Professional Documents
Culture Documents
Skripsi
RINGKASAN
FHENY FUZI LESTARI (E14103014). Penerapan Sistem Informasi Geografis dalam
Pemetaan Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan NINING
PUSPANINGSIH.
Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang
menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke
tempat yang lebih rendah. Kondisi topografi yang berbukit dan bergunung, tingginya
tingkat kepadatan penduduk di wilayah perbukitan serta pemanfaatan lahan dan ruang
yang kurang baik menimbulkan tekanan terhadap ekosistem. Untuk menghindari jatuhnya
korban yang lebih besar dan banyak akibat bahaya tanah longsor, diperlukan upaya-upaya
yang mengarah kepada tindakan meminimalisir akibat yang akan ditimbulkan. Untuk dapat
memantau dan mengamati fenomena tanah longsor di suatu kawasan diperlukan adanya
suatu identifikasi dan pemetaan daerah rawan tanah longsor yang mampu memberikan
gambaran kondisi kawasan yang ada berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya tanah
longsor.
Penentuan daerah kerawanan tanah longsor dilakukan berdasarkan lima
parameter yaitu curah hujan, penutupan lahan, geologi, kemiringan lereng dan jenis tanah.
Masing-masing parameter tersebut dilakukan pembobotan atau pemberian nilai yang
mempunyai pengaruh terhadap terjadinya tanah longsor. Semakin besar nilai bobot yang
diberikan artinya semakin memiliki kepekaan terhadap terjadinya tanah longsor. Kelima
peta tersebut di overlay dan dilakukan penghitungan skor kumulatif dengan menggunakan
model pendugaan yang berasal dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
tahun 2004, sehingga didapatkan peta penyebaran daerah rawan longsor.
Penutupan lahan di daerah penelitian terdiri dari hutan, kawasan industri, kebun
campuran/semak belukar, lahan kosong, perkebunan, pemukiman, sawah dan badan air.
Daerah rawan longsor di daerah penelitian terbagi menjadi tiga kelas yaitu daerah kurang
rawan longsor (17.879,40 ha / 17 %), daerah rawan longsor (78.128,16 ha / 74,5 %) dan
daerah sangat rawan longsor (8.906,61 ha / 8,49 %). Ke tiga kelas kerawanan tersebut
terdapat pada semua tipe penutupan lahan dengan jenis batuan yang mendominasi adalah
bahan volkanik-1. Daerah kurang rawan longsor terdapat pada kemiringan lereng datar
hingga agak curam dan jenis tanah yang mendominasi adalah assosiasi latosol coklat
latosol kemerahan dengan kondisi curah hujan relatif sedang (2000-2500 mm/tahun).
Daerah rawan longsor terdapat pada kemiringan lereng datar hingga curam, jenis tanah
yang mendominasi podsolik merah kekuningan dengan kondisi curah hujan relatif tinggi
(2500-3000 mm/tahun). Daerah sangat rawan longsor terdapat pada kemiringan lereng
landai hingga sangat curam, didominasi oleh jenis tanah podsolik merah kekuningan
dengan kondisi curah hujan sangat tinggi (>3000 mm/tahun).
Nanggung dan Pamijahan merupakan kecamatan yang memiliki kelas kerawanan
daerah rawan longsor dan daerah sangat rawan longsor. Kecamatan Nanggung memiliki
daerah rawan longsor seluas 10.963,46 ha dan daerah sangat rawan longsor seluas
1.340,01 ha. Sementara itu, kecamatan Pamijahan memiliki daerah rawan longsor seluas
8.221,73 ha dan daerah sangat rawan longsor seluas 3.823,66 ha. Daerah kurang rawan
longsor tersebar luas terutama disekitar kecamatan Babakan Madang yaitu 4.201,35 ha.
Kata Kunci : Pemetaan, Rawan longsor
SUMMARY
FHENY FUZI LESTARI (E14103014). Geographic Information System Application In
Mapping Areas With A Certain Of Landslide Potency In Bogor Regency. Under
Supervision of NINING PUSPANINGSIH.
Landslide soil is result of disturbance in the balance that cause movement of soil
mass and rock to a lower place. Mountainous topography, high number of settlement in
mountainous area, with an incorrect use of land is several factors that have a bad impact to
the ecosystem. Various actions need to be carried out to minimalize the negative
consequences due to each landslide case. This effort will allow related to one of it is
mapping and identification each area that I potent to landslide event. This effort will provide
a better picture of the region and allow a better observation based on the factor that cause
landslide.
An area that is potent to landslide is categorized based on five perimeters: level of
rainfall, land coverage, geology, slope, and soil condition. Each perimeter are scored
based on its impact on landslide case in the areas that became due object of this studies.
Higher score means higher effect of the perimeter to cause landslide. There are 5 (five)
map that is used, each contain one of the five perimeter. Those maps are overlayed and
cumulatively scored by estimation method of 2004 Vulcanology and Geological Disaster
Mitigation Directorat , that result a map of landslide area distribution.
Land coverage in areas of research consists of forest, industrial area, mixed
plantation/bush, abandoned land, plantation area, settlement, rice cultivation, and water
body. Areas potent to landslide are classified into three classes, which is areas that is lest
potent to landslide (17.879, 40 hectare/17%), intermediate potent to landslide (78.128,6
hectare / 74,5%) and highly potent to landslide (8.906,61 hectare / 8,49%). Each land
coverage contain all three classes of landslide potention (from low, intermediate, and high
potention) with volcanic-1 material dominating the type of rocks. Areas with a low potention
to landslide occurs in flat to a relatively steep slope with the type soil that dominating is
association of brown latosol and reddish latosol and iintermediate level of rainfall intensity
(2000-2500 mm per annum). Areas with an intermediate potention to landslide are
identified in areas with flat to steep slope, yellowish red podsolic soil type , and rainfall
intensity that is relatively high (2500-3000 mm annually). Areas that has a high potention of
llandslide happens in areas that is has a very steep slope, dominated by yellowish red
podsolic soil type and very intense rainfall (more than 3.000 mm per year).
Nanggung and Pamijahan district is largest area that has an intermediate high
potention to landslide. There are 10.963,46 hectare of area that have an intermediate
potention and 1.340,01 hectare of area that is highly potention to landslide in Nanggung
district. Pamijahan district have an area of 8.221,73 hectares with a medium potention and
3.823,66 hectares with a high potention to landslide. An area that is less potention is widely
identified around Babakan Madang district with a total 4.201,35 hectare.
Keyword: The hazardness of landslide, mapping
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penerapan Sistem
Informasi Geografis dalam Pemetaan Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor
adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing
dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau
lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Judul
Nama
NRP
: E14103014
Menyetujui:
Dosen Pembimbing
Mengetahui:
Dekan Fakultas Kehutanan IPB
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena
berkat Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah
dengan judul Penerapan Sistem Informasi Geografis dalam Pemetaan Daerah
Rawan Longsor di Kabupaten Bogor.
Skripsi ini merupakan hasil pembahasan secara ilmiah terhadap
perkembangan teknologi Sistem Informasi Geografis yang diharapkan dapat
berguna dalam pemanfaatannya di dunia kehutanan masa kini dan masa yang akan
datang. Semoga tulisan ini dapat menjadi salah satu bagian dari ilmu pengetahuan
yang dapat berguna bagi kita semua. Penelitian ini dibimbing oleh Dra. Nining
Puspaningsih, M.Si.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi
menjadikan tulisan ini lebih baik dan bermanfaat.
ii
iii
Terima kasih atas semangat, keceriaan dan kenangan indah selama masa
kuliah.
13. Keluarga besar ForsGe : Adila, Dega, Bety, Arfan, Adit, Iis, Hery, Asep,
Anggit, Faery, Aan, Heru, Nanik, Nur, Mba Desy dan Mba. Siti. Terima kasih
untuk keceriaan dan kebersamaan kita selama ini
14. Dan semua pihak yang telah banyak membantu penulis baik selama kuliah
maupun penelitian yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.
iv
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................
i
DAFTAR ISI.................................................................................................
iv
DAFTAR TABEL.........................................................................................
vi
vii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................
viii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang..........................................................................
2.1.1 Definisi............................................................................
11
2.2.1 Definisi............................................................................
11
12
13
15
15
17
17
17
19
23
25
4.2 Topografi..................................................................................
25
4.3 Tanah........................................................................................
26
4.4 Geologi.....................................................................................
26
26
27
28
28
5.1.2 Geologi............................................................................
30
32
34
36
39
42
44
47
51
6.2 Saran.........................................................................................
52
53
LAMPIRAN..................................................................................................
55
vi
DAFTAR TABEL
No
Halaman
1. Pengkelasan kemiringan lereng.................................................................
19
2. Sifat-sifat permeabilitas jenis tanah ..........................................................
20
20
20
21
22
22
24
25
26
26
27
28
30
32
34
36
39
vii
DAFTAR GAMBAR
No
Halaman
16
18
29
4. Peta geologi..................................................................................................
31
33
35
38
40
41
44
47
50
viii
DAFTAR LAMPIRAN
No
Halaman
1. Wilayah rawan longsor di Provinsi Jawa Barat ........................................
55
2. Desa-desa yang termasuk dalam lokasi penelitian....................................
56
61
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada masa 10 tahun terakhir ini, Kabupaten Bogor sebagai salah satu
hinterland yang terletak di bagian selatan Jakarta untuk sektor pemukiman,
industri maupun pariwisata. Tanpa disadari, perkembangan tersebut ternyata
merupakan ancaman bagi keberadaan fungsi Kabupaten Bogor sebagai daerah
konservasi air dan tanah. Perubahan penutupan lahan dan vegetasi yang sekaligus
meningkatkan wilayah pemukiman serta industri mempunyai andil yang cukup
signifikan dalam penurunan fungsinya sebagai daerah resapan.
Penurunan luas hutan dan peningkatan lahan kosong terjadi selama rentang
waktu 5 tahun (dari tahun 1998 ke tahun 2003), dimana luas hutan/vegetasi lebat
di kawasan hutan produksi menurun seluas 1.502 Ha (dari 4.385 Ha menjadi
2.883 Ha). Luas tanah kosong meningkat cukup drastis yaitu dari 13.508 Ha
menjadi 23.748 Ha, sedangkan luas tutupan hutan/vegetasi lebat menurun sekitar
1.357 Ha (dari 8.594 Ha menjadi 7.237 Ha). ( Jaya et al. 2003)
Peluang perubahan lahan yang tinggi sangat dipengaruhi oleh kepadatan
penduduk. Pertambahan jumlah penduduk yang pesat di wilayah Jakarta-BogorTangerangBekasi (Jabotabek) baik yang disebabkan oleh pertambahan alami
(pertumbuhan penduduk), maupun urbanisasi telah menimbulkan kebutuhan akan
sumberdaya alam lahan yang meningkat. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi
dan mengganggu pemanfaatan lahan dan keseimbangan ekosistem di wilayah
Jabotabek. Akibat selanjutnya adalah terjadinya dampak yang sering bersifat
negatif seperti bencana alam berupa banjir, erosi maupun tanah longsor.
Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang
menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi
ke tempat yang lebih rendah. Pergerakan tersebut terjadi karena adanya faktor
gaya yang terletak pada bidang tanah yang tidak rata atau disebut dengan lereng.
Selanjutnya, gaya yang menahan massa tanah di sepanjang lereng tersebut
dipengaruhi oleh kedudukan muka air tanah, sifat fisik tanah, dan sudut dalam
tahanan geser tanah yang bekerja di sepanjang bidang luncuran (Sutikno 1997).
tanah longsor pada umumnya akan mengakibatkan kerugian material dan korban
jiwa yang tidak sedikit, terutama di wilayah yang padat penduduknya.
Untuk dapat memantau dan mengamati fenomena tanah longsor di suatu
kawasan diperlukan adanya suatu identifikasi dan pemetaan daerah rawan tanah
longsor yang mampu memberikan gambaran kondisi kawasan yang ada
berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya tanah longsor. Salah satu kegiatan
mitigasi bencana tanah longsor adalah pemetaan daerah rawan tanah longsor skala
nasional dan skala wilayah/daerah. Peta ini secara umum dapat dijadikan panduan
bagi pihak-pihak terkait untuk mengantisipasi terjadinya tanah longsor di suatu
wilayah.
Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan teknologi yang mempunyai
kemampuan untuk memasukkan, mengelola, manipulasi dan melakukan analisis
data ruang spasial misalnya tanah, curah hujan, ataupun kemiringan lereng.
Teknik SIG adalah merupakan salah satu alternatif yang tepat untuk dijadikan
sebagai teknik analisis yang menghasilkan informasi tentang berbagai parameter
faktor penyebab kemungkinan terjadinya bahaya tanah longsor di suatu daerah.
Melalui proses penggabungan informasi dalam berbagai peta dengan cara
tumpang susun (map overlay) dengan sistem skoring atau pembobotan dari
masing-masing parameter akan menghasilkan bobot nilai baru yang akan
menentukan tingkat kerawanan suatu daerah terhadap kejadian tanah longsor.
Informasi akhir dari proses tersebut dapat menghasilkan peta sebaran daerah
rawan longsor yang dapat dijadikan sumber informasi bagi pihak-pihak yang
terkait.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bencana Tanah Longsor
2.1.1
Definisi
Quarantelli (1998) diacu dalam Alhasanah (2006) memberikan pengertian
bencana sebagai suatu kejadian aktual, lebih dari suatu ancaman yang potensial
atau dengan diistilahkan sebagai realisasi dari bahaya. Bencana pada dasarnya
merupakan fenomena sosial yang terjadi ketika suatu komunitas mengalami
kerugian akibat bencana tersebut. Secara lebih rinci, definisi bencana difokuskan
pada ruang dan waktu ketika suatu komunitas menghadapi bahaya yang besar dan
hancurnya berbagai fasilitas penting yang dimilikinya, jatuhnya korban manusia,
kerusakan harta benda dan lingkungan, sehingga berpengaruh pada kemampuan
komunitas tersebut untuk mengatasinya tanpa bantuan dari pihak luar.
Bencana tanah longsor adalah istilah umum dan mencakup ragam yang luas
dari bentuk-bentuk tanah dan proses-proses yang melibatkan gerakan bumi, batubatuan atau puing-puing pada lereng bawah di bawah pengaruh gravitasi.
Biasanya, terjadinya tanah longsor didahului oleh fenomena alam lainnya, yaitu
seperti gempa bumi, banjir dan gunung berapi. Kerusakan yang disebabkan oleh
tanah longsor pada selang waktu tertentu dapat menyebabkan kerugian properti
yang lebih banyak dibandingkan dengan kejadian geologi lain.
Bencana dapat terjadi karena saling bertemu dua faktor, yakni bahaya
(hazard) dan kerentanan (vulnerability). Oleh karena itu harus saling diketahui
faktor-faktor bahaya dan kerentanan yang terdapat disuatu daerah, agar daerah
tersebut dapat terbebas atau terhindarkan dari bencana. Istilah bahaya atau hazard
mempunyai kemungkinan terjadinya bahaya dalam suatu periode tertentu pada
suatu daerah yang berpotensi terjadinya bahaya tersebut. Bahaya berubah jadi
bencana apabila telah mengakibatkan korban jiwa, kehilangan atau kerusakan
harta dan kerusakan lingkungan.
2.1.2
Tanah longsor
Gerakan tanah atau lebih dikenal dengan istilah tanah longsor adalah suatu
sebenarnya
merupakan
fenomena
alam,
yaitu
alam
mencari
dengan ukuran batuan yang halus dan seragam, kurang padat atau kurang
kompak
h. Air; adanya genangan air, kolam ikan, rembesan, susut air cepat. Saluran air
yang terhambat pada lereng menjadi salah satu sebab yang mendorong
munculnya pergerakan tanah atau longsor
i. Vegetasi/tutupan lahan; peranan vegetasi pada kasus longsor sangat kompleks.
Jika tumbuhan tersebut memiliki perakaran yang mampu menembus sampai
lapisan batuan dasar maka tumbuhan tersebut akan sangat berfungsi sebagai
penahan masa lereng. Di sisi lain meskipun tumbuhan memiliki perakaran
yang dangkal tetapi tumbuh pada lapisan tanah yang memiliki daya kohesi
yang kuat sehingga menambah kestabilan lereng. Pada kasus tersebut
tumbuhan yang hidup pada lereng dengan kemiringan tertentu justru berperan
sebagai penambah beban lereng yang mendorong terjadinya longsor.
2.1.3
secara bersama-sama dan terjadi sebagai akibat meluncurnya satu volume tanah di
atas satu lapisan agak kedap air yang jenuh air. Lapisan yang terdiri dari tanah liat
atau mengandung kadar tanah liat tinggi setelah jenuh air akan bertindak sebagai
peluncuran (Arsyad 1989).
Karnawati (2003) diacu dalam
faktor penyebab terjadinya bencana tanah longsor adalah air hujan. Air hujan yang
telah meresap ke dalam tanah lempung pada lereng akan tertahan oleh batuan
yang lebih kompak dan lebih kedap air. Derasnya hujan mengakibatkan air yang
tertahan semakin meningkatkan debit dan volumenya dan akibatnya air dalam
lereng ini semakin menekan butiran-butiran tanah dan mendorong tanah lempung
pasiran untuk bergerak longsor. Batuan yang kompak dan kedap air berperan
sebagai penahan air dan sekaligus sebagai bidang gelincir longsoran, sedangkan
air berperan sebagai penggerak massa tanah yang tergelincir di atas batuan
kompak
tersebut.
Semakin
curam
kemiringan
lereng
maka
kecepatan
volume massa tanah yang longsor. Tanah yang longsor dengan cara demikian
umumnya dapat berubah menjadi aliran lumpur yang pada saat longsor sering
menimbulkan suara gemuruh.
Pengaruh hujan dapat terjadi di bagian lereng-lereng yang terbuka akibat
aktivitas makhluk hidup terutama berkaitan dengan budaya masyarakat saat ini
dalam memanfaatkan alam berkaitan dengan pemanfaatan lahan (tata guna lahan),
kurang memperhatikan pola-pola yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Penebangan hutan yang seharusnya tidak diperbolehkan tetap saja dilakukan,
sehingga lahan-lahan pada kondisi lereng dengan geomorfologi yang sangat
miring, menjadi terbuka dan lereng menjadi rawan longsor (Suryolelono 2005,
diacu dalam Purnamasari 2007).
Menurut Arsyad (1989) longsoran akan terjadi jika terpenuhi tiga keadaan
sebagai berikut:
a. Adanya lereng yang cukup curam sehingga massa tanah dapat bergerak atau
meluncur ke bawah
b. Adanya lapisan di bawah permukaan massa tanah yang agak kedap air dan
lunak, yang akan menjadi bidang luncur
c. Adanya cukup air dalam tanah sehingga lapisan massa tanah yang tepat di atas
lapisan kedap air tersebut menjadi jenuh.
Lapisan kedap air dapat berupa tanah liat atau mengandung kadar tanah liat
tinggi atau dapat juga berupa lapisan batuan, seperti Napal Liat (Clay shale).
Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) faktor
alam dan faktor manusia merupakan salah satu pemicu terjadinya tanah longsor.
a. Faktor alam
Meliputi lereng terjal yang diakibatkan oleh patahan dan lipatan kulit bumi,
erosi dan pengikisan, daerah longsoran lama, ketebalan tanah pelapukan bersifat
lembek, butiran halus, jenuh karena air hujan, adanya retakan karena proses alam
(gempa bumi, tektonik), air (hujan di atas normal, susut air cepat, banjir, aliran air
bawah tanah pada sungai lama), lapisan batuan yang kedap air miring ke atas
lereng yang berfungsi sebagai bidang longsoran.
10
b. Faktor manusia
Lereng menjadi terjal akibat pemotongan lereng dan penggerusan oleh air
saluran di tebing, tanah lembek dipicu oleh perubahan tata lahan menjadi lahan
basah, adanya kolam ikan, genangan air, retakan akibat getaran mesin, ledakan,
beban massa yang bertambah dipicu oleh beban kendaraan, bangunan dekat
tebing, tanah kurang padat karena material urugan atau material longsoran lama
pada tebing, bocoran air saluran, luapan air saluran, kolam ikan, penggundulan
hutan sehingga terjadi pengikisan oleh air permukaan.
Kebiasaan masyarakat dalam mengembangkan pertanian/perkebunan tidak
memperhatikan kemiringan lereng, pembukaan lahan-lahan baru di lereng-lereng
bukit menyebabkan permukaan lereng terbuka tanpa pengaturan sistem tata air
(drainase) yang seharusnya, dan bentuk-bentuk teras bangku pada lereng tersebut
perlu
dilakukan
untuk
mengerem
laju
erosi.
Bertambahnya
penduduk
11
SIG
terutama
berkaitan
dengan
kemampuannya
dalam
12
2.2.2
Komponen SIG
Menurut Lo (1995) SIG paling tidak terdiri dari subsistem pemprosesan,
13
program yang masing-masing dapat dieksekusi sendiri. Saat ini terdapat banyak
sekali perangkat lunak SIG baik yang berbasis vektor maupun yang berbasis
raster. Nama perangkat lunak SIG yang berbasis vektor antara lain ARC/INFO,
Arc VIEW, Map INFO, CartaLINX dan AutoCAD Map. Sedangkan perangkat
lunak SIG yang berbasis raster antara lain ILWIS, IDRISI, ERDAS dan
sebagainya.
3. Data-data geografis
SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang
diperlukan baik secara tidak langsung dengan cara meng-import-nya dari
perangkat-perangkat lunak SIG yang lain maupun secara langsung dengan cara
mendigitasi data spasialnya dari peta dan memasukkan data atributnya dari tabeltabel dan laporan dengan menggunakan keyboard.
4. Manajemen
Komponen terakhir yang tak terelakan dari SIG adalah sumberdaya manusia
yang terlatih. Peranan sumberdaya manusia ini adalah untuk menjalankan sistem
yang meliputi pengoperasian perangkat keras dan perangkat lunak, serta
menangani data geografis dengan kedua perangkat tersebut. Sumberdaya manusia
juga merupakan sistem analis yang menerjemahkan permasalahan riil di
permukaan bumi dengan bahasa SIG, sehingga permasalahan tersebut bisa
teridentifikasi dan memiliki pemecahannya.
2.2.3
14
bersangkutan. Dengan demikian, atribut-atribut dapat diakses melalui lokasilokasi unsur-unsur peta dan sebaliknya unsur-unsur peta juga dapat diakses
melalui atributnya. Karena itu, unsur itu bisa dicari dan dapat ditemukan
berdasarkan atribut-atributnya.
SIG menghubungkan sekumpulan unsur-unsur peta dengan atributnya di
dalam satuan-satuan yang disebut layer. Sungai, bangunan, jalan, laut, batas-batas
administratif, perkebunan dan hutan merupakan contoh layer. Kumpulan layer
tersebut membentuk basis data SIG. Dengan demikian, perancangan basis data
akan menentukan efektifitas dan efisiensi proses-proses masukan, pengelolaan dan
keluaran (Prahasta 2001).
SIG memiliki kemampuan untuk keperluan analisis keruangan. Beberapa
macam analisis keruangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Klasifikasi/Reklasifikasi
Digunakan untuk mengklasifikasikan atau reklasifikasi data spasial atau
data atribut menjadi data spasial baru dengan memakai kriteria tertentu.
b. Overlay
Analisis ini digunakan untuk mengetahui hasil interaksi atau gabungan dari
beberapa peta. Overlay beberapa peta akan menghasilkan satu peta yang
menggambarkan luasan atau polygon yang terbentuk dari irisan dari beberapa
peta. Selain itu, Overlay juga menghasilkan gabungan data dari beberapa peta
yang saling beririsan.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus-November 2007, dengan lokasi
penelitian di 18 Kecamatan di Kabupaten Bogor yaitu Kecamatan Babakan
Madang, Caringin, Ciampea, Ciawi, Cibungbulang, Cigombong, Cijeruk, Ciomas,
Cisarua, Dramaga, Leuwiliang, Leuwisadeng, Mega Mendung, Nanggung,
Pamijahan, Sukaraja, Tamansari dan Tenjolaya, yang disajikan pada Gambar 1.
Sedangkan untuk pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik
Remote Sensing Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
16
17
Pengumpulan data
Kegiatan diawali dengan pengumpulan data dasar berupa peta-peta
3.3.2
vektor dan format raster. Data spasial itu sendiri merupakan data yang bersifat
keruangan. Data yang telah dikumpulkan sebelumnya dalam format vektor berupa
peta analog, yaitu Peta Geologi dan data GPS lokasi kejadian longsor. Peta analog
tersebut selanjutnya dikonversi menjadi peta digital melalui proses digitasi on
screen, kemudian dilakukan koreksi geometri atau georeferensi. Proses
pemasukan data GPS dan peta analog dilakukan melalui seperangkat komputer
dengan software Arc View 3.2.
Koreksi geometri atau georeferensi merupakan proses memproyeksi peta ke
dalam suatu sistem proyeksi peta tertentu. Penyeragaman data-data ke dalam
sistem koordinat dan proyeksi yang sama perlu dilakukan, guna mempermudah
proses pengintegrasian data-data. Proyeksi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah UTM (Universal Transverse Mercator) datum WGS 84 dan zone 48S,
menggunakan software ArcView versi 3.2 dengan extension Projection Utility
Wizard.
Setelah proses koreksi terhadap peta selesai, maka dilanjutkan dengan
pemotongan peta untuk menentukan daerah penelitian, dengan acuan peta batas
administrasi desa Kabupaten Bogor.
18
Mulai
Peta analog
Peta Geologi
Peta digital
Proses Digitasi dan
Georeferensi
Peta Tanah
Peta Curah Hujan
Peta Penutupan Lahan
Peta Lereng
Peta Geologi
Peta Kelas
Tanah
Peta Kelas
Geologi
Peta Kelas
Penutupan
Lahan
Peta Kelas
Lereng
Ground check
Peta Kelas
Curah Hujan
19
3.3.3
peta digital, kemudian dilakukan pemasukan data atribut dan pembobotan pada
setiap parameter. Parameter-parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat
kerawanan adalah penutupan lahan (landcover), jenis tanah, topografi, curah
hujan dan geologi (batuan induk).
Derajat dan panjang lereng adalah unsur yang mempengaruhi terjadinya
longsor. Semakin tinggi derajat lereng maka akan memberikan bahaya rawan
longsor yang lebih tinggi, sehingga diberi nilai bobot yang paling tinggi.
Pemberian skor dan pengkelasan lereng dapat dibagi dalam lima kelas yang
disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Pengkelasan kemiringan lereng
No
1.
2.
3.
4.
5.
Kelas (%)
0-8
8-15
15-25
25-45
> 45
Bentuk lereng
Datar
Landai
Agak curam
Curam
Sangat curam - Tegak
Skor
1
2
3
4
5
20
Permeabilitas
Rendah
Rendah
Tinggi
Tinggi
Aneka
Tinggi
Kepekaan Tanah
Tidak peka
Agak peka
Agak peka
Peka
Sangat peka
Skor
1
2
3
4
5
Pada dasarnya ada dua tipe hujan pemicu terjadinya longsoran, yaitu hujan
deras yang mencapai 70 mm hingga 100 mm per hari dan hujan kurang deras
namun berlangsung terus menerus selama beberapa jam hingga beberapa hari
yang kemudian disusul dengan hujan deras sesaat (1-2 jam). (Subhan, 2006).
Faktor curah hujan yang mempengaruhi terjadinya tanah longsor, mencakup
terjadinya peningkatan curah hujan (tekanan air pori bertambah besar, kandungan
air dalam tanah naik dan terjadi pengembangan lempung dan mengurangi
tegangan geser, lapisan tanah jenuh air), rembesan air yang masuk dalam retakan
tanah serta genangan air. Adanya pengaruh curah hujan tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya gerakan tanah sehingga daerah yang mempunyai curah
21
hujan yang tinggi relatif akan memberikan bahaya gerakan tanah yang lebih
tinggi. Penentuan skor dan pembagian kelas intensitas curah hujan disajikan pada
Tabel 5.
Tabel 5 Klasifikasi intensitas curah hujan
No
Intensitas hujan (mm/tahun)
1.
2.000 2.500
2.
2.500 3.000
3.
> 3.000
Parameter
Sedang/lembab
Basah
Sangat basah
Skor
1
2
3
dengan
beberapa ahli di PUSLITANAK. Maka pada penelitian ini di buat justifikasi nilai
skoring parameter penutupan lahan yang disesuaikan dengan lokasi penelitian.
Penutupan lahan dibagi kedalam enam kelas dengan nilai skoring dapat dilihat
pada Tabel 6.
22
Skor
0
1
2
3
4
5
Skor
1
2
3
4
23
3.3.4
24
1.
2.
3.
Kelas
Jumlah
kerawanan
sample
keterangan
707382
707369
708068
708372
708577
717550
9259754
9259750
9259302
9258915
9259802
9259614
Cibedug 1
Cibedug 2
Cibedug 3
Cibedug 4
Bojong Murni
Tugu Selatan
717982
710578
710569
9260715
926217
926218
Tugu Utara
Kopo 1
Kopo 2
667520
667557
667614
668361
926274
926362
926363
926527
Malasari
Curug Bitung 1
Curug Bitung 2
Curug Bitung 3
Daerah kurang
rawan longsor
Daerah rawan
longsor
Daerah sangat
rawan longsor
Titik koordinat
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI
: Kec. Sukajaya
Luas dan penyebaran kelas lereng daerah penelitian, disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Keadaan topografi di daerah penelitian
No
Kelas lereng
1.
0-8
2.
8-15
3.
15-25
4.
25-45
5.
>45
Sumber : BAKOSURTANAL (2001)
Luas (ha)
46.603,40
16.371,19
17.417,87
22.231,29
2.290,42
26
4.3 Tanah
Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Bogor khususnya didaerah
penelitian terdiri dari 9 jenis. Luas dan penyebaran masing-masing jenis tanah di
daerah penelitian di perlihatkan pada Tabel 10.
Tabel 10 Jenis tanah yang terdapat di daerah penelitian
No
Jenis tanah
1. Aluvial
2. Andosol
3. Assosiasi Latosol merah Latosol coklat kemerahan
4. Assosiasi Latosol coklat Latosol kekuningan
5. Assosiasi Andosol Regosol
6. Kompleks Latosol merah kekuningan Latosol coklat
kemerahan dan Litosol
7. Podsolik merah kekuningan
8. Podsolik kekuningan
9. Podsolik merah
10. Regosol
11. Tidak ada data
12. Assosiasi Latosol coklat Latosol kemerahan
13. Assosiasi Latosol coklat Regosol
Luas (ha)
1.387,36
3.078,74
6.570,31
9.141,30
1.605,54
6.662,93
27.909,96
2.433,69
5.243,27
7.923,48
677,89
16.727,23
15.552,45
4.4 Geologi
Wilayah Kabupaten Bogor dari struktur geologi tersusun dari jenis batuan
Aluvial, Volkanik dan Sedimen. Luas dan penyebaran masing-masing batuan
tersebut disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Jenis batuan yang terdapat di daerah penelitian
No
Jenis batuan
1.
Bahan Aluvial
2.
Bahan Sedimen-1
3.
Bahan Sedimen-2
4.
Bahan Volkanik-1
5.
Bahan Volkanik-2
Luas (ha)
6.534,56
5.423,26
4.729,32
53.617,21
34.131,25
27
Luas (ha)
7.390,69
41,14
33.879,06
601,51
53.934,03
503,62
1.762,39
6.019,71
782,02
4.6 Iklim
Iklim di Kabupaten Bogor menurut klasifikasi Schimdt dan Ferguson
termasuk Iklim Tropis tipe A (Sangat Basah) di bagian Selatan dan tipe B (Basah)
di bagian Utara. Suhu berkisar rata-rata antara 200 C sampai 300 C. Curah hujan
tahunan antara 2.500 mm sampai lebih dari 5.000 mm/tahun, kecuali di wilayah
utara yang berbatasan dengan DKI Jakarta, Tangerang dan Bekasi curah hujannya
kurang dari 2.500 mm/tahun.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Curah hujan
Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang besar perannya
terhadap kejadian longsor. Infiltrasi air hujan ke dalam lapisan tanah akan
menjenuhi tanah dan melemahkan material pembentuk lereng sehingga memicu
terjadinya longsor. Hujan dengan curahan dan intensitas yang tinggi akan
memberikan bahaya gerakan tanah yang lebih tinggi.
Berdasarkan Tabel 13 dapat dijelaskan bahwa daerah penelitian terbagi ke
dalam 3 wilayah curah hujan rata-rata tahunan yaitu curah hujan dengan kisaran
2.000-2.500 mm/tahun dengan luasan 20.419,28 ha (19,46%), kisaran 2.500-3.000
mm/tahun dengan luas 71.706,70 ha (68,35%) dan kisaran >3.000 dengan luas
12.788,19 (12,19%). Curah hujan dengan kisaran 2.500-3.000 mm/tahun
mendominasi daerah penelitian, hal ini berarti daerah penelitian berada pada
kawasan yang mempunyai curah hujan rata-rata tahunan yang relatif tinggi.
Sebaran spasial curah hujan dapat dilihat pada Gambar 3.
Tabel 13 Luas curah hujan daerah penelitian
No
Kelas curah hujan (mm/tahun)
1.
2.000-2.500
2.
2.500-3.000
3.
>3.000
Jumlah
Sumber : PUSLITANAK (2003)
Luas (ha)
20.419,28
71.706,70
12.788,19
104.914,17
Persentase (%)
19,46
68,35
12,19
100
29
30
5.1.2
Geologi
Struktur batuan dan komposisi mineralogi merupakan salah satu faktor yang
Persentase (%)
6,23
5,17
4,51
51,10
32,50
0,46
100
31
32
5.1.3
Jenis tanah
Kedalaman atau solum, tekstur dan struktur tanah menentukan besar
kecilnya air limpasan permukaan dan laju penjenuhan tanah oleh air. Pada tanah
bersolum dalam (>90 cm), struktur gembur dan penutupan lahan rapat, sebagian
besar air hujan terinfiltrasi ke dalam tanah dan hanya sebagian kecil yang menjadi
air limpasan permukaan. Sebaliknya, pada tanah bersolum dangkal, struktur padat
dan penutupan lahan kurang rapat, hanya sebagian kecil air hujan yang terinfiltrasi
dan sebagian besar menjadi aliran permukaan.
Jenis tanah yang bersifat lempung dan pasir merupakan jenis tanah yang
mudah meloloskan air. Sifat tersebut menjadikan tanah bertambah berat bobotnya
jika tertimpa hujan. Apabila tanah tersebut berada diatas batuan kedap air pada
kemiringan tertentu maka tanah tersebut akan berpotensi menggelincir menjadi
longsor. Berdasarkan tabel 15 dapat dijelaskan bahwa jenis tanah yang
mendominasi daerah penelitian adalah Podsolik merah kekuningan dengan luas
27.909,96 ha (26,6%), sedangkan jenis tanah Aluvial merupakan jenis tanah yang
luasannya tersempit yaitu 1.387,36 ha (1,32%). Sebaran spasial jenis tanah di
daerah penelitian selengkapnya disajikan pada Gambar 5
Tabel 15 Luasan jenis tanah daerah penelitian
No
Jenis tanah
1. Aluvial
2. Andosol
3. Assosiasi Latosol merah Latosol coklat
kemerahan
4. Assosiasi Latosol coklat Latosol
kekuningan
5. Assosiasi Andosol Regosol
6. Kompleks Latosol merah kekuningan
Latosol coklat kemerahan dan Litosol
7. Podsolik merah kekuningan
8. Podsolik kekuningan
9. Podsolik merah
10. Regosol
11. Tidak ada data
12. Assosiasi Latosol coklat Latosol
kemerahan
13. Assosiasi Latosol coklat Regosol
Jumlah
Sumber : PUSLITANAK (2002)
Luas (ha)
1.387,36
3.078,74
Persentase (%)
1,32
2,93
6.570,31
6,26
9.141,30
1.605,54
8,71
1,53
6.662,93
27.909,96
2.433,69
5.243,27
7.923,48
677,89
6,35
26,6
2,32
5
7,55
0,65
16.727,23
15.552,45
104.914,17
15,9
14,8
100
33
34
5.1.4
Kemiringan lereng
Unsur topografi yang paling besar pengaruhnya terhadap bencana longsor
adalah kemiringan lereng. Semakin curam lerengnya maka semakin besar dan
semakin cepat longsor terjadi. Pada lereng > 40% longsor sering terjadi, terutama
disebabkan oleh pengaruh gaya gravitasi. Namun pada kenyataannya tidak semua
lahan/wilayah berlereng mempunyai potensi terjadinya longsor melainkan
tergantung pada karakter lereng beserta materi penyusunnya terhadap respon
tenaga pemicu, terutama respon lereng tersebut terhadap curah hujan, selain itu
potensi terjadinya longsor tergantung dari keberadaan vegetasi pada kondisi
lereng tersebut karena lereng mampu bertahan dalam kondisi kestabilan vegetasi
yang terbatas.
Berdasarkan hasil pengolahan peta kontur daerah penelitian menjadi peta
kelas lereng dengan menggunakan analisis DEM (Digital Elevation Model),
daerah penelitian diklasifikasikan menjadi lima kelas kemiringan lereng, yaitu
kelas kemiringan lereng datar dengan sudut lereng berkisar antara 0-8%, kelas
kemiringan lereng landai (8-15%), kelas kemiringan lereng agak curam (15-25%),
kelas kemiringan lereng curam (25-45%) dan kelas kemiringan lereng sangat
curam (>45%). Kelas kemiringan lereng landai mendominasi daerah penelitian
dengan luas sekitar 46.603,40 ha (44,4%) sedangkan kelas kemiringan lereng
sangat curam merupakan kelas kemiringan dengan luasan terkecil di daerah
penelitian luas sekitar 2.290,42 ha (2,18%) (Tabel 16). Sebaran spasial
kemiringan lereng daerah penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 6.
Tabel 16 Luas kelas kemiringan lereng daerah penelitian
No
Kelas lereng
Luas (ha)
1.
0-8
46.603,40
2.
8-15
16.371,19
3.
15-25
17.417,87
4.
25-45
22.231,29
5.
>45
2.290,42
Jumlah
104.914,17
Sumber : BAKOSURTANAL (2001)
Persentase (%)
44,4
15,6
16,6
21,2
2,18
100
35
36
5.1.5
Penutupan lahan
Banyaknya perubahan vegetasi (sebagai tutupan lahan) dari areal tegakan
hutan atau vegetasi lebat menjadi kebun campuran, semak beukar, pemukiman,
atau menjadi lahan kosong akan sangat berpengaruh besar terhadap kestabilan
lereng terutama pada area hutan yang diubah menjadi lahan pertanian
(agricultural). Dalam pengamatan, kejadian longsor juga terjadi pada daerah
dengan penutupan lahan berupa tegakan tanaman keras yang memiliki kerapatan
tinggi. Sutikno (2000) meyatakan bahwa peranan vegetasi pada kasus longsor
sangat kompleks. Pada kasus tertentu tumbuhan yang hidup pada lereng dengan
kemiringan tertentu justru berperan sebagai penambah beban lereng yang
mendorong terjadinya longsor.
Berdasarkan hasil up-dating peta penutupan lahan tahun 2003 , diketahui
bahwa jenis dan persentase penutupan lahan di daerah penelitian sebagian besar
didominasi oleh hutan dan kebun campuran/semak belukar (Tabel 17). Sebaran
spasial penutupan lahan selengkapnya disajikan pada Gambar 7.
Tabel 17 Luas penutupan lahan daerah penelitian
No
Tutupan lahan
Luas (ha)
1. Awan dan bayangan awan
7.390,69
2. Badan-badan air
41,14
3. Hutan/vegetasi lebat
33.879,06
4. Kawasan Industri
601,51
5. Kebun campuran/semak belukar
53.934,03
6. Lahan-lahan kosong
503,62
7. Perkebunan
1.762,39
8. Permukiman/perkampungan
6.019,71
9. Sawah irigasi
782,02
Jumlah
104.914,17
Persentase (%)
7,04
0,04
32,3
0,57
51,4
0,48
1,68
5,74
0,75
100
37
belukar akan meningkatkan potensi terjadinya tanah longsor karena semak belukar
pada umumnya tidak memiliki sistem perakaran yang kuat dan dalam yang
mampu mengikat agregat tanah terutama bila tejadi hujan lebat dan cukup lama.
Lahan yang arealnya tidak di tumbuhi oleh vegetasi apapun diatasnya atau
belum dimanfaatkan oleh masyarakat disebut sebagai areal lahan kosong, jika
hujan turun dengan intensitas yang cukup tinggi maka akan langsung terserap oleh
tanah sehingga tanah menjadi cepat jenuh terhadap air yang mengakibatkan bobot
tanah menjadi bertambah dan lebih labil. Dengan kondisi tersebut maka areal
lahan kosong sangat beresiko terhadap terjadinya bahaya longsor, sehingga perlu
dilakukan upaya konservasi melalui rehabilitasi /penghijauan kembali lahan
kosong oleh penduduk maupun oleh pemerintah setempat.
Pemukiman merupakan tipe penutupan lahan yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan papan penduduk di sekitar daerah penelitian. Areal
pemukiman ini tersebar merata diseluruh lokasi penelitian dengan luasan 6.019,71
ha atau sekitar 5,74% dari luas total daerah penelitian. Pemukiman yang terletak
pada kemiringan lereng agak curam hingga sangat curam sangat rentan terhadap
resiko terkena bahaya longsoran, sehingga menimbulkan dampak negatif yang
besar.
Tipe penutupan lahan berupa sawah di daerah penelitian memiliki luasan
782,02 ha atau sekitar 0,75% dari luas total daerah penelitian. Lahan sawah ini
akan sangat berpengaruh sebagai pemicu terjadinya tanah longsor apabila lahan
sawah ini terletak pada daerah yang agak terjal atau daerah yang berlereng karena
dalam keadaan tersebut lereng bersifat jenuh air yang berakibat bobot massa tanah
bertambah sehingga sering menjadi labil oleh karena itu perlu adanya teknik
konservasi yang cukup memadai yang berupa pembuatan terasering, sehingga
tidak meningkatkan bahaya longsor.
38
39
40
41
42
5.2.1
43
(a)
(b)
44
(c)
Gambar 10 Lokasi Longsor di (a) Desa Tugu Selatan Kecamatan Cisarua,
(b) Desa Cibedug Kecamatan Ciawi ,(c) Desa Bojong Murni Kecamatan Ciawi
5.2.2
menengah. Kelas kerawanan ini lebih luas dibandingkan dengan kelas kerawanan
yang lain, dengan luasnya sekitar 78.128,16 ha atau 74,5% dari luas total daerah
penelitian, dengan
Tanah longsor besar maupun kecil dapat terjadi terutama di daerah yang
berbatasan dengan lembah sungai, gawir, pinggir jalan yang memotong kontur
45
dan pada lereng yang mengalami gangguan umumnya pada lereng yang
mempunyai vegetasi penutup yang kurang sampai sangat kurang.
Berdasarkan hasil ground check pada beberapa titik longsor yang terjadi
di Desa Tugu Utara Kecamatan Cisarua terlihat adanya pemotongan lereng dalam
upaya pembangunan infrasturktur jalan dan pemukiman dengan penutupan lahan
berupa tegakan tanaman keras yang memiliki kerapatan tinggi dengan kelerengan
66.67%. Dimana lahan berlereng yang sangat dipadati pepohonan dapat
memperbesar kemungkinan resiko longsor karena tiupan angin terhadap pohon
dapat merambatkan getaran terhadap tanah yang dapat mengakibatkan retakan
sehingga meningkatkan laju infiltrasi secara setempat dari aliran permukaan
hingga mencapai bidang luncur.
Kejadian longsor juga terjadi di Desa Kopo Kecamatan Cisarua, dimana
longsor terjadi pada tebing lereng yang penutupan lahan di sekitranya berupa
sawah dengan kelerengan 88,89%. Cara pengolahan tanah sangat mempengaruhi
struktur tanah alami yang baik yang terbentuk karena penetrasi akar, apabila
pengolahan tanah terlalu intensif maka struktur tanah akan rusak. Kebiasaan
petani yang mengolah tanah secara berlebihan dimana tanah diolah sampai bersih
permukaannya merupakan salah satu contoh yang keliru karena kondisi seperti ini
mengakibatkan butir tanah terdispersi oleh butir hujan dan menyumbat poripori
tanah. Demikian halnya dengan sawah, pengolahan sawah yang terlalu intensif
mengakibatkan poripori tanah tersumbat sehingga dapat mengakibatkan
genangan air yang berlebih. Genangan air yang berlebih tersebut dapat
mengakibatkan bobot massa tanah bertambah, dengan didukung kemiringan
lereng yang sangat curam maka bobot massa tanah yang meningkat tersebut dapat
dengan mudah bergerak kebawah secara gravitasi.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan tingkat
kerawanan pada daerah rawan longsor yaitu berupa pembuatan bangunan penguat
tebing atau bronjong (susunan batu diikat kawat) pada tebing-tebing jalan yang
memotong lereng, pembuatan terasering pada lahan sawah, pengaturan pola tanam
pada bidang olah serta peningkatan kesuburan tanah dan ketersediaan air. Salah
satu model dari sistem pertanaman adalah pengelolaan yang mensinergiskan
46
antara komponen pohon dan tanaman semusim dalam ruang dan waktu yang sama
atau lebih dikenal dengan agroforestri.
Agroforestri adalah nama kolektif
47
semusim. Evaporasi akan terus berlangsung selama ada suplai air dari lapisan
dibawahnya (Suryanto 2005).
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sistem pertanaman dengan model
agroforestri mampu menyerap air secara maksimal dan penggunaannya yang
efisien. Konsep kesetimbangan air dalam agroforestri inilah mendudukkan
agroforestri pada posisi yang strategis untuk mengurangi peluang peran air dalam
terjadinya tanah longsor.
(a)
(b)
5.2.3
tingkat kerawanan tinggi untuk terjadinya tanah longsor. Daerah ini sangat tidak
stabil dan sewaktu-waktu dapat terjadi tanah longsor dalam ukuran kecil maupun
besar. Luas kerawanan tanah longsor tinggi ini merupakan luasan yang tersempit
di daerah penelitian yaitu sekitar 8.906,61 ha atau sekitar 8,49% dimana tipe
penutupan lahan yang mendominasi adalah hutan dengan luas sekitar 4.567,61 ha.
Formasi geologi pada kelas ini sama dengan kelas kerawanan tanah
longsor rawan , yang didominasi oleh bahan Volkanik-1 dengan luas 5.183,07 ha
dan bahan Volkanik-2 dengan luas 3.706,51 ha. Sedangkan jenis tanah yang
mendominasi kelas ini adalah Podsolik merah kekuningan dengan luas 3.140,04
ha. Kemiringan lereng pada kelas kerawanan tanah longsor sangat rawan ini
didominasi oleh kemiringan lereng yang curam seluas 5.580,81 ha. Selain pada
kemiringan lereng tersebut, kelas ini terdapat pula pada kemiringan lereng mulai
48
49
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
50
(g)
Gambar 12 Lokasi Longsor di (a), (b) dan (c) Desa Malasari
Kecamatan Nanggung
(d), (e), (f), dan (g) Desa Curug Bitung Kecamatan Nanggung
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat dikemukakan berdasarkan hasil penelitian ini
adalah:
1. Kerawanan tanah longsor di daerah penelitian terbagi menjadi tiga kelas yaitu
daerah kurang rawan longsor (17.879,39 ha/17%), daerah rawan longsor
(78.128,159 ha/74.5%) dan daerah sangat rawan longsor (8.906,614
ha/8,49%).
2. Kecamatan Pamijahan dan Nanggung memiliki potensi bahaya longsor pada
tingkat sangat rawan paling luas dengan luas masing-masing sebesar
3.823,662 ha dan 1.340,01 ha.
3. Tiap parameter penyebab longsor memiliki karakteristik yang berbeda. (a)
Pada daerah kurang rawan longsor penutupan lahan yang mendominasi adalah
kebun campuran dengan batuan bahan Volkanik-1 dan jenis tanah asosiasi
Latosol coklat Latosol kemerahan. Daerah ini didominasi oleh curah hujan
dengan kisaran 2000-2500 mm/tahun dengan kemiringan lereng datar. (b)
Pada daerah rawan longsor penutupan lahan yang mendominasi adalah kebun
campuran dengan batuan bahan Volkanik-1 dan jenis tanah Podsolik merah
kekuningan, curah hujannya 2500-3000 mm/tahun dengan kemiringan lereng
datar. (c) Pada daerah sangat rawan longsor penutupan lahan yang
mendominasi adalah hutan dengan jenis tanah Podsolik merah kekuningan
dengan batuan bahan Volkanik-1 yang didominasi oleh curah hujan dengan
kisaran > 3000 mm/tahun dengan kemiringan lereng yang curam.
52
6.2 Saran
Upaya yang dapat dilakukan dalam mengurangi dan memperkecil
kemungkinan terjadinya peningkatan tingkat daerah rawan longsor, meliputi:
1. Pada kemiringan lereng 8-25% disarankan untuk dijadikan lahan agroforestri
dan pada kemiringan > 25% disarankan untuk dijadikan kawasan konservasi
dan kawasan lindung.
2. Agroforestri dengan pemilihan jenis pohon perakaran dalam tetapi berbatang
ringan dan beranting serta berdaun banyak lebih dianjurkan.
PUSTAKA ACUAN
Alhasanah. 2006. Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor Serta
Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus
Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang,
Provinsi Jawa Barat). [Tesis]. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB. In Press.
Barus, B. 1999. Pemetaan Bahaya Longsoran Berdasarkan Klasifikasi Statistik
Peubah Tunggal Menggunakan SIG Studi Kasus Daerah Ciawi-PuncakPacet Jawa Barat. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 2:7-16 Jurusan Ilmu
Tanah, In Press (April 1999).
Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2005. Manajemen
Bencana Tanah Longsor. http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2005/0305/22
/0802.htm. [15 Desember 2007].
Effendi, R. S. 2002. Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka Pelestarian
Lingkungan Hidup. Bumi Aksara. Jakarta.
Febriana, I. 2004. Identifikasi dan Pemetaan Kawasan Rawan Bencana Tanah
Longsor dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem
Informasi Geografis (Studi Kasus Di Kawasan Gunung Mandalawangi dan
sekitarnya, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat). [Skripsi]. Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.
Jaya, I. N. S. 2002. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Kehutanan.
Laboratorium Inventarisasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
Bogor.
Jaya, I. N. S., N. Puspaningsih dan S. Sutarahardja. 2003. Analisis Perubahan
Tutupan Lahan Berdasarkan Citra Satelit Spot 5 di Wilayah Kabupaten
Bogor.Kerjasama antara Badan Perencanaan Daerah Pemerintah Kabupaten
Bogor dengan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Lillesand, T. M. dan R. W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan InterpretasiCitra
(Terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
54
LAMPIRAN
55
Kabupaten/kota
Kab. Bandung
2.
3.
Kota Bandung
Kab. Cianjur
4.
Kab. Sumedang
5.
Kab. Bogor
6.
7.
Kota Bogor
Kab. Ciamis
8.
Kab. Tasikmalaya
9.
Kab. Majalengka
10.
Kab. Kuningan
11.
12
Kab. Sukabumi
Kab. Purwakarta
Kecamatan
Pangalengan, Lembang, Ibun, Gununghalu,
Cipongkor, Marga Asih, Cikalong Wetan, Cililin,
Cicalengka, Parogong, Soreang, Ngamprah,
Sindangkerta, Cisarua, Cimenyan, Rajamandala,
Batujajar
Coblong, Cilengkrang
Cipanas, Cibeber, Bojong Picung, Pacet, Sindang
Barang, Sukaresmi, Campaka, Cilotom, Cikalong,
Cibinong
Darmaraja, Cimalaka, Rancakalong, Wado,
Sumedang Selatan, Tanjungsari, Tanjungkerta,
Sumedang Utara, Jatigede
Cileungsi, Cijeruk, Cisarua, Cigudeg, Ciawi,
Jasinga, Cariu, Megamendung, Panyawangan,
Cihaurbeuti, Jatinagara, Rancah, Cibungbulang,
Jonggol, Cileksa
Bogor Tengah, Bogor Timur, Bogor Selatan
Cisaga, Panawangan, Panjalu, Ciamis, Kota,
Jatinagara, Jatinaga, Kawali
Salawu, Singaparna, Bantarkalong, Tasikmalaya
Selatan
Sindangwangi, Bantarujeg, Majalengka, Maja,
Sukahaji, Argapura, Lemahsugih, Rajagaluh,
Panyingkiran, Cingambul, Rancabalong
Kuningan Barat, Selatan dan Timur yang berbatasan
dengan Brebes, Waled, Kandangserang
Sukabumi Selatan, Jampang
Bagian Timur
56
Jumlah
CARINGIN
Jumlah
CIAMPEA
Jumlah
CIAWI
Desa
Babakanmadang
Bojongkoneng
Cijayanti
Cipambuan
Citaringgul
Kadumanggu
Karangtengah
Sentul
Sumurbatu
Caringin
Ciderum
Ciherangpondok
Cimande
Cimandehilir
Cinagara
Lemahduhur
Muarajaya
Pancawati
Pasirbuncir
Pasirmuncang
Tangkil
Benteng
Bojongjengkol
Bojongrangkas
Ciampea
Ciampea Udik
Cibadak
Cibanteng
Cibuntu
Cicadas
Cihideunghilir
Cihideungudik
Cinangka
Tegalwaru
Banjarwangi
Banjarwaru
Bantarsari
Bendungan
Luas (Ha)
294,221
1.903,994
1.664,605
204,169
287,942
448,048
3456,75
441,266
536,773
9.237,768
205,208
353,404
458,233
1.333,174
214,617
716,63
399,239
136,321
1.215,846
1.043,042
208,609
1.326,474
7.610,797
293,412
214,351
113,43
296,161
257,408
178,444
159,969
250,865
287,735
188,25
314,587
388,882
360,889
3.304,383
111,767
147,697
174,035
155,862
57
Bitungsari
Bojongmurni
Ciawi
Cibedug
Cileungsi
Citapen
Jambuluwuk
Pandansari
Telukpinang
5
Jumlah
CIBUNGBULANG
Jumlah
CIGOMBONG
Jumlah
CIJERUK
Cemplang
Ciaruteunilir
Ciaruteunudik
Cibatok I
Cibatok II
Cijujung
Cimanggu I
Cimanggu II
Dukuh
Galuga
Girimulya
Leuweungkolot
Situilir
Situudik
Sukamaju
Ciadeg
Ciburayut
Ciburuy
Cigombong
Cisalada
Pasirjaya
Srogol
Tugujaya
Watesjaya
Cibalung
Cijeruk
Cipelang
Cipicung
Palasari
Sukaharja
Tajurhalang
Tanjungsari
169,587
1.335,886
145,389
526,379
843,996
290,306
357,453
225,452
155,194
4.639,003
235,435
535,907
261,14
202,999
190,909
353,235
196,57
122,291
175,326
226,049
195,467
210,597
291,823
455,073
192,563
3.845,384
287,767
334,52
207,405
106,223
214,181
661,434
1.099,464
706,781
539,629
4.157,404
457,106
814,419
841,511
414,96
423,923
788,896
491,041
208,339
58
Warungmenteng
8
Jumlah
CIOMAS
Jumlah
CISARUA
10
Jumlah
DRAMAGA
11
Jumlah
LEUWILIANG
Ciapus
Ciomas
Ciomasrahayu
Kotabatu
Laladon
Mekarjaya
Padasuka
Pagelaran
Parakan
Sukaharja
Sukamakmur
Batulayang
Cibeureum
Cilember
Cisarua
Citeko
Jogjogan
Kopo
Leuwimalang
Tugu Selatan
Tugu Utara
Babakan
Ciherang
Cikarawang
Dramaga
Neglasari
Petir
Purwasari
Sinarsari
Sukadamai
Sukawening
Barengkok
Cibeber I
Cibeber II
Karacak
Karehkel
Karyasari
Leuwiliang
286,054
4.726,249
170,296
120,997
84,775
249,386
151,551
74,985
160,072
206,865
213,733
192,342
188,449
1.813,451
273,902
1.086,448
296,687
246,974
583,042
236,321
659,464
131,534
2.162,924
1.137,844
6815,14
392,305
266,934
283,365
217,071
190,059
328,266
222,266
130,405
361,416
243,176
2.635,263
545,757
453,163
560,761
694,573
453,476
461,218
275,696
59
Leuwimekar
Pabangbon
Purasari
Puraseda
12
Jumlah
LEUWISADENG
13
Jumlah
MEGAMENDUNG
14
Jumlah
NANGGUNG
15
Jumlah
PAMIJAHAN
Babakansadeng
Kalong I
Kalong II
Leuwisadeng
Sadeng
Sadengkolot
Sibanteng
Wangunjaya
Cipayungdatar
Cipayunggirang
Gadog
Kuta
Megamendung
Sukagalih
Sukakarya
Sukamahi
Sukamaju
Sukamanah
Sukaresmi
Bantarkaret
Cisarua
Curugbitung
Hambaro
Kalongliud
Malasari
Nanggung
Pangkaljaya
Parakanmuncang
Sukaluyu
Ciasihan
Ciasmara
Cibening
Cibitungkulon
Cibitungwetan
Cibunian
317,438
1.320,225
2.186,472
1.608,494
8.877,273
366,932
353,664
301,798
542,367
629,167
531,643
563,458
248,395
3.537,424
972,972
192,684
191,574
552,486
2.495,278
405,646
435,046
258,211
247,796
189,611
301,506
6242,81
3.016,813
1.354,432
1353,92
239,252
434,722
4.585,538
1.093,214
369,603
670,704
383,537
13.501,735
934,035
2.908,299
329,892
308,491
315,934
1.600,258
60
Cimayang
Gunungbunder I
Gunungbunder II
Gunungmenyan
Gunungpicung
Gunungsari
Pamijahan
Pasarean
Purwabakti
16
Jumlah
SUKARAJA
17
Jumlah
TAMANSARI
18
Jumlah
TENJOLAYA
Jumlah
Jumlah Total
Cadasngampar
Cibanon
Cijujung
Cikeas
Cilebut Barat
Cilebut Timur
Cimandala
Gununggeulis
Nagrak
Pasirjambu
Pasirlaja
Sukaraja
Sukatani
Pasireurih
Sirnagalih
Sukajadi
Sukajaya
Sukaluyu
Sukamantri
Sukaresmi
Tamansari
Cibitungtengah
Cinangneng
Gunungmalang
Situdaun
Tapos I
Tapos II
168,989
384,778
822,653
295,461
806,647
1.707,047
430,202
299,85
775,378
12.087,914
260,888
331,797
408,591
320,819
336,423
162,476
338,94
601,829
601,606
202,162
363,187
250,14
168,165
4.347,023
244,327
162,527
326,67
212,27
276,496
331,506
298,784
1.559,392
3.411,972
323,349
271,349
1.853,714
369,259
1.051,298
254,206
4.123,175
104.914,168
61
62
TOTAL
(ha)
1.387,361
3.078,743
6.570,314
1.605,542
9.141,303
16.727,229
15.552,448
6.662,934
27.909,961
2.433,694
5.243,27
7.923,478
677,891
104.914,168
63