You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
GERD ( Gastroesofageal Reflux Disease) adalah suatu penyakit yang

jarang terdiagnosis oleh dokter di Indonesia karena bila belum menimbulkan


keluhan yang berat seperti refluks esofagitis dokter belum bisa mendiagnosa.
Refluks gastroesofagus adalah masuknya isi lambung ke dalam esophagus yang
terjadi secara intermiten pada orang, terutama setelah makan (Asroel, 2002).
GERD adalah penyakit organ esofagus yang banyak ditemukan di negara Barat,
Berbagai survey menunjukkan bahwa 20-40% populasi dewasa menderita heart
burn (rasa panas membakar di daerah retrosternal) yang merupakan suatu keluhan
klasik dari GERD.
Di Indonesia, penyakit ini tidak banyak ditemukan hanya sebagian kecil
pasien GERD datang berobat pada dokter karena pada umumnya keluhannya
ringan dan menghilang setelah diobati sendiri dengan antasida. Dengan demikian
hanya kasus yang berat dan disertai kelainan endoskopi dan berbagai macam
komplikasi yang dirasakan pasien yang datang berobat ke dokter (Djajapranata,
2001). Prevalensi terjadinya GERD bervariasi tergantung letak geografis, tetapi
angka tertinggi terjadi di Negara Barat. Trend prevalensi GERD di Asia
meningkat. Di Hongkong meningkat dari 29,8% (2002) menjadi 35% (2003).
Sedangkan berdasarkan data salah satu rumah sakit di Indonesia, RSCM
menunjukkan peningkatan signifikan dari 6% menjadi 26% dalam kurun waktu 5
tahun.
Asian Burning Desire Survey (2006) membuktikan bahwa pemahaman
tentang GERD pada populasi di Indonesia adalah yang terendah di Asia Pasifik,
hanya sekitar 1%, sedangkan di Taiwan mencapai 81% dan Hongkong 66%.
Antara laki-laki dan perempuan tidak terdapat perbedaan insidensi yang begitu
jelas, kecuali jika dihubungkan dengan kehamilan dan kemungkinan non-erosive
reflux disease lebih terlihat pada wanita. Walaupun perbedaan jenis kelamin
bukan menjadi faktor utama dalam perkembangan GERD, namun Barretts
esophagus lebih sering terjadi pada laki-laki.
Gastroesophageal reflux disease (GERD) spektrum gangguan yang terkait
meliputi hernia hiatus, reflux disease dengan gejala seperti nyeri, esofagus erosif,
striktur peptikum, Barrett esofagus, dan adenokarsinoma esofagus. Selain
beberapa patofisiologi dan hubungan antara beberapa gangguan ini, GERD juga
ditandai dengan terjadinya komorbiditas pada pasien yang identic dan oleh
epidemiologi perilaku yang serupa diantara mereka.

Dari uraian diatas, maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai kasus
seorang pasien yang mengalami GERD, bagaimana tanda-tanda dan gejala-gejala
yang menunjukkan penyakit GERD ini sehingga dapat diketahui dengan jelas
komplikasinya dan dapat dengan mudah untuk mendiagnosis GERD.
1.2.
Rumusan Masalah
Kasus
Ny. HM, usia 35 tahun, BB 69 kg, TB 150 cm, datang ke dokter dengan
keluhan sering merasakan cairan berasa asam yang berasal dari saluran cerna saat
bersendawa. Gejala sudah dirasakan sejak 1 minggu ini. Frekuensinya keluarnya
cairan asam tersebut cukup sering terjadi dan biasanya memburuk jika perutnya
penuh setelah makan. Selain itu Ny. HM juga merasakan terkadang nyeri ulu hati
disertai rasa panas disekitar dada. Ny HM sudah mengobatinya dengan
menggunakan Antasida 15 mL 4x sehari, namun tidak mengurangi gejala yang
dirasakannya. Ny HM menggunakan IUD sebagai alat kontrasepsi, tetapi sudah
satu bulan ini Ny. HM menggunakan pil KB sebagai pengganti IUD. Ny HM
sangat suka makanan bersantan dan pedas, dan terkadang minum kopi di pagi hari
sebelum berangkat ke kantor. Dari hasil pemeriksaan endoskopi, dokter
mendiagnosis Ny HM menderita gastroesofageal refluks (GERD) disertai adanya
peradangan pada esofagus dan memberikan resep berupa Antasida sirup, Sukralfat
sirup, Ranitidin tablet dan Omeprazol kapsul selama 1 minggu.
Dari uraian di atas maka didapatkan rumusan masalah sebagai berikut
1
2

Apa sajakah faktor pemicu terjadinya GERD pada Ny HM?


Pada pemeriksaan endoskopi didapatkan bahwa telah terjadi erosif esofagus
pada pasien. Bagaimana rekomendasi dosis obat

dan lama terapi yang

3
4

diresepkan untuk pasien Ny HM tersebut?


Bagaimana mekanisme kerja obat yang diberikan kepada Ny. HM?
pakah saran yang diberikan untuk Ny. HM sebagai pasien yang miliki

kesulitan untuk meminum sediaan kapsul terkait cara minum obat tersebut?
Apakah saran yang diberikan untuk Ny HM terkait modifikasi gaya hidup
supaya efektivitas pengobatan GERD meningkat?

1.3.

Tujuan
1. Mengetahui faktor pemicu terjadinya GERD pada Ny HM.
2. Mengetahui rekomendasi dosis obat dan lama terapi yang diresepkan untuk
pasien Ny HM.
3. Dapat menjelaskan mekanisme kerja obat yang diberikan kepada Ny. HM.
4. Dapat menyarankan terkait cara minum obat omeprazol.
5. Dapat menjelaskan modifikasi gaya hidup yang digunakan supaya efektivitas
pengobatan GERD meningkat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Refluks gastroesofageal sebenarnya merupakan proses fisiologis normal yang


banyak dialami orang sehat, terutama sesudah makan. PRGE atau Penyakit refluks
gastroesofageal (gastro-esophageal reflux disease/GERD) adalah kondisi patologis
dimana sejumlah isi lambung berbalik (refluks) ke esofagus melebihi jumlah normal,
dan menimbulkan berbagai keluhan. Keadaan ini disebabkan karena katup esophagus
bagian bawah /lower esophageal sphincter (LES) yang tidak menutup sempurna. Pada
keadaan normal LES menutup dengan bantuan diafragma, namun pada lansia
kekuatan diafragma mulai menurun sedangkan pada ibu hamil, pembesaran perut
akan mengakibatkan diafragma terdesak sehingga risiko terjadinya GERD pada lansia
dan ibu hamil lebih tinggi.
Berdasarkan gejala dan tanda yang ditimbulkan GERD dapat diklasifikasikan
menjadi GERD tipikal, atipikal dan komplikasi. GERD tipikal ditandai dengan
adanya aktivitas tertentu yang dapat meningkatkan refluks gastroesofagus, gejala
yang ditimbulkan bersifat khas untuk diagnosis GERD. GERD atipikal ditunjukkan
dengan gejala ekstraesofageal sehingga sulit untuk mendiagnosis GERD.
Refluks ini ternyata juga menimbulkan symptoms ekstraesofageal, disamping
penyulit

intraesofageal

seperti

striktur,

Barrett's

esophagus

atau

bahkan

adenokarsinoma esophagus. PRGE dan sindroma dispepsia mempunyai prevalensi


yang sama tinggi, dan seringkali muncul dengan simptom yang tumpang tindih
sehingga menyulitkan diagnosis. Dispepsia non ulkus, di masa lalu diklasifikasikan
menjadi 4 sub-grup yaitu dispepsia tipe ulkus, dispepsia tipe dismotilitas, dispepsia
tipe refluks dan dispepsia non spesifik. Namun kemudian ternyata dispepsia tipe
refluks dapat berlanjut menjadi penyakit organik yang berbahaya seperti karsinoma
esofagus. Karena itulah para ahli sepakat memisahkan dispepsia tipe refluks dari
dispepsia

dan

menjadikan

penyakit

tersendiri

bernama

penyakit

refluks

gastroesofageal. Prevalensi PRGE di Asia, termasuk Indonesia, relatif rendah


dibanding negara maju. Di Amerika, hampir 7% populasi mempunyai keluhan
heartburn, dan 20%-40% diantaranya diperkirakan menderita PRGE. Prevalensi
esofagitis di negara barat berkisar antara 10%-20%, sedangkan di Asia hanya 3%-5%,
terkecuali Jepang dan Taiwan (13-15%). Tidak ada predileksi gender pada PRGE,
laki-laki dan perempuan mempunyai risiko yang sama, namun insidens esofagitis
pada laki-laki lebih tinggi, begitu pula Barrett's esophagitis lebih banyak dijumpai
pada laki-laki (10:1). PRGE dapat terjadi di segala usia, namun prevalensinya
meningkat pada usia diatas 40 tahun.
Patofisiologi PRGE antara lain: (1) Abnormalitas LES. Abnormalitas atau
menurunnya kemampuan kontraksi LES disebabkan karena konsumsi makanan atau
obat tertentu. Makanan yang dapat menurunkan fungsi LES antara lain, makanan
berlemak, karminatif, cokelat, kopi, kola, bawang merah, bawah putih dan cabai
sedangkan obat-obatan yang berperan adalah calcium channel blocker, barbiturate,

estrogen, nitrat dan dopamine. (2) Hiatal hernia, yaitu kondisi dimana lambung
bagian atas menonjol di bagian dada. (3) Klirens esophagus, ditentukan oleh gerakan
peristaltic saat menelan, pada saat lambung terisi penuh sampai ke esophagus maka
LES akan terus menerus terbuka sampai makanan masuk seluruhnya ke dalam
lambung, lama-kelamaan hal ini akan menurunkan fungsi LES. (4) Pertahanan
mukosa. (5) Penundaan pengosongan lambung. (6) Salivary buffering. Saliva yang
disekresikan oleh kelenjar air liur dapat menetralkan pH intraesofagus.
Bentuk anatomik SEB yang melipat berbentuk sudut, dan kekuatan menutup
dari sfingter, menjadikan SEB berperan penting dalam mekanisme anti-refluks.
Peningkatan tekanan intraabdomen (misalnya saat batuk), proses gravitasi saat
berbaring, dan kelainan anatomis seperti sliding hernia hiatal mempermudah
terjadinya refluks. Bersihan asam dari lumen esofagus adalah kemampuan esophagus
untuk membersihkan dirinya dari bahan refluksat. Kemampuan esophagus ini berasal
dari peristaltik esofagus primer, peristaltik esofagus sekunder (saat menelan), dan
produksi saliva yang optimal. Ketahanan epitel esofagus berasal dari lapisan mukus
di permukaan mukosa, produksi mukus, dan mikrosirkulasi aliran darah di post epitel.
Sementara yang menjadi faktor ofensif adalah peningkatan asam lambung, dilatasi
lambung, beberapa kondisi patologis yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan
pengosongan lambung seperti obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.
Simptom khas PRGE adalah heartburn, yaitu rasa terbakar di dada disertai nyeri dan
regurgitasi (rasa asam pahit dari lambung terasa di lidah). Salah satu dari keduanya
cukup untuk mendiagnosis PRGE secara klinis. Selain kedua gejala tersebut, PRGE
dapat menimbulkan keluhan nyeri atau rasa tidak enak di epigastrium atau
retrosternal bawah, disfagia (kesulitan menelan makanan), odinofagia (rasa sakit
waktu menelan), mual dan rasa pahit di lidah. Keluhan ekstraesofageal yang juga
dapat ditimbulkan oleh PRGE adalah nyeri dada non kardiak, suara serak, laringitis,
erosi gigi, batuk kronis, bronkiektasis, dan asma.
Terapi farmakologi yang digunakan untuk pasien GERD adalah:
a. Antasida
b. Antagonis reseptor H2. Contohnya: ranitidine, simetidin dan famotidin.
c. PPI (Proton Pump Inhibitor). PPI memiliki aktifitas lebih baik dalam menurunkan
asam lambung dan memperbaiki mukosa daibandingkan H2 bloker. Contoh PPI
yang sering digunakan adalah omeprazol, lansoprazol, dan esomeprazol.
d. Prokinetik. Contohnya, metoklopramid dan betanekol.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1.

Faktor Pemicu Terjadinya GERD pada Ny HM


3.1.1. Makanan
Makanan yang berlemak dan pedas serta kopi.
Relaksasi transient LES terjadi kelainan fungsional yaitu penurunan
tekanan LES seperti yang terjadi setelah makan hidangan berlemak ataupun
pedas.
3.1.2. Obat
Penggunaan pil KB sebagai pengganti IUD
Pil KB dapat memperparah keadaan GERD karena mempengaruhi salah
satu patofisiologi GERD yaitu abnormal LES (low esophageal Sphinter).
Normalnya LES harus berada dalam kondisi mengkerut dan kontraksi untuk
mencegah refluks dari isi lambung. Tetapi karena adanya faktor hormonal
(Cholecystokinin, secretin), mengakibatkan turunnya tekanan LES, seperti pada
pil KB yang mengandung hormone progesteron/estrogen. Tekanan LES yang
nilainya lebih kecil dari 6 mmHg (LES Hipotonik) dapat meningkatkan refluks.
Walaupun, ada keadaan dimana refluks dapat terjadi pula pada tekanan LES
normal yang biasa disebut Inapproriate atau Transient Sphinter Relaxation
yaitu pengendoran katup (sphincter) yang terjadi di luar proses menelan.

3.2.

Rekomendasi Dosis Obat

dan Lama Terapi yang Diresepkan untuk

Pasien Ny HM
Rekomendasi obat yang diberikan untuk Ny. HM menurut kami kurang
tepat. Dilihat dari hasil pemeriksaan endoskopi, terdapat erosive esophagus pada
pasien, sehingga GERD yang dialami oleh Ny.HM merupakan erosive GERD.
Dimana tidak diperlukan lagi adanya antasida karena antasida hanya berfungsi
untuk gejala GERD ringan dan indikasinya yaitu untuk menetralkan asam
lambung. Bukan sebagai penyembuh tukak. Jadi sebaiknya pemberian antasida
dihentikan. Sedangkan Sukralfat berfungsi melindungi mukosa dengan cara
membentuk gel yang sangat lengket dan dapat melekat kuat pada dasar tukak
sehingga menutupi tukak. Tetapi karena adanya pembentukan benzoar yaitu erosi
mukosa lambung dan terjadi perlekatan pada dinding lambung yang ulserasi.
Penggunaan terapi obat yang disarankan untuk Ny.HM dapat dilihat pada
table 32-4 untuk pasien dengan erosi esophagus. Terapi yang direkomendasikan
antara lain life style modification dan PPI selama 4-16 minggu (2 x sehari). PPI
yang digunakan adalah esomeprazol 20-40 mg/hari, omeprazol 20 mg/hari,
lansoprazol 30 mg/hari, pantoprazol 40 mg/hari, dari keempat obat tersebut dapat
dipilih salah satunya. Atau life style modification dan H2 blocker selama 8 12
minggu. H2 blocker yang digunakan adalah simetidin 400 mg 4xsehari atau 800

mg 2x sehari, famotidin 40 mg 2x sehari, ranitidin 150 mg 4xsehari dari ketiga


obat tersebut dapat dipilih salah satu

Berikut adalah alur penetapan diagnosis dan penanganan pasien GERD

3.3.

Mekanisme Kerja Obat yang Diberikan kepada Ny. HM


3.3.1. Antasida (magnesium hidroksida dan Aluminium hidroksida)
Tujuan pemberian antasida adalah untuk menetralkan asam
lambung dengan cara meningkatkan pH lambung. Antasida merupakan
basa lemah yang akan bereaksi dengan asam hidroklorida lambung
membentuk garam dan air. Dengan bereaksinya HCl lambung dengan basa
antasida menyebabkan pH lambung meningkat (dari pH 1 atau 2
meningkat menjadi 4-5). pH lambung yang meningkat > 4 menyebabkan
aktivitas pepsin menjadi tidak aktif.
Mekanisme antasida lainnya adalah merangsang produksi PG
(prostaglandin) yang berperan dalam pembentukan lapisan mukosa
lambung, namun antasida hanya sedikit merangsang produksi PG.
Antasida secara langsung dapat meringankan gejala GERD ringan
dan sering digunakan bersama terapi penekan asam yang lain. Pasien
harus diedukasi bahwa antasida merupakan obat yang tepat untuk
mengobati GERD ringan. Antasida mempertahankan pH intragastrik di
atas 4, menurunkan aktivasi pepsinogen menjadi pepsin, yang merupakan
enzim proteolitik. Juga menetralkan cairan lambung yang mengarah pada
peningkatan kontraksi LES. Pasien yang sering memerlukan penggunakan
antasida untuk symptom kronik harus ditangani dengan terapi penekan
asam yang diresepkan karena penyakitnya dianggap lebih signifikan.
Kombinasi antasida memungkinkan terjadinya efek samping
gastrointestinal (diare atau konstipasi, tergantung produknya), perubahan
dalam metabolisme mineral, dan gangguan asam basa. Aluminium yang

terkandung dalam antasida akan berikatan dengan fosfat dalam usus dan
menyebabkan demineralisasi tulang. Selain itu, antasida berinteraksi
dengan berbagai obat dengan mengubah pH lambung, meningkatkan pH
urin, menyerab obat pada permukaannya, memberikan penghalang fisik
untuk proses absorbsi, atau pembentukan kompleks yang tidak larut
dengan obat lain. Antasida memiliki interaksi klinis dengan tetrasiklin,
ferri sulfat, isoniazid, quinidine, sulfonylurea dan antibiotic quinolone.
Interaksi antasida dipengaruhi oleh komposisi dosis dan waktu pemberian
antasida tersebut, serta bentuk formulasinya.
Secara umum antasida memiliki durasi aksi yang pendek, sehingga
mengharuskan pemberian antasida secara berulang. Dosis umum adalah 2
tablet atau 1 sedok makan empat kali sehari, setelah makan dan sebelum
tidur. Mengkonsumsi antasida setelah makan dapat meningkatkan durasi
aksi dari sekitar 1 jam menjadi sekitar 3 jam, namun penekanan asam
tidak dapat dipertahankan dengan dosis tidur.
Antasida dengan asam alginate (Gaviscon) bukan merupakan agen
penetral asam yang poten, tetapi membentuk larutan kental yang
menyelimuti pada permukaan lambung. Berfungsi sebagai pelindung
untuk mencegah erosi esophagus akibat reflux isi lambung dan mengurang
frekuensi refluks. Kombinasi obat ini bekerja lebih baik daripada antasida
yang digunakan secara tunggal, namun dari data endoskopi efektifitasnya
kurang.
3.3.2. Sukralfat (mucosal protectan)
Sukralfat akan melapisi permukaan lambung

dengan cara

membentuk gel yang sangat lengket agar lapisan mukosa lambung dapat
terlindungi dari pengaruh asam lambung. Sehingga apabila ada permukaan
lambung yang mengalami luka, dia akan memiliki waktu untuk
memperbaiki diri, karena sel-sel lambung (sel dibelakang lapisan mukosa)
merupakan kumpulan sel yang renewable. Selain itu sukralfat juga sedikit
menstimulasi

pembentukan

prostglandin

yang

berperan

dalam

pembentukan lapisan mukosa lambung.


Sukralfat, adalah garam aluminium yang tidak diabsorbsi dari
sukrosa oktasulfate, yang memiliki peran terbatas dalam pengobatan
GERD. Sukralfat memiliki kecepatan penyembuhan sama dengan
antagonis reseptor H2 untuk pasien dengan esofagitis ringan. Namun
sukralfat kurang efektif dibandingkan antagonis reseptor H2 dengan dosis
tinggi untuk pasien dengan esofagitis. Sukralfat tidak dapat secara rutin
direkomendasikan untuk digunakan dalam pengobatan apapun kecuali
kasus paling ringan dari GERD.
3.3.3. Ranitidin (H2 blocker)

Ranitidin merupakan antagonis reseptor H2, yang mana obat ini


akan berikatan dengan reseptor H2 sehingga menghalangi histamin untuk
berikatan dengan reseptor tersebut. Ranitidin dan histamin akan
mengalami kompetisi dalam penempatan pada sisi aktif reseptor H2.
Sehingga apabila posisi histamin digantikan oleh ranitidin maka release
HCl dari kompleks histamin-reseptor H2 dapat dikurangi dan secara
langsung jumlah HCl dalam lambung juga berkurang.
Terapi penekan asam adalah pengobatan GERD yang utama.
Antagonis reseptor H2 dalam dosis terbagi dapat efektif dalam pengobatan
pasien GERD ringan sampai sedang. Kepotenan dosis standar antagonis
reseptor H2 menunjukkan bahwa perbaikan gejala dicapai dalam rata-rata
60% dari pasien setelah 12 minggu terapi. Efikasi anagonis reseptor H2
dalam pengelolaan GERD sangat bervariasi dan sering lebih rendah dari
yang diinginkan. Perbedaan efikasi dari antagonis reseptor H2 bergantung
pada (a) keparahan penyakit, (b) regiman dosis yang digunakan, dan (c)
durasi/ lama terapi. Faktor-faktor ini penting untuk diingat ketika
membandingkan berbagai uji klinis dan menilai respon pasien terhadap
terapi yang diberikan.
Untuk mengurangi gejala gejala GERD yang ringan digunakan
antagonis reseptor H2 nonprescription dengan dosis rendah. Untuk gejala
nonerosif, antagonis reseptor H2 secara umum diberikan dalam dosis
standar dua hari sekali. Pasien yang tidak membaik dengan dosis standar
kemungkinan

mengalami

hipersekresi

asam

lambung,

sehingga

membutuhkan dosis yang lebih tinggi. Untuk pasien yang mengalami


penyakit erosive penggunanan dosis yang lebih tinggi dan/atau dosis
empat kali sehari (simetidin 800 mg 2 x 1, nizaidin 150 mg 4 x 1, atau
ranitidine 150 mg 4 x 1) memberikan control asam yang lebih baik,
khususnya peningkatan asam lambung setelah makan. Meskipun antagonis
reseptor H2 dengan dosis lebih tinggi memberikan peluang sembuh lebih
tinggi, informasi mengenai keamanannya masih terbatas, dan obat ini
dapat menjadi kurang efektif dan lebih mahal daripada PPI yang
digunakan satu kali sehari. Tidak seperti PUD, lama terapi antagonis
reseptor H2 yang diberikan relative lebih pendek ( 4 sampai 6 minggu),
program jangka panjang (8 minggu atau lebih).
Karena semua antagonis reseptorH2 memiliki efikasi yang sama,
pemilihan obat yang spesifik dalam pengelolaan GERD harus didasarkan
pada beberapa faktor misalnya perbedaan farmakokinetik, profil
keamanan, dan biaya. Efek samping yang umum terjadi adalah sakit
kepala, mengantuk, kelelahan, pusing, dan sembelit atau diare.pasien
harus dipantau dari adanya efek samping serta interaksi obat potensial,

khususnya ketika digunakan bersama simetidin. Simetidin dapat


menghambat

metabolisme

teofilin,

warfarin,

fenitoin,

nefedipin,

propanolol dan lain lain.


3.3.4. Omeprazol (PPI)
Proton Pump Inhibitors (PPI) memblokir sekresi asam lambung
dengan menghambat H+/K+ adenosine triphosphatase gastric di sel
parietal lambung. Obat ini menyebabkan efek antisekresi yang besar dan
tahan lama yang mampu mempertahankan pH lambung di atas 4, bahkan
selama peningkatan asam setelah makan.
PPI lebih unggul dibandingkan dengan antagonis reseptor H2 baik
dalam

kemampuannya

untuk

mengkontrol

gejala

dan

untuk

menyembuhkan esofagitis pada pasien GERD. Penggunaan PPI juga lebih


hemat biaya untuk pasien dengan penyakit berat. Untuk esofagitis ringan,
omeprazol masih lebih unggul dibandingkan dengan ranitidin dosis tinggi.
Omeprazol (40 sampai 60 mg sehari) dan lansoprazole (30 sampai
60 mg sehari) efektif digunakan untuk penyembuhan esofagitis dan PUD
dengan komplikasi GERD. Ketika pasien dengan komplikasi GERD (BE,
striktur, atau kegagalan operasi antireflux) yang sudah tidak mempan
dengan antagonis reseptor H2 dosis tinggi, diberikan omeprazol 40 mg
sehari, semua pasien sembuh dalam terapi selama 20 minggu.
Penggunaan omeprazol dosis tinggi (40 mg 2 x 1 hari)
menyebabkan regresi parsial BE, tetapi tidak ada perubahan untuk pasien
yang diberi ranitidine 150 mg 2 x 1 hari. Selain sebagai antisekresi asam
lambung, pada pasien dengan komplikasi GERD, yaitu Barretts
Esophagus (BE), akan menyebabkan munculnya sel skuamosa normal
setelah pemberian PPI dosis tinggi sehingga dapat melingkupi mukosa
lambung dan dapat menutupi perkembangan kanker pada mukosa. Tidak
diketahui apakah peulihan BE menurunkan risiko adenocarsinoma pada
seseorang yang sudah terkena BE, tetapi terapi yang agresif menunjukkan
penekanan yang adequate terhadap reflux asam sehingga dapat membantu
untuk mencegah perkembangan BE.
PPI biasanya dapat diterima dengan baik, namun efek samping
yang mungkin terjadi antara lain sakit kepala, pusing, mengantuk, diare,
sembelit, dan mual. Frekuensi munculnya efek samping mirip dengan
antagonis reseptor H2.
Semua PPI dapat menurunkan absorbs obat seperti ketokonazol
atau itrakonazol, yang mana obat ini akan diabsorsi dalam lingkungan
asam. Semua PPI dimetabolisme oleh sistem sitokrom P450, khususnya
oleh

enzim

CYP2C19

dan

CYP3A4.

Namun,

umumnya

tidak

menyebabkan masalah serius, omeprazol memiliki potensi untuk


menghambat metabolism warfarin, diazepam, dan fenitoin.

Interaksi obat dengan omeprazol menjadi perhatian khusus pada


pasien yang dianggap metabolismeya lambat seperti yang ditemukan
dari 3% populasi Kaukasia.
3.4.

Sarankan untuk Ny. HM Terkait Cara Meminum Kapsul Omeprazol


PPI didegradasi dalam lingkungan asam dan oleh karena itu
diformulasikan dalam kapsul atau tablet delayed-release (pelepasan tertunda).
Lansoprazol, esomeprazol dan omeprazol mengandung granul bersalut enteric
(sensitive pH) dalam sediaan kapsul. Tablet atau kapsul omeprazol diminum
dengan cara langsung ditelan menggunakan air. Tidak boleh dikunyah atau
menghancurkan tablet omeprazol karena obat ini didesain untuk lepas lambat.
Pada pasien yang kesulitan menelan atau pada pasien pediatri, isi
kapsul bisa dicampur dalam saus apel atau dalam jus jeruk. Jika pasien
memiliki tabung nanogastrik, isi kapsul omeprazol dapat dicampur dengan
8,4% larutan sodium bikarbonat. Esomeprazol dapat disampur dengan air.
Pasien harus diberitahu untuk mengkonsumsi PPI di pagi hari, 15 sampai 30
menit sebelum makan untuk memaksimalkan efektivitasnya, karena zat ini
hanya secara aktif menghambat sekresi pompa proton. Makanan dapat
menurunkan absorbsi lansoprazol. Jika digunakan dua kali sehari, dosis kedua
harus diberikan sekitar 10 sampai 12 jam setelah dosis pagi dan sebelum
makan.

3.5.

Modifikasi Gaya Hidup yang Disarankan untuk Ny.HM


Pada Ny.HM dapat disarankan untuk menghindari konsumsi kopi dan

makanan berlemak, serta menghentikan penggunaan pil KB. Perubahan gaya


hidup yang paling umum yang harus diedukasikan kepada pasien antara lain (a)
mengurangi berat badan; (b) tidur dengan bagian kepala lebih tinggi; (c)
mengkonsumsi makanan yang lebih kecil dan menghindari makan pada 3 jam
sebelum tidur, (d) menghindari makan atau obat-obatan yang memperparah
GERD; (e) mengurangi rokok dan (f) menghindari alcohol. Pasien dengan
obesitas berisiko 2,8 kali lebih besar daripada pasien dengan berat normal. Reluks
lebih sering terjadi pada pasien obesitas karena peningkatan tekanan intraabdominal dan kebiasaan diet pasien obes cenderung menyebabkan refluks.
Konsumsi makanan berlemak akan menurunkan tekan LES selama 2 jam atau
lebih setelah makan. Menempatkan kepala lebih tinggi 6 sampai 8 inci dari tubuh
saat tidur menurunkan waktu kontak asam esophagus saat malam hari. Beberpa
makanan juga dapat memperpaah gejala GERD. Lemak dan cokelat dapat
menurunkan tekanan LES, jus jeruk, tomat, kopi dan peppermint dapat
mengiritasi lapisan mukosa lambung. Merokok menyebabkan aerophagia, yang
memicu sendawa dan regurgitasi.

DAFTAR PUSTAKA

Dipiro, Joseph T. Talbert, Robert L. Yee, Gary C, dkk. 2005. PHARMACOTHERAPY:


A Pathophysiologic Approach. USA: McGRAW-HILL Medical Publishing.
Halaman 649-663
Djojoningrat D.2011. Penyakit Refuks Esophageal. Dalam: Rani AA, Simadibrata M,
Syam AF. Buku Ajar gastroenterologi. Interna Publising: Jakarta, halaman.
245-5
Makmun D. 2006. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
halaman.317-321 2.

You might also like