Professional Documents
Culture Documents
DOKUMEN REFERENSI
@Desember 2014
Layout isi dan Cover:
Galih Gerryaldy
Diterbitkan oleh:
DIDUKUNG OLEH:
KABUPATEN WONOSOBO
MEDIA PARTNER:
Daftar Isi
Piagam Dunia tentang Hak atas Kota
Laporan perkembangan Komite Penasehat
Agenda Piagam Global Tentang Hak Asasi Manusia di Kota
Forum Dunia tentang HAM di Kota tahun 2011
1
21
45
65
PIAGAM DUNIA
TENTANG HAK
ATAS KOTA
Forum Sosial Amerika Quito Juli 2004
Forum Sosial Dunia Barcelona Oktober 2004
Forum Sosial Dunia Porto Alegre Januari 2005
Revisi persiapan untuk Barcelona September 2005
vi
Dokumen Referensi
Pendahuluan
Milenium baru disertai dengan kenyataan bahwa setengah dari populasi dunia
tinggal di wilayah perkotaan, dan para ahli memperkirakan bahwa pada tahun
2050 tingkat urbanisasi di dunia akan mencapai 65%. Perkotaan merupakan
wilayah yang memiliki potensi kekayaan dan keberagaman ekonomi, lingkungan,
politik dan budaya yang luas. Cara hidup masyarakat perkotaan mempengaruhi
cara kita berhubungan dengan sesama manusia dan wilayah sekitar.
Namun, bertentangan dengan keberadaan potensi ini, model pembangunan
yang diterapkan di sebagian besar negara-negara miskin ditandai dengan
kecenderungan untuk melakukan konsentrasi pada pendapatan dan kekuasaan
sehingga mengakibatkan terjadinya kemiskinan dan pengucilan, yang
berkontribusi terhadap degradasi lingkungan, mempercepat proses migrasi
dan urbanisasi, segregasi sosial dan spasial, serta privatisasi kesejahteraan
umum maupun ruang publik. Proses ini mendukung meluasnya proliferasi
daerah perkotaan yang ditandai dengan kemiskinan, kondisi yang genting, dan
kerentanan terhadap bencana alam.
Saat ini, kota menawarkan kondisi dan kesempatan yang masih jauh dari adil
bagi penduduknya. Mayoritas penduduk perkotaan terampas atau terbatas
dalam memperoleh manfaat dari karakteristik ekonomi, sosial, budaya, etnis,
jenis kelamin atau usia mereka untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak yang
paling mendasar mereka. Kebijakan publik yang berkontribusi terhadap kondisi
ini dengan mengabaikan peran penduduk dalam proses pembangunan kota
dan kewarganegaraan, hanya merugikan kehidupan perkotaan. Konsekuensi
serius yang harus dihadapi dari situasi ini mencakup pengusiran besar-besaran,
segregasi, dan kerusakan yang disebabkan oleh koeksistensi sosial.
Konteks ini mengakibatkan timbulnya kesulitan yang dihadapi perkotaan yang
masih tetap terfragmentasi dan belum mampu menghasilkan perubahan yang
transendental dalam model pembangunan saat ini, meskipun betapa pentingnya
hal tersebut secara sosial dan politik.
Untuk menghadapi kenyataan ini, dan perlunya membalikkan tren yang ada,
organisasi dan gerakan perkotaan saling bekerjasama sejak Forum Sosial Dunia
Pertama (2001) yang membahas dan menghadapi tantangan untuk membangun
sebuah model masyarakat dan kehidupan perkotaan yang berkelanjutan,
berdasarkan prinsip-prinsip solidaritas, kebebasan, keadilan, martabat, dan
keadilan sosial, serta didirikan dengan menghormati budaya perkotaan yang
berbeda dan keseimbangan antara perkotaan dan pedesaan. Sejak saat itu,
kelompok terpadu dari gerakan rakyat, lembaga swadaya masyarakat, asosiasi
profesional, forum, serta jaringan masyarakat sipil nasional dan internasional,
yang berkomitmen untuk melakukan perjuangan sosial bagi terciptanya kota yang
adil, demokratis, manusiawi dan berkelanjutan, telah bekerja untuk membangun
Piagam Dunia tentang Hak atas Kota. Piagam ini bertujuan untuk menggalang
komitmen dan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh masyarakat sipil,
pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, anggota parlemen, serta organisasiorganisasi internasional, sehingga semua orang dapat hidup bermartabat di kota.
Hak atas Kota akan memperluas fokus tradisional tentang peningkatan kualitas
hidup masyarakat berdasarkan perumahan dan lingkungan yang ada selama
ini, untuk mencakup kualitas hidup pada skala kota dan pedesaan di sekitarnya,
sebagai mekanisme perlindungan penduduk yang hidup di wilayah perkotaan atau
wilayah-wilayah dengan proses urbanisasi yang cepat. Hal ini mengindikasikan
agar memulai cara baru untuk memajukan, menghargai, membela dan memenuhi
hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan yang dijamin dalam
instrumen HAM regional dan internasional.
Di kota dan pedesaan di sekitarnya, korelasi antara hak-hak dan tugas yang
diperlukan dapat dituntut sesuai dengan tanggung jawab dan kondisi sosial ekonomi
penduduknya yang berbeda, sebagai bentuk promosi: distribusi yang merata atas
manfaat dan tanggung jawab yang dihasilkan dari proses urbanisasi; pemenuhan
fungsi sosial kota dan properti; distribusi pendapatan perkotaan; serta demokratisasi
akses terhadap lahan tanah dan layanan publik bagi semua warga negara, terutama
mereka yang kurang memiliki sumberdaya ekonomi dan berada dalam situasi yang
rentan.
Sebagai asal-usul dan arti sosial, Piagam Dunia tentang Hak atas Kota sebenarnya
merupakan instrumen yang berorientasi untuk memperkuat proses perkotaan,
pembenaran, dan perjuangan. Kami menyebut Piagam yang disusun tersebut
sebagai platform yang mampu menghubungkan upaya dari pihak semua aktor yang
terkait publik, sosial dan pribadi yang tergerak untuk mengalokasikan validitas
dan efektivitas secara penuh terhadap hak asasi manusia yang baru ini melalui upaya
pemajuan, pengakuan hukum, implementasi, regulasi, dan penempatan yang tepat.
Dokumen Referensi
Hak atas Kota didefinisikan sebagai hak pakai hasil kota yang setara dalam
prinsip-prinsip keberlanjutan, demokrasi, kesetaraan, dan keadilan sosial.
Hak ini merupakan hak kolektif dari penduduk kota, khususnya kelompokkelompok yang rentan dan terpinggirkan, yang menganugerahkan kepada
mereka legitimasi tindakan dan organisasi, berdasarkan kegunaan dan
adat istiadat mereka, dengan tujuan mencapai hak secara penuh dalam
memperoleh kebebasan atas kemauan sendiri dan standar hidup yang layak.
Hak atas Kota adalah saling bergantungnya semua hak asasi manusia yang
diakui secara internasional dan dipahami secara integral, dan oleh karena itu
mencakup semua hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan
yang sudah diatur dalam perjanjian internasional tentang hak asasi manusia.
Hal ini mengasumsikan tercakupnya hak untuk bekerja dalam kondisi yang
adil dan memuaskan; hak untuk mendirikan dan berafiliasi dengan serikat
kerja; jaminan sosial, kesehatan masyarakat, air minum yang bersih, energi,
transportasi umum, dan layanan sosial lainnya; hak atas makanan, pakaian,
dan tempat tinggal yang layak; hak atas pendidikan publik yang berkualitas
dan budaya; hak atas informasi, partisipasi politik, hidup berdampingan
secara damai, dan akses terhadap keadilan; serta hak untuk berorganisasi,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Hak tersebut juga mencakup
penghormatan terhadap kaum minoritas; pluralitas etnis, ras, seksual dan
budaya; serta menghargai para migran.
Kota ini adalah ruang kolektif budaya yang kaya dan beragam yang berkaitan
dengan semua penghuninya.
Sebagai akibat dari keberadaan Piagam ini, arti dari konsep kota menjadi
berlipat ganda. Sebagai karakter fisik, kota adalah setiap metropolis,
desa, atau kota kecil yang secara kelembagaan diselenggarakan sebagai
satu unit pemerintah lokal dengan karakter kota atau metropolitan. Hal ini
mencakup ruang kota serta lingkungan pedesaan atau semi-pedesaan di
sekitarnya yang merupakan bagian dari wilayahnya. Sebagai ruang publik,
kota adalah keseluruhan lembaga dan aktor yang ikut ambil bagian dalam
pengelolaannya, seperti otoritas pemerintah, lembaga legislatif dan yudikatif,
entitas partisipasi sosial yang dilembagakan, gerakan dan organisasi sosial,
serta masyarakat pada umumnya.
Sebagai akibat dari keberadaan Piagam ini, semua individu yang menghuni
kota, baik secara permanen atau sementara, dianggap sebagai warganya.
PASAL II. PRINSIP DAN LANDASAN STRATEGIS DARI HAK ATAS KOTA
1. PENERAPAN PENUH KEWARGANEGARAAN DAN PENGELOLAAN KOTA
YANG DEMOKRATIS:
1.1. Kota seharusnya merupakan lingkungan yang berperan sebagai
realisasi penuh atas hak asasi manusia dan kebebasan fundamental,
yang menjamin martabat dan kesejahteraan kolektif dari semua orang,
dalam kondisi yang setara, merata, dan berkeadilan. Semua orang
memiliki hak untuk mendapati kota dalam kondisi yang sesuai dengan
keperluan realisasi politik, ekonomi, budaya, sosial, dan ekologi mereka,
asalkan menjaga solidaritas.
Dokumen Referensi
Dokumen Referensi
6. MEMAJUKAN
PROGRESIF:
SOLIDARITAS
EKONOMI
DAN
KEBIJAKAN
PAJAK
Kota harus mempromosikan dan menghargai kondisi politik dan ekonomi yang
diperlukan untuk menjamin program-program ekonomi solidaritas sosial dan
sistem pajak progresif yang menjamin distribusi yang adil dari sumberdaya
dan dana yang diperlukan bagi pelaksanaan kebijakan sosial.
Dokumen Referensi
10
Dokumen Referensi
11
12
Dokumen Referensi
13
14
Dokumen Referensi
15
PASAL XX. TUNTUTAN YANG DAPAT DILAKUKAN DARI HAK ATAS KOTA
Semua orang memiliki hak untuk mengakses dan memanfaatkan sumberdaya
administratif maupun hukum yang efektif dan lengkap yang terkait dengan hak
dan kewajiban yang tercantum dalam Piagam ini, termasuk tidak dimanfaatkannya
hak-hak tersebut.
16
a.
b.
Dokumen Referensi
Menyampaikan Piagam Dunia tentang Hak atas Kota ini ke badanbadan dan lembaga-lembaga Sistem PBB dan badan-badan regional
yang berbeda untuk memulai proses yang bertujuan untuk memperoleh
pengakuan tentang Hak atas Kota sebagai hak asasi manusia.
b.
c.
b.
c.
17
b.
18
Dokumen Referensi
19
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
Majelis Umum
A/HRC/27/59
Distr.: Umum
4 September 2014
Terjemahan: Bahasa Indonesia
Dewan Hak Asasi Manusia Sesi ke-dua puluh tujuh Item agenda 3 dan 5
Memajukan dan melindungi seluruh hak-hak asasi, hak-hak sipil, politik,
ekonomi, sosial dan budaya, termasuk hak atas pembangunan Badan dan
mekanisme HAM
GE.14-15562 (E)
*1415562*
20
Dokumen Referensi
Pendahuluan
Pada bulan Agustus 2012, Komite Penasehat menyerahkan kepada Dewan Hak
Asasi Manusia untuk meminta pertimbangan dan persetujuan dari proposal
penelitian tentang pemerintah daerah dan hak asasi manusia (A/HRC/AC/9/6).
Pada tanggal 20 September 2013, Dewan HAM mengadopsi resolusi 24/2 dengan
mempertimbangkan proposal penelitian yang disebutkan di atas dan meminta
Komite Penasehat untuk menyiapkan laporan berbasis penelitian tentang peran
pemerintah daerah dalam memajukan dan melindungi hak asasi manusia,
termasuk pengarusutamaan HAM pada pemerintah daerah dan layanan publik
dengan maksud untuk mengkompilasi praktek terbaik dan tantangan utama,
serta menyerahkan laporan kemajuan tentang laporan berbasis penelitian yang
diminta kepada Dewan pada sesi ke 27, sebagai bahan pertimbangan.
Komite Penasehat juga diminta untuk menggali pandangan dan masukan dari
negara-negara anggota, organisasi internasional dan regional yang terkait,
Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia dan prosedur khusus yang
relevan, serta lembaga HAM nasional dan LSM, dalam rangka mempersiapkan
laporan berbasis penelitian yang disebutkan di atas.
Selama sesi ke 12 yang diselenggarakan pada tanggal 24-28 Februari 2014,
Komite Penasehat membentuk tim penyusun yang bertugas untuk membuat
laporan tersebut dan menunjuk anggota Komite berikut ini: Bp. Coriolano, Ibu
Elsadda, Bp. Huseynov (Pelapor), Ibu Reyes Prado, Bp. Seetulsingh (Ketua), dan
Bp. Yigezu.
Pada sesi pertemuan Komite Penasehat yang sama, tim penyusun membuat suatu
angket, sesuai dengan resolusi Dewan 24/2, yang disebarluaskan ke berbagai
pemangku kepentingan. Terhitung pada tanggal 4 Agustus 2014, sebanyak 67
respon telah diterima: 22 dari berbagai negara, 20 dari lembaga HAM nasional,
9 dari LSM, 12 dari pemerintah daerah dan 4 dari organisasi internasional atau
regional.
21
22
Dokumen Referensi
23
parlemen yang hadir. Hal yang sama berlaku untuk setiap undang-undang yang
membatasi hak-hak yang terkait dengan pemerintah mandiri daerah.
Perlu dicatat bahwa prinsip-prinsip subsidiaritas, desentralisasi dan akuntabilitas
secara jelas tampak di sejumlah negara sebagai prinsip utama dari pemerintah
daerah. Selain itu, untuk memastikan agar prinsip-prinsip ini terpenuhi, masingmasing aturan hukum tersebut membolehkan pemerintah daerah untuk
menggunakan upaya hukum.
Hukum internasional pada hakekatnya tidak mempermasalahkan struktur
teritorial internal dari suatu Negara. Hubungan antara negara dan pemerintah
daerah umumnya dianggap sebagai masalah internal. Dengan kata lain, negara
mempunyai hak yang berdaulat untuk mengatur pemerintah daerah mereka sendiri
sesuai dengan hukum dalam negeri mereka dan untuk secara bebas menentukan
apakah pemerintah daerah dipilih atau ditunjuk, dan apakah pemerintah daerah
dapat bekerja secara independen atau hanya dengan persetujuan resmi dari
pemerintahan yang lebih tinggi, dimana layanan publik harus disediakan oleh
pemerintah daerah.
Namun demikian, aturan dan peraturan tertentu telah dikembangkan, baik di
tingkat internasional maupun nasional, yang secara langsung berhubungan
dengan pemerintah daerah. Perlu ditekankan bahwa sangat sedikit dari aturan
hukum tersebut yang mengikat secara hukum. Di antara aturan yang perlu
disebutkan secara khusus adalah Piagam Eropa tentang Pemerintahan Otonomi
di Tingkat Daerah, suatu perjanjian regional yang diadopsi pada tahun 1985 dalam
kerangka kerja Dewan Eropa. Piagam ini, yang telah diratifikasi oleh seluruh 47
negara anggota Dewan Eropa, merupakan instrumen internasional pertama yang
mengikat secara hukum yang menjamin hak-hak masyarakat dan pemerintahan
terpilih mereka. Piagam ini meletakkan standar umum Eropa untuk melindungi
hak-hak pemerintah otonom daerah.
Instrumen lain yang mengikat secara hukum adalah Piagam Afrika tentang
Demokrasi, Pemilu dan Tata Kelola Pemerintahan2 yang diadopsi oleh Uni
Afrika pada bulan Januari 2007. Piagam ini mengandung beberapa ketentuan
mengenai pemerintah daerah. Secara khusus, Piagam ini mewajibkan negara
anggota untuk melakukan desentralisasi kekuasaan kepada pemerintah daerah
yang terpilih secara demokratis sebagaimana diatur dalam UU nasional (pasal
34). Piagam ini selanjutnya menetapkan bahwa mengingat peran abadi dan
penting dari pemerintahan tradisional, khususnya di masyarakat pedesaan,
negara anggota harus berusaha untuk menemukan cara dan sarana yang tepat
untuk meningkatkan keterpaduan dan efektivitasnya dalam sistem demokrasi
24
Dokumen Referensi
25
Perserikatan Kota dan Pemerintah Daerah (United Cities and Local Government),
organisasi pemerintah daerah terbesar di dunia, yang didirikan pada tahun 2004,
telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya membangun kerangka
kerja normatif global untuk pemerintah daerah, terutama untuk wilayah perkotaan.
Perlu disebutkan secara khusus beberapa dokumen penting seperti Piagam
Dunia untuk Hak atas Kota (2005) dan Agenda Piagam Global Hak Asasi Manusia
di Kota (2010).14
26
Dokumen Referensi
semua hak ekonomi, sosial dan budaya, Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
menekankan bahwa pelanggaran hak-hak yang terkandung dalam Kovenan
dapat terjadi melalui tindakan langsung atau gagal untuk bertindak atau kelalaian
oleh Negara Pihak, atau melalui lembaga atau badan di tingkat nasional dan lokal.
Perlu dicatat bahwa tindakan atau perilaku lembaga tertentu yang menggunakan
kekuasaan publik terhubung dengan Negara meskipun hukum negara tersebut
menganggap lembaga yang bersangkutan sebagai lembaga yang otonom dan
independen dari pemerintah eksekutif.17
Tindakan ilegal dari otoritas publik manapun, termasuk pemerintah daerah, dapat
diatribusikan kepada Negara meskipun tindakan tersebut bersifat ultra vires
(melebihi wewenang) atau bertentangan dengan hukum dan aturan di dalam
negeri.18 Hal ini merujuk langsung pada prinsip yang terkandung dalam pasal 27
dari Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian, dimana negara pihak tidak boleh
berpegang pada ketentuan dalam hukum domestik sebagai pembenaran atas
kegagalannya untuk melaksanakan perjanjian.
Pelaksanaan kewajiban negara dalam pemenuhan HAM terletak pada
pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah memainkan peran yang bersifat
komplementer. Setelah meratifikasi perjanjian HAM internasional, Negara dapat
mendelegasikan pelaksanaan tersebut kepada tingkat pemerintahan yang lebih
rendah, termasuk pemerintah daerah. Dalam hal ini, pemerintah pusat mungkin
perlu mengambil langkah-langkah di tingkat lokal, khususnya, untuk menetapkan
prosedur dan mekanisme kontrol yang bertujuan untuk memastikan agar Negara
memenuhi kewajiban HAM-nya. Pemerintah setempat berkewajiban untuk
mematuhi, dalam kompetensi lokal mereka, dengan tugas-tugas mereka yang
berasal dari kewajiban HAM internasional Negara. Perwakilan dari pemerintah
daerah harus terlibat dalam penyusunan strategi dan kebijakan nasional HAM.
Pemerintah daerah sesungguhnya merupakan pihak yang akan mewujudkan
kebijakan tersebut di lapangan. Di Negara-negara yang terdesentralisasi,
pemerintah daerah dapat memainkan peran yang lebih proaktif dan mandiri
dalam memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Kerjasama HAM yang
dilembagakan antara pemerintah pusat dan daerah dapat memberi dampak
positif pada tingkat pelaksanaan kewajiban HAM internasional oleh Negara.
Untuk memenuhi tanggungjawab HAM-nya, pemerintah daerah harus memiliki
kekuasaan dan sumberdaya keuangan yang diperlukan. Implementasi HAM yang
memadai, terutama hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, oleh pemerintah daerah
membutuhkan sumberdaya keuangan yang tidak mudah tersedia; yang harus
dipertimbangkan baik di tingkat nasional maupun internasional. Hal yang terutama
perlu ditekankan adalah bahwa kekuasaan apapun yang diberikan kepada
27
pemerintah daerah tidak akan efektif tanpa adanya sumberdaya keuangan untuk
melaksanakannya.19
Prinsip tanggungjawab bersama dari tingkat pemerintahan yang berbeda untuk
melindungi dan memajukan HAM telah beberapa kali digarisbawahi oleh badanbadan dan prosedur khusus perjanjian HAM. Dengan demikian, dalam alinea 12
Komentar Umum Nomor 4 (1991) tentang hak atas perumahan yang layak, Komite
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mencatat bahwa Negara-negara Pihak pada
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya harus mengambil
berbagai langkah untuk memastikan koordinasi antara kementerian dan pejabat
regional dan lokal dalam rangka menyelaraskan kebijakan (ekonomi, pertanian,
lingkungan hidup, energi, dll.) dengan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan
dalam pasal 11 dari Kovenan. Pelapor Khusus tentang kekerasan terhadap
perempuan, berbagai penyebab dan konsekuensinya, ketika mengunjungi Italia
pada tahun 2012, tidak hanya berbicara dengan perwakilan pemerintah nasional
dan berbagai organisasi non-pemerintah, tetapi juga mengunjungi Roma,
Milan, Bologna dan Napoli, dan dalam laporannya (A/HRC/20/16/Add.2) secara
eksplisit menyatakan pentingnya kemauan politik lokal untuk menangani masalah
kekerasan terhadap perempuan. Dalam salah satu keputusannya, Pengadilan
HAM Eropa menyatakan bahwa pihak berwenang dari entitas wilayah suatu
Negara merupakan lembaga hukum publik yang melaksanakan fungsi-fungsi
yang ditetapkan dalam konstitusi dan aturan hukum. Dalam hal ini, Pengadilan
HAM tersebut menegaskan bahwa dalam hukum internasional istilah organisasi
pemerintah tidak hanya merujuk pada pemerintah atau organ sentral dari suatu
Negara. Di Negara dimana kekuasaan disebarkan menurut jalur desentralisasi,
maka hal ini mengacu pada otoritas nasional apapun yang melaksanakan fungsi
publik.20
Dalam konteks pemantauan pelaksanaan komitmen HAM internasional di
dalam negeri, mekanisme PBB yang relevan dapat digunakan untuk melibatkan
pemerintah daerah dalam dialog. Pemerintah daerah harus dilibatkan dalam
tinjauan periodik universal berkenaan dengan pemerintah mereka; yang akan
meningkatkan kualitas tindak lanjut rekomendasi yang disepakati. Rekomendasi
yang dibuat selama tinjauan periodik universal dan Kesimpulan Pengamatan
dari badan-badan perjanjian harus disebarluaskan oleh pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah. Perlu juga untuk merujuk pada pedoman yang telah
diharmonisasi tentang proses pelaporan kepada badan-badan perjanjian (HRI/
MC/2005/3) di mana negara-negara yang melakukan pelaporan didorong untuk
memastikan bahwa departemen pemerintah di tingkat pusat, regional dan lokal
dan jika memungkinan, di tingkat federal dan provinsi, ikut berpartisipasi dalam
penyusunan laporan berkala (idem, alinea 50).
28
Dokumen Referensi
29
30
Dokumen Referensi
terhadap hak asasi semua individu dalam wilayahnya melalui pendidikan dan
pelatihan. Secara khusus, pemerintah daerah harus mengatur secara sistematis,
pelatihan HAM bagi wakil-wakil terpilih mereka dan staf administrasi serta
penyebarluasan informasi yang relevan bagi warga tentang hak-hak mereka.
Dengan memajukan HAM, pemerintah daerah dapat ikut membangun budaya
HAM di masyarakat.
Pemerintah daerah harus memberi perhatian khusus terhadap perlindungan dan
dorongan terhadap hak-hak kelompok rentan dan kurang beruntung, seperti
penyandang cacat, etnis minoritas, masyarakat adat, korban diskriminasi seksual,
anak-anak dan manula. Dalam hal ini, kualitas layanan pemerintah daerah untuk
kelompok-kelompok tersebut menguji sejauh mana pemerintah daerah secara
nyata menghormati HAM.22.
Di sejumlah negara, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengarusutamakam
HAM ke dalam kegiatan pemerintah daerah. Dengan demikian, berbagai
langkah telah diambil untuk mendorong tata kelola pemerintahan yang
partisipatif, melakukan audit dan penilaian dampak berbasis HAM, merangkai
ulang berbagai permasalahan lokal sebagai masalah HAM, membuat prosedur
untuk memverifikasi kesesuaian kebijakan dan peraturan daerah dengan HAM,
melaporkan kepatuhan pemerintah dearah pada perjanjian HAM, memberi
alokasi yang jelas dalam anggaran pemerintah kota bagi pelaksanaan HAM,
memberikan pelatihan HAM secara sistematis untuk PNS daerah, meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang HAM, dll. Penyusunan piagam HAM di tingkat
lokal (atau, lebih baik peraturan HAM yang mengikat piagam secara hukum)23
yang menetapkan tanggungjawab HAM tertentu pada pemerintah daerah dapat
menjadi langkah penting lainnya menuju upaya melokalisasi HAM. Dalam konteks
tersebut, pemerintah daerah sangat diharapkan untuk dapat mendirikan kantor
HAM dengan sumberdaya manusia dan keuangan yang memadai sehingga
dapat sepenuhnya menangani masalah HAM sesuai kompetensi lokal masingmasing.
Berikut ini adalah beberapa tantangan utama yang dihadapi pemerintah daerah
dalam upaya untuk memajukan dan melindungi HAM: lemahnya kemauan politik,
tidak adanya visi/perencanaan jangka panjang dan/atau komitmen; kurangnya
otonomi, kapasitas kelembagaan dan/atau sumberdaya; masih berkuasanya
rezim sentralistik dan/atau non-demokratis; konflik dan ketegangan politik di dalam
negeri; situasi ekonomi yang sulit di dalam negeri; tidak adanya pengakuan atas
peran dan partisipasi masyarakat sipil; kurangnya koordinasi antara pemerintah
pusat dan daerah; dan kurangnya pemahaman HAM di tingkat pemerintah
daerah.
31
32
Dokumen Referensi
33
Hak atas kota secara khusus ditetapkan dalam Piagam Dunia tentang Hak atas
Kota (2005);36 berbagai organisasi dan jaringan, termasuk UNESCO dan UNHABITAT, ikut serta dalam penyusunan dokumen penting tersebut. Piagam ini
mendefinisikan hak atas kota sebagai pemanfaatan kota secara adil dan setara
sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan, demokrasi, kesetaraan dan keadilan
sosial. Hak atas kota merupakan hak kolektif dari warga kota yang diberikan agar
mempunyai hak yang sah untuk bertindak dan berorganisasi, berdasarkan pada
penghormatan atas perbedaan, ekspresi budaya dan praktek mereka, dengan
tujuan melaksanakan hak mereka untuk menentukan nasib mereka sendiri dan
mencapai standar hidup yang layak . Hak atas kota ini saling bergantung pada
hak asasi manusia lainnya yang diakui secara internasional, termasuk hak-hak
sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan sebagaimana dimaksud
dalam perjanjian-perjanjian HAM internasional. Piagam ini juga mengakui sebagai
hak dan kewajiban dari nilai-nilai tertentu yang tidak terkandung secara eksplisit
dalam hukum perjanjian internasional. Hak-hak ini meliputi produksi sosial
pemukiman/habitat dan hak atas pembangunan perkotaan yang berkelanjutan
dan berkeadilan. Piagam ini juga menegaskan hak atas transportasi dan
mobilitas masyarakat, serta hak atas lingkungan hidup.
Konsep hak atas kota telah muncul selama beberapa dekade terakhir sebagai
alternatif dari penarikan tanggungjawab dan sumberdaya pemerintah pusat
dan negara di pasar yang mengalami globalisasi. Banyak kota yang semakin
tunduk pada lembaga pengambilan keputusan di tingkat pusat, anggaran publik
dan investasi, sedangkan kota harus berjuang sendiri dan/atau bersaing untuk
sumberdaya yang diperlukan untuk pembangunan dan layanan, seringkali tanpa
wewenang untuk meningkatkan pendapatan atau berpartisipasi secara efektif
dalam keputusan yang mempengaruhi proses alokasi. Dalam situasi tersebut,
pemerintah daerah menghadapi kemungkinan beralih ke privatisasi barang
dan jasa publik - dengan konsekuensi ekonomi yang biasanya merugikan bagi
kaum miskin - dan/atau mencari dukungan fiskal dari pasar keuangan swasta.
Konsep ini dapat mengacu pada hak-hak administratif, politik dan ekonomi dari
pemerintah daerah dalam kaitannya dengan pemerintah nasional/federal, serta
dengan kehadiran dan peran pemerintah daerah dibandingkan lembaga-lembaga
internasional dan multilateral (PBB, Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dll.).
Konsep hak asasi manusia di kota yang dikembangkan terutama dalam Piagam
Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia di Kota37 dan Agenda Piagam Global
tentang Hak Asasi Manusia di Kota38 menyiratkan: komitmen untuk menghormati,
melindungi dan memenuhi seluruh hak-hak asasi manusia yang diakui secara
internasional di tingkat lokal; komitmen untuk memprioritaskan perhatian pada
kelompok marjinal dan populasi yang tinggal dalam kondisi yang rentan; dan
34
Dokumen Referensi
35
Masyarakat sipil harus secara aktif terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan
HAM di tingkat lokal. Hal ini dapat menekan pemerintah daerah untuk menerapkan
pendekatan berbasis HAM dan memastikan keterlibatan pemerintah daerah.
Masyarakat sipil juga sangat berperan dalam kegiatan pemantauan dan dapat
memberikan informasi dan penilaian yang independen tentang kinerja pemerintah
daerah. Organisasi masyarakat sipil juga dapat bekerja secara langsung dengan
pemerintah daerah untuk memperkuat keahlian dan kesadaran HAM-nya. Namun
demikian, di luar kota-kota besar, masyarakat sipil seringkali masih lemah dan
memiliki sedikit pengalaman dalam pemantauan atau bekerjasama dengan
pemerintah daerah.40
36
Dokumen Referensi
37
berkaitan dengan hak asasi manusia tertentu atau hak asasi manusia dari
kelompok-kelompok tertentu.
Misalnya, di Australia, semua layanan pemerintah, termasuk pemerintah
daerah, wajib bekerja sesuai dengan tata perilaku yang mencakup pengakuan
hak-hak asasi manusia. Asosiasi Pemerintah Daerah Australia dan Komisi
Nasional HAM bekerjasama untuk mengoperasionalkan hak-hak asasi manusia
di tingkat lokal. Selanjutnya, Komisi Kesetaraan Kesempatan dan Komisi HAM
Victoria memfasilitasi forum pemerintah daerah, dan telah mengembangkan
panduan untuk pemerintah daerah. Komisi HAM tersebut mengkaji program dan
praktek pemerintah daerah sesuai dengan permintaan untuk memastikan agar
program dan praktek tersebut selaras dengan Piagam Victoria tentang HAM
dan Tanggungjawab HAM, serta memberikan pelatihan kepada dewan lokal. Di
Amerika Serikat, pengarusutamaan HAM dalam pemerintahan lokal dilakukan
melalui inisiatif seperti Mewujudkan HAM: bagaimana pemerintah pusat dan
daerah dapat menggunakan hak asasi manusia untuk memajukan kebijakan lokal.
Dengan menerapkan pendekatan inklusif untuk pembangunan yang memberikan
kesempatan yang sama kepada warga, Burundi mempertahankan kebijakan
yang mengintegrasikan kebijakan HAM nasional yang baru ke dalam rencana
pemerintah daerah. Di Hungaria, salah satu tujuan yang diprioritaskan adalah
untuk memantau pelaksanaan rekomendasi untuk Hongaria sesuai penilaian
periodik universal (universal periodic review), yang dapat dan akan dilakukan
melalui pemerintah daerah. Di Kolombia, melalui program Medellin Melindungi
HAM, Dewan Kota berusaha untuk memastikan agar kota tersebut memadukan
upaya perlindungan, pengakuan, pemulihan dan perbaikan hak asasi manusia.
Badan-badan yang diberdayakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah SubSekretariat HAM, yang terdiri dari tiga unit, termasuk Unit HAM.
Sejumlah inisiatif ditujukan untuk membangun kapasitas HAM dari pemerintah
daerah. Burundi telah menargetkan pihak kepolisian untuk pelatihan HAM.
Meksiko melakukan berbagai sesi pelatihan untuk pegawai negeri sipil tentang
prinsip-prinsip konstitusional yang baru, termasuk HAM. Georgia memfokuskan
diri pada upaya peningkatan kapasitas warga secara langsung, daripada
pemerintah daerah. Di negara Swiss, praktek terbaik meliputi kegiatan Swiss
Centre of Expertise in Human Rights (Pusat Keahlian HAM Swiss) yang bertujuan
untuk meningkatkan kesadaran tentang isu-isu HAM, seperti rasisme; tiga
contoh praktek terbaik tentang rasisme mencakup langkah-langkah untuk
menginformasikan, melatih dan meningkatkan kesadaran masyarakat di berbagai
daerah.
Di Luxemburg, banyak praktek terbaik yang berhubungan dengan integrasi
38
Dokumen Referensi
39
Endnotes
1 Lihat Council of Europe, European Charter of Local Self-Government and
Explanatory Report (Strasbourg, 2010). Tersedia di www.ccre.org/img/
uploads/piecesjointe/filename/charter_sgi_EN.pdf.
2 Tersedia di www.au.int/en/content/african-charter-democracy-elections-andgovernance.
3 Tersedia di www.coe.int/t/congress/texts/conventions/conventions_
en.asp?mytabsmenu=6.
4 Ibid.
5 Tersedia di http://conventions.coe.int/Treaty/Commun/QueVoulezVous.
asp?NT=176&CL=ENG.
6 Tersedia di https://wcd.coe.int/ViewDoc.jsp?id=887405.
7 Tersedia di https://wcd.coe.int/ViewDoc.jsp?id=1302971.
8 Tersedia di http://conventions.coe.int/Treaty/Commun/QueVoulezVous.
asp?NT=207&CM=1&CL=ENG.
9 Tersedia di www.coe.int/T/CM/adoptedTexts_en.asp.
10 Tersedia di http://unhabitat
org/?wpdmact=process&did=NjkxLmhvdGxpbms=.
11 Tersedia di www.ccre.org/docs/charter_municipal_liberties.pdf.
12 Tersedia di www.ccre.org/docs/charte_egalite_en.pdf.
13 Tersedia di www.ccre.org/docs/charter_sgi_en.pdf.
14 Lihat bagian VI dari laporan ini.
15 Dalam hal ini, dapat merujuk secara mutatis mutandis kepada pasal 50 dari
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, dimana ketentuanketentuan akan mencakup seluruh bagian dari Negara federal tanpa
batasan atau pengecualian apapun.
16 Resolusi Majelis Umum 56/83, dengan judul Tanggungjawab Negara
terhadap tindakan yang melanggar secara internasional, lampiran.
17 Catatan atas rancangan pasal tentang tanggungjawab Negara terhadap
tindakan yang melanggar secara internasional diadopsi oleh Komisi Hukum
Internasional pada sesi ke 53-nya (2001), Official Records of the General
Assembly, Fifty-sixth session, Supplement No. 10 (A/56/10), Bab. IV.E.2,
hlm. 82.
18 Pasal 7 dari lampiran Resolusi Majelis Umum 56/83 (lihat catatan kaki 16 di
atas).
19 Piagam Eropa tentang Pemerintah Otonomi Daerah (lihat catatan 1 di atas)
menetapkan bahwa pemerintah daerah dalam kebijakan ekonomi nasional
berhak untuk mempunyai sumberdaya keuangannya sendiri yang memadai
yang dapat dimanfaatkan dengan bebas dalam batas kekuasaannya, dan
sumberdayanya akan sebanding dengan tanggungjawab yang ditetapkan
40
Dokumen Referensi
41
42
Dokumen Referensi
43
AGENDA PIAGAM
GLOBAL TENTANG
HAK ASASI MANUSIA
DI KOTA
Oktober 2010
44
Dokumen Referensi
Pendahuluan
Mengingat bahwa semua manusia diberkahi dengan hak-hak dan kebebasan
yang diakui dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) dan instrumeninstrumen internasional yang mendukungnya, terutama, Kovenan Internasional
tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, serta Sipil dan Politik (1966), konvensi
dan piagam regional perlindungan hak asasi manusia dan perjanjian dasar hak
asasi manusia lainnya.
Mengingat bahwa semua hak asasi manusia bersifat universal, tak terpisahkan
dan saling tergantung, seperti yang ditunjukkan dalam Deklarasi Wina (1993), dan
ditegaskan kembali dalam Deklarasi Milenium (2000) dan Deklarasi untuk ulang
tahun ke-60 Perserikatan Bangsa-Bangsa (2005); dan oleh karena itu tidak hanya
merupakan realisasi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang sangat diperlukan
bagi pelaksanaan sepenuhnya hak-hak politik, tetapi pada saat yang sama hanya
pelaksanaan hak-hak sipil dan politik yang memungkinkan partisipasi dalam
mekanisme pengambilan keputusan yang dapat menyebabkan pencapaian hakhak ekonomi dan sosial.
Mengingat bahwa kota adalah komunitas politik dimana semua penghuninya
berpartisipasi dalam program bersama yang terkait dengan kebebasan,
kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, dan pengembangan.
Mengingat bahwa derajat kebebasan perempuan memberikan ukuran umum dari
kebebasan masyarakat; oleh karena itu sangat tepat untuk bertindak mendukung
kesetaraan yang efektif antara laki-laki dan perempuan dan untuk secara aktif
mendorong partisipasi kaum perempuan dalam pengambilan keputusan lokal.
Meyakini adanya kebutuhan untuk mempromosikan di kota dan wilayah, suatu
bentuk pembangunan yang berkelanjutan, adil, inklusif dan menghormati
hak asasi manusia tanpa diskriminasi; dan kebutuhan untuk bertindak untuk
memperluas demokrasi dan otonomi daerah sehingga dapat berkontribusi dalam
pembangunan dunia yang damai, adil dan memiliki solidaritas.
45
Ketentuan Umum
A. Tujuan
Agenda Piagam Global untuk Hak Asasi Manusia di Kota (Global Charter-Agenda
for Human Rights in the City) bertujuan untuk mempromosikan dan memperkuat
hak asasi manusia dari semua penduduk seluruh kota di dunia.
B. Ruang lingkup Aplikasi
Semua ketentuan dalam Agenda Piagam berlaku bagi semua penduduk kota,
secara individu maupun kolektif, tanpa ada diskriminasi. Untuk tujuan Agenda
Piagam ini, semua penduduk adalah warga kota tanpa ada pembedaan
apapun. Setiap diskriminasi yang berdasarkan pada alasan apapun seperti
jenis kelamin, ras, warna kulit, etnis atau asal-usul sosial, fitur genetik,
bahasa, agama atau kepercayaan, politik atau pendapat lain, keanggotaan
dari kebangsaan minoritas, kekayaan, kelahiran, cacat, usia atau orientasi
seksual harus dilarang. Penduduk suatu kota adalah setiap orang yang hidup
dalam wilayahnya bahkan jika tidak berdomisili tetap.
Pelaksanaan hak yang tercantum dalam Agenda Piagam ini akan melengkapi,
mengembangkan dan memperkuat hak-hak yang sudah ada di tingkat
nasional berdasarkan konstitusi, undang-undang dan kewajiban internasional
dari negara.
Kewajiban kota yang tercantum dalam instrumen ini harus dipahami sebagai
tugas dari pemerintah dan administrasi daerah; sesuai dengan kekuatan
yang telah diberikan secara hukum.
Kota didefinisikan sebagai pemerintah daerah dari berbagai ukuran:
daerah, pengelompokan perkotaan, metropolis, kotamadya dan pemerintah
daerah lainnya yang diatur secara bebas.
Wilayah adalah kawasan yang dikelola berada langsung atau tidak langsung
di bawah yurisdiksi kota.
Referensi untuk akses di bagian yang berbeda dari Agenda Piagam ini
46
Dokumen Referensi
harus dipahami baik dari perspektif fisik maupun materi (kedekatan) serta
dari perseptif ekonomi (keterjangkauan).
C. Nilai dan Prinsip
Agenda Piagam ini didasarkan pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip berikut:
Martabat setiap manusia sebagai nilai tertinggi
Kebebasan, kesetaraan terutama antara laki-laki dan perempuan, tanpa
diskriminasi, pengakuan atas adanya perbedaan, keadilan dan inklusi sosial
Demokrasi dan partisipasi warganegara sebagai kebijakan kota
Universalitas, keutuhan dan saling ketergantungan hak asasi manusia
Keberlanjutan sosial dan lingkungan
Kerjasama dan solidaritas di kalangan semua anggota masing-masing kota,
serta di kalangan semua kota di seluruh dunia
Tanggung jawab bersama yang berbeda atas kota dan penduduknya, sesuai
dengan kemampuan dan sarana
47
masing dan setiap satu dari hak-hak yang diuraikan di sini sepenuhnya efektif
dan memperoleh jaminan di dalam negeri.
Penduduk kota memiliki kewajiban untuk menghormati hak-hak dan martabat
orang lain.
48
Dokumen Referensi
49
50
Dokumen Referensi
kota, taman dan kebun, penerangan umum, polisi dan layanan sosial, untuk
mengadopsi semua langkah untuk membuat tempat-tempat umum dan semi
privat lebih aman dan lebih mudah diakses.
2. Menggalang pendanaan ruang publik oleh warga sebagai sarana untuk
membangun identitas masyarakat yang terkait dengan desain dan perawatan
ruang publik tersebut.
3. Melibatkan sistem peradilan nasional masing-masing dalam analisis pola
kejahatan, yang bertujuan untuk mendekriminalisasi kategori pelanggaran
ringan, kejahatan kecil dan perilaku anti sosial yang lebih mudah untuk
diperangi dengan langkah-langkah non-hukuman yang mencoba untuk
merehabilitasi dan mengintegrasikan pelaku.
51
V. HAK ANAK-ANAK
1. Semua anak-anak di kota, apa pun jenis kelamin mereka, memiliki hak atas
kondisi kehidupan yang memungkinkan perkembangan fisik, mental dan
etika mereka dan untuk menikmati semua hak yang diakui oleh Konvensi
Internasional tentang Hak Anak 1989. Sesuai dengan Konvensi ini, seorang
anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun.
2. Kota menjamin semua anak atas kondisi kehidupan yang layak, khususnya,
kesempatan untuk menerima pendidikan normal yang memberikan kontribusi
terhadap pengembangan pribadi mereka, dengan menghormati hak asasi
manusia. Jika tidak disediakan oleh pemerintah di tingkat lainnya, kota
menyediakan pendidikan dasar yang gratis dan wajib bagi semua serta
memastikan, bersama-sama dengan pihak yang berwenang, melakukan
pengarusutamaan pendidikan menengah.
3. Dalam memenuhi tanggung jawab mereka, penduduk kota menghormati
martabat dan hak-hak anak termasuk anak penyandang cacat.
52
Dokumen Referensi
53
Jangka menengah:
1. Menetapkan langkah-langkah yang efisien untuk memastikan bahwa pelaku
sektor swasta yang mengelola layanan kepentingan sosial atau publik
menghormati hak-hak yang dijamin oleh Agenda Piagam ini sepenuhnya,
tanpa ada diskriminasi. Kontrak dan konsesi kota itu harus secara jelas
ditetapkan berdasarkan komitmen terhadap HAM.
2. Pengadopsian tindakan untuk menjamin bahwa layanan publik melaporkan
ke tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, dengan
partisipasi dari penduduk kota dalam pengelolaan dan pengawasan mereka.
3. Mendorong akses pada semua layanan publik dan kehidupan kota bagi
kaum manula.
VII. KEBEBASAN ATAS KEYAKINAN DAN AGAMA, PENDAPAT DAN
INFORMASI
a) Semua penduduk kota memiliki hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan
dan beragama: hak ini mencakup kebebasan untuk mengubah agama atau
kepercayaan mereka, dan kebebasan - baik sendiri atau dengan orang lain
dan di depan umum atau secara pribadi - untuk mewujudkan agama atau
kepercayaan dalam pengajaran, praktek, ibadah dan ketaatan.
b) Semua penduduk kota memiliki hak atas kebebasan berpendapat dan
berekspresi. Hak ini mencakup kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa
gangguan dan untuk mencari, menerima serta menyampaikan informasi dan
buah pikiran melalui media apa saja.
Hak-hak ini dapat diberikan hanya dalam batas-batas tertentu yang diperlukan
untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral, atau untuk
perlindungan hak dan kebebasan orang lain, dalam kerangka perundangan
nasional.
c) Kota menjamin bahwa penduduknya memiliki kebebasan untuk
memanifestasikan agama atau keyakinan, termasuk hak orang tua untuk
memilih jenis sekolah bagi anak-anak mereka.
Kota menjamin bahwa setiap orang mampu untuk memiliki pendapat tanpa
ada gangguan, dan untuk mencari serta menerima informasi dan buah pikiran
melalui media apa saja, secara pribadi maupun di depan umum.
Kota berupaya untuk memberikan penduduknya akses cuma-cuma ke
semua sumber informasi yang ada serta memfasilitasi penciptaan dan
pengembangan sumber informasi baru yang bebas dan pluralis.
Kota mendorong penciptaan serta pengembangan media dan badan
informasi secara cuma-cuma dan pluralis, yang bebas diakses oleh semua
penduduk, tanpa ada diskriminasi.
Kota memfasilitasi pencarian fakta bagi semua wartawan tanpa diskriminasi
dan memastikan bahwa mereka memiliki akses yang bebas hingga ke
54
Dokumen Referensi
55
56
Dokumen Referensi
57
yang tepat untuk menawarkan tempat tinggal sementara yang layak bagi
populasi tunawisma, serta lokasi yang memadai bagi penduduk migran.
Hal ini memungkinkan para tunawisma untuk menempati tempat tinggal
administratif di asosiasi perawatan, dalam rangka untuk memastikan bahwa
mereka mendapatkan keuntungan dari layanan sosial, khususnya layanan
kesehatan, di kota.
c) Untuk memenuhi tanggung jawab mereka, penduduk kota menggunakan
rumah reguler mereka secara tepat dan mendorong hubungan bertetangga.
Pemilik beberapa rumah harus ingat bahwa, bersama dengan jenis
pendapatan lainnya, perumahan memiliki fungsi sosial.
58
Dokumen Referensi
prosedur ini, jika memungkinkan. Dalam hal terjadi keterlambatan atau tidak
ada tindakan dari pemerintah, atau adanya risiko penggusuran, penduduk
pemukiman informal berhak secara hukum menuntut pengaturan perumahan
mereka.
2. Diberlakukannya peraturan yang tepat untuk menjamin penggunaan
sepenuhnya lahan perkotaan, serta properti publik dan pribadi yang tidak
terpakai, kurang dimanfaatkan atau kosong, untuk memenuhi fungsi sosial
perumahan. Langkah legislatif dalam skala regional atau nasional akan
diajukan bila diperlukan.
3. Mengadopsi peraturan daerah yang menjamin aksesibilitas perumahan bagi
penyandang cacat, dan menetapkan rencana inspeksi yang bekerjasama
dengan kelompok-kelompok yang terkena dampak.
4. Mengadaptasi peraturan daerah untuk menyediakan hukum yang dapat
ditegakkan dari hak atas perumahan.
59
60
Dokumen Referensi
energi dan penggunaan yang baik dari instalasi publik, termasuk transportasi
umum. Penduduk juga berpartisipasi dalam upaya kolektif masyarakat untuk
mendorong perencanaan kota yang berkualitas dan pembangunan yang
berkelanjutan, untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang.
61
4.
5.
6.
7.
Ketentuan Akhir
A. Mengadopsi dan memasukkan Agenda Piagam di tiap kota
Agenda Piagam mulai berlaku di setiap kota setelah melalui proses konsultasi
yang memungkinkan penduduk kota untuk membahas dan menyesuaikan
ketentuan pelaksanaan rencana aksi untuk kondisi lokal dan kerangka hukum
nasional; dan setelah diterima oleh dewan kota. Mekanisme yang sama
berlaku untuk setiap tinjauan Agenda Piagam setempat.
Agenda Piagam Setempat yang telah diadopsi akan disebarluaskan di
kalangan seluruh penduduk kota.
B. Mekanisme penerapan:
Kota menguraikan indikator yang tepat dari pemenuhan setiap hak dan
rencana aksi yang ditetapkan dalam Agenda Piagam Lokal.
Kota membentuk badan yang diperlukan (kelompok ahli, observatorium lokal,
komisi independen HAM atau komite bersama perwakilan terpilih/ masyarakat
sipil) untuk memastikan implementasi, tindak lanjut dan evaluasi dari Agenda
Piagam di tingkat lokal. Kota juga dapat menentukan prosedur pengaduan
atau mediasi (jika tersedia, peran ini dapat dilakukan oleh ombudsman lokal).
Kota menetapkan proses konsultasi publik untuk mengevaluasi secara
berkala pelaksanaan dan efek dari Agenda Piagam.
Kota menjalin kerjasama multi-level dengan instansi lain yang berwenang
(lokal, regional, nasional) untuk menjamin hak atas kota.
62
Dokumen Referensi
63
64
Dokumen Referensi
1. Kami, lebih dari 100 peserta dari Forum Dunia tentang HAM di Kota 2011
yang mencakup walikota, perwakilan kota, dan pakar HAM PBB serta LSM
hak-hak masyarakat dan hak asasi manusia baik dari Korea maupun luar
negeri yang berkumpul di Gwangju, Korea Selatan pada tanggal 16-17
Mei 2011 atas undangan Kota Metropolitan Gwangju dan May 18 Memorial
Foundation, berbagi dan mendiskusikan pengalaman dalam membangun
hak asasi manusia di kota dalam konteks yang berbeda terutama dari
perspektif partisipasi masyarakat dan pendidikan tentang hak asasi manusia.
2. Tema Globalisasi HAM dari bawah - Tantangan HAM di Kota pada Abad
ke-21 menyoroti peran penting bahwa kota mampu berperan dalam
menghadapi berbagai tantangan sosial-ekonomi dan politik melalui kerangka
hak asasi manusia dan pendekatan berbasis hak asasi manusia.
3. HAM di kota didefinisikan sebagai masyarakat lokal dan proses sosialpolitik dalam konteks lokal dimana hak asasi manusia memainkan peran
kunci sebagai nilai-nilai fundamental dan prinsip-prinsip yang mengarahkan.
4. HAM di kota dipahami sebagai tata laksana hak asasi manusia dalam
konteks lokal dimana pemerintah daerah, DPRD, masyarakat sipil,
organisasi sektor swasta dan pemangku kepentingan lainnya bekerja sama
untuk meningkatkan kualitas hidup bagi semua penduduk dalam semangat
kemitraan berdasarkan standar dan norma-norma hak asasi manusia.
5. HAM di kota juga berarti, dalam istilah praktisnya, bahwa semua penduduk,
tanpa memandang ras, jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, latar belakang
etnis dan status sosial, khususnya kaum minoritas dan kelompok rentan
lainnya yang secara sosial rentan dan terpinggirkan, dapat berpartisipasi
secara penuh dalam pengambilan keputusan dan proses implementasi
kebijakan yang mempengaruhi kehidupan mereka sesuai dengan prinsipprinsip hak asasi manusia seperti non-diskriminasi, supremasi hukum,
partisipasi, pemberdayaan, transparansi dan akuntabilitas.
Partisipasi Masyarakat
6. Partisipasi masyarakat sangat penting dalam membangun HAM di kota
karena memberikan masyarakat kesempatan untuk mengekspresikan
pandangan mereka tentang masalah-masalah yang perlu ditangani. Hal ini
juga memberikan kepada masyarakat rasa kepemilikan terhadap proses
identifikasi tentang permasalahan hak asasi manusia, yang membuat mereka
lebih mungkin untuk terlibat dalam kolaborasi yang konstruktif dengan para
pemangku kepentingan lainnya, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan LSM.
65
66
Dokumen Referensi
Manusia, dan organisasi hukum, seperti Komisi HAM atau Biro/Kantor HAM,
dapat berperan sebagai dasar hukum yang efektif. Hal ini harus diadopsi
berdasarkan prinsip tanpa diskriminasi dan tidak memilah-milah agar
memberikan dasar hukum yang berkelanjutan bagi formulasi kebijakan dan
penerapan penuh.
12. Implementasi, bagaimanapun juga, adalah lebih penting daripada
pengambilan kebijakan. Kepemimpinan yang kuat diperlukan sebagai
prioritas. Kepemimpinan harus didasarkan pada prinsip-prinsip kompetensi,
transparansi dan akuntabilitas. Oleh karena itu, pendidikan tentang hak asasi
manusia bagi pejabat pemerintah diperlukan. Dukungan dari pemerintah
pusat dapat menjadi bagian yang sangat penting. Semua perundangundangan dan proses implementasi harus dikomunikasikan kepada semua
warga dan penduduk.
13. Demokrasi partisipatif dan konsultasi di kalangan seluruh pemangku
kepentingan (termasuk sektor swasta) adalah kunci bagi HAM di kota.
Mekanisme kelembagaan untuk memfasilitasi dialog dan kerjasama antara
kelompok masyarakat sipil dan pemerintah harus ditetapkan. Kelompok yang
kurang beruntung secara sosial dan ekonomi, seperti perempuan, imigran,
dan penyandang cacat, harus dipertimbangkan secara spesifik. Pendidikan
tentang hak asasi manusia bagi semua penghuninya diperlukan untuk
mendukung proses ini.
14. Mekanisme akuntabilitas yang efektif perlu dikembangkan untuk membuat
pemerintah kota bertanggung jawab terhadap janji dan komitmennya.
Mekanisme pemantauan, termasuk indikator hak asasi manusia bagi penilaian
dampak HAM, harus ditetapkan.
15. Jaringan antara kota di tingkat nasional dan internasional harus dimulai
atau diperkuat untuk mendukung dan mendorong jaringan, kemitraan, dan
pertukaran global atas pengalaman dan praktek.
16. Dalam hal ini, kami mendesak Dewan HAM PBB agar meminta Komite
Penasihat untuk mengambil permasalahan hak asasi manusia di kota sebagai
topik untuk penelitian. Selanjutnya, kami mendesak Kantor Komisaris Tinggi
PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR, Office of the High-Commissioner for
Human Rights) agar memberikan bantuan yang diperlukan bagi kota-kota
yang tertarik menjadi kota yang ramah HAM;
67
Kami juga mendesak PBB dan Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan
Pembangunan (OECD, Organization for Economic Co-operation and Development)
untuk menggabungkan kerangka HAM di kota ke dalam kerjasama pembangunan
internasional.
Lima Komitmen terhadap HAM di Kota
1. Kami berkomitmen untuk membuat visi HAM di kota menjadi sebuah
kenyataan di lapangan dengan menerapkan norma dan standar hak asasi
manusia internasional serta dengan mendorong hak atas kota;
2. Kami berkomitmen untuk mengembangkan mekanisme yang efektif untuk
melindungi dan membela hak-hak asasi manusia semua warga dan penduduk;
mekanisme tersebut dapat mencakup komite warga, komisi kota tentang hak
asasi manusia, indikator hak asasi manusia dan penilaian dampak hak asasi
manusia;
3. Kami berkomitmen untuk mengembangkan dan menerapkan program
pendidikan dan pembelajaran HAM yang kongkrit bagi semua pihak yang
terlibat dalam membangun hak asasi manusia di kota sejalan dengan
program UNESCO Pendidikan untuk Semua (PUS) Kerangka Dakar untuk
Aksi (2000), dengan Program Dunia tentang Pendidikan HAM, dengan
Deklarasi PBB tentang Pendidikan dan Pelatihan2 HAM, dan dengan standar
maupun program terkait lainnya;
4. Kami berkomitmen untuk memperkuat jaringan nasional dan internasional
serta membangun aliansi di kalangan masyarakat yang berkomitmen
terhadap visi HAM di kota dengan menggabungkan Koalisi Kota tingkat
Internasional yang dipimpin oleh UNESCO untuk melawan rasisme (ICCAR,
International Coalition of Cities against Racism), UN Global Compact dan
Asosiasi Internasional untuk Mendidik Kota;
5. Setelah mengadopsi Agenda Piagam Global tentang HAM di Kota dari
Asosiasi Kota dan Pemerintah Daerah (UCLG, United Cities and Local
Government), kami berkomitmen untuk memastikan bahwa kota akan
meratifikasi dan melaksanakan sepenuhnya Piagam tersebut.
Sebagai kesimpulan,
kami memutuskan untuk merekomendasikan bahwa Kota Metropolitan Gwangju
agar terus mengatur penyelenggaraan Forum Dunia HAM di Kota sebagai
platform bagi upaya global untuk mendorong gerakan HAM di kota.
68
Dokumen Referensi
70
Dokumen Referensi