Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama pada kelompok umur
produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Tidak hanya berakibat pada
tingginya angka kematian pada korban kecelakaan. Justru, yang harus menjadi perhatian adalah
banyaknya kasus kecacatan dari korban kecelakaan. Khususnya, korban kecelakaan yang
menderita cedera kepala.
Menurut dr Andre Kusuma SpBS dari SMF Bedah Saraf RSD dr Soebandi Jember, cedera
kepala adalah proses patologis pada jaringan otak yang bersifat non- degenerative, noncongenital, dilihat dari keselamatan mekanis dari luar, yang mungkin menyebabkan gangguan
fungsi kognitif, fisik, dan psikososial yang sifatnya menetap maupun sementara dan disertai
hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran.
Dari definisi itu saja, kita sudah tahu bahwa cedera kepala sangat berbahaya dan
membutuhkan penanganan segera demi keselamatan penderita. Sayangnya, kendati kasus terus
meningkat, namun masih banyak pihak yang belum sadar pentingnya kecepatan menolong
penderita.
Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit,
penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan
prognosis selanjutnya ( Mansjoer, 2000 ).
DEFINISI
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau
otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi,
2001).
Cedera kepala adalah trauma yang mengenai kulit kepala, tengkorak, dan otak yang disebabkan
oleh trauma tumpul atau trauma tembus ( Mansjoer, 2000; Brunner & Soddarth, 2002 )
Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius di antara penyakit neurologik,
dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil dari kecelakaan jalan raya ( Brunner & Suddarth,
2002 ).
Cedera kepala merupakan adaya pukulan/benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa
kehilangan kesadaran. Traumatik yang terjadi pada otak yang mampu menghasilkan perubahan
pada phisik, intelektual, emosional, sosial, dan vocational (Susan Martin, 1999)
Trauma atau cedera kepala (brain injury) adalah salah satu bentuk trauma yang dapat mengubah
kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan fisik, intelektual, emosional, sosial dan
pekerjaan atau dapat dikatakan sebagai bagian dari gangguan traumatik yang dapat menimbulkan
perubahan perubahan fungsi otak (black, 2005)
Menurut konsensus perdosi (2006), cedera kepala yang sinonimnya adalah trauma kapitis = head
injury = trauma kranioserebral = traumatic brain injury merupakan trauma mekanik terhadap
kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik bersifat temporer maupun
permanen
ETIOLOGI
a. Trauma oleh benda tajam
Menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi
Contusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa
lesi, pergeseran otak atau hernia.
b. Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi)
Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk : cedera akson, kerusakan otak
hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena
cedera menyebar pada hemisfer cerebral, batang otak atau kedua-duanya.
Etiologi lainnya:
a.
Klasifikasi
a. Menurut Jenis Cedera
Cedera Kepala terbuka
Muntah
Kejang
c.
Menurut morfologi
Fraktur tengkorak
-
d. Menurut patofisiologi
Memar otak
Laserasi
Hipotensi sistemik
Hipoksia
Hiperkapnea
Udema otak
Komplikasi pernapasan
menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan
sehari-hari lainnya.
c.
a. Fraktur Tengkorak
Fraktur Linear :
Fraktur Basiler:
temporak
Fraktur ini cukup serius karena menimbulkan kontak antara CSS dan dunia luar melalui
ruang subarachnoid dan sinus yang mengandung udara dari wajah atau tengkorak,
memungkinkan bakteri masuk & mengisi drainase sinus. Fraktur ini bisa melukai arteri dan vena
yang kemudian mengalirkan drahnya ke dalam rongga di sekeliling jaringan otak. Patah tulang di
dasar tengkorak bisa merobek meningens (selaput otak). Cairan serebrospinal (cairan yang
beredar diantara otak dan meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga.
Bakteri kadang memasuki tulang tengkorak melalui patah tulang tersebut, dan
menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak. Sebagian besar patah tulang tengkorak
tidak memerlukan pembedahan, kecuali jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya
bergeser.
d. Hematom Epidural
Adalah suatu akumulasi darah pada ruang antara tulang tengkorak bagian dalam dan
lapangan meningens paling luar (dura), terjadi karena robekan cabang kecil arteri meningeal
tengah atau frontal. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah merobek arteri. Darah di
dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar.
Tanda dan gejala berupa sakit kepala hebat yang bias segera timbul tetapi bias juga
muncul beberapa jam setelah cedera dengan intensitas nyeri tidak tetap, penurunan kesadaran
ringan, diikuti periode lucid, kemudian penurunan neurologi dari kacau mental sampai coma,
bentuk dekortikasi & deserebrasi, pupil isokor sampai anisokor. Diagnosis dini sangat penting
dan biasanya tergantung kepada CT scan darurat. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin
dengan membuat lubang di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga
dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.
e.
Hematoma Subdural
Adalah akumulasi darah dibawah lapangan meningeal duramater diatas lapangan
arakhnoid yang menutupi otak. Penyebabnya robekan permukaan dan lebih sering pada lansia
dan alkoholik gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang disfasia. Hematoma subdural
berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak. Perdarahan bisa terjadi segera setelah
terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang
lebih ringan. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena
tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa
seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejalagejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
-
linglung
perubahan ingatan
Hematoma subdural dapat terjadi akut, sub akut, atau kronik, bergantung pada ukuran
pembuluh yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada.
1. Hematoma subdural akut
Dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi kontusio atau laserasi. Hematoma
subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting dan serius dalam 24 48 jam setelah
cedera. Cedera ini sering berkaitan dengan cedera deselerasi akibat kecelakaan kendaraan
bermotor. Biasanya pasien dalam keadaan koma dan tanda klinis sama dengan hematoma
epidural. Tekanan darah meningkat, frekuensi nadi lambat dan pernapasan cepat.
2. Hematoma subdural sub akut
Menyebabkan deficit neurologik bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam setelah cedera.
Hematoma ini disebabkan oleh perdarahan vena ke dalam ruang subdural. Riwayat klinis khas
dari penderita hematoma subdural subakut adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan
ketidaksadaran, yang diikuti penurunan kesadaran, dan perbaikan status neurologik secara
bertahap. Namun setelah jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan penurunan status
neurologik. Tingkat kesadaran menurun bertahap, pasien tidak berespon, peningkatan TIK, lalu
terjadi herniasi unkus atau sentral. Angka kematian tinggi pada pasien hematoma subdural akut
dan sub akut, karena sering dihubungkan dengan kerusakan otak.
3. Hematoma subdural kronik
Terjadi karena cedera kepala minor, terjadi paling sering pada lansia akibat atrofi otak karena
proses penuaan. Tampaknya cedera kepala minor dapat mengakibatkan dampak yang cukup
untuk menggeser isi otak secara abnormal dengan sekuela negative. Waktu di antara cedera dan
awitan gejala mungkin lama, sehingga akibat actual mungkin terlupakan. Gejala dapat tampak
beberapa minggu setelah cedera minor. Hematoma subdural kronik menyerupai kondisi lain dan
mungkin dianggap sebagai stroke.
Tindakan terhadap hematoma subdural kronik ini daapt dilakukan melalui lubang burr ganda,
atau kraniotomi dapat dilakukan untuk lesi massa subdural yang cukup besar yagn tidak dapat
dilakukan melalui lubang burr.
a. Hematoma Intrakranial
Adalah pengumpalan darah lebih dari 25 ml dalam parenkim otak, penyebabnya adalah
fraktur depresi tulang tengkorak, cedera penetrasi peluru dan gerakan aselerasi-deserasi tiba-tiba
tindakan bersifat kontroversial bedah atau medis, serta bias juga terjadi karena cedera atau
stroke.
Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar
(hematoma subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tulang tengkorak
(hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT scan atau
MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejal adalam beberapa
menit. Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia lanjut dan
membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam atau hari.
Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan pada
akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak
bagian atas atau batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi
penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh, gangguan
pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan
hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.
b. Konkusio
Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah terjadinya
cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata. Konkusio menyebabkan
kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan struktural yang nyata. Hal ini bahkan
bisa terjadi setelah cedera kepala yang ringan, tergantung kepada goncangan yang menimpa otak
di dalam tulang tengkorak.
Konkusio bisa menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk yang
abnormal; sebagian besar penderita mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau hari.
Beberapa penderita merasakan pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi,
emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan. Gejala-gejala ini bisa berlangsung selama
beberapa hari sampai beberapa minggu, jarang lebih dari beberapa minggu. Penderita bisa
mengalami kesulitan dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi. Keadaan ini disebut sindroma
pasca konkusio.
Sindroma pasca konkusio masih merupakan suatu teka-teki; tidak diketahui mengapa
sindroma ini biasanya terjadi setelah suatu cedera kepala yang ringan. Para ahli belum sepakat,
apakah penyebabkan adalah cedera mikroskopi atau faktor psikis. Pemberian obat-obatan dan
terapi psikis bisa membantu beberapa penderita sindroma ini. Yang lebih perlu dikhawatirkan
selain sindroma pasca konkusio adalah gejala-gejala yang lebih serius yang bisa timbul dalam
beberapa jam atau kadang beberapa hari setelah terjadinya cedera. Jika sakit kepala, kebingungan
dan rasa mengantuk bertambah parah, sebainya segera mencari pertolongan medis.
Biasanya, jika terbukti tidak terdapat kerusakan yang lebih berat, maka tidak diperlukan
pengobatan. Setiap orang yang mengalami cedera kepala diberitahu mengenai pertanda
memburuknya fungsi otak. Selama gejalanya tidak semakin parah, biasanya untuk meredakan
nyeri diberikan asetaminofen. Jika cederanya tidak parah, aspirin bisa digunakan setelah 3-4 hari
pertama.
PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal otak mempunyai kemampuan melakukan autoregulasi aliran
darah serebral dan menjamin aliran daerah konstan melalui pembuluh darah serebral. Faktorfaktor ini dapat mengubah kemampuan pembuluh serebral untuk berkontraksi dan berdilatasi
serta mengganggu autoregulasi diantaranya trauma otak, iskemia dan hipoxia, pada klien dengan
kerusakan autoregulasi. Aktivitas yang dapat menyebabkan peningkatan aliran darah serebral
juga dapat meningkatkan TIK. Tekanan Intra Kranial (TIK) merupakan tekanan yang dikeluarkan
oleh kombinas dari 3 komplemen intrakranial yaitu jaringan otak, CSS dan darah.
Hipotesa monro kellie mengatakan volume intrakranial sama dengan volume otak
ditambah volume darah serebral dan CSS, dimana tiap perubahan volume dari tiap-tiap
komponan karena gangguan kranial dapat menyebabkan peningkatan TIK.
Peningkatan TIK mengarah pada timbulnya iskemia, kekakuan otak dan kemungkinan
herniasi. Peningkatan TIK berkembang pada hampir semua klien dengan lesi intra kranial setelah
mengalmi cedera kepala. Pada semua klien dengan cedera kepala bera, peningkatan TIK yang
tidak terkontrol dapat menyebabkan kematian.
Defisit Nerurologik pada cedera kepala dimulai dengan adanya trauma pada otak yang
dapat menyebkan fragmentasi jaringan dna contusio, merusakn sawar otak, diserbtai vasodilatasi
dan eksudasi jaringan sehingga timbul edema yang dapat menyebabkan peningkatan TIK.
Keadaan ini dapat menurunkan aliran daerah serebral, iskemia, hipoksia, asidosis dan kerusakan
sawar darah otak lebih lanjut dan terjadi kematian sel-sel otak dan edema bertambah positif.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada
kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat
metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr.
Jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypicalmyocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi
ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel,
takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan
tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi . Pengaruh persarafan
simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
WOC (Terlampir)
MANIFESTASI KLINIS
Adapun manifestasi klinis dari cedera kepala adalah sebagai berikut :
1. Gangguan kesadaran
2. Konfusi
3. Abnormalitas pupil
4. Piwitan tiba-tiba defisit neurologis
5. Perubahan TTV
6. Gangguan pergerakan
7. Gangguan penglihatan dan pendengaran
8. Disfungsi sensori
9. Kejang otot
10. Sakit kepala
11. Vertigo
12. Kejang
13. Pucat
14. Mual dan muntah
15. Pusing kepala
16. Terdapat hematoma
17. Kecemasan
18. Sukar untuk dibangunkan
19. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan
telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
Akibat Dari Trauma Otak Ini Tergantung Pada:
1.
Kekuatan benturan
Makin besar benturan makin parah kerusakan
2.
Akselerasi / Deselerasi
Akselerasi = Benda yang bergerak mengenai kepala yang diam
Desekrasi = Kepala membentur benda diam
Keduanya bisa bersamaan terjadi bila gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung.
3.
4.
Lokasi Benturan
Bagi otak yang tersebar kemungkinan cedera kepala terberat adalah bagian lotus anterior
(Frontalis & temporalis) Lobus posterior (oksipitalis dan atas mesenfalon).
5.
Rotasi
Pengubahan posisi rotasi kepala menyebabkan trauma regangan & robekan pada substansia alba
dan batang otak.
6.
Fraktur Impresi
Disebabkan oleh suatu kekuatan yang mendorong fragmen tulang turun menekan otak yang lebih
dalam. Akibat fraktur ini kemungkinan CSS akan mengalir ke hidung, telinga kemudian
masuknya kuman dan terkontaminasi dengan CSS dapat menimbulkan infeksi dan kejang.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.
CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan
ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia
jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
2. MRI :Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography :Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak
sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
4. Serial EEG :Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5.
X-Ray
:Mendeteksi
perubahan
struktur
tulang
(fraktur),
perubahan
struktur
ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intracranial.
10. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrkranial.
11. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran.
PENATALAKSANAAN
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.
Pedoman Resusitasi Dan Penilaian Awal
1.
Menilai jalan napas: bersihkan jalan napas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu,
pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal, pasang
guedel bila dapat ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu jalan napas, maka pasien harus
diintubasi.
2.
Menilai pernapasan: tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika tidak, beri
oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki dan atasi cedera dada
berat seperti pneumotoraks, pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi,
jika tersedia, dengan tujuan menjaga saturasi oksigen minimum 95 %. Jika jalan napas pasien
tidak terlindung bahkan terancam, maka pasien harus segera diintubasi serta diventilasi oleh ahli
anestersi.
3.
Menilai sirkulasi: otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan
dengan menekan arterinya. Perhatikan adanya cedera intraabdomen atau dada. Ukur dan catat
frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia.pasang
jalur intravena yang bessar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum,
elektrolit, glukosa, dan AGD arteri. Berikan larutan koloid.
4. Obati kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati.
5. Menilai tingkat/ klasifikasi keparahan cedera
Pedoman Penatalaksanaan
1. Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/ atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal
(proyeksi antero-posterior, lateral, dan odontoid).
2. pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut:
pasang jalur IV dengan larutan salin normal (NaCl 0.9 %) atau larutan Ringer Laktat: cairan
isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan larutan ini
tidak menambah edema serebri.
Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah:
glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining
toksikologi dan kadar alcohol bila perlu
3. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto roentgen kepal tidak perlu jika CT Scan dilakukan,
karena CT Scan ini lebih sensitive untuk mendeteksi fraktur. Pasien denga cedera kepala ringan,
sedang, atau berat harus dievaluasi adanya:
Hematoma epidural
Darah dalam subarakhnoid dan interventrikel
Kontusio dan perdarahan jaringan otak
Edema serebri
Obliterasi sisterna perimesenfalik
Pergeseran garis tengah
Fraktur kranium, cairan dalam sinus, dan pneumosefalus
4. Pada pasien yang koma (Skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan
tindakan berikut ini:
Elevasi kepala 30
Hiperventilasi: intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermitten
Pasang kateter Foley
Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang besar, hematoma
subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi >1 diploe)
Penatalaksanaan Khusus
1. Cedera kepala ringan
Pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan
pemeriksaan CT Scan bila memenuhi criteria berikut:
Hasil pemeriksaan neurologist dalam batas normal
Foto servikal jelas normal
Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan
instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan
2. Cedera kepala sedang
Pasien yang sedang menderita konkusi otak, dengan GCS 15 dan CT Scan normal, tidak perlu
dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala,
mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko timbulnya lesi intracranial lanjut yang bermakna
pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
3. Cedera kepala berat
Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada pasien ini apakah
terdapat indikasi interval bedah saraf segera. Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke
bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan
di unit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk mengatasi kerusakan
primer akibat cedera, tetapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak sekunder akibat
hipoksia, hipotensi, atau peningkatan TIK. Kejang umum yang terjadi setelah cedera kepala
dapat menyebabkan kerusakan otak sekunder karena hipoksia, sehingga terapi anti konvulsan
dapat dimulai.
Tindakan terhadap penalaksanaan peningkatan TIK
1. Mempertahankan oksigenasi adekuat.
2. Pemberian manitol untuk menurunkan edema serebral.
3. Hiperventilasi
4. Penggunaan steroid
5. Meninggikan kepala tempat tidur
6. Kemungkinan intervensi bedah neuro untuk evakuasi bekuan darah.
Tindakan pendukung lain
1. Ventilasi
2. Pencegahan kejang dengan antikonvulson
3. Pemeliharaan cairan dan elektrolit
4. Keseimbangan nutrisi
5. Mempertahankan jalan nafas.
Rencana Pemulangan
1. Jelaskan tentang kondisi anak yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
2.
Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran, perubahan
gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan bicara.
3. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi dari pemberian obat.
4.
Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah,
mempertahankan jalan nafas selama kejang.
5.
Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari di rumah,
kebutuhan kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas bermain, dan latihan ROM bila anak
mengalami gangguan mobilitas fisik.
KOMPLIKASI
1. Epilepsi Pasca Trauma
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu
setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang bisa saja baru terjadi beberapa
tahun kemudian setelah terjadinya cedera. Kejang terjadi pada sekitar 10% penderita yang
mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya luka tembus di kepala dan pada sekitar 40%
penderita yang memiliki luka tembus di kepala.
Obat-obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau valproat) biasanya dapat
mengatasi kejang pasca trauma. Obat-obat tersebut sering diberikan kepada seseorang yang
mengalami cedera kepala yang serius, untuk mencegah terjadinya kejang. Pengobatan ini
seringkali berlanjut selama beberapa tahun atau sampai waktu yang tak terhingga.
2. Afasia
Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena terjadinya
cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami atau mengekspresikan katakata. Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah kiri dan
bagian lobus frontalis di sebelahnya. Kerusakan pada bagian manapun dari area tersebut karena
stroke, tumor, cedera kepala atau infeksi, akan mempengaruhi beberapa aspek dari fungsi bahasa.
3. Apraksia
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan ingatan atau
serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh kerusakan pada
lobus parietalis atau lobus frontalis. Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang mendasarinya,
yang telah menyebabkan kelainan fungsi otak.
4. Agnosis
Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan merasakan
sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran atau fungsi normal dari benda
tersebut. Penderita tidak dapat mengenali wajah-wajah yang dulu dikenalnya dengan baik atau
benda-benda umum (misalnya sendok atau pensil), meskipun mereka dapat melihat dan
menggambarkan benda-benda tersebut. Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus parietalis
dan temporalis, dimana ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya disimpan. Agnosia
seringkali terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala atau stroke. Tidak ada pengobatan
khusus, beberapa penderita mengalami perbaikan secara spontan.
5. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat peristiwa
yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu. Penyebabnya masih belum dapat
sepenuhnya dimengerti. Cedera pada otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan akan peristiwa
yang terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi retrograd) atau peristiwa yang terjadi
segera setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca trauma). Amnesia hanya berlangsung
selama beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung kepada beratnya cedera) dan akan
menghilang dengan sendirinya. Pada cedera otak yang hebat, amnesi bisa bersifat menetap.
Mekanisme otak untuk menerima informasi dan mengingatnya kembali dari memori
terutama terletak di dalam lobus oksipitalis, lobus parietalis dan lobus temporalis. Amnesia
menyeluruh sekejap merupakan serangan lupa akan waktu, tempat dan orang, yang terjadi secara
mendadak dan berat. Serangan bisa hanya terjadi satu kali seumur hidup, atau bisa juga berulang.
Alkoholik dan penderita kekurangan gizi lainnya bisa mengalami amnesia yang disebut
sindroma
Wernicke-Korsakoff.
Sindroma ini terdiri dari kebingungan akut (sejenis ensefalopati) dan amnesia yang berlangsung
lama.
Amnesia Korsakoff terjadi bersamaan dengan ensefalopati Wernicke. Amnesia Korsakoff
juga bisa terjadi setelah cedera kepala yang hebat, cardiac arrest atau ensefalitis akut.
6. Fistel Karotis-kavernosus
Ditandai oleh trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan bruit orbita, dapat timbul segera
atau beberapa hari setelah cedera.
Angiografi perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis dan terapi dengan oklusi balon
endovaskuler untuk mencegah hilangnya penglihatan yang permanent.
7. Diabetes Insipidus
Disebabkan oleh kerusakan traumtik pada tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian
sekresi hormone antidiuretik. Pasien mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer,
menimbulkan hipernatremia dan deplesi volum.
8. Kejang pasca trauma
Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut (setelah
satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini
menunjukkan risiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan
dengan antikonvulsan.
9. Kebocoran cairan serebrospinal
Dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan cedera
kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah beberapa hari pada
85 % pasien. Drainase lumbal dapat mempercepat proses ini. Walaupun pasien ini memiliki
risiko meningitis yang meningkat, pemberian antibiotic profilaksis masih controversial. Otorea
atau rinorea cairan serebrospinal yang menetap atau meningitis berulang merupakan indikasi
untuk reparative.
10. Edema serebral dan herniasi
Penyebab paling umum dari peningkatan TIK, Puncak edema terjadi 72 Jam setelah
cedera. Perubahan TD, Frekuensi nadi, pernafasan tidak teratur merupakan gejala klinis adanya
peningkatan TIK. Penekanan dikranium dikompensasi oleh tertekannya venosus & cairan otak
bergeser. Peningkatan tekanan terus menerus menyebabkan aliran darah otak menurun dan
perfusi tidak adekuat, terjadi vasodilatasi dan edema otak. Lama-lama terjadi pergeseran
supratentorial dan menimbulkan herniasi. Herniasi akan mendorong hemusfer otak kebawah /
lateral dan menekan di enchephalon dan batang otak, menekan pusat vasomotor, arteri otak
posterior, saraf oculomotor, jalur saraf corticospinal, serabut RES. Mekanisme kesadaran, TD,
nadi, respirasi dan pengatur akan gagal.
11. Defisit Neurologis dan Psikologis
Tanda awal penurunan fungsi neulorogis: Perubahan TK kesadaran, Nyeri kepala hebat,
Mual / muntah proyektil (tanda dari peningkatanTIK).
Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Primer
Airway
Kepatenan jalan napas, apakah ada sekret, hambatan jalan napas.
Breathing
Pola napas, frekuensi pernapasan, kedalaman pernapasan, irama pernapasan, tarikan dinding
dada, penggunaan otot bantu pernapasan, pernapasan cuping hidung.
Circulation
Frekuensi nadi, tekanan darah, adanya perdarahan, kapiler refill.
Disability
Tingkat kesadaran, GCS, adanya nyeri.
Tingkat Kesadaran
Kualitatif dengan :
CMC
Reaksi segera dengan orientasi sempurna, sadar akan sekeliling , orientasi baik terhadap orang
tempat dan waktu.
Apatis
Terlihat mengantuk saat terbangun klien terlihat acuh tidak acuh terhadap lingkungannya.
Confuse
Klien tampak bingung, respon psikologis agak lambat.
Samnolen
Dapat dibangunkan jika rangsangan nyeri cukup kuat, bila rangsangan hilang, klien tidur lagi.
Soporous Coma
Keadaan tidak sadar menyerupai koma, respon terhadap nyeri masih ada, biasanya inkontinensia
urine, belum ada gerakan motorik sempurna.
Koma
Keadaan tidak sadar, tidak berespon dengan rangsangan.
Kuantitas dengan GCS
1. Mata (eye)
-
2. Motorik (M)
-
3. Verbal (V)
-
Merintih
Exposure
Suhu, lokasi luka.
2. Pengkajian Sekunder
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Tanyakan kapan cedera terjadi. Bagaimana mekanismenya. Apa penyebab nyeri/cedera: Peluru
kecepatan tinggi? Objek yang membentuk kepala ? Jatuh ? Darimana arah dan kekuatan
pukulan?
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah klien pernah mengalami kecelakaan/cedera sebelumnya, atau kejang/ tidak. Apakah ada
penyakti sistemik seperti DM, penyakit jantung dan pernapasan. Apakah klien dilahirkan secara
forcep/ vakum. Apakah pernah mengalami gangguan sensorik atau gangguan neurologis
sebelumnya. Jika pernah kecelakaan bagimana penyembuhannya. Bagaimana asupan nutrisi.
c.
Riwayat Keluarga
Apakah ibu klien pernah mengalami preeklamsia/ eklamsia, penyakit sistemis seperti DM,
hipertensi, penyakti degeneratif lainnya.
d. Pengkajian Head To Toe
1. Pemeriksaan kulit dan rambut
Kaji nilai warna, turgor, tekstur dari kulit dan rambut pasien
2. Pemeriksaan kepala dan leher
Pemeriksaan mulai dari kepala, mata, hidung, telinga, mulut dan leher. Kaji kesimetrisan, edema,
lesi, maupun gangguan pada indera. Pada penderita stroke biasanya terjadi gangguan pada
penglihatan maupun pembicaraan
3. Pemeriksaan dada
Paru-paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Jantung
Inspeksi
Palpalsi
Perkusi
: batas-batas jantung
Batas normal jantung yaitu:
Kanan atas: SIC II RSB, kiri atas: SIC II LSB, kanan
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
5. Pemeriksaan ekstremitas
Kaji warna kulit, edema, kemampuan gerakan dan adanya alat bantu.
Analisa Data
Data
DO :
Etiologi
Trauma
Masalah
Perfusi jaringan
- Mual, muntah.
otak
- Pupil anisokor
vasodilatasi
- TD meningkat
pembuluh darah
- Suhu meningkat
eksudasi
- Akral dingin
edema serebral
peningkatan TIK
DS :
- keluarga mengatakan klien selalu gelisah
dan kadang terlihat seperti mengantuk
-
Keluarga
mengatakan
klien
selalu
efektif
tidak
DS :
Kerusakan
neuro Bersihan
nafas
Adanya sekresi
efektif
Defisit neurologist
Perubahan
jalan
tidak
n.olfaktorius
kompresi
otak
ke otak
kognitif,
pembatasan/kewaspadaan
otot
imobilisasi)
DS :
-Hilang keseimbangan
-Sulit menggenggam
-Lemah
DO :
Perubahan
kemampuan Resiko
(penurunan
tingkat perubahan
kelemahan nutrisi:
fraktur
otot
diperlukan dari
-Penurunan kesadaran
yang
menelan,
DS :
tinggi
kurang
kebutuhan
status
hipermetabolik
Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskular (cedera pusat pernapasan di
otak).
Resti perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan tingkat kesadaran, mual,
muntah.
NANDA
NOC
NIC
Bersihan jalan nafas tidak Status pernapasan: jalan Manajemen jalan napas
efektif
b.d
neurovaskular
(cedera
Aktivitas
Indikator:
Batasan karakteristik:
ditinggikan.
napas
Pengeluaran dahak
maksimal.
Mengidentifikasi pasien
Cyanosis
Kesulitan bersuara
Dyspnea
Kelebihan dahak
Orthopnea
Kurang istirahat
batuk.
Menginstruksikan bagaimana
batuk yang efektif.
Memeriksa bronchodilators
dengan tepat.
Memberikan perawatan
ultrasonic.
Terapi oksigen
neurovaskuler,
obstruksi trakeobronkial
Indikator:
Aktivitas:
Batasan karakteristik:
Napas dalam
Kedalaman inspirasi
kekebalan.
Kenyamanan bernapas
Bradipneu
Penggunaan otot
ada
Dispneu
Peningkatan diameter
anterior-posterior
Pernapasan pursed-lip
Takipneu
ada
Menyediakan peralatan
ada/hilang
memastikan ketidakcampuran
Memeriksa/mengontrol
kecemasan pasien yang
mempengaruhi terapi oksigen.
Memasukkan/memberikan alat
bantu nafas yang lain untuk
kenyamanan.
DAFTAR PUSTAKA
Barbara C. Long. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Bandung: IAPK Pajajaran
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 3. Jakarta:EGC
Closkey ,Joane C. Mc, Gloria M. Bulechek.(1996). Nursing Interventions Classification (NIC).
St. Louis :Mosby Year-Book.
Doengoes, ME. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Elizabeth J. Corwin. 1996. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Hudak & Gallo. 1994. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC
Johnson,Marion, dkk. (2000). Nursing Outcome Classifications (NOC). St. Louis :Mosby YearBook
Juall,Lynda,Carpenito Moyet. (2003).Buku Saku Diagnosis Keperawatan edisi 10.Jakarta:EGC