You are on page 1of 3
AFTA Dan Dilema Otonomi Daerah Anang Arief Susanto, SE Asisten Peneliti PSE-KP (Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. ntegrasi ekonomi (regionalism) merupakan bentuk proteksi baru dalam tata ekonomi dunia baru saat ini. Kecenderungan tersebut merupakan akibat perubahan peta perekonomian dunia terutama dalam kurun waktu dua dekade terakhir. Integrasi ekonomi merupakan reaksi atas terancamnya dominasi negara-negara Eropa dan Amerika dalam percaturan perekonomian dunia oleh kinerja perekonomian yang ditunjukkan beberapa “macan” Asia, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, China dan Singapura’ Integrasi ekonomi semula hanya dilakukan oleh beberapa negara di Eropa. Pada tahun 1958 beberapa negara Eropa Barat sepakat menciptakan blok Perdagangan, yang kemudian dikenal sebagai EEC (European Economic Community) atau MEE (Masyarakat Ekonomi Eropa)’. Selanjutnya pada tahun 1991, Amerika Serikat bersama-sama dengan Mexico dan Kanada membentuk North America Free Trade Area (NAFTA), yang merupakan blok perdagangan (trading block) baru dalam kancah Perekonomian dunia. Selain MEE dan NAFTA, dalam perkembangan selanjutnya lahirlah beberapa biok perdagangan baru. Tercatat beberapa nama,yaitu EFTA (European Free Trade Area), LAIA (Latin American Integration Association), CACM (Central American Common Market), dan CARICOM (Caribean Community and Common Market), ICM (Islamic Common Market), CAEC (Council of Arab Economic Community) dan AFTA (ASEAN Free Trade Area). BODES Eiisi 7/vi/2002 227 Anang Arief Susanto AFTA merupakan pasar bersema bagi negara-negara yang tergabung dalam ASEAN (Assosiation of South East Asian Nations). Pembentukan AFTA disepakati melalui KTT IV ASEAN di Singapura tanggal 27-28 Januari 1992. Keberadaan AFTA merupakan jawaban atas keterpaksaaan bangsa-bangsa di Asia Tenggara dalam menghedapi perekonomian dunia yang kian tersekat- sekat oleh integrasi ekonomi (regionalism) yang ada. Integrasi ekonomi yang dilakukan negara-negara ASEAN dipandang sebagai salah satu jalan keluar agar anggota ASEAN tetap survive dalam menghadapi persaingan retriksi perdagangan di dunia yang makin meningkat.. AFTA awainya adalah usul dan Thailand, yang selanjutnya diterima secara bulat oleh keenam anggota ASEAN saat itu. Untuk menuju perdagangan bebes, maka terlebih dahulu ditempuh penurunan tarif komoditas unggulan melalui skema CEPT (Commond Effective Preferential Taniffs). Upaya ASEAN untuk menjadi daerah perdagangan bebas dimulai pada tanggal 1 Januari 1993, dengan menerapkan pemotongan tarif pada lima belas kelompok industri. AFTA diharapkan efektif berjalan pada tahun 2008." Namun kemudian mengalami revisi menjadi tahun 2003, dan dalam pertemuan yang terakhir_muncul pula gagasan untuk memajukan lagi menjadi 1 Januari 2002. * Kebijakan percepatan pemberlakuan AFTA merupakan wujud keinginan negara- negara ASEAN untuk membuat kawasannya menarik bagi investasi intemasional. Kawasan ASEAN ingin ditawarkan sebagai suatu tempat produkst yang berdaya saing tinggi. Keadaan ini akan dicapai dengan menjadikan kawesan ASEAN sebagai kawasan perdagangan bebas, yaitu di mana perdagangan dalam (intra) kawasan tidak mengalami hambatan apa pun. Dengan hilangnya hambatan perdagangan itu maka kegiatan produksi yang dilakukan di kawasan ASEAN dapat memantaatkan keunggulan yang dimiliki olen negara-negara anggotanya. Dengan demikian akan terbentuk daya saing yang tinggi yang dipertukan dalam era globalisasi ini, Perdagangan bebas menjamin bahwa ‘ekonomi akan tumbuh dengan lebih cepat dan karena itu meningkatkan ketersediaan lapangan kerja dan pada ilirannya meningkatkan pendapatan masyarakat. Penerapan prinsip perdagangan bebas ini menjamin adanya efisiensi dalam kegiatan ekonomi,pembangunan ekonomi, integritas nasional, daya saing internasional dan pemberantasan kemiskinan.’ Alasan-alasan diatas umumnya disadari secara luas, kecuali yang menyangkut kemiskinan Bahkan dalam banyak hal hambatan atas perdagangan dibenarkan dalam perbaikan nasib para petani. Kenyataan justru menunjukkan bahwa penerapan tata niaga perdagangan dalam komoditi cengkeh dan jeruk justru menurunkan penghasilan petani.* Studi lainjuga menunjukkan bahwa pungutan-pungutan yang mempengaruhi perdagangan,khususnya hasil pertenian, menurunkan penerimaan petani karena beban pungutan-pungutan biasanya digeserkan kepada petani.” Pelanggaran prinsip perdagangan bebas jelas tidak mendukung upay pemberantasan kemiskinan. Tetapi mengapa prinsip ini cenderung untuk dilanggar? Intinya terletak pada kondisi politik (lokal dan nasional) serta lemahnya governance. Pinak yang paling terkena oleh penerapan hambatan perdagangen, yeitu. umumnya petani, berada dalam kedudukan yang sangat lemah secara politis untuk menentangnya. Sementara itu. berbagai hambatan perdagangan di tingkat lokal diterapkan untuk melindungi kepentingan-kepentingan kelompok tertentu (produsen besar/kuat) atau ates dasar argumentasi pengembangan komoditas unggulan atau industri andalan di suatu daerah. Tetapi insentif yang tidak MG AFTA Dan Dilema Otonomi Daerah kalah pentingnya bagi penerapan berbagai hambatan tersebut adalah peluang bagi Perburuan rente (rent seeking) bagi oknum Pejabat pemerintah lokal maupun oknum non-pemerintah (para preman| Sementara di satu proses menuju perdagangan bebas telah berlangsung dan Indonesia telah memutuskan untuk turut ambil bagian, namun di sisi yang lain dalam ekonomi Indonesia sedang terjadi suatu perkembangan yang berlawanan arah, yaitu meningkatnya hambatan perdagangan antar daerah, dari satu propinsi ke propinsi yang lain atau dari kabupaten/kota yang satu ke kabupatenikota yang lain. Realitas ini merupakan ekses negatif dari era otonomi daerah. Era otonomi daerah berlangsung sejak 1 Januari 2001 yang mana secara resmi diterapkan melalui Undang-undang Nomer 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomer 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sekarang ini, pemberian otonomi yang semakin luas kepada pemerintah daerah merupakan suatu keharusan. Selain tekanan internal yang menginginkan adanya demokratisasi, tuntutan pemberian ‘otonomi itu juga muncul sebagai jawaban untuk memasuki era new game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan manusia dimasa yang akan datang. Di era seperti ini, dimana globalization cascade sudah semakin luas, pemerintah akan semakin kehilangan kendali pada banyak persoalan dan negara menjadi terlalu besar untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan kecil tetapi terlalu kecil untuk dapat menyelesaikan semua masalah yang dihadapi oleh masyarakat.* Dengan otonomi daerah, pembuatan kebijakan yang menyangkut kehidupan masyarakat ingin di dekatkan kepada masyarakat. Jika sejumlah kebjjakan kini dibuat di tingkat lokal, dan tidak lagi di tingkat nasional (atau pusat), maka kehidupan akan menjadi semakin demokratis. Inilah esensi dari otonomi daerah. Namun terdapat bahaya bahwa dalam proses ini salah satu prinsip dasar kesatuan ekonomi, yaitu perdagangan dalam negeri yang bebas (free internal trade), akan ditinggalkan. Keadaan ini merupakan ancaman terbesar terhadap daya saing ekonomi Indonesia dan kontraproduktif terhadap partisipasi Indonesia dalam AFTA. Di daerah, pelaksanaan otonomi daerah terlanjur dilihat terutama dari peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Cara pandang tersebut telah menyebabkan lahirnya Undang-undang Nomer 34 Tahun 2000 yang merupakan revisi dari Undang-undang Nomer 18 Tahun 1997. Undang-undang baru ini memberikan kewenangan dan keleluasaan lebih besar kepada daerah untuk menetapkan pajak baru melalui peraturan daerah. Undang- undang ini juga merinci kriteria bagi retribusi yang dapat diterapkan oleh oleh pemerintah daerah, yang terdiri dari tiga kategori sebagai berikut: (a) retribusi jasa publik;(b) retribusi jasa bisnis; dan (c) retribusi perijinan khusus. Dalam undang- undang ini juga dinyatakan bahwa peraturan daerah (Perda) baru yang menyangkut pajak dan retribusi daerah harus disampaikan kepada pemerintah pusat dalam kurun waktu 15 hari setelah dikeluarkan untuk dinilai. Bila Perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi, pemerintah pusat dapat membatalkannya. Tetapi pembatalan. ini harus dilakukan tidak lebih dari satu bulan ‘setelah menerima Perda tersebut. Efektifitas dari pengawasan oleh pemerintah pusat ini masih harus diuji. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menemukan adanya 1.006 peraturan daerah (Perda) di seluruh Indonesia, yang dianggap konyol dan | | | |Anang Arief Susanto memberatkan dunia usaha. Perda yang konyol-konyol itu misalnya, tentang pungutan terhadap hasil bumi. Kemudian ada pula pajak reklame terhadap label dalam botol minuman, pajak parkir dan sebagainya. Menteri Dalam Negeri Hari Sabamo pekan lalu juga menyatakan saat ini terdapat 3.000 perda yang perlu diverifikasi karena dapat merugikan kabupaten lain.” Dalam keadaan seperti ini maka kemungkinan besar akan terjadi perburuan pungutan daerah untuk meningkatkan PAD. Kenyataan ini akan sangat rawan, karena bidang perdagangan menjadi sasaran utama peningkatan pendapatan daerah mengingat potensi_meningkatkan pendapatan dari bidang lain sangat dibatasi. Sebagai akibat akan tercipta suatu ekonomi biaya tinggi yang akan kehilangan dayasaing internasional. Halhal diatas menimbulkan banyak pertanyaan bagi kita. Siapkah Indonesia bersaing secara bebas dengan negara ASEAN lainnya dalam kerangka AFTA , khususnya menghadapi Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina? Adanya AFTA sebenamya sangat bermanfaat bagi bagi peningkatan efisiensi ekonomi nasional. Ini sepanjang kita mempersiapkan diri untuk bersaing secara bebas tersebut. AFTA sekaligus juga merupakan sarana latihan sebelum kita masuk dalam fiberalisasi di level Asia Pasifik (APEC) dan global (WTO). Masalah kesiapan inilah yang tampaknya belum kita lakukan. Dalam menyongsong AFTA ini, dilema otonomi daerah merupakan masalah besar yang dapat merugikan kepentingan makro ekonomi Indonesia. Perlu adanya kesepahaman bahwa otonomi daerah adalah otonomi politik dan bukan otonomi dibidang ekonomi. Artinya perubahan yang terjadi dalam otonomi daerah terutama adalah perubahan proses pengambilan keputusan politik untuk menentukan jenis pelayanan publik bagi masyarakat. Otonomi dibidang ekonomi hanya terjadi pada proses penentuan pengeluaran (belanja) daerah saja sehingga kebijakan pemburuan PAD yang berlebinan pada dasarnya adalah kebijakan yang kontraproduktif dan tidak perlu." Otonomi daerah harus didefinisikan sebagai ofonomi bagi rakyat daerah, bukan otonomi pemda, juga bukan otonomi bagi “daerah” dalam pengertian suatu wilayah/teritori tertentu di tingkat lokal.” Definisi ini akan menghindarkan kita dari kebijakan yang malah merugikan kepentingan rakyat, merugikan daerah lain yang akhimya berdampak buruk bagi keutuhan ekonominasional. Namun ironisnya dalam konteks otonomi daerah ini, telah muncul semangat kedaerahan yang tinggi, sehingga tekanan untuk memanfaatkan sumberdaya daerah sangat besar. Ini bisa dipahami kalau memang sumberdaya daerah itu kompetitif. Namun jika untuk memanfaatkan sumberdaya daerah tersebut dengan memasang palang-palang proteksi atas produk atau sumber daya daerah lain, maka ini sangat bertentangan dengan semangat AFTA. Secara global kita membuka pintu, namun secara lokal kita menutup akses masuk dari daerah lain. Dengan melihat kondisi yang demikian, secara substansi kita setuju bahwa AFTA akan sangat bermanfaat bagi perekonomian Indonesia. Namun kebelumsiapan pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku ekonomi ‘swasta maupun mayoritas rakyat Indonesia yang lain haruslah disadari sebagai suatu kenyataan. Selanjutnya merupakan sikap yang arif dan bijaksana untuk meminta penundaan kembali skim waktu AFTA ini. Permintaan penundaan dari Indonesia itu saya yakin akan diperhitungkan secara mendalam oleh negara-negara ASEAN lainnya, karena bagaimanapun pasar Indonesia tetap yang paling besar. Dan AFTA tak banyak artinya tanda keikutsertaan Indonesia. AFTA Dan Ditema Otonomi Daerah Catatan Kaki " Pradiptyo, Rimawan, Analisi i isis Kinerja Daya Sa jit pa ya Saing Komodi eoneshe di Kawasan ASEAN ; Studi Kelayakan parce ape Nee rea (AFTA), Skripsi S1 Fakultas i tertieasGedak wens ; Yonyalaie ties eS i Universitas Gadjah Mada, Salvatore, Dominick,” International Economics”, 5. Company, New York,1987, hal 256, Vatikiotis, Michael,” Less Haste, Less Speed: ‘ ous ewon EconomicReview, January 1993 urteenth Meeting of The ASEAN Free 7; an ‘Statement,Chiangmai, Thailand 4 October 2000" oe eS oodpaster,G. dan Ray, D., Trade and Citizenship Barrie izatic Indonesian Quarterly, Vol.28, No.3 (Third Quarter) Lan DecmateaSoncte ’ . hal. Ubaidillah :Idsijoso,Brahmantio oe een i Tambunan, M 2 in oie fotorsneeed aden dalam Era Desentralisasi sieniteng oe aerah”, Mi: is Globalization, Decentralization, and Internal Secure. oem oe a . Bariers to Trade. ‘artnership for Economic Growth (PEG) USAID di. Jakarta, 3 aac sty . Second Edition, Macmillan Publishing ASEA Sceme Starts with Tariff Cuts”, 7 Bank, Washington, D.C., 1997, hal.7 Kompas, 1006 Perda Beratkan Dunia U: Isaha, Kamis, 6 Septe1 sharaipaty }. © September 2001, hal.1 weneare Rameian, Persoalan-Persoalan dalam Implementasi Sic i : er iner OtonomiDeerah, di Universitas Sebelas Maret, Apni2000, haat” ) hal.s Syamsuddin, Paradigm Baru Otonomi Daerah i gma Ba aerah,

You might also like