You are on page 1of 29

LAPORAN KASUS

PENGANIAYAAN

Oleh:
Gindi Cinintia Asmarantaka (1018011062)
Milani Nur Fadila (1018011078)

ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. H. ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Trauma atau kecelakaan merupakan hal yang biasa dijumpai dalam kasus forensik. Hasil dari
trauma atau kecelakaan adalah luka, perdarahan dan/atau skar atau hambatan dalam fungsi organ.
Agen penyebab trauma diklasifikasikan dalam beberapa cara, antara lain kekuatan mekanik, aksi
suhu, agen kimia, agen elektromagnet, asfiksia dan trauma emboli. Dalam prakteknya nanti
seringkali terdapat kombinasi trauma yang disebabkan oleh satu jenis penyebab, sehingga
klasifikasi trauma ditentukan oleh alat penyebab dan usaha yang menyebabkan trauma.2

Luka adalah keadaan hilang atau terputusnya jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan oleh
trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan
hewan. Didalam melakukan pemeriksaan terhadap orang yang menderita luka akibat kekerasan
pada hakekatnya dokter diwajibkan untuk dapat memberikan kejelasan dari permasalahan dan
kewajiban dokter didalam membuat Visum Et Repertum hanyalah menentukan secara objektif
adanya luka , dan bila ada luka dokter harus menentukan derajatnya. Berdasarkan derajat luka,
luka dibedakan menjadi luka ringan (luka derajat pertama), yaitu luka yang tidak mengakibatkan
penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan atau jabatan untuk sementara waktu, luka
sedang (luka derajat kedua), yaitu luka yang mengakibatkan penyakit atau halangan dalam
menjalankan pekerjaan atau jabatan untuk sementara waktu, dan luka berat yaitu luka yang
termasuk dalam pengertian hukum luka berat (pasal 90 KUHP). Berdasarkan Pasal 352
disebutkan: (1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian,
diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana

denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang
yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pada pasal 133 ayat (1) KUHAP dan pasal 179 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa penyidik
berwenang meminta keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau bahkan
ahli lainnya. Keterangan ahli tersebut adalah Visum et Repertum, dimana di dalamnya terdapat
penjabaran tentang keadaan korban, baik korban luka, keracunan, ataupun mati yang diduga
karena tindak pidana. Bagi dokter yang bekerja di Indonesia perlu mengetahui ilmu kedokteran
Forensik termasuk cara membuat Visum et Repertum. Seorang dokter perlu menguasai
pengetahuan tentang mendeskripsikan luka, tujuannya untuk mempermudah tugas-tugasnya
dalam membuat Visum et Repertum yang baik dan benar sehingga dapat digunakan sebagai alat
bukti yang bisa meyakinkan hakim untuk memutuskan suatu tindak pidana. Pada kenyataannya
dalam praktek, dokter sering mengalami kesulitan dalam membuat Visum et Repertum karena
kurangnya pengetahuan tentang luka. Padahal Visum et Repertum harus di buat sedemikian rupa,
yaitu memenuhi persyaratan formal dan material , sehingga dapat dipakai sebagai alat bukti yang
sah di sidang pengadilan.1,2,3

BAB II
ILUSTRASI KASUS
Pada tanggal 30 Juni 2015 sekira pukul 10.50 WIB telah dilakukan pemeriksaan luka terhadap
korban penganiayaan laki-laki yang berusia 22 tahun.
Hasil pemeriksaan didapatkan:
Nama
Usia
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Alamat
Agama

: Rudi Salam-----------------------------------------------------------------: 22 tahun--------------------------------------------------------------------: Laki-laki--------------------------------------------------------------------: Wiraswasta-----------------------------------------------------------------:Jalan Imam Bonjol, Gg. Demang No.48, RT 04
Kelurahan Suka Jawa, Bandar Lampung------------------------------: Islam-------------------------------------------------------------------------

Korban datang dalam keadaan sadar, keadaan umum baik, mengaku dianiaya (di pukul di wajah
di dorong dan diinjak) di bagian kepala. Waktu kejadian 29 Juni 2015 pukul 17.30 WIB, oleh
tetangga korban, 2 orang laki-laki yang di kenal (Adit dan Amri). Kejadian di Sumur Burasit
dekat rumah korban, gang Demang. Korban dianiaya karena ada perkelahian mulut sebelumnya-HASIL PEMERIKSAAN : --------------------------------------------------------------------------------Luka - Luka :--------------------------------------------------------------------------------------------------a. Pada dahi kanan 3,5 cm dari GPD di alis terdapat luka lecet tertutup jarimgam kulit
dengan dasar berwarna merah berukuran 1,5 cm x 0,3 cm---------------------------------b. Pada lengan kiri bawah bagian belakang 5 cm di bawah siku terdapat luka lecet
dengan dasar berwarna merah tertutup jaringan kulit berukuran 2 cm x 0,2 cm--------c. Pada lengan kiri atas bagian belakang 7 cm di atas siku terdapat luka lecet dengan
dasar luka berwarna merah tertutup jaringan kulit berukuran 4,4 cm x 0,1 cm----------d. Pada punggung kiri 5,5 cm dari GPB, 30,5 cm dari puncak bahu terdapat luka lecet
berbentuk bulat dengan dasar berwarna merah tertutup jaringan kulit dengan diameter
0,5 cm----------------------------------------------------------------------------------------------e. Pada punggung kiri 4 cm dari GPB, 31 cm dari puncak bahu terdapat luka lecet
berbentuk garis dengan dasar berwarna merah tertutup jaringan kulit dengan ukuran
2,8 cm x 0,2 cm-----------------------------------------------------------------------------------KESIMPULAN :---------------------------------------------------------------------------------------------Pada pemeriksaan seorang korban laki-laki berumur dua puluh dua tahun, ditemukan luka lecet
pada dahi kanan, lengan kiri bawah bagian belakang, lengan kiri atas bagian belakang, dan
punggung kiri. Luka tersebut tidak menimbulkan penyakit dan halangan dalam melaksanakan
aktivitas sehari-hari (luka ringan)-----

BAB III
PEMBAHASAN

Berdasarkan keterangan korban, korban mengaku telah dianiaya oleh 2 orang yang dikenal (Adit
dan Amri) tetangga korban pada hari Senin, 29 Juni 2015 sekira pukul 17.30 WIB, di Sumur
Burasit dekat rumah korban, gang Demang Bandar Lampung.
Penganiayaan adalah istilah yang digunakan KUHP untuk tindak pidana terhadap tubuh. Namun
KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
arti penganiayaan adalah: Perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian yang dimuat dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut adalah pengertian dalam arti luas, yakni yang termasuk
menyangkut perasaan atau batiniah. Sedangkan penganiayaan yang dimaksud dalam Hukum
Pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian penganiayaan tidak ada dimuat
dalam KUHP, namun kita dapat melihat pengertian penganiayaan menurut pendapat sarjana,
Doktrin, dan penjelasan Menteri Kehakiman.
Sedangkan menurut Penjelasan Menteri Kehakiman pada waktu pembentukan Pasal 351 KUHP
dirumuskan, antara lain:
1) Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan
badan kepada orang lain, atau
2) Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan
badan orang lain.13
Sementara dalam ilmu pengetahuan hukum pidana atau doktrin, penganiayaan diartikan sebagai
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh
orang lain.
Korban mengakui bahwa karena kejadian tersebut menyebabkan luka-luka pada dirinya.
Perbuatan tersebut adalah penganiayaan berdasarkan pasal 351 KUHP. Korban meminta visum
agar kejadian ini tidak terulang lagi pada dirinya untuk dipakai sebagai bukti hukum.

3.1 Prosedur Medikolegal


Yang bersangkutan datang ke bagian Forensik Klinik RSAM dengan maksud untuk
memeriksakan keadaan dirinya dan meminta keterangan tertulis dari dokter. Keterangan ini
diinginkan oleh pasien untuk memiliki bukti tertulis mengenai keadaannya saat meminta surat
keterangan tersebut. Pasien datang belum membawa Surat Permintaan Visum dari pihak
kepolisian sehingga pasien untuk sementara waktu mendapat keterangan berupa Surat
Keterangan Medis.
Hal tersebut dibenarkan oleh pasal 133 KUHAP dimana permintaan keterangan ahli
dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka
atau pemeriksaan mayat dan/atau pemeriksaan bedah mayat.
Surat Keterangan Medis yang diperoleh korban tidak memiliki kekuatan untuk digunakan
dalam proses peradilan sebab tanpa disertai jaminan hukum.
3.2 Pemeriksaan Keadaan Umum Korban
Korban datang dalam keadaan sadar, penampilan cukup bersih, sikap selama pemeriksaan
kooperatif. Keadaan umum baik, denyut nadi 82 kali permenit, dan pernafasan 16 kali permenit
dengan tekanan darah 120/70 mmHg. Gambaran keadaan pasien saat pertama kali datang tampak
diam dan hanya mau bercerita saat ditanya. Saat korban datang mengenakan kaos polos berbahan
katun berwarna abu-abu dan celana panjang jeans berwarna biru gelap.
3.3 Pemeriksaan Luka
Pada kasus ini, didapatkan beberapa luka akibat kekerasan tumpul berupa lecet.
Berdasarkan pemeriksaan didapatkan lima lecet.
Pada kasus ini didapatkan empat luka memar yang masing masing :
1. Pada dahi kanan 3,5 cm dari GPD di alis terdapat luka lecet tertutup jarimgam
kulit dengan dasar berwarna merah berukuran 1,5 cm x 0,3 cm
2. Pada lengan kiri bawah bagian belakang 5 cm di bawah siku terdapat luka lecet
dengan dasar berwarna merah tertutup jaringan kulit berukuran 2 cm x 0,2 cm
3. Pada lengan kiri atas bagian belakang 7 cm di atas siku terdapat luka lecet dengan
dasar luka berwarna merah tertutup jaringan kulit berukuran 4,4 cm x 0,1 cm

4. Pada punggung kiri 5,5 cm dari GPB, 30,5 cm dari puncak bahu terdapat luka
lecet berbentuk bulat dengan dasar berwarna merah tertutup jaringan kulit dengan
diameter 0,5 cm
5. Pada punggung kiri 4 cm dari GPB, 31 cm dari puncak bahu terdapat luka lecet
berbentuk garis dengan dasar berwarna merah tertutup jaringan kulit dengan
ukuran 2,8 cm x 0,2 cm
Kesimpulan tersebut didapatkan berdasarkan ciri-ciri lecet yakni bentuk luka tak teratur,
batas luka tidak teratur, tepi luka tidak rata kadang-kadang ditemukan sedikit perdarahan,
permukaannya tertutup oleh krusta (serum yang telah mongering), warna coklat kemerahan, pada
pemeriksaan mikroskopik terlihat adanya beberapa bagian yang masih ditutupi epitel dan reaksi
jaringan (inflamasi).
Bentuk luka lecet kadang-kadang dapat membei petunjuk tentang benda penyebabnya;
seperti misalnya kuku, ban mobil, tali atau ikat pinggang. Luka lecet juga dapat terjadi sesudah
orang meninggal dunia, dengan tanda-tanda sebagai berikut :

Warna kuning mengkilat


Lokasi biasanya didaerah penonjolan tulang
Pemeriksaan mikroskopik tidak ditemukan adanya sisa epitel dan tidak ditemukan
reaksi jaringan.

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
1.

Pengertian Penganiayaan
Penganiayaan adalah istilah yang digunakan KUHP untuk tindak pidana terhadap tubuh.

Namun KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia arti penganiayaan adalah: Perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian yang
dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut adalah pengertian dalam arti luas, yakni
yang termasuk menyangkut perasaan atau batiniah. Sedangkan penganiayaan yang dimaksud
dalam Hukum Pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian penganiayaan
tidak ada dimuat dalam KUHP, namun kita dapat melihat pengertian penganiayaan menurut
pendapat sarjana, Doktrin, dan penjelasan Menteri Kehakiman.
Menurut Mr. M.H. Tirtaamidjaja, Pengertian penganiayaan adalah sebagai berikut:
Menganiaya ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi
perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang 18 lain, tidak dapat dianggap sebagai
penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan.12
Sedangkan menurut Penjelasan Menteri Kehakiman pada waktu pembentukan Pasal 351 KUHP
dirumuskan, antara lain:
3) Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan
badan kepada orang lain, atau
4) Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan
badan orang lain.13
Sementara dalam ilmu pengetahuan hukum pidana atau doktrin, penganiayaan diartikan sebagai
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh
orang lain.
Berdasarkan doktrin diatas bahwa setiap perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan rasa
sakit atau luka pada tubuh merupakan penganiayaan yang terhadap pelakunya diancam pidana.
Padahal dalam kehidupan sehari-hari cukup banyak perbuatan yang dengan sengaja
menimbulkan rasa sakit ataupun luka tubuh yang terhadap pelakunya tidak semestinya diancam

dengan pidana. Sebagai contoh dapat dikemukakan:


i. Seorang guru yang memukul muridnya karena tidak mengerjakan tugas
ii.Seorang dokter yang melukai tubuh pasien dalam operasi.
Bertolak dari adanya kelemahan yang cukup mendasar tersebut, dalam perkembangannya
muncul yurisprudensai yang mencoba menyempurnakan Arrest Hooge Raad tanggal 10 Februari
1902, yang secara substansial menyatakan:
Jika menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan menjadi tujuan, melainkan suatu sarana
belaka untuk mencapai suatu tujuan yang patut, maka tidaklah ada penganiayaan. Contohnya
dalam batas-batas yang diperlukan seorang guru atau orang tua memukul seorang anak.14
Berdasarkan yurisprudensi ini tersimpul pendapat, bahwa tidak setiap perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh merupakan
penganiayaan.
Berdasarkan Arrest Hooge Raad dan doktrin diatas, maka menurut Adami Chazawi
penganiayaan dapat diartikan sebagai: Suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang akibat mana
semata-mata merupakan tujuan si petindak 15
2.

Unsur-unsur Penganiayaan

Berdasarkan pengertian tindak pidana penganiayaan diatas maka rumusan penganiayaan memuat
unsur-unsur sebagai berikut:
a.

Unsur kesengajaan;

b.

Unsur perbuatan;

c.

Unsur akibat perbuatan (yang dituju) yaitu:

d.

i.

rasa sakit, tidak enak pada tubuh;

ii.

luka tubuh;

Akibat mana menjadi satu-satunya tujuan si pelaku Untuk lebih memperjelas tindak
pidana penganiayaan sebagaimana terurai diatas, berikut ini akan diuraikan makna
dari masing-masing unsur tersebut.

a.

Unsur Kesengajaan
Dalam tindak pidana penganiayaan unsur kesengajaan harus diartikan sebagai sebagai

kesengajaan sebagai maksud. Berbeda dengan tindak pidana lain seperti pembunuhan, unsur

kesengajaan harus ditafsirkan secara luas yaitu meliputi kesengajaan sebagai maksud,
kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan.
Dengan penafsiran bahwa unsur kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan ditafsir
sebagai kesengajaan sebagai maksud (opzet alsa ogmerk), maka seorang baru dapat dikatakan
melakukan tindak pidana penganiayaan, apabila orang itu mempunyai maksud menimbulkan
akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh. Jadi, dalam hal ini maksud orang itu haruslah
ditujukan pada perbuatan dan rasa sakit atau luka pada tubuh.
Walaupun secara prinsip kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan harus ditafsirkan
sebagai kesengajaan sebagai maksud, namun dalam hal-hal tertentu kesengajaan dalam
penganiayaan juga dapat ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai kemungkinan. 16 Hal ini pernah
dilakukan Hooge Raad dalam arrestnya tanggal 15 Januari 1934, yang menyatakan:
Kenyataan bahwa orang telah melakukan suatu tindak pidana yang besar kemungkinan dapat
menimbulkan perasaan sangat sakit pada orang lain itu merupakan suatu penganiayaan. Tidak
menjadi soal bahwa dalam kasus ini opzet pelaku telah tidak ditujukan untuk menimbulkan
perasaan sangat sakit seperti itu melainkan telah ditujukan kepada perbuatan untuk melepaskan
diri dari penangkapan oleh seorang pegawai polisi.17
Bertolak dari Arrest Hoge Raad diatas tersimpul, bahwa kemungkinan terhadap terjadinya rasa
sakit yang semestinya dipertimbangkan oleh pelaku tetapi tidak dilakukannya sehingga karena
perbuatan yang dilakukannya itu menimbulkan rasa sakit, telah ditafsirkan sebagai
penganiayaan. Dalam hal ini sekalipun pelaku tidak mempunyai maksud untuk menimbulkan
rasa sakit dalam perbuatannya, tetapi ia tetap dianggap melakukan penganiayaan atas
pertimbangan, bahwa mestinya ia sadar bahwa perbuatan yang dilakuaknnya itu sangat mungkin
menimbulkan rasa sakit.
Namun demikian penganiayaan itu bisa ditafsirkan sebagai kesengajaan dengan sadar akan
kemungkinan, tetapi penafsiran tersebut juga terbatas pada adanya kesengajaan sebagai
kemungkinan terhadap akibat. Artinya dimungkinkan penafsiran secara luas terhadap unsur
kesengajaan itu yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kemungkinan bahkan
kesengajaan sebagai kepastian, hanya dimungkinkan terhadap akibatnya. Sementara terhadap
perbuatan itu haruslah merupakan tujuan pelaku.
b.

Unsur Perbuatan

Yang dimaksud dengan perbuatan dalam penganiayaan adalah perbuatan dalam arti positif.
Artinya perbuatan tersebut haruslah merupakan aktivitas atau kegiatan dari manusia dengan
menggunakan (sebagian) anggota tubuhnya sekalipun sekecil apapun perbuatan itu.
Selain bersifat positif, unsur perbuatan dalam tindak pidana penganiayaan juga bersifat abstrak.
Artinya penganiayaan itu bisa dalam berbagai bentuk perbuatan seperti memukul, mencubit,
mengiris, membacok, dan sebagainya.
c.

Unsur akibat yang berupa rasa sakit dan luka tubuh


Rasa sakit dalam konteks penganiayaan mengandung arti sebagai terjadinya atau timbulnya

rasa sakit, rasa perih, tidak enak atau penderiataan. Sementara yang dimaksud dengan luka
adalah adanay perubahan dari tubuh, atau terjadinya perubahan rupa tubuh sehingga menjadi
berbeda dari keadaan tubuh sebelum terjadinya penganiayaan. Perubahan rupa itu misanya lecetlecet pada kulit, putusnya jari tangan, bengkak-bengkak pada anggota tubuh dan sebaginya.
Unsur akibat baik berupa rasa sakit atau luka dengan unsur perbuatan harus ada
hubungan kausal. Artinya harus dapat dibuktikan, bahwa akibat yang berupa rasa sakit atau luka
itu merupakan akibat langsung dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Tanpa adanya
hubungan kausal antara perbuatan dengan akibat ini, maka tidak akan dapat dibuktikan adanya
tindak pidana penganiayaan.
d.

Akibat mana yang menjadi tujuan satu-satunya


Unsur ini mengandung pengertian, bahwa dalam tindak pidana penganiayaan akibat berupa

dasa sakit atau luka pada tubuh itu haruslah merupakan tujuan satu-satunya dari pelaku. Artinya
pelakku memang menghendaki timbulnya rasa sakit atau luka dari perbuatan (penganiayaan)
yang dilakukannya. Jadi, untuk adanya penganiayaan harus dibuktikan bahwa rasa sakit atau luka
pada tubuh itu menjadi tujuan dari pelaku.
Apabila akibat yang berupa rasa sakit atatu luka itu bukan menjadi tujuan dari pelaku tetapi
hanya sebagai sarana untuyk mencaoai tujuan lain yang patut, maka dalam hal ini tidak terjadi
penganiayaan.
Dalam praktek penegakan hukum, persoalan yang muncul adalah apa yang menjadi ukuran
atau kriteria dari tujuan yang patut itu? Persoalan itu mudah dijawab, sebab tidak ada ukuran atau
kriteria umum baku yang dapat dipakai sebagai pedoman. Oleh karena tidak ada ukuran yang
bersifat yang secara umum dapat diterapkan, maka ukuran atau kriteria patut atau tidak patut itu
diserahkan pada akal pikiran dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Jadi, sifatnya sangat

kasuistis dan tergantung dari kebiasaan dalam masyarakat setempat. Sebagai contoh perbuatan
orang tua memukul anaknya. Menurut kebiasaan dalam masyarakat (mungkin untuk seluruh
masyarakat di Indonesia), perbuatan tersebut diperbolehkan sepanjang tidak berlebihan. Artinya,
sepanjang perbuatan pemukulan terhadap anak tersebut tidak melampaui batas-batas yang wajar,
maka perbuatan tersebut (dianggap) tidak bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan dalam
masyarakat. Perbuatan pemukulan terhadap anak tersebutr tidak dapa dianggap sebagai
perbuatan yang wajar dan menurut akal pikiran sudah berlebihan, dan karenanya tidak lagi
dipandang sebagai perbuatan untuk mencapai tujuan yang patut, apabila perbuatan pemukulan
tersebut misalnya dilakukan dengan menggunakan sepotong besi.
3.

Jenis-jenis Penganiayaan
Penganiayaan adalah tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum berupa tubuh

manusia. Didalam KUHP terdapat ketentuan yang mengatur berbagai perbuatan yang menyerang
kepentingan hukum yang berupa tubuh manusia.
Dalam KUHP tindak pidana penganiayaan dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu sebagai
berikut:
a.

Penganiayaan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP

b.

Penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 352 KUHP

c.

Penganiayaan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 353 KUHP

d.

Penganiayaan berat sebagaimana diatur dalam Pasal 354 KUHP

e.

Penganiayaan berat berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 355 KUHP

f.

Penganiayaan terhadap orang yang berkualitas tertentu sebagaimana diatur dalam

Pasal 356 KUHP. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap tindak pidana
tersebut, dibawah ini akan diuraikan satu persatu jenis tindak pidana tersebut.
a.

Penganiayaan Biasa
Tindak pidana ini diatur dalam ketentuan Pasal 351 KUHP. Istilah lain yang sering

digunakan untuk menyebut jenis tindak pidana ini adalah tindak pidana penganiayaan dalam
bentuk pokok.
Apabila dibandingkan dengan perumusan tentang tindak pidana lain dalam KUHP, maka
perumusan tentang tindak pidana penganiayaan biasa merupakan perumusan yang paling singkat

dan sederhana. Ketentuan Pasal 351 KUHP hanya menyebutkan kualifikasinya saja tanpa
menguraikan unsur- unsurnya. Oleh karena Pasal 351 hanya menyebutkan kualifikasinya saja,
maka berdasarkan rumusan Pasal 351 tersebut tidak jelas perbuatan seperti apa yang sebenarnya
dimaksud.
Sebagai kelaziman yang berlaku dalam hukum pidana, dimana terhadap rumusan tindak pidana
yang hanya menyebut kualifikasinya biasanya ditafsir secara historis, maka penafsiran terhadap
Pasal 351 KUHP tersebut juga ditempuh berdasarkan penafsiran historis.
Untuk memberikan gambaran awal tentang perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 351 KUHP
diatas, akan dikutip ketentuan dalam Pasal tersebut. Pasal 351 KUHP secara tegas merumuskan :
1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
Atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah dikenakan penjara
paling lama lima tahun.
3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan.
5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Berdasarkan rumusan ketentuan Pasal 351 KUHP diatas terlihat bahwa rumusan tersebut tidak
memberikan kejelasan tentang perbuatan seperti apa yang dimaksudnya. Ketentuan Pasal 351
KUHP tersebut hanya merumuskan kualifikasinya saja dan pidana yang diancamkan. Tindak
pidana dalam 351 KUHP dikualifikasi sebagai penganiayaan.
Apabila ditelusuri sejarah pembentukan Pasal 351 KUHP diatas pada awalnya juga
terdapat rumusan Pasal sebagaimana lazimnya rumusan Pasal-Pasal lain dalam KUHP yang
merupakan unsur-unsur perbuatan dan juga akibat yang dilarang.
Rumusan awal Pasal 351 KUHP yang diajukan oleh Menteri Kehakiman Belanda ke Parlemen
saat itu terdiri dari dua rumusan, yang pada intinya memberikan batasan sekaligus menguraikan
unsur-unsur perbuatan penganiayaan, yaitu:
1)
2)

Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa


sakit atau penderitaan pada tubuh orang lain.
Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merusak kesehatan tubuh
orang lain.

Rumusan awal Pasal 351 KUHP yang diajukan Menteri Kehakiman diatas sebenarnya
cukup memberikan kejelasan tentang apa yang dimaksud penganiayaan oleh karena dalam
rumusan tersebut sudah memuat unsur-unsur perbuatan maupan akibat. Namun oleh karena
sebagian parlemen menganggap istilah rasa sakit atau penderitaan tubuh memuat pengertian
yang sangat bias atau kabur, maka parlemen mengajukan keberatan atas rumusan tersebut.
Sehingga perumu-san Pasal 351ayat (1) hanya menyebut kualifikasinya saja, yaitu penganiayaan
didasarkan atas pertimbangan, bahwa semua orang dianggap sudah mengerti apa yang dimaksud
dengan penganiayaan.
Berdasarkan uraian tersebut, bahwa dalam konteks historis istilah penganiayaan diartikan
sebagai setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau
penderitaan pada tubuh.
Adapun unsur-unsur dari penganiayaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 351 ayat (1)
KUHP adalah sama dengan unsur-unsur penganiayaan pada umumnya yaitu:
a.

Unsur kesengajaan;

b.

Unsur perbuatan;

c.

Unsur akibat perbuatan berupa rasa sakit, tidak enak pada tubuh, dan luka tubuh,
namun dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP ini tidak mempersyaratkan adanya perubahan
rupa atau tubuh pada akibat yang yang ditimbulkan oleh tindak pidana penganiayaan
tersebut.

d.

Akibat mana menjadi satu-satunya tujuan si pelaku.

Dengan selesainya pembahasan mengenai Pasal 351 ayat (1) KUHP, maka dibawah ini akan
dibahas penganiayaan dalam Pasal 351 dalam ayat-ayat berikutnya.
Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat Pasal 351 ayat (1)
Merujuk pada pengertian penganiayaan sebagaimana diuraikan diatas, maka apabila dirinci maka
unsur penganiayaan dalam Pasal 351 ayat (2) adalah
i.
ii.
iii.

unsur kesengajaan;
unsur perbuatan;
unsur akibat, yang berupa rasa sakit atau luka berat.

Apabila dilihat unsur-unsur penganiayaan dalam Pasal 351 ayat (2) diatas maka terlihat unsurunsur dalam Pasal 351 ayat (2) hampir sama dengan Pasal 351 ayat (1) KUHP. Perbedaan antara

kedua penganiayaan tersebut terletak pada akibatnya.


Pada penganiayaan biasa dalam Pasal 351 ayat (2) akibat dari perbuatan tersebut haruslah
berupa luka berat. Apakah perbedaan antara luka berat dalam konteks Pasal 351 ayat (2) dengan
luka dalam konteks Pasal 351 ayat (1) KUHP
Secara yuridis formal sebenarnya tidak ada Pasal atau ayat yuang menunjukkan adanya
perbedaan antara kedua istilah tersebut sebab dalam konteks KUHP, tidak ada batasan tentang
apa yang dimaksud dengan luka. KUHP hanya memberikan gambaran tetang apa yang dimaksud
luka berat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 90 KUHP. Sementara tentang luka sama sekali
tidak disinggung. Secara doktrin, istilah luka dalam konteks pada 351 ayat (1) KUHP diartikan
sebagai luka ringan. Penggunaan istilah luka ringan tersebut atas pertimbangan, bahwa dalam
konteks Pasal 351 ayat (2) dikenal istilah luka berat. Dengan demikian, menurut doktrin istilah
luka dalam konteks Pasal 351 ayat (1) KUHP harus diartikan sebagai luka ringan sebagai lawan
dari istilah luka berat dalam konteks Pasal 351 ayat (2).
Secara yuridis formal, luka berat dijelaskan didalam Pasal 90 KUHP yang menyatakan, bahwa
luka berat mengandung arti:
i.

Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau
yang menimbulkan bahaya maut;

ii.

Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian;

iii.

Kahilangan salah satu panca indera; iv. Mendapat cacat berat;

v.

Menderita sakit lumpuh; vi. Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;

vii.

Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.18


Dengan merujuk Pasal 90 KUHP diatas nampak jelas apa yang dimaksud dengan luka

berat. Oleh karena secara doktriner, luka ringan merupakan istilah yang dilawankan dengan
istilah luka berat, maka luka ringan dapat diartikan sebagai luka pada tubuh yang tidak berupa
luka-luka sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 90 KUHP. Juga dengan merujuk Pasal 352
KUHP, maka yang termasuk luka ringan adalah luka yang tidak termasuk dalam pengertian Pasal
90 KUHP dan juga tidak termasuk pengertian luka dalam konteks penganiayaan ringan sebagai
mana dimaksud Pasal 352 KUHP.
Menurut ketentuan Pasal 352 KUHP penganiayaan dikualifikasi sebagai penganiayaan
ringan apabila luka yang ditimbulkan itu tidak menimbulkan penyakit atau tidak menimbulkan

halangan untuk menjalankan pekerjaaan jabatan atau pencaharian.


Merujuk pada Pasal 90 dan 352 KUHP diatas tersimpul pendapat, bahwa luka ringan yang
dimaksud dalam konteks Pasal 351 ayat (1) KUHP adalah luka (ringan) yang menimbulkan
penyakit atau menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaaan jabatan atau pencaharian
yang bersifat sementara.
Patut kiranya menjadi catatan, bahwa timbulnya luka berat dalam konteks Pasal 351 ayat
(2) KUHP bukanlah merupakan tujuan dari pelaku. Tujuan yang ingin dituju oleh pelaku adalah
rasa sakit atau luka tubuh saja. Jadi, dalam konteks penganiayaan biasa yang menimbulkan luka
berat harus dibuktikan bahwa luka berat tersebut bukanlah tujuan dari pelaku. Sebab apabila luka
berat itu menjadi tujuan dari pelaku atau merupakan akibat yang dimaksud oleh pelaku, maka
yang terjadi bukan lagi penganiayaan biasa yang mengakibatkan luka berat, tetapi yang terjadi
adalah penganiayaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 353 KUHP.19
Dengan selesainya pembahasan mengenai Pasal 351 ayat (2) KUHP ini, maka akan
dilajutkan dengan membahas Pasal 351 ayat (4) KUHP karena Pasal 351 ayat (3) KUHP akan
dibahas dalam pembahasan tersendiri.
Penganiayaan yang berupa perbuatan sengaja merusak kesehatan 351 ayat (4)
Penganiayaan dalam Pasal 351 ayat (4) KUHP merupakan penganiayaan yang mana akibat
dari penganiayaan tersebut berupa rusaknya kesehatan dari korban merupakan akibat yang
dikehendaki dari pelakunya.
Apabila dikaitkan dengan teori kehendak dan teori pengetahuan, maka penganiayaan dalam
Pasal 351 ayat (4) mempersyaratkan, bahwa pada saat melakuakan perbuatannya (penganiayaan)
pelaku memang menghendaki dilakukannya perbuatan tersebut serta ia mengetahui bahwa
perbuatan yang dilakukan itu akan menimbulkan rusaknya kesehatan. Unsur rusaknya kesehatan
yang dimaksud dalam Pasal 351 ayat (4) KUHP berbeda dengan unsur rasa sakit dan luka tubuh
yang menjadi unsur penganiayaan biasa dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP. Sekalipun secara logika
sangat mungkin terjadinya rasa sakit atau luka tubuh itu sekaligus merupakan perbuatan yang
merusak kesehatan, namun merusak kesehatan yang dimaksud dalam Pasal 351 ayat ayat (4)
mempunyai makna yang lain dari makna dua unsur tersebut yang bersifat memperluas unsur rasa
sakit atau luka tubuh.
Secara doktriner, merusak kesehatan diidentikkan dengan merusak kesehatan fisik.

Merusak kesehatan bukan saja berarti sakit (secara fisik), tetapi juga mengandung arti melakukan
perbuatan menjadikan orang yang sudah sakit menjadi tambah sakit. Secara yuridis formal
merusak kesehatan tidak ada perumusannya didalam undang-undang. Namun secara doktrin,
merusak kesehatan dapat diartikan sebagai merusak fungsi organ atau sebagian dari organ tubuh
manusia.
b.

Penganiayaan Ringan
Jenis tindak pidana ini diatur dalam Pasal 352 KUHP. Berbeda dengan penganiayaan lain

yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi, maka penganiayaan ringan


merupakan pengecualian dari asas konkordansi20. Jenis tindak pidana ini dalam WvS tidak
dikenal. Dibuatnya ketentuan tentang penganiayaan ringan dan tindak pidana ringan pada
umumnya di dalam KUHP yang diberlakukan di Indonesia adalah atas dasar adanya perbedaaan
kewenangan mengadili dari Pengadilan Polisi (Land gerecht) dan Pengadilan Negeri (Landraad)
yang sengaja dibentuk oleh pemerintah kolonial di Indonesia. Pengadilan Polisi berwenang
mengadili perkara-perkara ringan sedang untuk Pengadilan Negeri untuk perkara-perkara yang
lain.
Rumusan tentang penganiayaan ringan yang terdapat dalam Pasal 352 KUHP adalah
sebagai berikut:
1)

Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencaharian diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling
lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

2)

Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Berdasarkan ketentuan Pasal 352 KUHP diatas tersimpul, bahwa yang dimaksud dengan
penganiayaan adalah penganiayaan yang tidak termasuk dalam:
1)

Penganiayaan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 353 KUHP.

2)

Penganiayaan terhadap orang yang mempunyai kualifikasi tertentu


sebagaimana diatur dalam Pasal 356 KUHP yaitu penganiayaan terhadap:
i.

Ibu atau bapaknya yang sah, istri atau anaknya;

ii.

Pegawai negeri yang sedang atau karena menjalankan tugasnya yang sah

iii.

Nyawa atau kesehatan, yaitu memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa atau

kesehatan atau dimakan atau diminum.


3)

Penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan


pekerjaan jabatan atau pencaharian.
Berdasarkan rumusan dalam Pasal 352 ayat (1) tersimpul, bahwa penganiayaan yang tidak

menimbulkan penyakit atau tidak menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
atau pencaharian sepanjang penganiayaan itu tidak dilakukan terhadap orang-orang yang
mempunyai kualitas tertentu, demikian juaga apabila penganiayaan yang tidak menimbulkan
penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan dan jabatan atau pencaharian itu dalam makanan
atau minuman, penganiayaan itu merupakan penganiayaan ringan. Dengan kata lain dapat
dikemukakan, bahwa sekalipun penganiayaan itu tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan, jabatan atau mata pencaharian, tetapi apabila penganiayaan itu
dilakukan terhadap orang-orang yang mempunyai kualitas tertentu, demikian juga apabila
penganiayaan itu dilakukan dengan cara memasukkan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau
kesehatan, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian itu bukan penganiayaan ringan.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 352 KUHP diatas, sangat mungkin menimbulkan
pertanyaan, apabila penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau tidak menimbulkan
halangan untuk menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian itu dengan berencana atau
dilakukan terhadap orang-orang yang berkualitas tertentu demikian juga apabila penganiayaan
itu dilakukan dengan memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa dan kesehatan, masuk dalam
penganiayaan yang mana?
Dalam hal ini apabila penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau tidak
menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian itu dilakukan
dengan berencana, maka penganiayaan itu masuk dalam rumusan Pasal 353 KUHP.
Dalam konteks penganiayaan ringan yang dilakukan dengan berencana, barang kali tidak
menimbulkan kesulitan dalam penerapan hukum. Persoalan akan muncul manakalah
penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan
jabatan atau pencaharian itu dilakukan terhdap orang-orang yang berkualitas tertentu. Mengingat,
penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan
jabatan atau pencaharian yang dilakukan terhdapa orang yang mempunyai kualitas tertentu itu

dikecualikan sebagai penganiayaan ringan.


Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya orang tua yang memukul anaknya, sehingga
karena pukulan itu menimbulkan rasa sakit atau luka pada anak tersebut. Dapat juga misalnya
seorang suami yang memukul istrinya, sehingga karena pukulan itu istri merasa kesakitan atau
tubuh istri terluka.
Apabila bertolak dari rumusan Pasal 352 ayat (1) KUHP diatas, dua contoh penganiayaan
itu yaitu penganiayaan orang tua terhadap anaknya dan penganiayaan suami istrinya bukanlah
merupakan penganiayaan ringan. Lantas masuk mana penganiayaan tersebut.
Secara logika, yang paling mungkin adalah bahwa dua contoh penganiayaan diatas masuk
kedalam Pasal 351 ayat (1) KUHP yaitu penganiayaan biasa. Namun, oleh karena penganiayaan
biasa dalam Pasal 351 ayat (1) secara doktriner dan berdasarkan yudisprudensi ditafsir sebagai
penganiayaan yang menimbulkan rasa sakit atau luka tubuh, semntara luka tubuh dalam konteks
Pasal 351 ayat (1) harus ditafsir sebagai luka yang menimbulkan halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencaharian meski harus bersifat sementara. Oleh karena itu secara logika
penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan
atau pencaharian yang dilakukan terhadap orang-orang yang berkualitas tertentu hanya mugkin
dianggap sebagai penganiayaan biasa. Apabila penganiayaan yang dilakukan terhadap orangorang yang berkualitas tertentu hanya menimbulkan rasa sakit atau luka yang tidak menjadi
halangan untuk menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penganiayaan yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian yang dilakukan
terhadap orang-orang yang berkualitas tertentu dianggap sebagai penganiayaan biasa bukan
sebagai penganiayaan ringan apabila akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan itu hanya berupa
rasa sakit atau berupa luka pada tubuh, luka tersebut merupakan luka yang menghalangi untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian meski hanya sementara.
Secara implisist ketentuan dalam Pasal 352 ayat (1) KUHP mengandung pemahaman,
bahwa penganiayaan yang tidak menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
atau pencaharian yang dilakukan terhadap orang- orang yang tidak mempunyai kualitas tertentu
sebagaimana diatur dalam Pasal 356 bukanlah merupakan penganiayaan biasa dalam Pasal 351
ayat (1), tetapi termasuk penganiayaan ringan sebagimana diatur dalam Pasal 352 ayat (1)
KUHP.

c.

Penganiayaan berencana
Jenis penganiayaan ini diatur dalam Pasal 353 KUHP yang menyatakan:
(1)

Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.

(2)

Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan


pidana paling lama tujuh tahun.

(3)

Jika perbuatan mengakibatkan mati, dia dikenakan pidana penjara paling lama
sembilan tahun.

Berdasarkan rumusan Pasal 353 KUHP diatas tersimpul pendapat bahwa penganiayaan
berencana dapat berupa tiga bentuk penganiayaan, yaitu:
(1)

Penganiayaan berencana yang tidak menimbulkan akibat akibat luka berat atau
kematian yaitu diatur dalam Pasal 353 ayat (1) KUHP. Apabila dikaitkan dengan
Pasal sebelumnya khususnya Pasal 351 ayat (1) KUHP yang mengatur penganiayaan
biasa, maka penganiayaan berencana yang tidak menimbulkan luka berat atau
kematian tersebut berupa penganiayaan biasa yang direncanakan lebih dahulu.
Dengan demikian jenis penganiayaan dalam Pasal 353 ayat (1) KUHP berupa
penganiayaan biasa berencana. Jenis penganiayaan adalah penganiayaan yang
menimbulkan akibat rasa sakit atau luka tubuh yang dilakukan secara berencana.
Luka tubuh dalam konteks Pasal 353 ayat (1) adalah luka tubuh yang tidak termasuk
luka menurut Pasal 90 KUHP dan tidak termasuk dalam pengertian menurut
ketentuan Pasal 352 ayat (2) KUHP.

(2)

Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat yang diatur dalam Pasal 353 ayat
(2) KUHP.

(3)

Penganiayaan berencana yang berakibat kematian yang diatur dalam Pasal 353
ayat (3) KUHP.

Apabila dilihat lebih lanjut, maka penganiayaan biasa dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP
mempunyai persamaan dan perbedaan dengan Pasal 353 ayat (1) KUHP. Persamaan dan
perbedaan antara dua jenis penganiayaan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.21

Persamaan penganiayaan biasa dengan penganiayaan berencana:


1.

Sama-sama tidak mengkibatkan luka berat atau kematian;

2.

Memiliki kesengajaan yang sama baik terhadap perbuatan maupun akibatnya;

3.

Bila penganiayaan tersebut mengakibatkan luka, maka luka tersebut harus luka yang
tidak termasuk luka berat sebagimana diatur dalam Pasal 90 KUHP.

Perbedaan penganiayaan biasa dengan penganiayaan berencana:


Penganiayaan biasa

Penganiayaan berencana

Pasal 351 ayat (1)

Pasal 351 ayat (1)

1. Tidak ada unsur lebih dahulu

1. Ada unsur lebih dahulu

2. Dapat terjadi pada penganiayaan ringan, yaitu


dalam hal tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
atau pencaharian.
3. Merupakan penganiayaan dalam
bentuk pokok.

2. Tidak mungkin terjadi pada penganiayaan


ringan, sebab Pasal 353 disebut sebagai
pengeculaian dari penganiayaan ringan.

4. Percobaannya tidak dipidana.


d.

3. Merupakan penganiayaan yang dikua lifilasi


4. Percobaannya dipidana

Penganiayaan Berat

Jenis tindak pidana ini diatur dalam Pasal 354 KUHP. Tindak pidana penganiayaan berat ini
terdiri dari dua macam yaitu:
(1) Tindak pidana penganiayaan berat biasa (yang tidak menimbulkan kematian)
diatur dalam Pasal 354 ayat (1).
(1) Tindak pidana penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian, diatur dalam
Pasal 354 ayat (2).
Rumusan tentang tindak pidana penganiayaan berat dalam Pasal 354 adalah sebagai
berikut:
Rumusan tentang tindak pidana penganiayaan berat dalam Pasal 354 adalah sebagai berikut:
(1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain diancam, karena melakukan
penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling
lama sepuluh tahun.
Apabila diuraikan unsur-unsur dari tindak pidana penganiayaan berat yang diatur dalam Pasal

354 ayat (1) memuat unsur-unsur sebagai berikut:


a.

Unsur kesalahan, berupa kesengajaan;

b.

Unsur melukai berat (perbuatan)

c.

Unsur tubuh orang lain;

d.

Unsur akibat yang berupa luka berat.

Dalam Pasal 354 KUHP akibat luka berat merupakan maksud dan tujuan dari sipelaku
yaitu bahwa sipelaku memang menghendaki terjadinya luka berat pada korban. Berbeda dengan
penganiayaan biasa yang mengakibatkan luka berat, dimana luka berat bukanlah akibat yang
dimasuk oleh sipelaku.
Dalam penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian, kematian bukanlah merupakan
akibat yang dikehendaki pelaku. Pelaku hanya menghendaki timbulnya luka berat. Dalam tindak
pidana ini harus dapat dibuktikan bahwa pelaku tidak mempunyai kesengajaan untuk
menimbulkan kematian, baik kesengajaan sebagi maksud, sebagai kemungkinan atau sebagai
kepastian.
e.

Penganiayaan berat berencana


Jenis penganiayaan berat berencana diatur dalam Pasal 355 KUHP. Penganiayaan ini pada

dasarnya merupakan bentuk penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana. Jenis
penganiayaan ini merupakan gabungan antara penganiayaan berat dengan penganiayaan
berencana. Dengan demikian untuk dapat terjadinya penganiayaan berat berencana dalam Pasal
355 KUHP, maka niat pelaku atau kesengajaan pelaku tidak cukup bila ditujukan terhadap
perbuatannya dan terhadap luka beratnya, tetapi kesengajaan itu juga harus ditujukan terhadap
unsur berencananya. Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa baik terhadap perbuatannya
maupun terhadap luka beratnya, pelaku mempunyai kehendak untuk mewujudkannya yang
kemudian direncanakannya.
Menurut ketentuan Pasal 355 KUHP, penganiayaan berencana dapat dirumuskan sebagai
berikut:
(1)

Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.

(2)

Jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling
lama kima belas tahun.

Berdasarkan rumusan Pasal 355 KUHP diatas terlihat, bahwa penganiayaan berat

berencana terdiri atas dua macam, yaitu:


1)

Penganiayaan

berat

berencana

yang

tidak

menimbulkan

kematian.

Jenis

penganiayaan ini sering disebut sebagai penganiayaan berat berencana biasa. Dalam
penganiayaan ini luka berat harus benar-benar terjadi yang juag harus dibuktikan,
bahwa luka berat itu memang merupakan akibat yang dikehendaki oleh sipelaku
sekaligus direncanakan.
2)

Penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan kematian. Namun matinya


korban dalam tindak pidana ini bukanlah akibat yang dikehendaki oleh sipelaku.
Kematian yang timbul dalam tindak pidana ini hanyalah merupakan akibat yang tidak
dituju sekaligus tidak direncanakan. Sebab apabila kematian merupakan kaibat yang
dituju maka yang terjadi bukanlah penganiayaan melainkan pembunuhan (Pasal 338
KUHP).

f.

Penganiayaan terhadap orang-orang yang berkualitas tertentu


Jenis penganiayaan ini diatur dalam ketentuan Pasal 356 KUHP yang menyatakan:

Pidana yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga
ke-1 Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya menurut
undang-undang, istrinya atau anaknya;
ke-2 Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan
tugasnya yang sah;
ke-3 Jika kejahatan dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau
kesehatan untuk dimakan atau diminum
Apabila dicermati, maka Pasal 356 merupakan ketentuan yang memperberat berbagai
penganiayaan. Berdasarkan Pasal 356 KUHP ini terdapat dua hal yang memberatkan berbagai
penganiayaan yaitu:
a. Kualitas korban, yaitu apabila korban penganiayaan tersebut berkulaitas sebagai ibu,
bapak, istri atau anak serta pegawai negeri yang ketika atau karena menjalankan
tugasnya yang sah.
b. Cara atau modus penganiayaan, yaitu dalam hal penganiayaan itu dilakukannya dengan
cara memberi bahan untuk dimakan atau untuk diminum.
BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
Berdasarkan pembandingan antara tinjuan pustaka dan contoh kasus yang didapat maka dapat
diketahui bahwa korban bernama Rudi Salam, laki-laki berumur dua puluh dua tahun, ditemukan
tanda kekerasan fisik. Luka-luka pada korban ini tergolong ke dalam luka ringan. Dimana luka
ringan tersebut adalah luka yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
jabatan atau pekerjaan. Dalam teori dijelaskan beberapa macam penganiayaan yaitu berdasarkan
ketentuan dalam KUHP, penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan. Umumnya yang dianggap
sebagai hasil dari penganiayaan ringan adalah korban dengan tanpa luka atau dengan luka lecet
atau memar kecil di lokasi yang tidak berbahaya/yang tidak menurunkan fungsi alat tubuh
tertentu. Luka-luka tersebut dimasukkan ke dalam kategori luka ringan atau luka derajat satu.
KUHP pasal 90 telah memberikan batasan tentang luka berat, yaitu: jatuh sakit atau mendapat
luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya
maut; yang menyebabkan seseorang terus-menerus tidak mampu untuk menjalankan tugas
jabatan atau pekerjaan pencaharian; yang menyebabkan kehilangan salah satu panca indera; yang
menimbulkan cacat berat (verminking); yang mengakibatkan terjadinya keadaan lumpuh;
terganggunya daya pikir selama empat minggu atau lebih serta terjadinya gugur atau matinya
kandungan seorang perempuan. Dengan demikian, korban yang bersangkutan merupakan
korban dari tindak pidana penganiayaan ringan seperti yang diatur dalam pasal 352 KUHP
dan teori yang telah dijabarkan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Atmadja DS. Simposium Tatalaksana Visum et Repertum Korban Hidup pada Kasus

Perlukaan & Keracunan di Rumah Sakit. Jakarta: RS Mitra Keluarga Kelapa Gading,
Rabu 10 Juli 2004.
2. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta :

Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


3. Dahlan, Sofwan. 2003. Pembuatan Visum Et Repertum. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.Semarang
4. Herlambang, Penggalih Mahardika. Mekanisme Biomolekuler Luka Memar 2013.

Available at: http://sibermedik.files.wordpress.com/2008/10/biomol-memar_rev.pdf.


[cited : 14 Juli 2013.
5. Wales J. Visum et Repertum. 2013. Available at

Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Visum_Et_Repertum. [cited : 14 Juli 2013].


6. Abdussalam, R, 2006, Forensik, Restu Agung, Jakarta Abidin, Andi Zainal, 1987, Asasasas Hukum Pidana Bagian Pertama, Alumni, Bandung.
7. Chazawi, Adami, 2002, Pelajaran hukum Pidana Bagian 2, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta
8. Harahap, M. Yahya, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi
Kedua, Sinar Grafika , Jakarta
9. Hamzah, Andi, 2005, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Kanter,
E.Y, dkk, 2002, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Storia
Grafika, Jakarta
10. Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
11. Murtika, I Ketut, dkk, 1992, Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, Rineka Cipta,
Jakarta
12. RM, Suharto, 2002, Hukum Pidana Materiil EdisiKedua, Sinar Grafika, Jakarta
13. Soeparmono, R, 2002, Keterangan Ahli dan Visum et Refertum Dalam Aspek Hukum
Acara Pidana, Mandar Maju, Bandung
14. Soesilo, R, 1994, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya
Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor.
15. Tjokronegoro, Sutomo,1952, Beberapa Hal Tentang Ilmu Kedokteran Kehakiman,
Pustaka Rakyat, NV. Jakarta.
16. Tongat, 2003, Hukum Pidana Materiel, Djambatan, Jakarta

LAMPIRAN

You might also like