You are on page 1of 1

Moral hazard dalam JKN-BPJS

Tonang Ardyanto JKN-BPJS

0
Salah satu handicap dan trap utama dari program asuransi sosial semacam BPJS
adalah moral hazard. Ini bisa dilakukan atau dialami oleh semua para pihak yang
terkait. Dari sisi pasien sebagai pengguna layanan, adanya asuransi sering disalah
artikan sebagai kebebasan karena toh sudah ditanggung. Akibatnya menyepelekan
sisi promotif dan preventif kesehatan. Dari sisi pemberi layanan, bisa timbul juga
perasaan otoritati mau perika apa saja, mau memberi obat apa saja, wong semua
ditanggung kok. Dari sisi BPJS sebagai pengelola, juga bisa terjadi moral hazard
dalam bentuk sekedar menekankan aspek bisnis sehingga pelayanan kesehatan hanya
dinilai sebagai transaksi matematis.
Bahkan, pemerintah sebagai regulator bagi ketiga pihak pun, tidak luput dari risiko
moral hazard bila regulasi yang dibuat maupun lupa dibuat membuat konstelasi
diantara ketiga pihak menjadi tidak fair. Satu contoh tentu saja soal penetapan subsidi
premi bagi kelompok PBI misalnya. Atau masih relatif banyaknya celah aturan yang
membuat BPJS terpaksa menyusun aturan sendiri sehingga sampai pada tingkat
mengatur pihak lain.
Untuk mengendalikan itu, konsep yang dianut bersama adalah Kendali Mutu dan
Kendali Biaya. Sebenarnya ini sudah muncul juga dalam UU Praktek Kedokteran no
29/2004. Dalam konsep ini, targetnya adalah memberikan pelayanan sesuai standar,
dengan biaya yang efisien. Untuk itulah, sebenarnya Kemkes sudah mengatur
standarnya melalui Permenkes 1438/2010 ttg Standar Pelayanan Kedokteran. Hanya
implementasi dari Permenkes ini belum sepenuhnya berjalan.
Akhirnya, apa hendak dikata, untuk mengendalikan risiko moral hazard tersebut,
digunakanlah instrumen paling kuno (menurut saya) yaitu uang. Penetapan INACBGs memaksa perubahan paradigma. Kalau semua biaya kesehatan ditetapkan
dengan perhitungan apapun yang penting sesuai indikasi, sekarang berubah menjadi
apapun yang penting tidak melebihi plafon INA-CBGs. Kondisi ini tentu saja tidak
sehat sebenarnya. Namun barangkali tanpa instrumen kuno itu, tidak mudah juga
memaksa perubahan paradigma menuju yang lebih tepat.
Jadilah kemudian, pelayanan kesehatan berisiko menjadi sub-standar. Pada awal-awal
Januari 2014, yang terjadi adalah kebingungan dan kepanikan karena instrumen INACBGs itu. Setiap hari ibaratnya, muncul masalah baru, dan secara reaktif pula muncul
regulasi baru yang kemudian berubah lagi karena masalah baru. Demikian berulang.
Sekarang, kepanikan dan kebingungan kembali terjadi tapi bergeser ke kekhawatiran
risiko melakukan fraud (up-coding, un-bundling, dsb).
Terhadap itulah, saya pernah menulis di Suara Pembaruan, bahwa pengendalian yang
lebih tepat adalah menggunakan instrumen Standar Pelayanan. Seharusnyalah standar
itu yang menjadi ukuran, bukan biayanya.

You might also like