You are on page 1of 16

BAB VII

SKABIES

Tujuan Instruksional Khusus :


Mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan dengan benar tentang penyakit scabies,
penyebab, diagnosis, pengobatan dan cara penyembuhannya.

Subpokok Bahasan 1. SEJARAH KEHIDUPAN


Pendahuluan
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap
tungau Sarcoptes scabiei varietas hominis. Wabah skabies pernah terjadi pada jaman
penjajahan Jepang (1942 1945), kemudian menghilang dan timbul lagi pada tahun 1965.
Hingga kini penyakit tersebut tidak kunjung reda dan insidennya tetap tinggi.
Skabies menduduki peringkat ke-7 dari sepuluh besar penyakit utama di Puskesmas
dan menempati urutan ke-3 dari 12 penyakit kulit yang tersering di Indonesia. Factor-faktor
yang mempengaruhi tingginya insiden skabies antara lain : keadaan social ekonomi yang
rendah, hygiene yang kurang baik dan kepadatan penduduk.
Penyakit ini sering tidak disertai gejala klinis yang khas, sehingga diagnosis skabies
sering sukar dibuat. Ketidak khas-an ini disebabkan karena gejala yang timbul menyerupai
penyakit lain. Pengobatan scabies sebenarnya sangat sederhana yaitu dengan : skabisida
topical, seperti salep belerang 4-10% atau gameksan 1%. Namun demikian karena penyakit
ini sering menyerang seluruh anggota keluarga atau asrama bahkan dapat menyerang satu
kampong, maka penyakit ini menjadi sulit diberantas. Untuk keberhasilan pengobatan perlu
diketahui tehnik diagnostic yang tepat dan cara pengobatannya.
Skabies disebut juga the itch, pamaan itch, seven year itch, dan di Indonesia dikenal
dengan nama gudik, kudis, buduk, kerak, penyakit ampere dan gatal agogo.
Sejarah
Kepustakaan tertua mengenai scabies menyatakan bahwa orang pertama yang
menguraikan skabies adalah dokter Aboumezzan Abdel malek ben Zohar, yang lahir di
Spanyol pada tahun 1070 dan wafat di Maroko pada tahun 1162. Dokter tersebut menulis
seuatu yang disebut soab yang hidup pada kulit dan menimbulkan gatal. Bila kulit digaruk
muncul binatang kecil yang sulit dilihat dengan mata telanjang.
Pada tahun 1687 Giovan Bonomo menulis surat kepada Fransisco Redi dan
menyatakan bahwa seorang wanita miskin dapat mengeluarkan little bladder of water dari
lesi skabies anaknya. Surat Bonomo tersebut kemudian dilupakan orang dan pada tahun
Universitas Gadjah Mada

1812 Gales melaporkan telah menemukan S. scabiei dan tungau yang ditemukannya
tersebut dilukis oleh Meunir. Sayangnya, penemuan Gales tidak dapat dibuktikan oleh
ilmuwan lainnya. Pada tahun 1820 Raspail menyatakan bahwa tungau yang ditemukan
Gales identik dengan tungau keju sehingga Gales dinyatakan sebagai penipu. Penemuan
Gales baru diakui pada tahun 1839 ketika Renucci, seorang mahasiswa dari Corsica berhasil
mendemonstrasikan cara mendapatkan tungau dari penderita scabies dengan sebuah jarum.

Klasifikasi
Dalam klasifikasi Sarcoptes scabiei termasuk:
Filum

: Arthropoda

Kelas

: Arachnida

Ordo

: Acari / Acariformes

Subordo

: Acaridida

Supercohort

: Psoroptides

Superfamili

: Sarcoptoidea

Family

: Sarcoptidae

Genus

: Sarcoptes

Jenis

: Sarcoptes scabiei L.

Morfologi
Sarcoptes scabiei merupakan tungau yang berukuran kecil, mikroskopis, berbentuk
lonjong, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini translusen dan
berwama putih kotor (Gambar 1). Hidup dipermukaan atau di dalam lapisan kulit dari
berbagai mamalia, termasuk manusia. Fain (1968) dalam Krantz (1978) telah mampu
mengidentifikasi 5 bentuk yang berbeda dari tungau ini, yang dikoleksi dari 1). Manusia, 2).
Camels / unta, 3). Babi , 4). Berbagai mamalia Afrika, seperti kambing, kudu dan, 5). Kuda
dari Afrika Selatan dan Amerika Serikat.
Ukuran tungau sangat bervariasi, yang betina berukuran lebih besar dari yang jantan
yaitu kurang lebih 330-450 x 250-350 mikron, sedang yang jantan berukuran 200-240 x 150200 mikron.

Universitas Gadjah Mada

Gambar VIII. 1. Sarcoptes scabiei. A. Jantan (dorsal); B. Jantan (ventral); C. Betina (dorsal);
D. Betina (ventral); E. Tungau betina dan telumya di dalam terowongan; F. Larva
berkaki 6 (ventral). (Sumber: Belding, 1942).
Tubuh tungau terbagi 2 yaitu bagian anterior yang disebut nototoraks dan bagian
posterior yang disebut notogaster. Nototoraks dan notogaster masing-masing mempunyai 2
pasang kaki. Pada tungau betina, 2 pasang kaki kedua berakhir dengan rambut sedangkan
pada tungau jantan, sepasang kaki ketiga berakhir dengan rambut dan kaki ke-empat
berakhir dengan ambulakral, yaitu semacam alat untuk melekatkan diri.
Alat genital tungau betina ini berbentuk celah yang terletak pada bagian ventral
sedangkan alat genital jantan berbentuk huruf Y dan terletak di antara pasangan kaki ke
empat. Pada stadium larva memiliki 3 pasang kaki sedangkan nimfa mempunyai 4 pasang
kaki dan bergerak dengan kecepatan 2,5 cm per menit pada permukaan kulit.
Universitas Gadjah Mada

Siklus hidup
Tungau S. scabiei mengalarni metamorfosis yang tidak sempurna. Perkembangan
mulai telur selanjutnya menetas membentuk larva, dan larva akan berkembang menjadi
nimfa (bentuk dewasa berukuran lebih kecil) dan selanjutnya akan menjadi dewasa.
Setelah kopulasi, tungau betina akan membuat terowongan pada kulit sampai
perbatasan stratum korneum dan stratum granulosum dengan kecepatan 0,5 5 mm per
hari. Penggalian terowongan biasanya dilakukan pada malam hari. Kopulasi terjadi di
permukaan kulit atau di dalam terowongan.
Tungau jantan biasanya hanya hidup di permukaan kulit dan mati setelah membuahi
tungau betina sehingga kurang berperan dalam patogenesis scabies. Kadang-kadang
tungau jantan masih bisa hidup dalam terowongan yang digali oleh tungau betina atau dalam
terowongan cabang. Tungau betina akan bertelur di dalam terowongan sebanyak 2-3 butir
setiap hari. Seekor tungau betina dapat bertelur sebanyak 40-50 butir semasa hidupnya
yang berlangsung kurang Iebih 30 hari.
Telur akan menetas menjadi larva dalam waktu 3-5 hari, larva berukuran 110 x 140
mikron, mempunyai 3 pasang kaki yang segera keluar dari terowongan induknya atau
membuat terowongan baru, atau hidup dipermukaan kulit. Dalam waktu 34 hari larva akan
berubah menjadi nimfa yang mempunyai 4 pasang kaki. Nimfa betina mengalami 2 fase
perkembangan. Nimfa pertama panjangnya 160 mikron dan nimfa ke dua panjangnya antara
220 250 mikron. Nimfa ke dua bentuknya menyerupai tungau dewasa tetapi alat
genitalnya

belum

terbentuk

sempurna.

Nimfa

jantan

hanya

mengalami

fase

perkembangan.
Selanjutnya nimfa akan berubah menjadi tungau dewasa dalam waktu 3 5 hari.
Waktu yang dibutuhkan sejak telur menetas sampai menjadi tungau dewasa ialah 16 17
hari. Dari seluruh telur yang dihasilkan tungau betina, kurang lebih hanya 10% yang menjadi
tungau dewasa sehingga pada seorang penderita rata-rata terdapat 11 tungau betina
dewasa. Tungau dapat hidup selama 2 3 hari di luar kulit dan masih dapat menginfestasi
manusia.

Subpokok Bahasan 2. MACAM-MACAM SKABIES


Pendahuluan

Skabies adalah penyakit kulit yang sering menyerupai penyakit kulit lainnya sehingga
disebut the great imitator. Terdapat beberapa bentuk skabies atipik yang jarang ditemukan
dan sulit dikenal, sehingga dapat menimbulkan kesalahan dalam diagnosa.

Universitas Gadjah Mada

Macam-macam Skabies
Beberapa bentuk skabies antara lain:

a. Skabies pada orang bersih (scabies of cultivated)


Bentuk ini ditandai dengan lesi berupa papul dan terowongan yang sedikit jumlahnya
sehingga sangat sukar ditemukan.

b. Skabies in cognito
Bentuk ini timbul pada scabies yang diobati dengan kortikosteroid sehingga gejala
dan tanda klinis membaik, tetapi tungau tetap ada dan penularan masih dapat terjadi.
Skabies bentuk ini sering juga rnenunjukkan gejala klinis yang tidak biasa, distribusi
atipik, lesi luas dan mirip penyakit lain (seperti dermatitiss herpetiforfis, eksim, prurigo,
dll). Dilaporkan pula bahwa seringkali infestasi oleh tungau ini disertai bersamaan
dengan penyakit Iainnya sepenti mikosis, psoriasis dan lupus eritrematous sistemik.

c. Skabies nodular
Pada bentuk ini lesi berupa nodus coklat kemerahan yang gatal. Nodus biasanya
terdapat di daerah tertutup, terutama pada genitalia laki-laki, ingunal dan aksila. Nodus
ini timbut sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap tungau skabies. Pada nodus yang
berumur 1 bulan tungau jarang ditemukan. Nodus mungkin menetap selama beberapa
bulan sampai 1 tahun meskipun telah diberi pengobatan anti skabies dan kortikosteroid.

d. Skabies yang ditularkan melalui hewan


Di Amerika, sumber utama skabies adalah anjing. Kelainan ini berbeda dengan
skabies pada manusia umumnya, yaitu tidak terdapat terowongan, tidak menyerang sela
jari, dan genitalia eksterna. Lesi biasanya terdapat daerah dimana orang sering kontak /
memeluk binatang kesayangannya, yaitu paha, perut, dada, dan lengan. Masa inkubasi
lebih pendek dan transmisi lebih mudah Kelainan ini bersifat sementana (4-8 minggu)
dan dapat sembuh sendiri karena S. scabiei varietas binatang tidak dapat melanjutkan
hidupnya pada manusia.

e. Skabies Norwegia
Skabies Norwegia atau scabies krustosa pertasna kali dilaporkan oleh Danielsen et.
al. pada seorang warga negara Norwegia yang menderita kusta. Sejak saat itu
dilaporkan bahwa skabies Norwegia tidak hanya terjadi pada penderita lepra tetapi juga
pada penderita dengan retardasi mental, dementia senilis, penderita keganasan,

Universitas Gadjah Mada

penderita yang menerima obat imunosupresen, dan penderita dengan defisiensi


imunologik.
Skabies Norwegia ditandai dengan lesi yang luas, tempat predileksi biasanya kulit
kepala yang berambut, telinga, bokong siku, lutut, telapak tangan dan kaki yang dapat
disertai distrofi kuku. Berbeda dengan skabies biasa pada skabies Norwegia ini rasa
gatal yang ditimbulkan tidak menonjol tetapi bentuk ini sangat menular karena jumlah
tungau yang menginfestasi sangat banyak (ribuan). Karena jumlah tungau pada
penderita sangat banyak maka penderita tersebut dapat menjadi sumber infeksi scabies
bagi orang-orang disekitarnya.
Di Indonesia kasus skabies Norwegia sangat jarang dilaporkan. Kasus pertama
dilaporkan oleh Brugg et.al. (1930) yaitu pada seorang laki-laki penderita kusta. Kasus ke
dua dilaporkan dari seorang laki-laki yang menderita etardasi mental yang tertular
scabies dari seekor monyet peliharaannya yang menderita skabies. Kasus selanjutnya
dilaporkan oleh Idris et.al. (1988) dan oleh Sungkar et.al (l989) yang ditemukan pada
pendenita kusta lepromatosa.

Subpokok Bahasan 3. TRANSMISI


Pendahuluan
Skabies terdapat diseluruh dunia, dengan insiden yang berfluktuasi akibat pengaruh
faktor yang belum diketahui sepenuhnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan
penyakit ini antara lain keadaan sosial ekonomi yang rendah, higiene penduduk yang buruk,
promiskuitas seksual, kepadatan penduduk dan kesalahan diagnosis dari dokter yang
memeriksa. Di antara factor-faktor di atas kepadatan penduduk merupakan faktor terpenting
dalam penyebaran skabies.
Prevalensi skabies
Skabies ditemukan disemua negara dengan prevalensi yang bervariasi. Di beberapa
negara yang sedang berkembang prevalensi skabies sekitar 6% - 27% populasi umum, dan
cenderung tinggi pada anak-anak serta remaja. Dari survei yang pemah dilakukan di Peru
(1983), di sepanjang sungai Ucayali ditemukan bahwa pada beberapa desa di mana semua
anak-anak dari penduduk asli desa tersebut mengidap skabies. Dilaporkan pula oleh Behl
(1985) bahwa pada anak-anak di desa-desa Indian prevalensi skabies mencapai 100%. Di
Chili insiden tinggi terdapat pada kelompok umur 10 19 tahun (45%), sedang di Brazil
insiden tertinggi terdapat pada anak usia di bawah 9 tahun, dan di India prevalensi yang
tinggi ditunjukkan dari Iokasi yang berbeda dengan insiden tinggi pada anak usia 5 14
tahun, sedang di tempat yang lain tertinggi pada anak usia di bawah 5 tahun. Di negara maju
Universitas Gadjah Mada

prevalensi skabies sama pada semua golongan umur. Di Indonesia sendiri dilaporkan
sampai dengan tahun 1986 prevalensi di seluruh Puskesmas di Indonesia adalah 4,6% 12,95%.
Pada tahun 1975 terjadi wabah skabies di perkampungan Indian di kepulauan San
Blas, Panama. Penduduk di daerah ini hidup pada lingkungan yang padat dengan jumlah
penghuni tiap rumah 13 orang atau lebih. Pada survei pertama didapatkan prevalensi
skabies sebesar 28% pada satu kelompok umur dan 42% pada kelompok umur yang
lainnya. Dua tahun kemudian dilakukan survei kembali pada pulau yang Iebih besar
berpenduduk 2000 orang, ditemukan bahwa 90% penduduknya mengidap skabies. Pada
survei lainnya juga pada penduduk Indian dengan jumlah penduduk 756 orang didapatkan
bahwa prevalensi skabies pada anak-anak berumur 10 tahun adalah 61% dan pada bayi
berumur kurang dari 1 tahun adalah 84%. Di sebuah pesantren yang padat penghuninya
prevalensi skabies dapat mencapai 78,7%. Prevalensi di pesantren tersebut lebih tinggi pada
kelompok dengan higiene yang kurang (72,7%) dari pada kelompok yang higienenya baik,
prevalensi hanya sekitar 3,8% - 2,2%.

Transmisi / Penularan
Prevalensi yang tinggi yang ditunjukkan pada lingkungan dengan tingkat kepadatan
penghuni yang tinggi dan tingkat kebersihan yang rendah menyebabkan penyakit ini mudah
menular. Penularan umumnya terjadi karena tungau dapat berpindah dengan cepat dari satu
orang ke orang lain yang sehat, terutama jika orang sehat tersebut melakukan kegiatan
sehari-hari bersama dengan penderita skabies dan bersentuhan. Penderita umumnya adalah
orang yang sangat jarang mandi serta menjaga kebersihan Iingkungannya.
Sehingga dikatakan bahwa penularan skabies terutama adalah karena kontak
Iangsung, seperti berjabat tangan, tidur besama dan hubungan seksual. Pada orang
dewasa hubungan seksual merupakan cara tersering, sedangkan pada anak-anak penularan
didapat dari orang tua atau temannya.
Penularan melalui kontak tidak Iangsung, misalnya melalui perlengkapan tidur,
pakaian atau handuk yang dahulu dikatakan mempunyai peran kecil dalam penularan.
Namun demikian, penelitian menunjukkan bahwa cara ke dua ini menjadi lebih berperan
dalam penularan skabies, dan dinyatakan sebagai sumber penular utama adalah selimut,
pakaian dalam dan penderita wanita.

Universitas Gadjah Mada

Subpokok Bahasan 4. PATOLOGI DAN GEJALA KLINIS


Pendahuluan
Kerusakan pada jaringan kulit seringkali tidak terlalu dihiraukan oleh penderita, yang
menjadi masalah adalah rasa gatal yang terkadang masih ada meskipun tungau sudah mati
atau tungau tidak di daerah gatal tersebut. Kenampakan secara patologis pada kulit adalah
terowongan yang dibuat oleh tungau. Keadaan kulit akan semakin parah dengan adanya
garukan, munculnya papul kemerahan dan vesikel yang selanjutnya dapat menyebabkan
timbulnya infeksi sekunder.
Patologi dan Gejala Klinis
Gejala klinis skabies terutama adalah rasa gatal yang dirasakan pada malam hari
(pruritus nokturna) atau bila udara terasa hangat dan penderita berkeringat. Gatal adalah
gejala utama sebelum gejala klinis lainnya muncul. Rasa gatal terutama pada lesi namun
pada penderita yang kronis gatal dapat dirasakan pada diseluruh tubuhnya. Rasa gatal
timbul akibat sensitisasi kulit terhadap sekret dan ekskret tungau yang dikeluarkan pada
waktu pembuatan terowongan.
Erupsi kulit yang khas berupa terowongan yang halus dan panjangnya sekitar 2-3
mm, sedikit meninggi, berkelok-kelok, putih keabu-abuan. Terowongan ini muncul akibat
gerakan maju tungau sambil memakan hancuran stratum korneum. Selain itu tungau juga
mengeluarkan sekret yang dapat melisiskan stratum korneum. Tungau cenderung memilih
tempat tertentu untuk membuat terowongan, biasanya di daerah dengan kulit yang tipis
seperti sela jari, pergelangan tangan dan kaki, aksila, umbilicus, penis, areola mamae, dan di
bawah payudara wanita. Pada orang dewasa dapat dijumpai pula di daerah punggung atas,
leher, muka, kulit kepala yang berambut, dan pada bayi dapat ditemukan di daerah telapak
tangan dan kaki bahkan dapat mengenai seluruh badan.
Lesi kulit dapat berupa papul, vesikel, pustul dan urtika. Ekskoriasi, eksematisasi dan
infeksi sekunder akibat garukan membuat gambaran lesi prime menjadi tidak tampak lagi.
Berat ringan erupsi kulit tergantung dari derajad sensitisasi, lamanya infeksi, higiene
perorangan dan riwayat pengobatan sebelumnya.
Pada anak-anak, lesi Iebih sering berupa vesikel disertai infeksi sekunder akibat
garukan dan dapat mengenai seluruh tubuh, termasuk kepala, leher, telapak tangan dan
kaki. Selain itu lesi dapat berupa bula sehingga gambaran klinisnya menyerupai dermatosis
vesikobula. Terowongan jarang atau tidak ditemukan. Pada anak penderita skabies,
biasanya anak menjadi gelisah dan lelah karena tidurnya terganggu akibat rasa gatal pada
malam hari yang pada akhirnya menyebabkan nafsu makan berkurang. Demam dan
limfadenopati dapat terjadi pada infeksi sekunder oleh bakteri. Skabies merupakan factor
predisposisi pioderma yang disebabkan oleh Streptococcus dan Staphylococcus.
Universitas Gadjah Mada

Subpokok Bahasan 5. DIAGNOSIS


Pendahuluan
Sejak dilaporkan oleh Stokes (1936) hingga saat ini diagnosis skabies masih menjadi
persoalan dalam dermatologi. Jika gejala klinisnya khas maka diagnosis skabies mudah
ditetapkan, tetapi gejala klinis skabies sering menyerupai penyakit kulit lainnya, sehingga
dapat timbul salah diagnosa dan selanjutnya salah pengobatan.
Diagnosis klinis ditetapkan berdasarkan: anamnesis, yaitu adanya pruritus nokturna
dan erupsi kulit berupa papul, vesikel dan pustul di tempat predileksi. Selain itu diperoleh
keterangan bahwa gejala ini juga terdapat pada sekelompok orang. Diagnosis pasti
ditetapkan dengan menemukan tungau atau telurnya pada pemeriksaan laboratorium.
Namun kadang sulit untuk menemukan tungau ini, karena jumlahnya yang sedikit pada
penderita skabies.

Gambar VIIl.2. Lesi skabies pada sela jari tangan penderita kusta

Beberapa cara yang dapat digunakan untuk menemukan telur, tungau atau
terowongan adalah:
a. Kerokan kulit.
Papul atau terowongan yang baru dibentuk dan utuh ditetesi dengan minyak mineral
atau KOH, kemudian dikerok dengan skalpel steril untuk mengangkat atap papul atau
terowongan. Hasil kerokan diletakkan pada gelas obyek dan ditutup dengan kaca tutup,
lalu diperiksa di bawah mikroskop.

Universitas Gadjah Mada

b. Mengambil tungau dengan jarum


Jarum ditusukkan pada terowongan di bagian yang gelap dan digerakkan tangensial.
Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat diangkat ke luar. Dengan cara ini tungau
sulit ditemukan, tetapi bagi orang yang berpengalaman, cara ini dapat meningkatkan
ketepatan diagnosis.

c. Kuretasi terowongan
Cara ini dilakukan secara superficial mengikuti sumbu panjang terowongan atau
puncak papul. Hasil kuret diletakkan pada gelas obyek dan ditetesi minyak mineral / KOH
lalu diperiksa di bawah mikroskop.

d. Swab kulit
Kulit dibersihkan dengan eter, lalu dilekatkan selotip dan diangkat dengan cepat.
Selotip diletakkan pada gelas obyek kemudian diperiksa dengan mikroskop. Dari 1 lesi
dibuat 6 sediaan.

e. Burow ink test


Papul skabies dilapisi tinta cina dengan menggunakan pena lalu dibiarkan selama
20-30 menit, kemudian dihapus dengan alkohol. Tes dinyatakan positif bila tinta masuk
ke dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis zig-zag.

f.

Pemeriksaaan histopatologik.
Gambaran histopatologik menunjukkan bahwa terowongan terletak pada stratum
korneum, dan hanya ujung terowongan tempat tungau betina berada terletak di irisan
dermis. Pemeriksaan ini sesungguhnya tidak penting kecuali pada daerah tersebut
ditemukan tungau atau telurnya. Daerah yang berisi tungau menunjukkan sejumlah
eosinofil dan sulit dibedakan dengan reaksi gigitan arthropoda lainnya seperti kutu busuk
maupun nyamuk.

Selain pemeriksaan di atas masih terdapat pemeriksaan yang lain, tetapi yang paling
mudah dilakukan dan memberikan hasil yang memuaskan adalah cara kerokan kulit,
meskipun cara ini memerlukan keahlian dalam mengambil tungau dengan jarum.

Universitas Gadjah Mada

10

Subpokok Bahasan 6. IMUNOLOGI SKABIES


Pendahuluan
Adanya ektoparasit pada tubuh manusia terutama tungau skabies ini menimbulkan
reaksi imunologik yang tidak khas. Pada seorang yang baru pertama kali terinfestasi S.
scabiei gejala klinis baru muncul 1 bulan atau lebih, tetapi pada orang yang pernah
terinfestasi sebelumnya gejala dapat timbul dalam waktu 24 jam. Hal ini kemungkinan
karena adanya sensitisasi penderita terhadap tungau. Dilaporkan bahwa reinfeksi sering
terjadi pada 40% penderita, yang menunjukkan adanya reaksi imunitas dari penderita
skabies.
Reaksi imunologik
Bermacam-macam reaksi imunologik pada penderita skabies pernah dilaporkan,
antara lain ditemukannya kadar IgA serum yang rendah, tes kulit intradermal dengan ekstrak
tungau yang positif, deposit IgE di sekitar pembuluh darah, kompleks imun dalam sirkulasi
serta reaksi hipersensitivitas tipe cepat dan tipe lambat.

Subpokok Bahasan 7. PENGOBATAN


Pendahuluan
Agar pengobatan berhasil maka diperlukan diagnosa yang tepat terutama didukung
oleh hasil pemeriksaan laboratorium yang akurat. Beberapa macam obat dapat dipakai
dalam pengobatan skabies. Selain itu agar penderita benar-benar sembuh maka diperlukan
pengetahuan cara pengobatan yang benar, misalnya dari cara pemakaian obat secara
benar, hindari penggunaan obat secara berlebihan terutama karena biasanya meskipun
tungau sudah tidak ada namun gatal masih sangat terasa sehingga penderita akan memakai
obat dalam jumlah banyak. Mengingat masa inkubasi yang cukup lama, maka semua orang
yang kontak dengan penderita juga perlu diobati meskipun tidak didapatkan gejala, juga
karena kemungkinan penetrasi obat yang terganggu seperti pada lesi penderita kusta atau
pada penderita dengan infeksi sekunder, sehingga pada penderita terakhir ini perlu diberikan
antibiotik. Selain itu pakaian, seprei, selimut, sarung/bantal dan guling harus dicuci dengan
air panas. Kasur, bantal dan guling perlu dijemur; juga ventilasi kamar perlu diperbaiki. Pada
Iingkungan rumah yang padat biasanya rumah tidak mempunyai jendela, atau kalau ada
jarang dibuka, sehingga sinar matahari tidak dapat masuk.

Pengobatan
Beberapa macam obat dipakai dalam pengobatan skabies yaitu:
Universitas Gadjah Mada

11

1. Gamma benzen hexaklorida (Gameksan).


Insektisida ini merupakan obat pilihan untuk scabies karena dapat membunuh
tungau dan telurnya. Cara pemakaiannya adalah dengan mengoleskan salep atau
losio dalam konsentrasi 1% pada seluruh badan, dari leher ke bawah lalu dibersihkan
setelah 12 jam. Pemakaian cukup sekali, dan dapat diulang seminggu kemudian
untuk membasmi larva yang baru menetas dan telur yang tersisa. Gameksan
diabsorbsi melalui kulit sehingga pemakaian berulang-ulang dapat meningkatkan
kadar obat dalam darah, dan akan bersifat toksik terhadap susunan saraf pusat.
Karena absorbsi perkutan lebih banyak pada bayi dan anak, maka obat ini sering
tidak dianjurkan oleh dokter pada penderita skabies anak, juga ibu hamil dan
menyusui, namun ada yang menyatakan tidak berbahaya jika penggunaan hanya
selama 6 jam saja.
2. Krotamiton.
Krotamiton konsentrasi 10% dalam bentuk krim atau losio, juga merupakan
skabisida yang cukup efektif, Cara pemakaian adalah dengan mengoleskan bahan
tersebut di seluruh badan mulai dari leher, dan dilakukan pengulangan setelah 24
jam. Dilaporkan bahwa aplikasi selama 5 hari berturut-turut memberikan hasil yang
memuaskan. Efek sampingnya adalah iritasi kulit dan pada pemakaian lama dapat
menyebabkan sensitisasi.

3. Sulfur.
Sulfur konsentrasi 5%-10% dalam vaselin dapat dipakai sebagai skabisida. Obat
ini hanya membunuh larva dan tungau tetapi tidak membunuh telur, sehingga
pemakaian harus dilakukan selama 3 hari berturut-turut. Untuk anak-anak dosis
sulfur adalah setengah dosis orang dewasa. Bentuk aktif sulfur adalah H2S dan asam
pentationik yang mempunyai sifat keratinolitik. Obat ini murah harganya dan cukup
efektif hasilnya, namun karena baunya kurang enak, lengket dan dapat mewarnai
pakaian sehingga kurang disuka.
4. Benzil benzoat.
Obat ini dipakai dalam bentuk emulsi atau losio dengan konsentrasi 20-35%.
Obat ini cukup efektif namun sering menyebabkan iritasi dan menambah rasa gatal.

5. Kotikosteroid dan preparat ter.


Pada nodus persisten dapat dipakai preparat ter dan kortikosteroid intralesi.

Universitas Gadjah Mada

12

6. Perinethrin.
Diberikan berupa krim, mempunyai efektifitas sama dengan gameksan, namun
Iebih aman.

PENUTUP
Diketahui bahwa sampai saat ini insidens skabies masih tetap tinggi dan diagnosis
yang pasti hanya dengan menemukan tungau parasit masih tetap sukar dilakukan. Oleh
karena itu kewaspadaan terhadap penyakit ini perlu ditingkatkan.
Pengobatan skabies sebenarnya mudah dan efektif, namun demikian dapat dijumpai
kegagalan dalam pengobatan, hal ini disebabkan karena kesalahan diagnosa selain itu juga
pengobatan yang tidak tuntas antara penderita dan orang-orang sekitar yang kontak dengan
penderita atau sumber infeksi. Cara terbaik untuk menghindari penyakit ini adalah menjaga
kebersihan diri dan lingkungan.

TES FORMATIF
Petunjuk: Pilihlah

A. bila pernyataan 1,2, dan 3 benar


B. bila pernyataan 1 dan 3 benar
C. bila pernyataan 2 dan 4 benar
D. Bila hanya pemyataan 4 yang benar
E. Bila semua pernyataan benar

1. Berat ringannya erupsi kulit pada penderita scabies tergantung dari:


1. derajat sensitisasi
2. lama infeksi
3. riwayat pengobatan
4. hygiene perorangan

2. Penularan scabies dapat terjadi melalui:


1. tidur bersama
2. udara
3. hubungan seksual
4. air

3. Pemeriksaan laboratorium yang ditujukan untuk menemukan terowongan adalah:


1. kerokan kulit
Universitas Gadjah Mada

13

2. swab kulit
3. biopsy
4. burrow ink test

Petunjuk II. Uraikan jawaban secara benar dan ringkas, bila perlu dengan bagan.
1. Jelaskan perbedaan gejala scabies path anak-anak dan orang dewasa.
2. Jelaskan tentang daur hidup Sarcoptes scabiei.

UMPAN BALIK
Untuk menilai hasil kerja mahasiswa pada soal tes formatif tersebut, beberapa hal
yang menjadi pedoman meliputi:
1. mahasiswa harus mampu menjawab soal tersebut karena berhubungan dengan patologi
penyakit skabies, penularan dan cara pemeriksaan / diagnosis pasti.
2. mahasiswa harus mampu menjelaskan tentang gejala skabies pada anak dan dewasa
serta menyebutkan perbedaannya; menjelaskan tentang daur hidup / siklus hidup tungau
S. scabiei dan lama waktu pada masing-masing stadium.
3. Hal-hal yang menjadi pokok dalam evaluasi ini adalah tingkat penguasaan mahasiswa
akan materi yang diberikan dengan menjawab secara sistematis dan rinci.

KUNCI JAWABAN TES FORMATIF


Tipe soal l:

1.E

2.B

3.D

Tipe soal II:


1. Gejala skabies pada umumnya adalah gatal pada malam hari, hal ini diderita baik
oleh anak-anak maupun orang dewasa. Tungau akan membuat terowongan pada
kulit yang tipis, pada orang dewasa akan muncul gejala ini di daerah tangan, dan kaki
serta sela jari; pergelangan tangan dan kaki, aksila, penis, punggung bagian atas,
leher, muka, kulit kepala yang berambut. Sedangkan pada anak gejala tersebut dapat
muncul pada seluruh tubuh. Namun pada penderita anak-anak, terowongan jarang
ditemukan.
2. Daur hidup S. scabiei secara umum adalah:

tungau mengalami metamorfosis tidak sempurna

perkembangan mulai telur larva nimfa dewasa

lama waktu perkembangan dari telur menetas menjadi larva adalah 3-5 hari; dan
larva menjadi nimfa adalah 3-4 hari, dan dari nimfa menjadi dewasa dengan alat
Universitas Gadjah Mada

14

kelamin yang lengkap adalah 3-5 hari. Sehingga waktu yang diperlukan untuk
perkembangan dari telur - dewasa adalah 16-17 hari.

Nimfa betina mengalami 2 x fase perkembangan, sedangkan nimfa jantan hanya


1 x perkembangan. Tungau betina sewasa akan menghasilkan telur 2-3 butir per
hari, dan selama hidupnya (sekitar 30 hari) mampu menghasilkan 30-40 butir
telur.

DAFTAR REFERENSI
Anonim, 1988. Scabies in Health-Care Facilities- Iowa. From the MMWR. Arch. Denmatol.
Vol. 124. p: 837
Belding DL., 1965. Text Book of Parasitology. 3rd ed. Appleton Century Crofts. New York.

Buxton PK., 1988. ABC Dermatology: Insect Bites and Infestation. British Medical
Journal, vol 296. p: 489491

Cable RM. 1977. An Illustrated Laboratory of Parasitology. Fifth edition. Burges


Publication Co. Minnesota. Pp: 151-152; 209-219

Ho CM., 1991. Scabies. Lecture Note: Diploma in Applied Parasitology and Entomology,
Bahagian Acarology Institute for Medical Research, Malaysia. Pp: 4.
Krantz, G.W. 1978. A Manual of Acarology. 2nd ed. Oregon State University Book Store Inc.
Corvalis, pp: 48, 65, 66, 101, 102, 374, 395, 396, 443

Sanusi ID., Brown EB., Shepard TG., and Grafton WD., 1989. Tungiasis: report of one
case review of the 114 reported cases in the United States. Journal of the
American Academy of Dermatology. Vol 20 No. 5 part 2. p: 941 - 944

Simangunsong BR. 1996. Parasitologi. Universitas Terbuka. 6(30 hal)

Sungkar, S. 1995. Skabies. Cetakan Pertama. Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia,
Jakarta, 33 hal.
Reilly S., Cullen D., and Davies MG. 1985. An outbreak of Scabies in a Hospital and
Community. British Medical Journal. Vo. 291. p: 1031 - 1032
Universitas Gadjah Mada

15

SENARAI (GLOSSARY)
Anamnesis

= dugaan

Eksematisasi

= eksim

Ekskoriasi

= lecet

Keratinolitik

= melisiskan lapisan keratin

Predisposisi piodermal= dicurigai sebagai inisial awal penyakit kulit


Papul

= tonjolan / benjolan kecil, berisi nanah

Promiskuitas seksual = hubungan seksual


Pustul

= benjolan kecil

Limfadenopati

= pembengkakkan kelenjar limfa

Superficial

= lapisan paling atas

Vesikel

= tonjolan/benjolan kecil berisi cairan

Universitas Gadjah Mada

16

You might also like