jawab atas efek checklist.
Penelitian ini menyoroti bahwa evaluasi dari sebuah tim dengan carra mengisi checklist
secara komplit, yang diukur dengan kepatuhan, sama pentingnya dengan mengevaluasi
outcomes. Administrator rumah sakit, para pemimpin pelaksanaan dan peneliti perlu untuk
mengukur dan melaporkan sesuai dengan checklist dalam hubungan dengan hasil klinis.

Diperlukan untuk metode yang direproduksi dalam mengukur kepatuhan yang


membutuhkan pemahaman yang lebih baik tentang dampak potensial sebagai variabel
pengganggu yang mempengaruhi efisiensi checklist.
Selain itu, ada kebutuhan untuk mengidentifikasi hambatan yang merupakan kunci
meningkatkan kepatuhan terhadap SSC tersebut. Satu review lainnya telah setuju dengan
efektivitas checklist selama operasi. Tinjauan umum oleh Borchard et al tidak
mempertimbangkan WHO SSC secara eksklusif. Tinjauan ini eksklusikan karena
menggunakan SURgical PAtient Safety System (SURPASS) checklist, yang secara konsep
berbeda dari WHO SSC. SURgical PAtient Safety System (SURPASS) checklist adalah
checklist multidisiplin yang komprehensif dan dibagi menjadi bagian yang sesuai dengan
fase yang berbeda dari seluruh yangjalur bedah (pra operasi, operasi, pemulihan atau
perawatan intensif, dan lamanya tinggal di rumah sait pasca operasi); WHO SSC hanya
mencakup fase perioperatif. Pencantuman
Jikan SURgical PAtient Safety System (SURPASS) checklist itu dimasukkan dalam
review akan membuat metodologis salah karena mengggunakan dua instrument yang
berbeda. Penelitian ini menggunakan item kepatuhan yang dipilih secara individu untuk
pengukuran danuntuk menjelaskan variasi dalam efektivitas antara situs. Hanya satu
penelitian yang menunjukkan hubungan antara kepatuhan dengan WHO SSC dan
pengurangan komplikasi pasca operasi. Dalam penelitiannya van Klei juga menunjukkan
penurunan mortalitas yang terkait dengan tingkat kelengkapan SSC
Temuan ini harus ditinterpretasikan dalam konteks penelitian dan keterbatasan.
Beberapa elemen bias dan pembuat rancu mungkin harus dipertimbangkan. Pertama,
metodologis, klinis dan heterogenitas statistik antara penelitian mungkin menghambat
meta-analisis. Sebagai hasil dari berbagaiisu-isu metodologis dan kurangnya informasi
secara rinci mengenai implementasi dan kepatuhan, meta-regresi tidak dapat dilakukan
untuk menjelaskan statistic heterogenitas. Kedua, karena tingkat kematian yang relative
rendah, beberapa penelitian kurang bersemangat dan seakan tidak mampu mendeteksi
perbedaan potensial dalam mortalitas.
Ketiga, jumlah dari manfaat ditemukan di penelitian dengan kualitas rendah
ini.Keempat, mengingat kohort yang dipelajari berbeda, pasien anak yang tidak diteliti.
Akhirnya,nterpretasi sesuai dengan SSC didasarkan pada kepatuhan terhadap subkelompok
langkah-langkah keamanan. Ini adalah Perbedaan penting sebagai langkah-langkah yang

dan merupakan kepatuhan terhadap aspek tertentu dari perawatan tdalam WHO checklist.
checklistlengkap mungkin mempunyai fungsi dengan cara yang berbeda untuk masingmasing item. Penelitian menekankan pentingnyaFungsi tim dan komunikasi yang
digunakan checklist, Faktor tidak termasuk yang diukur dalam kepatuhan penelitian
Kepatuhan dengan subkelompok keselamatan tindakan tidak selalu berarti
penggunaan yang tepat dari checklist. Bukti yang tersedia adalah mendukung pengurangan
komplikasi pasca operasi dan kematian dengan diimplementasikannya WHO SSC, tetapi
tidak dapat dianggap sebagai definitif tanpa adanya penelitian berkualitas tinggi.
Pengurangan komplikasi pasca operasi berkorelasi dengan kepatuhan terhadap aspek
perawatan di WHO SSC.
O. Disclosure
Para penulis menyatakan tidak ada konflik yang penting

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Hasil penelitian ini sangat direkomendasikan untuk pengurangan komplikasi pasca


operasi dan kematian setelah pelaksanaan WHO SSC, tetapi tidak dapat dianggap sebagai
definitif dengan tidak adanya penelitian berkualitas tinggi
2. Fungsi tim dan komunikasi yang digunakan dalam checklist serta kepatuhan dalam
pengisian WHO SSC juga mendukung pengurangan komplikasi pasca operasi dan
kematian

B. Saran
1. Bagi Mahasiswa
Terus mencari literatur terbaru tentang Surgical Safety Checklist dan mempelajarinya
2. Bagi Tenaga Kesehatan
Menerapkan cara-cara pengisian Surgical Safety Checklist sesuai aturan yang ada secara
komplit
3. Bagi Instansi
Dari hasil penelitian ini, dapat berfungsi sebagai acuan kebijakan dalam melakukan
monitoring urgical Safety Checklist secara rutin.
C. Implikasi Keperawatan
1. Perawat sebagai edukator
Dari hasil penelitian terbaru mengenai manfaat pengisian Surgical Safety Checklist dapat
sharing dengan rekan sejawat, baik sesama perawat maupun dengan staf,
2. Perawat sebagai advokat
Perawat dapat memeriksa apakah pengisian Surgical Safety Checklist sudah sesuai
3. Perawat sebagai peneliti
Melakukan penelitian mengenai Surgical Safety Checklist dengan variable yang berbeda.
4. Perawat sebagai klinisi
Perawat dalam perannya sebagai tim operasi harus memperhatikan semua hal terutama
pengisian Surgical Safety Checklit secara lengkap.

Daftar Pustaka
Askarian M, Kouchak F, Palenik CJ. Effect of surgical safety checklists on postoperative morbidity
and mortality rates, Shiraz, Faghihy Hospital, a 1-year study. Qual Manag Health Care
2011; 20: 293297.
Bliss LA, Ross-Richardson CB, Sanzari LJ, Shapiro DS, Lukianoff AE, Bernstein BA et al. Thirtyday outcomes support implementation of a surgical safety checklist. J Am Coll Surg 2012;
215: 766776.

Haynes AB, Weiser TG, Berry WR, Lipsitz SR, Breizat AH, Dellinger EP et al. A surgical safety
checklist to reduce morbidity and mortality in a global population. N Engl J Med 2009;
360: 491499. 1
Kwok AC, Funk LM, Baltaga R, Lipsitz SR, Merry AF, Dziekan G et al. Implementation of the
World Health Organization surgical safety checklist, including introduction of pulse
oximetry, in a resource-limited setting. Ann Surg 2012; 257: 633639
Sewell M, Adebibe M, Jayakumar P, Jowett C, Kong K, Vemulapalli K et al. Use of the WHO
surgical safety checklist in trauma and orthopaedic patients. Int Orthop 2011; 35: 897901.
Weiser TG, Haynes AB, Dziekan G, Berry WR, Lipsitz SR, Gawande AA; Safe Surgery Saves
Lives Investigators and Study Group. Effect of a 19-item surgical safety checklist during
urgent operations in a global patient population. Ann Surg 2010; 251: 976980.

Hasri, Eva Tirtabayu. 2012. Praktik Keselamatan Pasien Bedah di RSUD X. Tesis.
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
1. Weiser TG, Regenbogen SE, Thompson KD, Haynes AB, Lipsitz SR, Berry WR, et al.
An estimation of the global volume of surgery: a modelling strategy based on
available data. Lancet 2008;372(9633):13944. 2. WHO. Safe surgery saves lives,
2008.
. Haynes AB, Weiser TG, Berry WR, Lipsitz SR, Breizat AH, Dellinger EP, et al. A
surgical safety checklist to reduce morbidity and mortality in a global population. N
Engl J Med 2009;360(5):4919

You might also like