You are on page 1of 32

REFERAT

Neuropathic Pain

PEMBIMBING:
dr. Ananda Setiabudi Sp.S

DISUSUN OLEH:
Andriany Chairunnisa
NIM: 030.11.026

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 14 SEPTEMBER 17 OKTOBER 2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini. Referat ini disusun guna
memenuhi tugas kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Saraf di RSUD Budhi Asih.
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dr.
Ananda Setiabudi Sp.S, yang telah membimbing penulis dalam mengerjakan
referat ini. Tak lupa juga ucapan terima kasih penulis haturkan kepada rekanrekan seperjuangan di kepaniteraan ini, serta kepada semua pihak yang telah
memberi dukungan dan bantuan kepada penulis.
Dengan penuh kesadaran dari penulis, meskipun telah berupaya
semaksimal mungkin untuk menyelesaikan referat ini, namun masih terdapat
kelemahan dan kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan. Akhir kata, penulis mengharapkan semoga referat ini
dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita semua.

Jakarta, September 2015

Penulis
LEMBAR PERSETUJUAN REFERAT

Referat dibawah ini :

Judul

: Neuropathic Pain

Penyusun

: Andriany Chairunnisa, S.Ked

NIM

: 030.11.026

Universitas

: Fakultas Kedokteran Trisakti

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat menyelesaikan kepaniteraan
klinik Ilmu Penyakit Syaraf Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih.

Jakarta, 29 September 2015

Dr. Ananda Setiabudi, Sp.S

Andriany Chairunnisa, S.Ked


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... 2

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING... 3


DAFTAR ISI.....4
BAB I PENDAHULUAN.5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...... 7
BAB III KESIMPULAN........................ 30
DAFTAR PUSTAKA..31

BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri adalah mekanisme protektif untuk menimbulkan kesadaran akan


kenyataan bahwa sedang atau akan terjadi kerusakan jaringan. Sedangkan
rangsangan atau stimulus adalah seluruh perubahan yang terdeteksi oleh tubuh,
yang terdapat dalam berbagai bentuk modalitas, misalnya seperti panas, cahaya,
suara, tekanan, dan perubahan kimiawi. Neuron-neuron aferen memiliki reseptor
di ujung saraf perifer yang berespons terhadap rangsangan baik dari dunia luar
maupun dalam tubuh. Karena satu-satunya jalan bagi neuron aferen untuk
menyalurkan informasi ke SSP tentang rangsangan ini adalah melalui perambatan
potensial aksi, maka reseptor harus mengubah bentuk-bentuk energi lain menjadi
sinyal listrik (potensial aksi). Reseptor dari rasa nyeri dikenal dengan nosiseptor,
yang peka terhadap kerusakan jaringan misalnya cubitan, atau luka bakar, atau
distorsi jaringan. Selain itu, stimulasi intens terhadap setiap reseptor lain juga
dirasakan sebagai nyeri.(1)
Nyeri sering menjadi salah satu keluhan utama pada pasien neurologi.
Nyeri yang dikeluhkan pasien bermacam-macam sifatnya, seperti rasa tertusuk,
panas, terbakar, dan lain-lain. Penanganan nyeri yang sempurna merupakan suatu
hal penting karena dampak dari nyeri akan menimbulkan respon stres metabolik
(MSR) yang akan mempengaruhi sistem tubuh dan memperberat kondisi pasien.
Hal ini akan merugikan pasien akibat timbulnya perubahan fisiologis dan
psikologis pasien seperti perubahan kognitif (kecemasan, ketakutan, gangguan
tidur), peningkatan kepekaan luka, pelepasan hormon (kortisol, renin,
angiotensin), peningkatan glukosa di darah, dan peningkatan nadi dan tekanan
darah.(2)
Nyeri neuropatik berasal dari saraf perifer di sepanjang perjalanannya atau
dari SSP karena gangguan fungsi, tanpa melibatkan eksitasi reseptor nyeri spesifik
(nosiseptor). Gangguan ini dapat disebabkan oleh kompresi, transeksi, infiltrasi,
iskemik, dan gangguan metabolik pada badan sel neuron. (3)
Epidemiologi nyeri neuropatik belum cukup banyak dipelajari, sebagian
besar karena keragaman dari kondisi nyeri ini. Estimasi saat ini, nyeri neuropatik

mungkin menyerang 3% dari populasi umum. Dari 6000 sampel keluarga yang
tinggal di tiga kota di Inggris, didapatkan prevalensi nyeri kronis adalah 48% dan
prevalensi nyeri neuropatik adalah 8%. Responden dengan nyeri neuropatik kronis
lebih banyak perempuan, dengan usia yang cukup tua, belum menikah, tidak
memiliki kualifikasi pendidikan, dan merupakan perokok. (4)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Nyeri merupakan gangguan sensorik positif yang dianggap sebagai
ungkapan suatu proses patologik di tubuh. Perangsangan nyeri menghasilkan
nyeri bersifat destruktif terhadap jaringan yang dilengkapi dengan serabut saraf
penghantar impuls nyeri. Jaringan itu dinamakan secara singkat dengan jaringan
peka nyeri. Contoh dari jaringan peka nyeri adalah jaringan subkutan, otot,
tendon, dan lain-lain. Jaringan atau bangunan yang tidak dilengkapi dengan
serabut nyeri tidak menghasilkan nyeri bilamana dirangsang, disebut dengan
jaringan tak peka nyeri. Misalnya diskus intervertebralis dan kartilago persendian.
(5)

Nyeri neuropatik juga disebut sebagai nyer kronik berbeda dengan nyeri
akut atau nosiseptif dalam hal etiologi, patofisiologi, diagnosis dan terapi. Nyeri
akut adalah nyeri yang sifatnya self-limitting dan dianggap sebagai proteksi
biologik melalui signal nyeri pada proses kerusakan jaringan. Nyeri pada tipe akut
merupkan simptom akibat kerusakan jaringan itu sendiri dan berlokasi di sekitar
kerusakan jaringan dan mempunyai efek psikologis saat minimal dibanding
dengan nyeri kronik. Nyeri ini dipicu oleh keberadaan neurotrasmiter sebagai
reaksi stimulasi terhadap reseptor serabut Alfa-delta dn C polimodal yang
berlokasi di kulit, tulang, jaringan ikat otot dan organ visera. Stimulus ini bisa
berupa mekanik, kimia, termis, demikian juga infeksidan tumor. Reaksi stimulus
ini berkibat pada sekresi neurotransmiter seperti prostaglandin, histamin,
serotonin,

somatostatin,

cholecystokinin,

vasoaktif

interstinal

peptida,

calcitoningenen-related peptide dan sebagainya.


Nyeri neuropatik adalah non self-limiting dan nyeri yang dialami bukan
bersifat sebagai protektif biologis namun adalah nyeri yang berlangsung dalam
proses patologi penyakit itu sendiri. Nyeri bisa bertahan beberapa lama yakni
bulan sampai tahun sesudah cedera sembuh sehingga berdampak luas dalam
strategi pengobatan termasuk terapi gangguan psikologis.(2)
2.2 Klasifikasi Nyeri

Klasifikasi nyeri dapat dibagi berdasarkan durasi, lokasi nyeri, ataupun


penyebabnya, yaitu:
a. Berdasarkan durasi, nyeri dapat dibagi menjadi
- Nyeri akut yaitu nyeri yang mereda setelah intervensi atau
-

penyembuhan.
Nyeri kronik adalah nyeri yang masih berlanjut walaupun pasien diberi
pengobatan atau penyakit tampak sembuh dan nyeri tidak memiliki

makna biologik.
b. Berdasakan lokasi nyeri, nyeri dapat dibagi menjadi:
- Nyeri somatik superfisial adalah nyeri kulit yang berasal dari struktur
struktur superfisial kulit dan jaringan subkutis
- Nyeri somatik adalah dalam adalah nyeri yang berasal dari otot, tendon,
ligamentum, tulang, sendi, dan arteri.
- Nyeri viscera adalah nyeri yang berasal dari organ-organ tubuh seperi
hepar, dan pankreas.(6)
c. Berdasarkan penyebabnya, nyeri dapat dibagi menjadi:
-

Nyeri nosiseptif atau nyeri inflamasi, yaitu nyeri yang timbul akibat
adanya stimulus mekanis terhadap nosiseptor. Contoh nyeri nosiseptif
adalah nyeri otot, nyeri akibat fraktur, luka bakar, luka terbuka pada kulit.
Selain itu, nyeri somatik dan nyeri viseral juga termasuk dalam nyeri
nosiseptif. Nosiseptor merupakan reseptor yang akan mendeteksi adanya
kerusakan pada jaringan, dan selanjutnya akan memberikan respon dengan
cara mengirimkan sinyal ke otak. Nyeri nosiseptif biasanya bersifat
sementara yang akan hilang seiring dengan penyembuhan pada jaringan
yang mengalami kerusakan. Selain itu, karakter nyeri nosiseptif juga akan

membaik dengan pemberian obat-obatan analgesik.


Nyeri neuropatik yaitu nyeri yang timbul akibat disfungsi primer pada
sistem saraf yang dapat bersifat sentral maupun perifer. Disebabkan oleh
karena lesi disepanjang jaras sistem syaraf sensorik. Lesi dapat disebabkan
oleh karena kerusakan langsun dari sistem syaraf, atau penyebab sekunder
seperti kompresi dari tumor, jaringan parut, atau peradangan oleh karena
infeksi.(6)

Nyeri neuropatik dapat bersifat spontan atau dibangkitkan. Gejala


nyeri neuropatik dapat bersifat positif ( misalnya : paraesthesi atau
disesthesi), dapat pula negatif (hipoesthesi). Dokter harus mencurigai
suatu konsisi nyeri neuropati bila menjumpai penderita dengan keluhan
nyeri seperti dibakar, kejutan listrik, ditusuk-tusuk dan kesemutan.(7)
Terminologi
Paraestesia
Disestesia

Definisi
Sensasi abnormal, baik spontan atau dibangkitkan
Sensasi abnormal tidak menyenangkan, baik spontan atau

Hipestesia

dibangkitkan
Berkurangnya sensitivitas terhadap rangsang sensorik (taktil

Hiperetesia

maupun termal)
Meningkatnya sensitivitas terhadap rangsang sensorik (taktil

Hipoalgesia
Hiperalgesia
Allodinia

maupun termal)
Berkurangnya respon nyeri pada rangsang sensorik nyeri
Meningkatnya respon nyeri pada rangsang sensorik nyeri
Nyeri muncul pada rangsang sensorik yang seharusnya tidak
menimbulkan nyeri.

Nyeri neuropatik dapat bertahan selama berbulan-bulan atau bertahuntahun dan tidak dipengaruhi oleh penyembuhan dari jaringan yang rusak. Nyeri
bersifat kronik dan tidak respon dengan pemberian analgetik.(7)
-

Nyeri psikologik bersumber dari emosi/psikis dan biasanya tidak disadari

2.3 Mekanisme Nyeri(8,9,10)


Nyeri dihantarkan melalui tiga jalur saraf yang menghantarkan nyeri dari
bagian perifer menuju korteks. Saraf aferen pertama terletak pada ganglia radiks
dorsalis yang terdapat dalam formina vertebralis. Setiap neuron mempunyai akson
tunggal yang bercabang dua, salah satu ujung menuju jaringan perifer untuk untuk
menginervasinya dan cabang lainnya menuju kornu dorsalis medula spinalis.
Dalam kornu dorsalis, neuron aferen pertama akan bersinaps dengan neuron kedua
yang aksonnya menyilang garis tengah dan naik ke atas melalui traktus
spinotalamikus kontralateral yang akhirnya akan mencapai talamus. Neuron kedua

akan bersinaps pada nukleus talami dengan neuron tersier, berikutnya sinyal akan
diproyeksikan melalui kapsula interna dan korona radiata untuk mencapai girus
pascasentralis korteks serebri.
Traktus Spinotalamikus
Akson dari kebanyakan neuron
kedua menyilang garis tengah
dekat dengan bagian asalnya
(komisura anterior) menuju sisi
kontralateral

dari

medula

spinalis sebelum membentuk


traktus

spinotalamikus

mengirimkan

seratnya

dan
ke

talamus, formasio retikularis,


nukleus raphe magnus, dan
periaquaductal gray. Traktus
spinotalamikus yang berperan
sebagai jalur nyeri yang utama,
terletak anterolateral dari bagian
area

putih

medula

spinalis.

Traktus asenden ini dapat dibagi


menjadi

traktus

lateral

dan

medial. Traktus spinotalamikus


lateralis
terutama

(neospinotalamik)
terproyeksi

pada

nukleus ventral posterolateral


talamus dan membawa aspek
diskriminatif dari nyeri, seperti
lokasi, intensitas dan durasi.
Traktus spinotalamikus medialis (paleospinotalamik) terproyeksi pada bagian
medial talamus dan bertanggung jawab atas respon otonom dan persepsi

10

emosional tidak menyenangkan dari nyeri. Beberapa serabut spinotalamikus juga


terproyeksi pada periaquaductal gray dan dengan demikian dapat merupakan
hubungan penting antara jalur
asenden dan desenden. Serabut

Gambar 1. Mekanisme Nyeri

kolateral juga terproyeksi pada reticular activating system dan hipotalamus, yang
kemungkinan bertanggung jawab untuk respon membangunkan terhadap nyeri.
Neuron Pertama
Pada umumnya, ujung proksimal dari akson neuron pertama akan memasuki
medula spinalis melalui bagian dorsal pada setiap segmen servikal, torakal,
lumbal, dan sakral. Beberapa serat yang tidak bermielin masuk melalui bagian
ventral dari medula spinalis, mengingat ditemukannya pasien yang masih tetap
merasa nyeri bahkan setelah transeksi dari radiks dorsalis. Setelah memasuki
kornu dorsalis, selain bersinaps dengan neuron kedua juga bersinap dengan
interneuron, saraf simpatis, dan kornu venralis medula spinalis.
Neuron kedua
Setelah serabut aferen memasuki kornu dorsalis, serabut-serabut tersebut akan
memisahkan diri sesuai ukuran dengan serat besar bermielin terletak pada bagian
medial dan serat kecil tidak bermielin terletak pada bagian lateral. Serat saraf
nyeri akan mengirimkan cabang satu sampai tiga segmen medula spinalis ke atas
dan ke bawah sebelum bersinap dengan neuron kedua pada bagian abu-abu dari
kornu dorsalis ipsilateral. Pada beberapa bagian serat-serat ini juga berhubungan
dengan neuron kedua melalui interneuron.
Area abu-abu dari medula spinalis oleh Rexed dibagi menjadi 10 lamina.
Dimana enam lamina pertama yang membentuk kornu dorsalis menerima seluruh
aktivitas serat aferen dan juga berperan sebagai tempat modulasi nyeri. Neuron
kedua terdiri atas neuron spesifik rasa nyeri dan neuron Wide Dynamic Range
(WDR). Neuron spesifik rasa nyeri hanya menerima stimulus noksius, sedangkan
neuron WDR juga menerima stimulus non-noksius dari serat aferen A, A, dan
C. Neuron spesifik nosiseptif tersusun secara somatotopik dalam lamina I dan
11

mempunyai lapangan reseptif yang spesfik. Serat-serat ini biasanya tidak


berfungsi dan hanya berespon terhadap stimulus noksius dengan ambang yang
tinggi. Neuron WDR neuron berjumlah paling banyak dalam kornu dorsalis.
Walaupun demikian, neuron WDR dapat ditemukan dalam jumlah besar pada
lamina V. Selama stimulus yang berulang, neuron WDR mempunyai sifat
meningkatkan intensitas stimulus secara eksponensial (wind up), bahkan
dengan intensitas stimulus yang sama. Serabut-serabut ini juga mempunyai
lapangan reseptif yang lebih luas dibandingkan dengan neuron spesifik nosiseptif.
Kebanyakan dari serabut nosiseptif C akan memberikan kolateral atau berakhir
pada neuron kedua pada lamina I dan II, atau dalam jumlah yang lebih kecil pada
lamina V. Sebaliknya, serabut nosiseptif A terutama bersinap pada lamina I dan
V, serta dalam jumlah yang kecil pada lamina X. Lamina I terutama merespon
terhadap stimulus noksius yang berasal dari kulit dan jaringan somatik dalam.
Lamina II yang juga disebut substansia gelatinosa, mengandung banyak
interneuron dan dipercaya berperan penting dalam mengolah dan memodulasi
input nosiseptif yang berasal dari nosireseptor kulit. Selan itu bagian ini juga
dianggap sebagai tempat kerja opioid yang utama. Lamina III dan IV terutama
menerima input sensoris non-nosiseptif. Lamina VIII dan IX membentuk kornu
anterior. Lamina VII dinamakan sebagai kolumna intermediolateral dan
mengandung badan sel dari neuron simpatis preganglion.
Serabut aferen viseral terutama berakhir pada lamina V, selain itu juga
berakhir pada lamina I dalam jumlah yang lebih kecil. Kedua lamina ini
menunjukkan titik dimana terjadi konvergensi antara input somatik dan viseral.
Lamina V merespon baik input noksius dan non-noksius serta menerima baik
serabut aferen somatik dan viseral. Fenomena konvergensi antara input somatik
dan viseral mempunyai menifestasi klinis sebagai refered pain. Dibandingkan
dengan serabut somatik, serabut nosiseptif viseral berjumlah lebih sedikit,
terdistribusi lebih luas, secara proporsional mengaktifkan sejumlah besar neuron
spinal, dan tidak terorganisir secara somatotopik.
Neuron Ketiga

12

Neuron ketiga terletak pada talamus dan mengirimkan serabutnya ke area


somatosensoris I dan II pada girus pascasentralis korteks parietalis dan dinding
superior fisura silvii. Persepsi dan lokalisasi nyeri diolah pada area kortikal ini.
Walaupun kebanyakan neuron dari nukleus talamus lateralis terproyeksi ke
korteks somatosensoris primer, neuron yang berasal dari nukleus intralaminer dan
medial nuklus terproyeksi ke girus cingulate anterior dan kemungkinan
memperantarai komponen penderitaan dari nyeri.
2.4 Letak Lesi Pada Nyeri Neuropati
A. Lesi Sentral
Lesi medulla spinalis
1. Lesi pada sentral medula spinalis sering didapatkan ada penyakit
Syringomyelia, trauma medulla spinalis, dan tumor medulla spinalis. Lesi pada
daerah ini akan menyebabkan hilangnya sensasi nyeri dan suhu yang lebih
dominan dibandingkan dengan modalitas sensorik lainnya. Lesi biasanya bersifat
bilateral, dapat bersifat asimetris dan biasanya sering disertai dengan kelumpuhan
motorik.
2. Lesi pada anterolateral medulla spinalis akan merusak sensasi nyeri dan suhu
pada setengah sisi tubuh kontralateral.
3. Lesi Anterior medula spinalis akan menyebabkan semua modalitas
somatosensorik pada setengah sisi tubuh kontralateral terganggu, kecuali nyeri
dan suhu.
4. Lesi Kolumna Posterior akan menyebabkan hilangnya sensasi posisi dan getar,
diskriminasi, dan sebagainya. Dapat disertai dengan ataksia ipsilateral.
Lesi batang otak
Pada lesi batang otak, gangguan persepsi sensorik biasanya diikuti dengan defisit
motorik, tanda-tanda lesi sereberal, dan parese saraf kranialis. Bila lesi mengenai
traktus spinotalamikus di dorsolateral medulla dan pons, maka persepsi nyeri dan
13

suhu akan hilang pada sisi tubuh kontralateral. Bila lesi terkena pada medulla,
maka akan mengenai nukleus nervus trigeminus yang akan mengakibatkan
hilangnya persepsi nyeri dan suhu pada daerah wajah ipsilateral. Bila lesi
mengenai jaras medial lemniskus maka akan hilang persepsi raba dan
proprioseptif pada sisi kontralateral tubuh. Bila lesi terdapat di bagian atas batang
otak, dimana dibagian ini jaras spinotalamikus dan medial lemniskus berjalan
bersamaan, sehingga bila terdapat lesi akan mengakibatkan hilangnya seluruh
modalitas sensorik pada sisi tubuh kontralateral.
Lesi di Thalamus
Pada lesi di thalamus akan menyebabkan hilangnya seluruh modalitas sensorik
pada sisi kontralateral tubuh. Pasien biasa mengeluhkan seperti rasa terbakar,
tertusuk, atau terkadang sifat nyeri sulit dideskripsikan.
Lesi subkortikal atau kortikal
Lesi di area somatosensorik yang sesuai pada lengan dan tungkai akan
menyebabkan parestesia dan kebas pada ekstremitas kontralateral, yang lebih jelas
di bagian distaldaripada bagian proksimal. Lesi iritatif pada lokasi ini dapat
menimbulkan kejang fokal sensorik, karena korteks motorik terletak tepat di
sebelahnya, umumnya sering didapatkan cetusan motorik juga (kejang
jacksonian). (11)
B. Lesi Perifer
a. Lesi pada radiks posterior
Lesi radiks akan menyebabkan nyeri radikular dan parastesia, serta kerusakan atau
hilangnya semua modalitas sensorik di area tubuh yang terkena, selain itu
didapatkan hipotonia atau atonia, arefleksia dan ataksia jika radiks tersebut
mempersarafi ekstremitas atas atau bawah. Arefleksia dapat terjadi tergantung dari
letak lesi. Lesi pada C5-6 akan menghilangkan refleks tendon biceps, C7-8 pada
triceps, L3-4 menghilangkan refleks patella, dan lesi pada S1 akan menghilangkan

14

refleks tendon achilles. Sedangkan penurunan tonus dan atrofi otot dapat terjadi
bila lesi juga mengenai radiks anterior.(12)
Nyeri radikular yang disebabkan oleh karena iritasi di radiks posterior.
Baik iritasi pada serabut sensorik di bagian radiks posterior maupun di bagian
saraf spinal itu akan menyebabkan nyeri radikular. Segala sesuatu yang
merangsang serabut sensorik di tingkat radiks dan foramen intervertebrale dapat
menimbulkan nyeri radikular, yaitu nyeri yang terasa berpangkal pada tingkat
tulang belakang tertentu dan menjalar sepanjang kawasan dermatomal radiks
posterior yang bersangkutan. Contohnya ialah

nyeri radikular pada hernia

nukleus pulposus. Hernia Nukleus Pulposus (HNP) ialah keluarnya nukleus


pulposus ke kanalis vertebralis akibat degenerasi anulus fibrosus intervertebral.
Penyebab

HNP pada

tingkat

lumbosakral

ialah

tekanan

pada

diskus

intervertebralis, biasanya terjadi ketika mengangkat benda berat dalam posisi


membungkuk. Tempat penjebolan nukleus pulposus bervariasi. Radiks posterior
dapat tertekan dari samping, medial, atau posterior dengan manifestasi klinis
dapat berupa nyeri radikular serta parestesia dan nyeri radikular serta hipestesia.(5)
b. Inflamasi Idiopatik Neuropati
Inflamasi Idiopatik neuropati terbagi akut dan kronik. Akut Idiopatik
Polineuropati (Guillain-Barre Syndrome) adalah suatu polineuropati yang bersifat
ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi
akut. GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid
yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya
adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.(12)
Sedangkan

yang

kronik

dikenal

dengan

Chronic

Inflammatory

Demyelinating Polyneuropathy (CIPD). CIPD merupakan suatu penyakit


autoimun dengan gangguan neurologis yang dikarakteristikkan oleh kelemahan
progresif dan gangguan fungsi sensorik pada lengan dan tungkai, yang disebabkan
oleh kerusakan selubung myelin (selubung lemak yang membungkus dan
melindungi sekeliling serat saraf) saraf perifer.

15

c. Metabolik Neuropati, contohnya pada Diabetes Mellitus.


Pada diabetes mellitus, kerusakan sel saraf merupakan dampak dari stres
metabolik yang menyebabkan anoksia. Keadaan anoksia bermula dari pengaruh
gangguan pembentukan ATP didalam sel yang terjadi akibat stress metabolik yang
berkelanjutan, yang dipicu gangguan metabolisme glukosa. Jalur metabolisme
alternatif berupa glikolisis anaerob, berdampak menurunnya kadar glikogen serta
meningkatnya asam laktat. pada penderita diabetes. Pada mulanya timbul kelainan
yang bersifat reversible pada saraf, ditandai proses edema dan terhambatnya
sintesis protein dalam sel. Bila stress berlanjut, kelainan bersifat irreversible
dimana terlihat kerusakan pada membranesel serta disintegrasi DNA. (13)
d. Infektif dan Neuropati granulomatosa pada Neuralgia post-herpetic, penyakit
AIDS, Leprosy, Difteri dan Sarcoidosis. Pada Neuralgia post-herpetik timbul
nyeri yang menetap untuk jangka waktu yang lama setelah muncul ruam pada
penyakit herpes zoster. Meskipun definisi yang ada bervariasi, American
Academy of Neurology memberikan definisi PHN adalah rasa nyeri yang
menetap lebih dari 3 bulan setelah penyembuhan ruam pada penyakit herpes
zoster. Etiologi dari PHN belum diketahui secara pasti, akan tetapi, pada
pasien dengan PHN telah mengalami kerusakan dari saraf sensori, dorsal root
ganglia (DRG), dan kornu posterior spinalis. Diperkirakan telah terjadi
penyebaran partikel-partikel dari virus di tempat-tempat ini setelah
tereaktivasi dan ini disertai oleh inflamasi, repon imun, perdarahan, dan
kerusakan pada saraf sensori perifer dan prosesnya. Diketahui juga bahwa
infeksi VZV ini dapat menyerang korda spinalis dan SSP disertai pembuluh
darah menyebabkan gejala neurologik yang meluas. (2)
e. Vaskulitis Neuropati pada Polyarteritis nodosa, Rheumatoid arthritis, Systemic
lupus erythematosus
f. Neoplastik dan paraproteinemik neuropati pada kompresi dan infiltrasi tumor,
amiloidosis

16

g. Drug-induced and toxic Neuropathies dapat disebabkan oleh konsumsi alkohol,


obat-obatan tertentu dan pada kasus keracunan hexacarbon, arsen dan lain-lain.
h. Neuropati herediter seperti pada penyakit Friedreich Atacia, dan amiloidosis.
i. Entrapment Neuropathies seperti contohnya pada Carpal Tunnel Syndrome.
Pada Carpal Tunnel Syndrome terjadi kompresi nervus medianus ketika saraf ini
lewat di bawah retinakulum fleksor, di dalam terowongan karpal pada pergelangan
tangan. Gejalanya berupa mati rasa, nyeri, dan parasthesia. Area yang terkena
adalah sepanjang distribusi sensori nervus medianus, yaitu meliputi telapak tangan
dan aspek palmar jari-jari tangan yang tidak diinervasi oleh nervus cubitalis.(12)

2.5 Patofisiologi Nyeri Neuropati

Gambar 2. Klasifikasi Nyeri


17

Sensitisasi Perifer
Sensitisasi dan aktivitas ektopik pada primary afferent nociceptor.
Sensasi nyeri normalnya diawali oleh aktivitas pada saraf afferent
unmyelinated (C-) dan thinly myelinated (A-). Nosiseptor ini biasanya tidak akan
tereksitasi tanpa adanya stimulasi dari luar. Akan tetapi, ketika terjadi lesi pada
saraf perifer, neurons ini bisa menjadi sensitive yang abnormal dan
mengembangkan aktivitas neurologi spontan yang patologis.
Aktivitas ektopik spontan yang terjadi pada sel saraf yang rusak juga
menunjukkan adanya peningkatan ekspresi m-RNA untuk voltage-gated sodium
channels. Kelompok sodium channel ini pada situs ektopik ini bertanggung jawab
atas rendahnya ambang batas dari aksi potensial dan hiperaktivitas. Rendahnya
ambang batas dari potensial aksi ini dapat menyebabkan sensitivitas terhadap
rangsangan sehingga ketika ada rangsangan yang normalnya belum menyebabkan
nyeri, bisa langsung menyebabkan nyeri yang berlebihan.
Lesi pada sel saraf akan menyebabkan regenerasi sel saraf dan tumbuhnya
neuroma pada bagian proksimal sel saraf. Eksitasi abnormal dan discharge
abnormal bisa muncul pada neuroma ini. Hal ini dapat menyebabkan nyeri
abnormal yang spontan pada pasien neuropati.(14)
Inflamasi pada nyeri neuropati
Setelah terjadi lesi pada sel saraf, makrofag yang telah aktif akan masuk dari
endoneural blood vessel kedalam saraf dan DRG dan mengeluarkan sitokin.
Mediator inflamasi ini akan menginduksi aktivitas ektopik pada sel saraf yang
terluka dan juga sel saraf normal didekatnya. Pada pasien yang dengan
inflammatory neuropathies akan mengalami nyeri yang sangat dalam.(14)
Sentral sensitisasi
Sensititasi pada spinal cord
Sebagai konsekuensi terhadap hiperaktivitas nosiseptor perifer, perubahan
sekunder yang dramatis terjadi pada cornu dorsal dari medulla spinalis. Lesi pada
saraf perifer akan meningkatkan kemampuan eksitasi pada multiresepsi pada
neuron medulla spinalis (wide-dinamic-range neuron). Hipereksitasi ini

18

bermanifestasi oleh karena meningkatnya aktivitas sel saraf sebagai respon


terhadap stimulasi noxious, ekspansi lapangan neuronal receptive dan penyebaran
hipereksitasi spinal ke segmen yang lain.
Pada keadaan normal, neuron pada cornu dorsal akan menerima inhibisi
kuat yaitu GABA (gamma-aminobutyric acid). Pada hewan percobaan, partial
nerve injury akan menginisasi apoptosis dari GABA pada bagian superficial
neuron pada cornu dorsal. Hal ini menambah rangsangan nyeri yang akan diterima
oleh pasien neuropati.(14)

Gambar 3. Patomekanisme Nyeri Neuropati

19

Pada gambar A, jalur aferen primer dan koneksinya di tanduk dorsal


sumsum tulang belakang. Terlihat bahwa serabut C nosiseptif (merah) berakhir
pada neuron proyeksi spinotalamikus di lamina atas (neuron kuning). Nonnociceptive serabut A ber-myelin ke lamina lebih dalam. Neuron proyeksi
berikutnya adalah tipe Wide Dynamic Range (WDR) neuron yang menerima
masukan langsung dari terminal sinaptik nociceptive dan juga masukan dari
multisynaptic serabut A ber-myelin (non-noxions informasi, biru neuron system).

20

Interaksi dengan mikroglia (sel abu-abu) memfasilitasi transmisi sinaptik.


Interneuron GABAnergic (neuron hijau) biasanya mengerahkan masukan sinaptik
penghambatan pada neuron WDR. Selanjutnya, descending modulatory systems
synaps di neuron WDR (hanya proyeksi hambat, terminal descending hijau).
Gambar B tampak perubahan periferal pada neuron aferen primer setelah
lesi saraf parsial, menyebabkan sensitisasi perifer. Terlihat bahwa beberapa akson
yang rusak dan merosot (akson 1 dan 3) dan beberapa masih utuh dan terhubung
ke organ akhir perifer (kulit, akson 2 dan 4).Ekspresi saluran natrium meningkat
pada neuron yang rusak (akson 3), dipicu sebagai konsekuensi dari lesi. Selain itu,
produk-produk seperti faktor pertumbuhan saraf, terkait dengan degenerasi
Wallerian dan dirilis di sekitar serat terhindar (panah), ekspresi memicu saluran
dan reseptor (misalnya, saluran natrium) pada serat terluka.
Gambar C, aktivitas spontan di nosiseptor C menyebabkan perubahan
sekunder dalam pengolahan sensorik pusat, menyebabkan hyperexcitability
sumsum tulang belakang (sensitisasi sentral orde kedua neuron nociceptive,
bintang di neuron kuning) yang menyebabkan masukan dari mechanoreceptive
serabut A (sistem neuron biru, sentuhan ringan dan rangsangan punctuate) yang
akan dirasakan sebagai rasa sakit (allodynia mekanik dinamis dan punctuate
tanda +, menunjukkan gating di sinaps). Beberapa presynaptic (reseptor opioid,
saluran kalsium) dan struktur molekul postsynaptic (reseptor glutamat, AMPA /
reseptor kainate, reseptor sodium/5HT, reseptor GABA, saluran natrium) yang
terlibat dalam sensitisasi sentral. Inhibitory interneurons dan descending
modulatory control systems (neuron hijau) yang disfungsional setelah lesi saraf,
menyebabkan disinhibisi atau fasilitasi neuron sumsum tulang belakang tanduk
dorsal dan lebih lanjut, sentral sensitisasi.
Gambar D, cedera saraf perifer mengaktifkan sel-sel sumsum tulang
belakang glial (sel abu-abu) melalui kemokin pada reseptor kemokin.Activatedmikroglia lebih meningkatkan rangsangan pada neuron WDR dengan melepaskan
sitokin dan faktor pertumbuhan (misalnya, tumor necrosis fator , tulang-derived
factor saraf) dan meningkatkan konsentrasi glutamat.
Berikut ini adalah hipotesis kerja hiperalgesia neuropatik dan allodynia.
Model ini menggambarkan mekanisme kemungkinan nyeri neuropatik setelah

21

cedera saraf siatik parsial pada tikus dimana lysophosphatidic acid (LPA) terlibat
dalam penyebab nyeri neuropatik.(15)

Gambar 4. Patomekanisme Nyeri Neuropatik


Sejumlah studi farmakologi menunjukkan bahwa asam lysophosphatidic
(LPA) dapat menyebabkan nyeri neuropatik dan demielinasi menyusul cedera
saraf siatik parsial. LPA adalah salah satu dari metabolit lipid beberapa dirilis
setelah cedera jaringan, serta dari berbagai sel-sel kanker. Reseptor LPA
mengaktifkan jalur sinyal ganda dan beberapa G-protein. Stimulasi langsung
ujung nociceptor perifer oleh LPA, melalui LPA 1 reseptor, juga menunjukkan
peran dalam proses nociceptive. Dari catatan khusus, reseptor-dimediasi LPA
sinyal melalui G 12/13 akan mengaktifkan GTPase RhoA kecil. Dalam keadaan
aktif, Rho translokasi ke membran plasma dan dengan demikian relay sinyal
ekstraselular ke efektor hilir beberapa, termasuk Rho-kinase atau ROCK, yang
dapat dihambat oleh senyawa turunan piridin, Y-27632. Penghambatan jalur Rho
juga dapat dilakukan dengan selektif ADP-ribosylation dari RhoA, menggunakan
botulinum exoenzyme C3 Clostridium (BoTN/C3). Keterlibatan Rho-ROCK
sistem mekanisme nyeri neuropatik awalnya ditunjukkan olehnya suntikan
BoTN/C3 sebelum cedera saraf perifer pada tikus, yang diblokir pengembangan

22

hiperalgesia. LPA dan reseptor LPA ekspresi reseptor gen mengaktifkan Rho
dalam saraf perifer, yang menunjukkan bahwa patofisiologi reseptor LPA
mungkin mengaktifkan Rho di nyeri neuropatik cedera saraf perifer. Sebuah studi
yang menarik digambarkan bahwa LPA menghambat filopodia dari kerucut
pertumbuhan. LPA dapat terlibat dalam C-serat retraksi, yang merupakan
pendukung hipotesis perubahan fungsional disebabkan oleh nyeri neuropatik.
Bersama-sama, temuan ini menyajikan LPA sebagai molekul sinyal yang menarik
dalam pengembangan nyeri neuropatik.(15)

2.6 Pemeriksaan Fisik


a. Pemeriksaan penyebab kerusakan saraf, seperti: pemeriksaan kekuatan
otot, serta bukti adanya kram/ fasikulasi, mengidentifikasikan keterlibatan
serat motorik
b. Tindakan evaluasi kemampuan pasien untuk merasakan adanya
getaran, sentuhan ringan, posisi tubuh, suhu, dan nyeri akan mengungkapkan
adanya kerusakan saraf sensorik dan menentukan jenis saraf yang terlibat.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah
Mendeteksi adanya diabetes, defisiensi vitamin, disfungsi hati atau
ginjal, dan kelainan metabolic lainnya.
b. CT-Scan
Mendeteksi kerusakan tulang dan pembuluh darah, tumor otak
tertentu dan kista, hernia disk, ensefalitis, spinal stenosis (penyempitan
saluran tulang belakang), dan gangguan lainnya.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

23

Dapat menunjukan kualitas dan ukuran otot, mendeteksi penggantian


lemak terhadap jaringan otot, mendeteksi penggantian lemak terhadap
jaringan otot, dan menentukan apakah suatu saraf telah mengalami kompresi.
d. Elektromiograf (EMG)
Dievaluasi dengan memasukan jarum halus ke dalam otot untuk
membandingkan jumlah aktivitas listrik yang ada pada saat otot mengalami
istirahat dengan terjadi kontraksi
e. Kecepatan Konduksi Saraf (NCV)
Berfungsi mengukur tingkat kerusakan pada serabut saraf yang lebih
besar dan membedakan apakah gejala tersebut disebabkan oleh degenerasi
selubung myelin atau akson.

2.8 Terapi
Nyeri neuropatik merupakan sindroma nyeri kronik yang sangat
mempengaruhi segala aspek dari kehidupan pasien. Pada kondisi nyeri neuropatik,
etiologi biasanya sudah berlalu, tetapi nyeri tetap mengganggu. Berdasarkan 2
fakta tersebut di atas, maka pengobatan terhadap fenomenologi dan mekanisme
lebih penting daripada pengobatan etiologi.

24

Tahap I

Nilai nyeri & tegakkan diagnosis.

Tetapkan & obati penyebab

Identifikasi kemungkinan eksaserbasi komorbid akibat pemberian terapi

Jelaskan diagnosa, rencana terapi & ekspektasi yang realistis.

Tahap II

Mulai terapi kausatif (jika memungkinkan)

Mulai terapi simtomatik, dengan 1 atau lebih terapi berikut:

TCA sekunder (nortriptilin, desipramin) atau SSNRI (duloksetin)


/selektif serotonin norandrenaline reuptake inhibitor

Ca++ channel 2 ligand (Gabapentin, Pregabalin)

lidokain topikal, dengan/tanpa terapi lini pertama lainnya untuk


nyeri neuropatik perifer lokal

opioid atau tramadol, dengan/tanpa terapi lini pertama lain pada


nyeri neuropatik akut, kanker, eksaserbasi episodik nyeri berat

Evaluasi kemungkinan terapi non-farmakologis

25

Tahap III

Nilai kembali nyeri dan kualitas hidup terkait nyeri secara frekuen

Jika perbaikan nyeri terjadi substansial (rerata penurunan nyeri 3/10) dan
efek samping dapat ditolerir, teruskan terapi

Perbaikan nyeri parsial (rerata perbaikan nyeri 4/10) setelah pemberian


satu jenis obat adekuat, tambahkan salah satu dari obat lini pertama (lihat
tabel)

Jika tidak ada respon terapi setelah pemberian dosis adekuat, ganti dengan
obat lini pertama alternatif

Tahap IV

Bila terapi lini pertama gagal, meski dengan kombinasi atau penambahan
dengan obat alternatif, rujuk ke spesialis.
Banyak jenis obat obat yang telah digunakan dalam mengobati nyeri

neuropatik, termasuk diantaranya antiepilepsi spektrum luas (AEDs), misalnya


karbamazepin, fenitoin, okskarbazepin, gabapentin, pregabalin, lamotrigin,
penobarbital, fenitoin, topiramate, dan valproic bekerja dengan mengurangi
loncatan listrik pada neuron melalui blokade dari voltage dependent sodium dan
kalsium channel. Obat lainnya (mis, penobarbital, tiagabine, topiramate,
vigabatrine, valproat) bekerja dengan meningkatkan inhibisi neurotransmitter atau
secara langsung turut campur dalam transmisi eksitatorik.
Anti Depresan
Dari berbagai jenis anti depresan, yang paling sering digunakan untuk terapi
nyeri neuropati adalah golongan trisiklik, seperti amitriptilin, imipramin,
maprotilin, desipramin.Mekanisme kerja anti depresan trisiklik (TCA) terutama
mampu memodulasi transmisi dari serotonin dan norepinefrin (NE). Anti depresan
trisiklik menghambat pengambilan kembali serotonin (5-HT) dan noradrenalin
oleh reseptor presineptik. Disamping itu, anti depresan trisiklik juga menurunkan
jumlah reseptor 5-HT (autoreseptor), sehingga secara keseluruhan mampu
meningkatkan konsentrasi 5-HT dicelah sinaptik. Hambatan reuptake norepinefrin

26

juga meningkatkan konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik. Peningkatan


konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik menyebabkan penurunan jumlah
reseptor adrenalin beta yang akan mengurangi aktivitas adenilsiklasi. Penurunan
aktivitas adenilsiklasi ini akan mengurangi siklik adenosum monofosfat dan
mengurangi pembukaan Si-Na. Penurunan Si-Na yang membuka berarti
depolarisasi menurun dan nyeri berkurang.(17)
Anti Konvulsan
Anti konvulsan merupakan gabungan berbagai macam obat yang
dimasukkan kedalam satu golongan yang mempunyai kemampuan untuk menekan
kepekaan abnormal dari neuron-neuron di sistem saraf sentral.Seperti diketahui
nyeri neuropati timbul karena adanya aktifitas abnormal dari sistem saraf. Nyeri
neuropati dipicu oleh hipereksitabilitas sistem saraf sentral yang dapat
menyebabkan nyeri spontan dan paroksismal. Reseptor N-methyl D-aspartate
(NMDA) dalam influks Ca2+ sangat berperan dalam proses kejadian wind-up
pada nyeri neuropati. Prinsip pengobatan nyeri neuropati adalah penghentian
proses hiperaktivitas terutama dengan blok Si-Na atau pencegahan sensitisasi
sentral dan peningkatan inhibisi.(17)

Karbamasepin dan Okskarbasepin


Mekanisme kerja utama adalah memblok voltage-sensitive sodium channels
(VSSC). Efek ini mampu mengurangi cetusan dengan frekuensi tinggi dari
neuron. Okskarbasepin merupakan anti konvulsan yang struktur kimianya mirip
karbamasepin maupun amitriptilin. Dari berbagai uji coba klinik, pengobatan
dengan okskarbasepin pada berbagai jenis nyeri neuropati menunjukkan hasil
yang memuaskan, sama, atau sedikit diatas karbamazepin, hanya saja
okskarbasepin mempunyai efek samping yang minimal.
Lamotrigin
Merupakan anti konvulsan baru untuk stabilisasi membran melalui VSCC,
merubah atau mengurangi pelepasan glutamat maupun aspartat dari neuron
27

presinaptik, meningkatkan konsentrasi GABA di otak. Khusus untuk nyeri


neuropati penderita Human Immunodeficiency Virus (HIV), digunakan lamotrigin
sampai dosis 300 mg perhari. Hasilnya, efektivitas lamotrigin lebih baik dari
plasebo, tetapi 11 dari 20 penderita dilakukan penghentian obat karena efek
samping. Efek samping utama lamotrigin adalah skin rash, terutama bila dosis
ditingkatkan dengan cepat.
Duloxetine
Duloxetine diindikasikan untuk penanganan nyeri neuropatik yang
berhubungan dengan dpn, walaupun mekanisme kerjanya dalam mengurangi nyeri
belum

sepenuhnya

dipahami.

Hal

ini

mungkin

berhubungan

dengan

kemampuannya untuk meningkatkan aktivitas norepinephrin dan 5-HT pada


sistem saraf pusat, duloxetine umumnya dapat ditoleransi dengan baik, dosis yang
dianjurkan yaitu duloxetine diberikan sekali sehari dengan dosis 60 mg, walaupun
pada dosis 120 mg/hari menunjukkan keamanan dan keefektifannya, tapi tidak ada
bukti yang nyata bahwa dosis yang lebih dari 60 mg/hari memiliki keuntungan
yang signifikan, dan pada dosis yang lebih tinggi kurang dapat ditoleransi dengan
baik.
Gabapentin
Gabapentine diindikasikan untuk penanganan Pasca Herpetic Neuralgia
(PHN) pada orang dewasa, molekulnya secara struktural berhubungan dengan
neurotransmitter gamma-amino butyric acid (GABA), namun gabapentin tidak
berinteraksi secara signifikan dengan neurotransmitter yang lainnya, walaupun
mekanisme kerja gabapentin dalam mengurangi nyeri PHN belum dipahami
dengan baik, namun salah satu sumber menyebutkan bahwa gabapentin mengikat
reseptor 2 subunit dari voltage-activated calsium channels, pengikatan ini
menyebabkan pengurangan influks ca2+ ke dalam ujung saraf dan mengurangi
pelepasan neurotransmitter, termasuk glutamat dan norepinephrin.
Pada orang dewasa, terapi gabapentin dimulai dengan dosis tunggal 300 mg
pada hari pertama, 600 mg pada hari kedua (dibagi dalam dua dosis), dan 900 mg

28

pada hari yang ketiga (dibagi dalam 3 dosis). Dosis ini dapat dititrasi sesuai
kebutuhan untuk mengurangi nyeri sampai dosis maksimum 1800 hingga 3600
mg (dibagi dalam 3 dosis). Pada penderita gangguan fungsi ginjal dan usia lanjut
dosisnya dikurangi.(17)
Pregabalin
Pregabalin diindikasikan pada penanganan nyeri neuropatik untuk diabetic
peripheral neuropathy (DPN) dan juga postherpetic neuralgia (PHN). Mekanisme
kerja dari pregabalin sejauh ini belum dimengerti, namun diyakini sama dengan
gabapentin. Pregabalin mengikat reseptor 2 subunits dari voltage activated
calsium channels, memblok ca2+ masuk pada ujung saraf dan mengurangi
pelepasan neurotransmitter. Pada penderita DPN yang nyeri, dosis maksimum
yang direkomendasikan dari pregabalin adalah 100 mg tiga kali sehari
(300mg/hari). Pada pasien dengan creatinin clearance 60 ml/min, dosis
seharusnya mulai pada 50 mg tiga kali sehari (150 mg/hari) dan dapat
ditingkatkan hingga 300 mg/hari dalam 1 minggu berdasarkan keampuhan dan
daya toleransi dari penderita. Dosis pregabalin sebaiknya diatur pada pasien
dengan

gangguan

fungsi

ginjal.

Pada

penderita

PHN,

dosis

yang

direkomendasikan dari pregabalin adalah 75 hingga 150 mg 2 kali sehari atau 50


hingga 100 mg 3 kali sehari (150-300 mg/hari). Pada pasien dengan creatinin
clearance 60 ml/min, dosis mulai pada 75 mg 2 kali sehari, atau 50 mg 3 kali
sehari (150 mg/hari) dan dapat ditingkatkan hingga 300 mg/hari dalam 1
minggu berdasarkan keampuhan dan daya toleransi penderita, jika nyerinya tidak
berkurang pada dosis 300 mg/hari, pregabalin dapat ditingkatkan hingga 600
mg/hari.(17)

29

BAB III
KESIMPULAN

Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan


neural pada saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi jalur saraf
aferen sentral dan perifer. Nyeri bersifat kronik dan dapat mengakibatkan
penurunan kualitas hidup penderita. Nyeri neuropati mengakibatkan melibatkan
gangguan neuronal fungsional dimana saraf perifer atau sentral terlibat dan
menimbulkan nyeri khas yang bersifat epikritik (tajam dan menyetrum) atau
protopatik (disestesia, rasa terbakar, parastesia). Kerusakan neural oleh karena
trauma atau lesi di serabut saraf di perifer atau sentral dapat memicu
hipereksibilitas membran sel, yang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan
pada serabut Alfa-Delta dan serabut C sehingga menimbulkan bangkitan ektopik
yang dapat menyebabkan timbulnya nyeri neuropatik.
Perjalanan penyakit neuropati sangat tergantung pada penyebabnya.
Neuropati perifer sangat bervariasi dari gangguan yang reversible sampai
komplikasi yang bersifat fatal. Pada kasus yang paling baik, saraf yang rusak akan

30

ber-regenerasi. Sel saraf tidak bisa digantikan jika mati namun mempunyai
kemampuan untuk pulih dari kerusakan. Kemampuan pemulihan tergantung
kerusakan dan umur seseorang dan keadaan kesehatan orang tersebut.
Pasien yang mengalami nyeri neuropatik sering memberi respon yang
kurang baik terhadap analgesik opioid. Hal ini menyebabkan beberapa neuropati
perifer membutuhkan waktu lama untuk sembuh. Pada kasus-kasus tersebut,
monitoring jangka panjang dan perawatan suportif perlu dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sherwood L. Fisiologi Manusia: Dari Sel Ke Sistem. 2nd edition. Jakarta:
EGC; 2001. p156-159
2. Nicholson B. Differential Diagnosis: Nociceptive and Neuropathic Pain. The
American Journal of Managed Care. Juni 2006.p.256-61.

3. Galuzzi KE. Management of Neuropathic Pain. JAOA September 2005;


105: p.12-19.
4. Torrance N, Smith BH, Bannet MI, Lee AJ. The Epedimiology of Chronic
Pain of Predominantly Neuropathic Origin. J Pain April 2006; 7(4): 281-9.
5. Mardjono M, Sidharta P. Patofisiologi Somestesia: Neurologi Klinis Dasar.
Jakarta: Dian Rakyat: 2014.p.82-95
6. Meliala L, Pinzon R. Breakthrough in Management of Acute Pain. Volume
20 Number 4:2007. Cited 2015 September 15th.
7. Pinzon, R. Diagnosis Nyeri Neuropatik dalam Praktek sehari hari. 2012.
SMF Saraf, RS Bethesda. Yogyakarta; Indonesia.
8. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Tatalaksana Nyeri. In: Petunjuk
Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002; 74-83.
9. Morgan GE. Pain Management. In: Clinical Anesthesiology. 4th ed.
Stamford: Appleton and Lange. 2004; 274-316.

31

10. Avidan M, Harvey AM, Ponte J, Wendon J, Ginsburg R. Pain


Management. In: Perioperative Care, Anaesthesia, Pain Management and
Intensive Care. London: Churchill Livingstone. 2003; 78-102
11. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS. 4th Ed. Jakarta:
EGC;2015. P.46
12. Aminoff M, Greenberg D, Simon R. Clinical Neurology. 6th Ed.
Lange:2015. P.206-25.
13. Brownlee M. The pathology of diabetic complication. A unifying
mechanism. Diabetes 54 : 1615-1625, 2005 Uremia, Penyakit Liver, dan
defisiensi vitamin B12,
14. Baron, Ralf, et al. Neuropathic Pain: diagnosis, pathophysiological
mechanism, and treatment. Lancelot Neural. 2010; 9: 807-19.
15. Ueda H. Peripheral mechanisms of neuropathic pain involvement of
lysophosphatidic acid receptor-mediated demyelination. BioMedCentral.
2008, 1-13.
16. Beydoun, A., Kutluay, E. 2002. Oxcarbazepin, Expert Opinion in
Pharmacotherapy, 3(1):59-71
17. Dworkin, RHH., OConnor, BB., Backonja, M., Farrar, JTT., Finnerup,
NBB., Jensen, TSS., Kalso, EAA., Loeser, JDD., Miaskowski, C.,
Nurmikko, TJJ., Portenov, RKK., Rice, ASCS., Stacey, BRR., Trede,
RDD., Turk, DCC., Wallace, MSS., 2007. Pharmacologic management of
neuropathic pain: Evidence-based recommendations., PAIN; 132(3):23751.

32

You might also like