Professional Documents
Culture Documents
1. Opioid
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti
opium. Opium yang berasal dari getah Papaver somniferum mengandung sekitar 20
jenis alkaloid di antaranya morfin, kodein, tebain, dan papaverin. Analgesic opioid
terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga
memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain. Istilah analgesic narkotik
dahulu seringkali digunakan untuk kelompok obat ini, akan tetapi karena golongan
obat ini dapat menimbulkan analgesia tanpa menyebabkan tidur atau menurunnya
kesadaran maka istilah analgesic narkotik menjadi kurang tepat.
Yang termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, senyawa sintetik
dengan sifat farmakologik menyerupai morfin. Obat yang mengantagonis efek opioid
disebut antagonis opioid.
opioid yang didistribusi paling luas dan memiliki aktivitas analgesic, adalah
pentapeptida metionin-enkefalin (met-enkefalin) dan leusin-enkefalin (leu-enkefalin).
Salah satu atau kedua pentapeptida tersebut terdapat dalam ketiga protein precursor
utama
prepro-opiomelanokortin,
preproenkefalin
(proenkefalin
A),
dan
Reseptor Opioid
Ada 3 jenis utama reseptor opiod yaitu mu (), delta (), dan kappa (k). ketiga
jenis reseptor termasuk pada jenis reseptor yang berpasangan pada protein G, dan
memiliki subtype. Karena suatu opioid dapat berfungsi dengan potensi sebagai suatu
agonis, agonis parsial, atau antagonis pada lebih dari satu jenis reseptor atau subtype
reseptor maka senyawa yang tergolong opioid dapat memiliki efek farmakologik
yang beragam.
Reseptor memperantarai efek analgetik mirip morfin, euphoria, depresi
napas, miosis, berkurangnya
motilitas
saluran
cerna.
Reseptor k diduga
memperantarai analgesia seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi serta miosis dan
depresi napas yang tidak sekuat agonis . Selain itu di susunan saraf pusat juga
didapatkan reseptor yang selektif terhadap enkefalin dan reseptor (epsilon) yang
sangat selektif terhadap beta-endorfin tetapi tidak mempunyai afinitas terhadap
enkefalin. Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa reseptor memegang
peranan dalam menimbulkan depresi pernapasan yang ditimbulkan opioid. Dari
penelitian pada tikus didapatkan bahwa reseptor dihubungkan dengan berkurangnya
frekuensi napas, sedangkan reseptor dihubungkan dengan berkurangnya tidal
volume. Reseptor ada 2 jenis yaitu reseptor 1, yang hanya didapatkan di SSP dan
dihubungkan dengan analgesia supraspinal, penglepasan prolaktin, hipotermia, dan
katalepsi sedangkan reseptor 2 dihubungkan dengan penurunan tidal volume dan
bradikardia. Analgesic yang berperan pada tingkat spinal berinteraksi dengan reseptor
dan .
parsial agonis atau antagonis pada subtype opioid lainnya. Berdasarkan rumus
bangunnya obat golongan opioid dibagi menjadi derivate fenantren, fenilheptilamin,
fenilpiperidin, morfinan, dan benzomorfan.
A. Agonis Kuat
1. Morfin
1.1.
Asal, Kimia, dan Sar
Opium atai canduu adalah getah Papaver somniferum L yang telah
dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam dua
golongan : (1) golongan fenantren, misalnya morfin dan kodein dan (2)
golongan benzilisokinolin, misalnya noskapin dan papaverin. Dari
alkaloid derivate fenantren yang alamiah telah dibuat berbagai derivate
semisintetik.
R1-O pada morfin berupa gugus OH, yang bersifat fenolik,
sehingga disebut sebagai OH fenolik; sedangkan OH pada R2-O bersifat
alkoholik sehingga disebut sebagai OH alkoholik. Atom hydrogen pada
kedua gugus itu dapat diganti oleh berbagai gugus membentuk berbagai
alkaloid opium.
Efek farmakologik masing-masing derivate secara kualitatif sama
tetapi berbeda secara kuantitatif dengan morfin. Gugus OH fenolik bebas
berhubungan dengan efek analgetik, hipnotik, depresi napas dan obstipasi.
Gugus OH alkoholik bebas merupakan lawan efek gugus OH fenolik.
Adanya kedua gugusan IH bebas disertai efek konvulsif dan efek emetic
yang tidak begitu kuat. Substitusi R1 mengakibatkan berkurangnya efek
1.2.
Farmakodinamik
Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama
ditimbulkan karena morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor . Selain
itu morfin juga mempunyai afinitas yang lebih lemah terhadap reseptor
dan .
1.2.1. Susunan Saraf Pusat
Narcosis. Morfin dosis kecil menimbulkan euphoria pada
pasien yang sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah.
Sebaliknya, dosis yang sama pada orang normal seringkali
menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut
disertai mual dan muntah. Morfin juga menimbulkan rasa
kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar berpikir, apatis,
aktivitas
motorik
berkurang,
ketajaman
penglihatan
miosis.
Analgesia. Opioid menimbulkan analgesia dengan cara
berikatan dengan reseptor opioid yang terutama didapatkan
di SSP dan medulla spinalis yang berperan pada transmisi
timbul.
Miosis. Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja
pada reseptor dan menyebabkan miosis. Miosis
ditimbulkan oleh perangsangan pada segmen otonom inti
saraf okulomotor.
Depresi napas. Morfin menimbulkan depresi napas secara
primer dan berkesinambungan berdasarkan efek langsung
halus.
Usus besar. Morfin mengurangi atau menghilangkan
gerakan propulsi usus besar, meninggikan tonus dan
menyebabkan spasme usus besar; akibatnya penerusan isi
kodein,
berlangsung.
Pasien
mungkin
mengalami
hipotensi
Morfin dapat
Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi
melalui kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosan. Dengan kedua
cara pemberian ini absorpsi morfin kecil sekali. Morfin dapat diabsorpsi
usus, tetapi efek analgetik setelah pemberian oral jauh lebih rendah
daripada efek analgetik yang ditimbulkan setelah pemberian parenteral
dengan dosis yang sama. Mula kerja semua alkaloid opioid setelah
suntikan IV sama cepat, sedangkan setelah suntikan subkutan, absorpsi
berbagai alkaloid opioid berbeda-beda. Setelah pemberian dosis tunggal,
sebagian morfin mengalami konyugasi dengan asam glukoronat di hepar,
sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas dan 10% tidak diketahui
pada
janin.
Tetapi
sebagai
medikasi
praanestetik
masih
meperidin yang telah kebal akan efek depresi, pemberian meperidin dalam
dosis besar dapat menimbulkan tremor, kedutan otot, midirasis, reflex
hiperaktif dan konvulsi. Efek perangsangan SSP tersebut disebabkan oleh
akumulasi metabolit aktifnya yaitu normeperidin pada penggunaan jangka
panjang, terutama pada pasien gangguan fungsi ginjal atau anemia bulan
sabit. Beratnya gejala perangsangan SSP nampaknya sebanding baik
dengan kadar absolute normeperidin maupun rasio normeperidin terhadap
meperidin. Nalokson dapat mencetuskan konvulsi pada pasien yang
mendapat dosis besar meperidin secara berulang. Bila terjadi gejala
perangsangan terhadap meperidin obat dihentikan dan diganti dengan
opioid lain untuk mengatasi nyeri, dan ditambahkan antikonvulsan
benzodiazepine bila diperlukan. Nalorfin mengadakan antagonism
terhadap efek depresi tetapi tidak terhadap efek stimulasi meperidin.
2.6.
Sediaan dan posologi
Meperidin HCl tersedia dalam bentuk tablet 50 mg dan 100 mg,
dam ampul 50 mg/mL. Meperidin lazim diberikan per oral atau IM.
Pemberian meperidin IV menimbulkan reaksi lebih sering dan lebih berat.
Pemberian meperidin subkutan menyebabkan iritasi local dan indurasi;
pemberian yang sering dapat menyebabkan fibrosis berat jaringan otot.
Pemberian 50-100 mg meperidin parenteral dapat menghilangkan nyeri
sebagian besar pasien dengan nyeri sedang atau hebat. Efektivitas
meperidin oral kurang, dan diperlukan dosis yang relative lebih besar dari
dosis parenteral.
3. Methadon
3.1.
Kimia
Metadon adalah dl-4,4 difenil-6-dimetilamino-3-heptanon.
3.2.
Farmakodinamik
Susunan saraf pusat. Dalam dosis tunggal, metadon tidak
menimbulkan hypnosis sekuat morfin. Dosis ekuianalgetik
menimbulkan depresi napas yang sama kuat seperti morfin dan
dapat bertahan lebih dari 24 jam setelah dosis tunggal. Seperti
morfin, metadon berefek antitusif, menimbulkan hiperglikemia,
3.3.
plasma. Metadon diabsorpsi secara baik oleh usus dan dapat ditemukan
dalam plasma setelah 30 menit pemberian oral; kadar puncak dicapai
setelah 4 jam. Metadon cepat keluar dari darah dan menumpuk dalam
paru, hati, ginjal, dan limpa; hanya sebagian kecil yang masuk otak. Kadar
maksimal metadon dalam otak dicapai dalam 1-2 jam setelah pemberian
parenteral dan kadar ini sejajar dengan intensitas dan lama analgesia.
Metadon
mengalamii
pengikatan
erat
pada
protein
jaringan.
2. Farmakodinamik
Propoksifen berefek analgetik karena kerja sentralnya. Propoksifen
terutama terikat pada reseptor meskipun kurang selektif dibandingkan
dengan morfin. Propoksifen 65-100 mg secara oral memberikan efek sama
kuat dengan 65 mg kodein, sedangkan 130 mg propoksifen parenteral
menimbulkan analgesia yang sama kuat dengan 50 mg meperidin parenteral.
Tetapi propoksifen menimbulkan perasaan panas dan iritasi di tempat
suntikan. Seperti kodein kombinasi propoksifen dengan asetosal berefek
analgesic yang jauh lebih baik daripada jika masing-masing obat diberikan
tersendiri. Obat ini tidak berefek antitusif.
3. Farmakokinetik
Propoksifen diabsorpsi setelah pemberian oral maupun parenteral.
Seperti kodein, efektivitas jauh berkurang jika propoksifen diberikan per oral.
Biotransformasi propoksifen dengan cara N-demetilasi yang terjadi dalam
hati.
4. Indikasi
Propoksifen hanya digunakan untuk mengobati nyeri ringan hingga
sedang, yang tidak cukup baik diredakan oleh asetosal. Kombinasi
propoksifen bersama asetosal berefek sama kuat seperti kombinasi kodein
bersama asetosal. Dosis propoksifen untuk orang dewasa biasanya 4 kali 65
mg sehari, dengan atau tanpa asetosal.
5. Efek samping
Pada dosis terapi propoksifen tidak banyak mempengaruhi system
kardiovaskular. Pemberian 130 mg propoksifen per oral pada orang dewasa
sehat tidak banyak mengubah reaksi terhadap CO2. Dengan dosis
berbeda dengan respons terhadap opioid morfin, yaitu dalam dosis lebih tinggi
menyebabkan peningkatan tekanan darah dan frekuensi denyut jantung.
Toleransi dapat timbul terhadap efek analgetik dan efek subjektif pada
pemberian berulang. Ketergantungan fisik dan psikis dapat pula terjadi, tetapi
kemungkinannya jauh lebih kecil. Gejala putus obat yang terjadi di antaranya
mirip gejala putus morfin. Penyuntikan berulang pada tempat yang sama dapat
menyebabkan abses steril, ulserasi dan jaringan parut.
2. Faramakokinetik
Pentazosin diserap baik melalui cara pemberian apa saja, tetapi karena
mengalami metabolism lintas pertama, biovailbilitas per oral cukup bervariasi.
Obat ini dimetabolisme secara intensif di hati untuk kemudian diekskresi
sebagai metabolit melalui urin. Pada pasien sirosis hepatis klirensnya sangat
berkurang.
3. Indikasi
Pentazosin diindikasikan untuk mengatasi nyeri sedang, tetapi kurang
efektif dibandingkan morfin untuk nyeri berat. Obat ini juga digunakan untuk
medikasi praanestetik. Bila digunakan untuk analgesia obstetric, pentazosin
dapat mengakibatkan depresi napas yang sebanding meperidin.
4. Sediaan dan posologi
Dosis yang dianjurkan pada orang dewasa adalah 30 mg IV/IM yang
dapat diulang tiap 3-4 jam bila perlu dengan dosis total maksimal 360
mg/hari. Setiap kali penyuntikan dianjurkan dosis tidak melebihi 30 mg IV
atau 60 mg IM. Sedapat mungkin pemberian SK dihindarkan. Untuk analgesia
obstetric diberikan dosis tunggal 20 atau 30 mg secara IM. Bila kontraksi
uterus menjadi teratur, dapat diberikan 20 mg IV dan dapat diulangi 2 atau 3
kali dengan interval 2-3 jam bila diperlukan. Untuk penggunaan ini tersedia
larutan 30 mg/mL dalam vial 1; 1,5; 2 dan 10 mL.
D. Antagonis
Nalokson dan Naltrekson
Obat-obat yang tergolong antagonis opioid umumnya tidak menimbulkan
banyak efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek agonis opioid atau bila opioid
endogen sedang aktif misalnya pada keadaan stress atau syok. Nalokson
merupakan prototip amtagonis opioid yang relative murni, demikian pula
naltrekson yang dapat diberikan per oral dan memperlihatkan masa kerja yang
lebih lama daripada nalokson. Kedua obat ini merupakan antagonis kompetitif
pada reseptor , , dan , tetapi afinitasnya terhadap reseptor jauh lebih tinggi.
Dalam dosis besar keduanya memperlihatkan beberapa efek agonis, tetapi efek ini
tidak berarti secara klinis.
1. Farmakodinamik
1.1.
Efek tanpa pengaruh opioid
Pada berbagai eksperimen diperlihatkan bahwa nalokson (1)
menurunkan ambang nyeri pada mereka yang biasanya ambang nyerinya
tinggi; (2) mengantagonis efek analgetik placebo; (3) mengantagonis
analgesia yang terjadi akibat perangsangan lewat jarum akupuntur. Semua
efek ini diduga berdasarkan antagonism nalokson terhadap opioid endogen
yang dalam keadaan lebih aktif. Namun, masih perlu pembuktian lebih
lanjut efek nalokson ini sebab banyak factor fisiologi yang berperan dalam
analgesia di atas. Dugaan yang sama juga timbul tentang efek nalokson
terhadap hipotensi pada hewan yang dalam keadaan syok, dan efeknya
1.2.
nalokson dosis kecil (0,4-0,8 mg) yang diberikan IM atau IV. Frekuensi
napas meningkat dalam 1-2 menit setelah pemberian nalokson pada pasien
dengan depresi napas akibat agonis opioid; efek sedative dan efek
terhadap tekanan darah juga menyebabkan kebalikan efek dari efek
psikotomimetik dan disforia akibat agonis-antagonis. Antagonism
nalokson ini berlangsung selama 1-4 jam, tergantung dari dosisnya.
Antagonism nalokson terhadap efek agonis opioid sering disertai
dengan terjadinya fenomena overshoot misalnya berupa peningkatan
frekuensi napas melebihi frekuensi sebelum dihambat oleh opioid.
Fenomena ini diduga berhubungan dengan terungkapnya ketergantungan
fisik akut yang timbul 24 jam setelah morfin dosis besar.
Terhadap individu yang memperlihatkan ketergantungan fisik
terhadap morfin, dosis kecil nalokson SK akan menyebabkan gejala putus
obat yang dapat berat. Gejala ini mirip dengan gejala akibat penghentian
tiba-tiba pemberian morfin, hanya timbulnya beberapa menit setelah
penyuntikan dan berakhir setelah 2 jam. Berat dan lama berlangsungnya
sindrom ini tergantung dari dosis antagonis dan beratnya ketergantungan.
Hal yang sama terjadi pada orang dengan ketergantungan fisik terhadap
agonis parsial, tetapi diperlukan dosis lebih besar.
2. Farmakokinetik
setelah dosis awal. Untuk mengatasi depresi napas oleh opioid pada neonates
biasanya diberikan dosis awal 0,01 mg/kg BB IV, IM, atau SK yang dapa
tdiulang tiap 3-5 menit bila respon belum tampak. Tergantung dari beratnya
depresi napas, dosis ini dapat diulang tiap 30-90 menit.
2. Non-opioid
2.1.
SALISILAT, SALISILAMID & DIFLUNISAL
2.1.1. SALISILAT
Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin
adalah analgesik antipiretik dan anti-inflamasi yang sangat luas digunakan
dan digolongkan dalam obat bebas. Selain sebagai prototip, obat ini
merupakan standar dalam menilai efek obat sejenis.
KIMIA. Asam salisilat sangat iritatif, sehingga hanya digunakan sebagai
obat luar. Derivatnya yang dapat dipakai secara sistemik, adalah ester
salisilat dari asam organic dengan substitusi pada gugus hidroksil,
misalnya asetosal.
FARMAKODINAMIK. Salisilat, khususnya asetosal merupakan obat
yang paling banyak digunakan sebagai analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi. Aspirin dosis terapi bekerja cepat dan efektif sebagai antipiretik.
Dosis toksik obat ini justru memperlihatkan efek piretik sehingga pada
keracunan berat terjadi demam dan hiperhidrosis. Untuk memperoleh efek
anti-inflamasi yang baik kadar plasma perlu dipertahankan antara 250-300
g/mL. Kadar ini tercapai dengan dosis aspirin oral 4 gram per hari untuk
orang dewasa. Pada penyakit demam reumatik, aspirin masih belum dapat
digantikan oleh AINS yang lain dan masih dianggap sebagai standar
dalam studi perbandingan penyakit arthritis rheumatoid.
Efek terhadap pernafasan. Efek salisilat pada pernafasan penting
dimengerti, karena pada gejala pernafasan tercermin seriusnya gangguan
keseimbangan asam basa dalam darah. Salisilat merangsang pernafasan,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada dosis terapi salisilat
mempertinggi konsumsi oksigen dan produksi CO2. Peninggian PCO2
akan merangsang pernafasan sehingga pengeluaran CO2 melalui alveoli
bertambah dan PCO2 dalam plasma turun. Meningkatnya ventilasi ini pada
awalnya ditandai dengan pernafasan yang lebih dalam sedangkan
frekuensi hanya sedikit bertambah, misalnya pada latihan fisik atau
menghisap banyak CO2. Lebih lanjut salisilat yang mencapai medula,
merangsang langsung pusat pernafasan sehingga terjadi hiperventilasi
dengan pernafasan yang dalam dan cepat. Pada keadaan intoksikasi, hal
ini berlanjut menjadi alkalosis respiratoar.
Efek terhadap keseimbangan asam-basa.
sering dijumpai pada orang dewasa yang mendapat terapi salisilat secara
intensif. Keadaan yang lebih buruk biasanya terjadi pada bayi dan anak
yang mendapat dosis toksik atau orang dewasa yang menelan dosis
salisilat yang sangat besar. Pada bayi dan anak fase alkalosis respiratoar
sering tidak terdeteksi sehingga mereka baru dibawa ke dokter setelah
keadaannya memburuk, yaitu setelah terjadi asidosis metabolik.
Efek urikosurik. Efek ini sangat ditentukan oleh besarnya dosis. Dosis
kecil (1 g atau 2 g sehari) menghambat ekskresi asam urat, sehingga kadar
asam urat dalam darah meningkat. Dosis 2 atau 3 g sehari biasanya tidak
mengubah ekskresi asam urat. Tetapi pada dosis lebih dari 5 g per hari
terjadi peningkatan ekskresi asam urat melalui urin, sehingga kadar asam
urat dalam darah menurun. Hal ini terjadi karena pada dosis rendah
salisilat menghambat sekresi tubuli sedangkan pada dosis tinggi salisilat
juga menghambat reabsorpsinya dengan hasil akhir peningkatan ekskresi
asam urat. Efek urikosurik ini bertambah bila urin bersifat basa. Dengan
memberikan NaHCO3 kelarutan asam urat dalam urin meningkat sehingga
tidak terbentuk kristal asam urat dalam tubuli ginjal.
Efek terhadap darah. Pada orang sehat aspirin menyebabkan
perpanjangan masa perdarahan. Hal ini bukan karena hipoprotrombinemia,
tetapi karena asetilasi siklooksigenase trombosit sehingga pembentukan
TXA2 terhambat. Dosis tunggal 650 mg aspirin dapat memperpanjang
masa perdarahan kira-kira 2 kali lipat. Pada pemakaian obat antikoagulan
jangka lama sebaiknya berhati-hati memberikan aspirin, karena bahaya
besar di usus halus bagian atas. Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam
setelah pemberian. Kecepatan absorpsinya tergantung dari kecepatan
disintegrasi dan disolusi tablet, pH permukaan mukosa dan waktu
pengosongan lambung. Absorpsi pada pemberian secara rectal, lebih
lambat dan tidak sempurna sehingga cara ini tidak dianjurkan. Asam
salisilat diabsorpsi cepat dari kulit sehat, terutama bila dipakai sebagai
obat gosok atau salep. Keracunan dapat terjadi dengan olesan pada kulit
yang luas. Metil-salisilat juga diabsorpsi dengan cepat melalui kulit utuh,
tetapi penyerapan di lambung lambat dan lama bertahan di lambung, oleh
karena itu bila terjadi keracunan, bilas lambung masih berguna walaupun
obat sudah ditelan lebih dari 4 jam.
Setelah diabsorpsi, salisilat segera menyebar ke seluruh jaringan tubuh
dan cairan transelular sehingga ditemukan dalam cairan synovial, cairan
spinal, cairan peritoneal, liur, dan air susu. Obat ini mudah menembus
sawar darah otak dan sawar uri. Kira-kira 80 % sampai 90 % salisilat
plasma terikat pada albumin. Aspirin diserap dalam bentuk utuh,
dihidrolisis menjadi asam salisilat terutama dalam hati, sehingga hanya
kira-kira 30 menit terdapat dalam plasma.
Biotransformasi salisilat terjadi di banyak jaringan, tetapi terutama di
mikrosom dan mitokondria hari. Salisilat diekskresi dalam bentuk
metabolitnya terutama melalui ginjal, sebagian kecil melalui keringat dan
empedu.
ditemukan
obat
tiap hari dapat mengurangi insiden infark miokard akut, stroke, dan
kematian pada pasien angina tidak stabil.
INTOKSIKASI. Salisilat sering digunakan untuk mengobati segala
keluhan ringan dan tidak berarti sehingga banyak terjadi penggunasalahan
(misuse) atau penyalahgunaan (abuse) obat bebas ini. Keracunan salisilat
yang berat dapat menyebabkan kematian, tetapi umumnya keracunan
salisilat bersifat ringan. Metil-salisilat jauh lebih toksik daripada natrium
salisilat dan intoksikasinya sering terjadi pada anak-anak. Empat militer
metal-salisilat dapat menimbulkan kematian pada anak.
Salisilismus mirip sinkonismus dengan gejala nyeri kepala, pusing,
tinitus, gangguan pendengaran, penglihatan kabur, rasa bingung, lemas,
rasa kantuk, banyak keringat, haus, mual, muntah, dan kadang-kadang
diare. Pada intoksikasi yang lebih berat gejala SSP menjadi lebih jelas
disertai timbulnya kegelisahan, iritatif, inkoherensi, rasa cemas, vertigo,
tremor, diplopia, delirium yang maniakal, halusinasi, konvulsi umum dan
koma. Juga terjadi erupsi kulit, dan gangguan keseimbangan asam basa.
Suatu eksantem berupa pustula akneiform, yang mirip eksantem pada
bromismus, dapat timbul jika terapi salisilat berlangsung lebih dari
seminggu. Salisilat juga dapat menimbulkan kelainan kulit berupa eritema,
eksantem skarlatiniform, pruritus, eksantem ekzematoid atau deskuamasi.
Yang jarang terjadi ialah eksantem bersifat bula atau purpura.
Gangguan keseimbangan asam-basa dam gangguan elektrolit plasma
diduga berdasarkan pengaruh salisilat terhadap SSP, sehingga timbul
hiperventilasi sentral yang mengakibatkan alkalosis respiratoar. Alkalosis
ini bisa hebat hingga timbul gejala tetani disertai perubahan EKG yang
khas. Ginjal kemudian mengadakan kompensasi untuk memperkecil
bahaya akibat kehilangan CO2 dengan mengeluarkan kation sehingga pH
serum menurun. Tetapi terjadinya asidosis ini tergantung dari hebat dan
lamanya hiperventilasi, kegagalan pernafasan dan pengaruh kompensasi
oleh ginjal. Dugaan bahwa asidosis metabolic ini berdasarkan gangguan
metabolisme karbohidrat, diperkuat dengan ditemukannya hipoglikemia
dan ketosis pada beberapa pasien.
Gejala demam sangat mencolok terutama pada anak. Dehidrasi dapat
terjadi karena hiperhidrosis, muntah, dan hiperventilasi. Sering timbul
gejala saluran cerna misalnya rasa tidak enak di epigastrium, mual,
muntah, anoreksia dan kadang-kadang nyeri perut. Gejala ini timbul sama
seringnya, baik pada pemberian natrium salisilat IV maupun oral. Jelaslah
bahwa gejala ini timbul secara sentral, tidak disebabkan oleh iritasi lokal
pada mukosa lambung. Umumnya 50 % pasien dengan konsentrasi
salisilat dalam darah melebihi 300 g/mL akan mengalamimual. Gejala
saluran cerna lebih menonjol pada intoksikasi asam salisilat.
Kadang-kadang terjadi perdarahan yang sering ditemukan berupa
petekie pada waktu autopsi mayat pasien yang mati karena intoksikasi
salisilat. Salisilat dapat menimbulkan purpuran trombositopenik sekunder,
walaupun sangat jarang.
Stimulasi sentral pada intoksikasi berat akan disusul oleh depresi SSP
dengan gejala sopor dan koma. Akhirnya terjadi kolaps kardiovaskular dan
2.2.
dalam waktu jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar
ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma, 25 % parasetamol dan 30 % fenasetin
terikat protein plasma. Kedua obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom
hati. Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glukuronat dan
sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Selain itu kedua obat ini juga dapat
mengalamai hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat menimbulkan
methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Kedua obat ini diekskresi melalui
ginjal, sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam
bentuk terkonjugasi.
INDIKASI. Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai analgesic dan
antipiretik, telah menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai analgesic
lainnya, parasetamol sebaiknya tidak diberikan terlalu lama karena
kemungkinan menimbulkan nefropati analgesic. Jika dosis terapi tidak
member manfaat, biasanya dosis lebih besar tidak menolong. Karena hampir
tidak mengiritasi lambung, parasetamol sering dikombinasi dengan AINS
untuk efek analgesic.
EFEK SAMPING. Reaksi alergi terhadap derivate para-aminofenol jarang
terjadi. Manifestasinya berupa eritema atau urtikaria dan gejala yang lebih
berat berupa demam dan lesi pada mukosa.
maksimum 1,2 g/hari. Untuk anak 1-6 tahun : 60-120 mg/kali dan bayi di
bawah 1 tahun : 60 mg/kali; pada keduanya diberikan maksimum 6 kali
sehari.
2.3.
adanya
AINS
yang
lebih
aman,
fenilbutazon
dan
2.4.
ginjal lebih banyak dilaporkan sehingga fungsi ginjal, perlu lebih diperhatikan
pada penggunaan obat ini.
2.4.1. ASAM MEFENAMAT DAN MEKLOFENAMAT
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesic; sebagai anti-inflamasi,
asam mefenamat kurang efektif dibandingkan aspirin. Meklofenamat
digunakan sebagai obat anti-inflamasi pada terapi arthritis rheumatoid dan
osteoarthritis. Asam mefenamat terikat sangat kuat pada protein plasma.
Dengan demikian interaksi terhadap obat antikoagulan harus diperhatikan.
Efek samping terhadap saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia, diare
sampai diare berdarah dan gejala iritasi lain terhadap mukosa lambung. Pada
orang usia lanjut efek samping diare hebat lebih sering dilaporkan. Efek
samping lain yang berdasarkan hipersensitivitas ialah eritema kulit dan
bronkokonstriksi. Anemia hemolitik pernah dilaporkan. Dosis asam
mefenamat adalah 2-3 kali 250-500 mg sehari. Sedangkan dosis
meklofenamat untuk terapi penyakit sendi adalah 200-400 mg sehari. Karena
efek toksiknya maka di Amerika Serikat obat ini tidak dianjurkan untuk
diberikan kepada anak di bawah 14 tahun dan wanita hamil, dan pemberian
tidak melebihi 7 hari. Penelitian klinis menyimpulkan bahwa penggunaan
selama haid mengurangi kehilangan darah secara bermakna.
2.4.2. DIKLOFENAK
Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan
lengkap. Obat ini terikat 99% pada protein plasma dan mengalami efek
metabolisme lintas pertama (first-pass) sebesar 40-50%. Walaupun waktu
paruh singkat yakni 1-3 jam, diklofenak diakumulasi di cairan synovial yang
menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat
tersebut.
Efek samping yang lazim ialah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit
kepala sama seperti semua obat AINS, pemakaian obat ini harus berhati-hati
pada pasien tukak lambung. Peningkatan enzim transaminase dapat terjadi
pada 15% pasien dan umumnya kembali ke normal.
Pemakaian selama kehamilan tidak dianjurkan. Dosis orang dewasa
100-150 mg sehari terbagi dua atau tiga dosis.
2.4.3. FENBUFEN
Berbeda dengan obat AINS lainnya, fenbufen merupakan suatu prodrug. Jadi fenbufen sendiri bersifat inaktif dan metabolit aktifnya adalah
asam-4-bifenil-asetat. Zat ini memiliki waktu paruh 10 jam sehingga cukup
diberikan satu atau dua kali sehari. Absorpsi obat melalui lambung baik, dan
kadar puncak metabolit aktif dicapai dalam 7,5 jam. Efek samping obat ini
sama seperti obat AINS lain. Pemakaian pada pasien tukak lambung harus
berhati-hati. Pada gangguan ginjal, dosis harus dikurangi. Dosis untuk
indikasi penyakit reumatik sendi adalah dua kali 300 mg sehari dan dosis
pemeliharaan satu kali sehari 600 mg sebelum tidur.
2.4.4. IBUPROFEN
Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan
pertama kali di banyak negara. Obat ini bersifat analgesic dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya sama seperti aspirin. Efek
anti-inflamasinya terlihat dengan dosis 1200-2400 mg sehari. Absorpsi
ibuprofen cepat melalui lambung dan kadar maksimum dalam plasma dicapai
setelah 1-2 jam. Waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam. Sembilan puluh
persen ibuprofen terikat dalam protein plasma. Ekskresinya berlangsung cepat
dan lengkap. Kira-kira 90% dari dosis yang diabsorpsi akan diekskresi melalui
urin sebagai metabolit atau konjugatnya. Metabolit utama merupakan hasil
hidroksilasi dan karboksilasi.
Obat AINS derivat asam propionate hampir seluruhnya terikat pada
protein plasma, efek interaksi misalnya penggeseran obat warfarin dan oral
hipoglikemik hampir tidak ada. Tetapi pada pemberian bersama dengan
warfarin, tetap harus waspada karena adanya gangguan fungsi trombosit yang
memperpanjang masa perdarahan. Derivat asam propionat dapat mengurangi
efek diuresis dan natriuresis furosemid dan tiazid, juga mengurangi efek
antihipertensi obat -bloker, prazosin dan kaptopril. Efek ini mungkin akibat
hambatan biosintesis PG ginjal. Efek samping terhadap saluran cerna lebih
ringan dibandingkan dengan aspirin, indometasin atau naproksen. Efek
samping lainnya yang jarang ialah eritema kulit, sakit kepala trombositopenia,
ambliopia toksik yang reversible. Dosis sebagai analgesic 4 kali 400 mg
sehari tetapi sebaiknya dosis optimal pada tiap orang ditentukan secara
individual. Ibuprofen tidak dianjurkan diminum oleh wanita hamil dan
menyusui. Dengan alasan bahwa ibuprofen relatif lebih lama dikenal dan
tidak menimbulkan efek samping serius pada dosis analgesic, maka ibuprofen
dijual sebagai obat generic bebas di beberapa negara antara lain Amerika
Serikat dan Inggris.
2.4.5. KETOPROFEN
Derivat asam propionat ini memiliki efektivitas seperti ibuprofen
dengan sifat anti-inflamasi sedang. Absorpsi berlangsung baik dari lambung
dan waktu paruh plasma sekitar 2 jam. Efek samping sama dengan AINS lain
terutama menyebabkan gangguan saluran cerna, dan reaksi hipersensitivitas.
Dosis 2 kali 100 mg sehari, tetapi sebaiknya ditentukan secara individual.
2.4.6. NAPROKSEN
Merupakan salah satu derivat asam propionat yang efektif dan insiden
efek samping obat ini lebih rendah dibandingkan derivat asam propionat lain.
Absorpsi obat ini berlangsung baik melalui lambung dan kadar puncak plasma
dicapai dalam 2-4 jam. Bila diberikan dalam bentuk garam natrium
naproksen, kadar puncak plasma dicapai lebih cepat. Waktu paruh obat ini 14
jam, sehingga cukup diberikan dua kali sehari. Tidak terdapat korelasi antara
efektivitas dan kadar plasma. Ikatan obat ini dengan protein plasma mencapai
98-99%. Ekskresi terutama dalam urin, baik dalam bentuk utuh maupun
sebagai konjugat glukuronida dan demetilat. Interaksi obat sama seperti
ibuprofen. Naproksen bersama ibuprofen dianggap yang paling tidak toksik di
antara derivat asam propionat. Efek samping yang dapat timbul ialah
dispepsia ringan sampai perdarahan lambung. Efek samping terhadap SSP
berupa sakit kepala, pusing, rasa lelah dan ototoksisitas. Gangguan terhadap
hepar dan ginjal pernah dilaporkan. Dosis untuk terapi penyakit reumatik
sendi adalah 2 kali 250-375 mg sehari. Bila perlu dapat diberikan 2 kali 500
mg sehari.
2.4.7. ASAM TIAPROFENAT
Asam tiaprofenat memperlihatkan sifat sama seperti derivat asam
propionat lainnya. Waktu paruh dalam plasma kira-kira 2 jam dan ekskresi
terutama melalui ginjal sebagai konjugat asilglukuronida. Efek samping sama
seperti obat AINS lainnya. Dosis 3 kali 200 mg sehari.
2.4.8. INDOMETASIN
Merupakan derivat indol-asam asetat. Obat ini sudah dikenal sejak
1963 untuk pengobatan arthritis rheumatoid dan sejenisnya. Walaupun obat ini
efektif tetapi karena toksik maka penggunaan obat ini dibatasi. Indometasin
memiliki efek anti-inflamasi dan analgesic-antipiretik yang kira-kira
sebanding dengan aspirin. Telah terbukti bahwa indometasin memiliki efek
analgesic perifer maupun sentral. In vitro indometasin menghambat enzim
siklooksigenase. Seperti kolkisin, indometasin menghambat motilitas leukosit
polimorfonuklear.
Absorpsi indometasin setelah pemberian oral cukup baik; 92-99%
indometasin terikat pada protein plasma. Metabolismenya terjadi di hati.
Indometasin diekskresi dalam bentuk asal maupun metabolit melalui urin dan
empedu. Waktu paruh plasma kira-kira 2-4 jam.
Efek samping indometasin tergantung dosis dan insidensnya cukup
tinggi. Pada dosis terapi, sepertiga pasien menghentikan pengobatan karena
efek samping. Efek samping saluran cerna berupa nyeri abdomen, diare,
perdarahan lambung dan pancreatitis. Sakit kepala hebat dialami oleh kira-
kira 20-25% pasien dan sering disertai pusing, depresi dan rasa bingung.
Halusinasi dan psikosis pernah dilaporkan. Indometasin juga dilaporkan
menyebabkan
agranulositosis,
anemia
aplastik,
dan
trombositopenia.
Frekuensi kejadian efek samping dengan piroksikam mencapai 1146%, dan 4-12% dari jumlah pasien terpaksa menghentikan obat ini. Efek
samping tersering adalah gangguan saluran cerna, antara lain yang berat
adalah tukak lambung. Efek samping lain adalah pusing, tinnitus, nyeri kepala
dan eritema kulit. Piroksikam tidak dianjurkan diberikan pada wanita hamil,
pasien tukak lambung dan pasien yang sedang minum antikoagulan. Indikasi
piroksikam hanya untuk penyakit inflamasi sendi misalnya arthritis
rheumatoid, osteoarthritis, spondilitis ankilosa. Dosis 10-20 mg sehari
diberikan pada pasien yang tidak memberi respons cukup dengan AINS yang
lebih aman.
Meloksikam cenderung menghambat KOKS-2 lebih dari KOKS-1
tetapi penghambatan KOKS-1 pada dosis terapi tetap nyata. Penelitian
terbatas menyimpulkan efek samping meloksikam (7,5 mg per hari) terhadap
saluran cerna kurang dari piroksikam 20 mg sehari.
Meloksikam diberikan dengan dosis 7,5-15 mg sekali sehari.
Efektivitas dan keamanan derivat oksikam lainnya : lornoksikam, sinoksikam,
sudoksikam, dan tenoksikam dianggap sama dengan piroksikam.
2.4.10. NABUMETON
Nabumeton,
merupakan
pro-drug.
Data
pada
hewan
coba