Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
Sindroma koroner akut merupakan salah satu subset akut dari penyakit jantung
koroner (PJK) dan saat ini telah menempati angka prevalensi 7,2 % pada tahun 2007 di
Indonesia (data Riskesdas 2007). Walaupun angka prevalensi PJK tidak setinggi
penyakit lain seperti penyakit infeksi, PJK masih dianggap sebagai penyumbang angka
kematian tertinggi di Indonesia. Sindroma koroner akut (SKA) adalah istilah yang
digunakan untuk kumpulan simptom yang muncul akibat iskemia miokard akut. SKA
yang terjadi akibat infark otot jantung disebut infark miokard. Termasuk di dalam SKA
adalah unstable angina pektoris, infark miokard non elevasi segmen ST (Non STEMI),
dan infark miokard elevasi segmen ST (STEMI). ST elevation myocardial infarction
(STEMI) merupakan salah satu spektrum sindroma koroner akut yang paling berat
(Ramrakha, 2006).
Penyakit jantung koroner (PJK) menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun.
Angka kematian karena di seluruh dunia meningkat setiap tahun. Di negara berkembang
angka kematian didapatkan 39 juta kematian setiap tahun dan di negara maju seperti
Amerika sebanyak 50 juta setiap tahun (Birhasani, 2010). The American Heart
Association memperkirakan bahwa lebih dari 6 juta penduduk Amerika, menderita
penyakit jantung koroner (PJK) dan lebih dari 1 juta orang yang diperkirakan
mengalami serangan infark miokardium setiap tahun. Kejadiannya lebih sering pada pria
dengan umur antara 45 sampai 65 tahun dan tidak ada perbedaan dengan wanita setelah
umur 65 tahun.46 Penyakit jantung koroner juga merupakan penyebab kematian utama
(20%) penduduk Amerika. Jenis-jenis penyakit arteri koroner yang banyak dijumpai
antara lain angina pektoris stabil, silent ischemia, angina tak stabil, infark miokard,
gagal jantung, dan kematian mendadak (sudden death) (Hamm et al.,2011).
Sindrom Koroner Akut (SKA) atau Acute Coronary Syndrome (ACS) dibedakan
menjadi ST-segmentelevation myocardial infarction (STEMI), Non ST-segment
elevation myocardial infarction (NSTEMI), serta unstable angina (Hamm et al., 2010).
Dari ketiga varian ACS di atas, STEMI memiliki angka mortalitas di rumah sakit dan
1
2. Derajat II
: Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3 gallop dan
kiri, septum ventrikel, atau otot papiler. Infark Subendocardial dianggap akibat dari
suplai darah menurun secara lokal, mungkin dari penyempitan arteri koroner. Daerah
miokard(contohnya troponin) 3 kali lebih besar dari nilai normal akibat pemasangan
percutaneous coronary intervention (PCI) yang memicu terjadinya infark miokard.
4.b. Infark miokard tipe 4b : Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent
trombosis.
5. Infark miokard tipe 5 : Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai
normal.Kejadian infark miokard jenis ini berhubungan dengan operasi bypass koroner
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko adalah
hiperlipidemia. Hiperlipidemia adalah peningkatan kadar kolesterol atau trigliserida
serum di atas batas normal. The National Cholesterol Education Program (NCEP)
menemukan kolesterol LDL sebagai faktor penyebab penyakit jantung koroner. The
Coronary Primary Prevention Trial (CPPT) memperlihatkan bahwa penurunan kadar
kolesterol juga menurunkan mortalitas akibat infark Miokard.
Gambar 2.2 Fase awal disfungsi endotel (dikutif dari Myrta R, 2012)
2. Perkembangan proses aterosklerosis: peran proses inflamasi
Jika endotel rusak, sel-sel inflamatorik, terutama monosit, bermigrasi menuju ke lapisan
subendotel dengan cara berikatan dengan molekul adhesif endotel. Jika sudah berada pada
lapisan subendotel, sel-sel ini mengalami differensiasi menjadi makrofag. Makrofag akan
mencerna LDL teroksidasi yang juga berpenetrasi ke dinding arteri, berubah menjadi sel foam
dan selanjutnya membentuk fatty streaks. Makrofag yang teraktivasi ini melepaskan zat-zat
kemoatraktan dan sitokin (misalnya monocyte chemoattractant protein-1, tumor necrosis factor
, IL-1, IL-6, CD40, dan c-reactive protein) yang makin mengaktifkan proses ini dengan
merekrut lebih banyak makrofag, sel T, dan sel otot polos pembuluh darah (yang mensintesis
komponen matriks ekstraseluler) pada tempat terjadinya plak. Sel otot polos pembuluh darah
bermigrasi dari tunika media menuju tunika intima, lalu mensintesis kolagen, membentuk kapsul
fibrosis yang menstabilisasi plak dengan cara membungkus inti lipid dari aliran pembuluh darah.
Gambar 2.4 pembentukan lesi aterosklerotik yang semakin kompleks (dikutif dari Myrta
R, 2012)
4. Disrupsi plak, trombosis dan SKA
Kebanyakan plak aterosklerotik akan berkembang perlahan-lahan seiring berjalannya waktu.
Kebanyakan akan tetap stabil. Gejala muncul bila stenosis lumen mencapai 70-80%. Mayoritas
kasus SKA terjadi karena ruptur plak aterosklerotik. Plak yang ruptur ini kebanyakan hanya
menyumbat kurang dari 50% diameter lumen. Mengapa ada plak yang ruptur dan ada plak yang
tetap stabil belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa inti lipid
yang besar, kapsul fibrosa yang tipis, dan inflamasi dalam plak merupakan predisposisi untuk
terjadinya rupture (Brieger et al., 2004).
Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi endotel, matriks subendotelial akan terpapar darah
yang ada di sirkulasi. Hal ini menyebabkan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi dan agregasi
trombosit, selanjutnya terbentuk trombus. Trombosit berperan dalam proses hemostasis primer.
Selain trombosit, pembentukan trombus juga melibatkan sistem koagulasi plasma. Sistem
koagulasi plasma merupakan jalur hemostasis sekunder. Kaskade koagulasi ini diaktifkan
bersamaan dengan sistem hemostasis primer yang dimediasi trombosit. Proses hemostasis
primer maupun sekunder bisa dilihat pada gambar dibawah:
10
11
CKMB : meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
Mioglobin : dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam.
Creatinine Cinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
Lactic dehydrogenase (LDH), meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark
miokard, mencapai 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
Reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah leukositosis PMN yang dapat
terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit
dapat mencapai 12.000-15.000/uL (Steg et al., 2012)..
13
pencegahan atau
Adapun penatalaksanaan STEMI antara lain sebagai berikut (Steg et al., 2012):
a. Terapi Reperfusi
Terapi reperfusi merupakan hal yang sangat penting dalam penanganan STEMI tahap
awal karena fase inilah yang menentukan progresivitas perburukan area infark. Bagi pasien
dengan manifestasi klinis STEMI <12 jam dengan ST elevasi persisten atau adanya LBBB ( Left
14
Ambulan
Rumah sakit
yang tersedia
PCI (24
Pelayanan)
Keputusan
Dokter
Transportasi
Transfer
Rumah sakit
yang tidak
ST Elevasi
Aspirin
Beta
Bloker
< 12 H
Dapat di berikan
terapi fibrinolitik
Terapi
Fibrinolitik
Kontraindikasi
terapi
fibrinolitik
PTCA atau
CABG Pimer
> 12 H
Tidak diterapi
dengan
fibrinolitik
Gejala Menetap
?
Tidak
Ya
Tindakan Terapi
lainnya: ACEI,
Nitrates,
antikoagulan
Pertimbangkant
erapi fibrinolitik
15
a.
b.
Terapi non reperfusi ini dilakukan jika onset serangan sudah melibihi 12 jam.
Obat-obat yang digunakan meliputi antitrombotik, meliputi aspirin, clopidogrel, serta
agen antithrombin seperti UFH, enoxaparin, atau fondaparinux harus diberikan sesegera
mungkin (Bottiger et al., 2008).
c. Terapi STEMI untuk Jangka waktu yang Lama
Terapi STEMI untuk jangka waktu yang lama terdiri dari (Steg et al., 2012):
a. Modifikasi gaya hidup dan faktor risiko, meliputi berhenti merokok, kontrol diet dan berat
b.
c.
d.
e.
f.
g.
badan, meningkatkan aktivitas fisik, kontrol tekanan darah, intervensi faktor psikososial.
Terapi Antitrombolitik, meliputi pemberian aspirin.
Pemberian Beta-Blocker.
Pemberian agen untuk merendahkan kadar lemak tubuh.
Pemberian Nitrat
Pemberian Calcium Channel Blocker
Pemberian Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACE-inhibitor) dan Angiotensin
16
Depolarisasi prematur yang jarang dan sporadik terjadi pada hampir semua pasien
dengan infark dan tidak memerlukan terapi. Sementara dulu, ekstrasistole ventrikel
distolik yang sering, multifokal atau dini secara rutin diobati, terapi farmakologik
sekarang disediakan untuk pasien dengan aritmia ventrikel yang lama atau simptomatik.
17
2.8 Prognosis
18
19
I.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. ZA
Umur
: 37 tahun
No. CM
: 0-92-86-53
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Uleu lheu
Suku
: Aceh
Agama
: Islam
Status
: Kawin
Pekerjaan
: Swasta
Tanggal Masuk
: 4 Desember 2012
Tanggal Pemeriksaan
: 4 Desember 2012
II.
ANAMNESIS
a.
Keluhan Utama
b.
Keluhan Tambahan
c.
:-
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri yang dirasakan sejak 4
jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada dirasakan seperti ditimpa benda
berat, nyeri tidak menjalar ke rahang, leher, punggung maupun ke tangan.
Nyeri muncul tiba-tiba saat pasien sedang bekerja. Nyeri dada berlangsung
selama 3 jam. Pasien mengeluhkan keluar keringat dingin saat nyeri dada.
Nyeri dada bersifat terus-menerus. Pasien mengeluhkan mual dan muntah
20
e.
f.
g.
h.
i.
III.
IVFD RL 10 gtt/i
Aspilet 4 tablet
Clopidogrel 1x300 mg (4 tablet)
Simvastatin 1x80 mg
ISDN 1 tablet
PEMERIKSAAN FISIK
a.
Status Present
Keadaan Umum
: Sakit sedang
Kesadaran
: Compos Mentis
Tekanan Darah
: 90/60 mmHg
Nadi
: 65 x/menit
21
b.
Frekuensi Nafas
: 20 x/menit
Temperatur
: 36,6 C
Status General
Kulit
Warna
: Sawo matang
Turgor
: Kembali cepat
Ikterus
: (-)
Pucat
: (-)
Sianosis
: (-)
Oedema
Kepala
Bentuk
: Kesan Normocephali
Rambut
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
Bibir
Gigi geligi
: Karies (-)
Lidah
Mukosa
: Basah (+)
Tenggorokan
Faring
: Hiperemis (-)
Leher
Bentuk
: Kesan simetris
Peningkatan TVJ
: R-2 cmH2O
Axilla
Tipe pernafasan
: Thorako-abdominal
Retraksi
: (-)
b) Palpasi
Stem premitus
Lap. Paru atas
Lap. Paru tengah
Lap. Paru bawah
Paru kanan
Normal
Normal
Normal
Paru kiri
Normal
Normal
Normal
c) Perkusi
Paru kanan
Sonor
Sonor
Sonor
Paru kiri
Sonor
Sonor
Sonor
Suara pokok
Lap. Paru atas
Lap.Paru tengah
Lap.Paru bawah
Paru kanan
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Paru kiri
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Suara tambahan
Lap. Paru atas
Lap. Paru tengah
Lap. Paru bawah
Paru kanan
Rh(-) , Wh(-)
Rh(-) , Wh(-)
Rh(-) , Wh(-)
Paru kiri
Rh(-) , Wh(-)
Rh(-), Wh(-)
Rh(-), Wh(-)
2. Thoraks Belakang
a) Inspeksi
Bentuk dan Gerak
Tipe pernafasan
: Thorako-abdominal
Retraksi
: interkostal (-)
23
Paru kanan
Normal
Normal
Normal
Paru kiri
Normal
Normal
Normal
Paru kanan
Sonor
Sonor
Sonor
Paru kiri
Sonor
Sonor
Sonor
Suara pokok
Lap. Paru atas
Lap. Paru tengah
Lap. Paru bawah
Paru kanan
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Paru kiri
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Suara tambahan
Lap. Paru atas
Lap. Paru tengah
Lap. Paru bawah
Paru kanan
Rh(-) , Wh(-)
Rh(-) , Wh(-)
Rh(-) , Wh(-)
Paru kiri
Rh(-),Wh(-)
Rh(-), Wh(-)
Rh(-), Wh(-)
c) Perkusi
Lap. Paru atas
Lap. Parutengah
Lap.Paru bawah
d) Auskultasi
Jantung
- Inspeksi
- Palpasi :
cordis
teraba
ICS
linea
midclavicula sinistra
- Perkusi
: Batas atas
Auskultasi
Abdomen
-
Inspeksi
24
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Genetalia
Anus
Ekstremitas
Ekstremitas
Sianotik
Edema
Ikterik
Gerakan
Tonus otot
Sensibilitas
Atrofi otot
IV.
Superior
Kanan
Kiri
Aktif
Aktif
Normotonus
Normotonus
N
N
-
Inferior
Kanan
Kiri
Aktif
Aktif
Normotonus Normotonus
N
N
-
PEMERIKSAAN LABORATURIUM
Hasil Laboratorium (4 November 2012)
Darah Rutin
Jenis pemeriksaan
Hasil Pemeriksaan
Nilai Rujukan
Haemoglobin
13,3 gr/dl
13 - 18 gr/dl
Leukosit
14,0.103/ul
4,1-10,5.103/ul
Trombosit
Hematokrit
KGDS
205.103 /ul
39 %
106
150-400.103/ul
40-55%
<200 mg/dl
Hasil Pemeriksaan
Nilai Rujukan
223 mg/dl
<200 mg/dl
Kimia Darah
Jenis pemeriksaan
Total Kolesterol
25
6,2 mg/dl
3-7 mg/dl
SGOT
398 U/I
0-31U/I
SGPT
0-37 U/I
Alkalis Phosfatase
106 U/I
49-98 U/I
Protein Total
6,3 U/I
6,3-8,3 g/dl
Albumin
3,6 gr/dl
3,2-5,2 g/dl
Globulin
2,7 gr/dl
1,3-3,2 g/dl
Hasil Pemeriksaan
Nilai Rujukan
31
1,0
10-50 mm/dl
0,5-1,5 mg/dl
Hasil Pemeriksaan
Nilai Rujukan
142
3,5
103
135-145 meq/L
3,5-4,5 meq/L
90-110 meq/L
Fungsi Ginjal
Jenis pemeriksaan
Ureum
Kreatinin
Elektrolit
Jenis pemeriksaan
Na
K
Cl
V.
RADIOLOGI
Foto Thorax AP (5 Desember 2012)
Bacaan Foto Thorax
VI.
CTR 50%
Gelombang P
: 0,08 detik
Kompleks QRS
: 0,08 detik
Gelombang R
: Normal
ST elevasi
Kesan
VII.
RESUME
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri yang dirasakan sejak 4
jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada dirasakan seperti ditimpa benda berat, nyeri
tidak menjalar ke rahang, leher, punggung maupun ke tangan. Nyeri muncul tiba-tiba
saat pasien sedang bekerja. Nyeri dada berlangsung selama 3 jam. Pasien mengeluhkan
keluar keringat dingin saat nyeri dada. Nyeri dada bersifat terus-menerus. Pasien
27
DIAGNOSA SEMENTARA
Acute STEMI inferolateral, TIMI Score 6, Grace Score 66, KILLIP I
IX.
PENATALAKSANAAN
Umum
- Bed rest semi fowler
- Diet jantung I
X.
Khusus
O2 2-4 L/i
IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i
Injeksi Lovenox 0,6 ml/12 jam/SC (5hari)
Aspilet 1 x 80 mg
Plavix 1 x 75 mg
Simvastatin 1x40 mg (malam)
ISDN 3x5 mg
Laxadine syr 1 x CI
PROGNOSIS
Quo ad Vitam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
Berhenti merokok
Olahraga teratur
Tetap minum obat pulang dengan teratur sampai waktu yang telah
ditentukan
Follow up
Tn. ZA , laki-laki , 37 tahun
Tanggal
04/12/12
Nyeri dada
KU
: Sedang
Acute
sebelah kiri
Kes
: CM
STEMI
TD
: 90/60 mmHg
Inferolateral
HR
: 65x/menit
Killip I
RR
: 20x/ menit
tanpa
Suhu : 36,60C
Revascularis
asi, TIMI
Kepala : dbn
Score 4/14,
Grace Score
P
-
Bed Rest
Diet jantung I
O2 2-4 L/i
IVFD NaCl 0,9% 10
gtt/i
Injeksi
ml/12 jam/SC
Aspilet 1 x 80 mg
Plavix 1 x 75 mg
Simvastatin 1 x 40 mg
ISDN 3 x 5 mg
Laxadine syr 1 x CI
Lovenox
66
Planning :
- EKG serial
- Lab.Lengkap
29
0,6
Thorax
Nyeri dada
Acute
sebelah kiri.
Kes
: CM
STEMI
TD
: 120/60 mmHg
Inferolateral
HR
: 80x/menit
Killip I
RR
: 18x/ menit
tanpa
Suhu : 36,70C
Revascularis
asi, TIMI
Kepala : dbn
Score 4/14,
Grace Score
Bed Rest
Diet jantung I
O2 2-4 L/i
IVFD NaCl 0,9% 10
gtt/i
Injeksi
ml/12 jam/SC
Aspilet 1 x 80 mg
Plavix 1 x 75 mg
Simvastatin 1 x 40 mg
ISDN 3 x 5 mg
Laxadine syr 1 x CI
Lovenox
66
Planning :
- EKG serial
- Lab.Lengkap
Thorax
0,6
S
Nyeri dada (-)
KU
: Baik
Acute
Kes
: CM
STEMI
TD
: 100/70 mmHg
Inferolateral
HR
: 73 x/menit
Killip tanpa
RR
: 23 x/ menit
Suhu : 36,5 0C
Revascularis
asi, TIMI
Score 4/14,
Kepala : dbn
Grace Score
66
P
-
Bed Rest
Diet jantung I
O2 2-4 L/i
IVFD NaCl 0,9% 10
gtt/i
Injeksi
ml/12 jam/SC
Plavix 1 x 75 mg
Aspilet 1 x 80 mg
Simvastatin 1 x 40 mg
ISDN 3 x 5 mg
Laxadine syr 1 x CI
Lovenox
konj.pct (-/-)
sklera ikt (-/-)
Telinga : serumen (-)
Hidung : sekret (-),NCH (-)
Mulut : bibir
: pucat (-)
sianosis (-)
Planning :
- EKG serial
- Corangiography
Thorax
0,6
KU
: Baik
STEMI
Kes
: CM
TD
: 110/80 mmHg
- Bed rest
- Diet Jantung II
Inferolateral
- O2 2-4 L/i
Killip I
- IVFD NaCl 0,9% 10
HR
: 84 x/menit
tanpa
RR
: 20 x/menit
Revascularis
Suhu : 36,30C
asi, TIMI
Score 4/14,
Kepala : dbn
Grace Score
66
gtt/i
Injeksi
ml/12 jam/SC
Plavix 1 x 75 mg
Aspilet 1 x 80 mg
Simvastatin 1 x 40 mg
ISDN 3 x 5 mg
Laxadine syr 1 x CI
Lovenox
konj.pct (-/-)
sklera ikt (-/-)
Telinga : serumen (-)
Hidung : sekret (-), NCH (-)
Mulut : bibir
: pucat (-)
sianosis (-)
0,6
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri yang dirasakan sejak 4 jam
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada dirasakan seperti ditimpa benda berat, nyeri
menjalar ke rahang, leher, punggung maupun ke tangan. Nyeri muncul tiba-tiba saat
pasien sedang bekerja. Nyeri dada berlangsung selama 3 jam. Pasien mengeluhkan
keluar keringat dingin saat nyeri dada. Nyeri dada bersifat terus-menerus. Pasien
mengeluhkan mual dan muntah sebelum os dibawa ke RS. Pasien dibawa ke RS Permata
Hati, setelah mendapat terapi awal kemudian os dirujuk ke RSUDZA. Pasien tidak
pernah mengeluhkan sesak. Terbangun tengah malam (-), sesak ketika tidur rata (-).
Sebelumnya pasien juga ada merasakan rasa tidak nyaman di dada sejak 3 bulan terakhir
namun hilang saat beristirahat. Riwayat di rawat di RS disangkal pasien.
Keluhan nyeri dada yang dialami pasien sangat khas untuk nyeri dada tipikal
(angina) yang merupakan gejala cardinal pasien Infark Miokard Akut (IMA) yang
berhubungan dengan Sindrom Koroner Akut (SKA). Seorang dokter harus mampu
membedakan dengan nyeri dada lainnya karena gejala ini merupakan pertanda awal
dalam pengelolaan pasien. Adapun sifat nyeri dada angina meliputi :
Lokasi
: substernal, retrosternal, dan prekordial
Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti
ditusuk, rasa diperas dan terpelintir
Penjalaran : biasanya kelengan kiri, dapat juga menjalar ke leher, rahang bawah,
gigi, punggung/interskapula, perut hingga lengan kanan
Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat
33
34
jantung koroner sebesar 50%. Seorang perokok pasif pun mempunyai resiko terkena
infark miokard. Di Inggris, sekitar 300.000 kematian karena penyakit kardiovaskuler
berhubungan dengan rokok (Setyani. 2006).
Berdasarkan gambaran Elektrokardiogram (EKG) pasien menunjukkan hasil
abnormal EKG yaitu ST elevasi di Lead II, III, aVF, V5, dan V6. Berdasarkan hasil
tersebut sudah jelas menunjukkan suatu gambaran infark miokard akut dengan ST
elevasi berlokasi pada inferolateral. Dimana pemeriksaan EKG di IGD tersebut
merupakan landasan dalam menentukan keputusan terapi karena bukti kuat
menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang
bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Umumnya untuk gambaran infark miokard
35
tertentu sesuai perubahan-perubahan pada miokard yang disebut evolusi EKG. Menurut
Alwi. 2006 Evolusi terdiri dari fase-fase sebagai berikut:
Fase awal atau hiperakut: 1) elevasi ST yang non spesifik, 2) T yang tinggi dan
melebar
Fase evolusi lengkap: 1) elevasi ST yang spesifik, konveks ke atas, 2) T yang
negatif dan simetris, 3) Q patologis
Fase infark lama; 1) Q patologis bisa QS atau Qr, 2) ST yang kembali isoelektik, 3)
T bisa normal atau negatif
Berikut penentuan lokasi infark miokard berdasarkan gelombang Q patologis dan
elevasi ST pada sandapan EKG, IMA dibagi menjadi (Karim & Kabo. 2008)
Lokasi infark
Gelombang Q, elevasi ST
(sandapan)
Anteroseptal
V1 dan V2
Anterior
V3 dan V4
Lateral
Anteriorekstensif
V5 dan V6
I, aVL, V1-V6
High-lateral
Posterior
I, aVL, V5 dan V6
V7-V9 (V1 dan V2)
Inferior
Right ventrikel
V2R-V4R
Arteri koroner
Left anterior descending
(LAD)
Left anterior descending
(LAD)
Left circumflex (LC)
Left anterior descending
(LAD), Left circumflex (LC)
Left circumflex (LC)
Left
circumflex
(LC)
Posterior Left Ventricular
Artery (PL)
Posterior descending Artery
(PDA)
Right coronary artery (RCA)
Sehingga berdasarkan temuan secara klinis dan pemeriksaan penunjang yaitu, berupa
nyeri dada khas infark, perubahan gambaran EKG (ST elevasi) dapat mengarahkan pada
diagnosis IMA. Salah satu faktor penting dalam menegakkan diagnosis IMA adalah
kenaikan enzim (CKMB) Creatine kinase myocardial band (Ramazan A dkk. 2003).
Berdasarkan diagnosis yang ditegakkan yaitu Sindrom Koroner Akut (SKA)
dengan elevasi segmen ST maka tindakan
secepatnya dengan trombolitik (kurang dari 6 jam setelah serangan IMA) nmenentukan
36
penderita merasa nyaman dan aman akan sangat membantu keberhasilan terapi
(Ramazan A dkk.2003).
Mengatasi nyeri dada dan perasaan takut pada kasus ini sesuai dengan teori yang
ada yaitu dengan pemberian oksigen 2-4 L/I untuk meningkatkan suplai oksigen.
Pemberian nitrat oral atau intravena untuk angina digunakan untuk nyeri infark. Pada
kasus diatas diberikan Cedocard yaitu golongan nitrat dimana berdasarkan literatur
disebutkan bahwa nitrat hanya diberikan jika hipotensi yang terjadi adalah akibat nyeri
dada yang disebabkan iskemia miokard. Sementara itu, khusus pada infark miokard
ventrikel kanan maka penatalaksanaan ditujukan untuk mempertahankan preload
ventrikel kanan dengan pemberian cairan.(Ramazan A dkk. 2003)
Penderita distabilkan pada 8 jam pertama serangan kemudian makanan lunak
dan beri laksansia (laksadin sirup) agar pasien tidak mengedan. Selain itu penderita juga
diharuskan istirahat dengan tirah baring sampai 24 jam bebas angina (Stag et al., 2012).
Menurut Stag, 2012 Pemberian aspilet dan clopidogrel digunakan sebagai
antiplatelet. Aspirin merupakan yang dikunyah agar absorbsi lebih cepat dan merupakan
tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai AMI dimana inhibisi cepat siklooksigenase
trombosit yang dilanjutkan dengan reduksi tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi
aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi, selanjutnya aspirin
diberikan oral dengan dosis 75-162 mg. Selain itu antiplatelet lain yang dapat diberikan
adalah clopidogrel. Pemberian antikoagulan ini berguna untuk mengurangi resiko
terjadinya tromboemboli dan reinfark (Ramazan A dkk. 2003).
37
miokard dan meningkatkan aliran darah koroner. Hasil dari berbagai uji klinis
menunjukkan bahwa pada penderita IMA yang menerima atau tidak menerima
trombolitik, pemberian penyekat beta yang kardioselektif seperti atenolol (tenormin),
atau metoprolol (lopresor, seloken) pada jam-jam
(1) nyeri dada berulang, (2) gambaran infark persisten pada EKG, (3)
komplikasi mekanik (gagal jantung akut, murmur baru) serta syok (Razaman ddk. 2003)
Pencegahan sekunder pasien iskemia miokard yaitu.(Kebo. 2011)
1. Merokok, target berhenti merokok
2. Kontrol tekanan darah, target < 140/90 mmHg atau < 130/80 mmHg (penderita
DM atau gagal ginjal kronik)
3. Menejemen lipid, target LDL <100 mg/dl, trigliseria <150 mg/dl, HDL > 40
mg/dl
4. Aktivitas fisik, target minimal 30 menit/hari selang 3-4 x/minggu
5. Menejemen berat badan, target IMT 18,5 -24,9 kg/m2, lingkar pinggang < 35 inci
(perempuan), laki-laki < 40 inci
6. Manajemen diabetes, target HbA1C < 7%
7. Antiplatelet/antikoagulan dengan pemberian aspirin 75-162 mg/hr seumur hidup
atau clopidogrel 75 mg/hr selama 9-12 bulan terutama setelah pemasangan drug
eluting stent, serta sebagai alternatif bila terdapat kontraindikasi aspirin. Alternatif
platelet lain adalah warfarin (INR 2,5-3,5) bila terdapat indikasi atau kontraindikasi
terhadap aspirin atau clopidogrel
8. Penghambat system RAA (rennin angitensin aldosteron) yaitu dapat diberikan ACE
inhibitor seumur hidup pada pasien dengan infark anterior, riwayat infark
sebelumnya, KILLIP 2, EF <40%. Pilihan lain adalah ACE inhibitor pada pasien
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Alwi, Idrus. 2006. Tatalaksana Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI.
2. American Heart Association. 2001. Heart and Statistical Update. 358 : 1533-1538.
3. Bottiger BW., Amtz HR., Chamberlain DA., Bluhmki E., Beimans A et al., 2008.
Thrombolysis DuringResuscitation for Out of Hospital Cardiac Arrest. N engl J Med.
359:2651-2662.
4. Brieger D., Eagle KA., Goodman SG., Steg PG., Budaj A et al. 2004. Acute Coronary
Syndroms Without Chest Pain, an Underdiagnosed and Undertreated high-risk
Group: insight from the Global Registry of Acute Coronary Events. Chest . 126:461469.
5. Chia S., Ludlam CA., Fox KA., Newby DE. 2003. Acute Systemic Inflammation
Enhance Endothelium-dependent Tissue Plasminogen Activator release in Men. J Am
Coll Cardiol. 41:333-339.
6. Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) di Indonesia. 2007
40
7. Goncalves PDA., Ferreira J., Aguair C., Gomes RS. 2005. TIMI, PURSUIT, and
Grace risk Scores : Sustained Prognostic value and Interaction with
Revascularization in NSTE-ACS. American Heart Journal. 26. 865-872.
8. Graham SN dan Hickey RW. 2001. Molecular Pathophysiology of Stroke.
Neurppsychopharmacology. 35:141-148.
9. Hamm CW., Bassand JP., Agewall S., Bax J., Boersma E. 2011. ESC Guidelines for
the Management of Acute Coronary Syndromes in Patients Presenting Withouth
Persistent ST-segment Elevation. European Heart Journal. 32:2999-3054.
10. Hemingway H., Fitzpatrick NK., Gnani S et al., 2004. Prospective Validity of
Measuring Angina severity with Canadian Cardiovascular Society Class: The ACRE
Study. Can J. Cardiol. 20:305-309.
11. Hoffmann U., Brady TJ., Muller j. 2003. Cardiology Patient Page. Use of Imaging
techniques to Screen for Coronary Artery Disease. Circulation. 108:e50-e53.
12. Hossmann KA dan Heiss WD. 2008. Neurophatology and Neuropathophysiology of
Stroke. Cambridge University Press: England.
13. Kabo P. 2011. Bagaimana Menggunakan Obat-obat Kardiovaskular Secara Rasional.
Balain Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
14. Karim S & Kabo P. 2008. EKG dan Penanggulangan Beberapa Penyakit Jantung
untuk Dokter Umum. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
15. Karim S & Kabo P. 2008. EKG dan Penanggulangan Beberapa Penyakit Jantung
untuk Dokter Umum. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
16. Kabo P. 2010. Bagaimana Menggunakan Obat-Obat Kardiovaskular Secara
Rasional. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta.
17. Kosowsky, Joshua M. Yiadom, Maame. 2009. The Diagnosis And Treatment of
STEMI In The Emergency Department. Emergency Medicine Practice.. Di akses 15
Juli 2012.
18. Metra M., Felker GM., Zaca V., Bugatti S., Lumbardi C. 2010. Acute Heart failure :
Multiple Clinical Profiles and Mechansims Requires Tailored Therapy. International
Journal of Cardiology. 1-5.
41
26. Schelbert HR. 2010. Anatomy and Physiology of Coronary Flow. J Nucl Cardiol. 17:
545-54.
27. Setyani R. 2006. Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit
Jantung Koroner Pada Usia Produktif (<55 Tahun). Surabaya: Airlangga University
Digital Library
28. Steg G., James SK., Atas D., Badano LP., Lundqvist., Borger MA. 2012. ESC
Guidelines for the Management of Acute Myocardial Infarction in Patients Presenting
with ST-segment Elevation. European Heart Journal. 33:2569-2619.
42
43