Antikolinergik merupakan obat yang telah digunakan untuk
pengobatan PPOK dengan tonus kolinergik vagal merupakan satusatunya komponen yang reversibel terhadap penyempitan jalan napas.9 Kerja obat antikolinergik adalah sebagai penghambat kompetitif reseptor kolinergik muskarinik sehingga menghambat bronkokonstriksi dan hipersekresi bronkus yang disebabkan oleh neurotransmitter parasimpatis asetilkolin. Subtipe reseptor muskarinik adalah M1 sampai dengan M5 namun hanya 3 subtipe reseptor yang terdeteksi pada paru manusia yaitu M1, M2 dan M3. Reseptor M1 terletak di ganglion otonom, kelenjar bronkus submukosa dan dinding alveoli. Reseptor M2 terletak di ujung saraf parasimpatis pascaganglionik. Reseptor M3 terletak di otot polos jalan napas, kelenjar submukosa bronkus dan sel endotel. Ketiga subtipe reseptor tersebut mempunyai fungsi fisiologis yang berbeda. Ikatan asetilkolin dengan reseptor M1 memfasilitasi neurotransmisi kolinergik pada ganglion parasimpatis dan stimulasi asetilkolin pada reseptor M3 menghasilkan kontraksi otot polos bronkus (bronkokonstriksi) dan hipersekresi bronkus. Stimulasi reseptor M2 oleh asetilkolin menghasilkan feedback negatif pelepasan asetilkolin sehingga menurunkan efek kolinergik pada resetor M3 di otot polos jalan napas. Hambatan optimal aktifitas parasimpatis dapat tercapai dengan antagonis selektif reseptor M1 dan M3 tanpa reseptor M2.1,4,10 Perbedaan struktur ipratropium dan tiotropium dapat dilihat pada gambar 3. Gambar 3. Struktur Ipratropium bromide (kiri) dan Tiotropium bromide (kanan) keduanya mempunyai struktur amonium quaternary. Dikutip dari (9)
Kontraksi otot polos derajat ringan akibat induksi asetilkolin juga
terjadi pada paru normal, sering disebut sebagai tonus bronkomotor vagal resting contohnya adalah pemberian obat antikolinergik pada orang normal akan menghasilkan bronkodilatasi minimal. Tonus bronkomotor vagal pada pasian PPOK biasanya meningkat sehingga menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih besar. Penemuan tersebut dapat dijelaskan dengan faktor geometris yaitu efek bronkodilatasi relatif lebih besar pada jalan napas yang sempit karena tahanan berbanding terbalik dengan diameter.10 Potensi tiotropium bromide 10x lebih besar dibandingkan antikolinergik kerja cepat seperti ipratropium. Ikatan tiotropium bromide dengan reseptor kolinergik muskarinik bertahan lebih lama dibandingkan dengan ipratropium misalnya waktu paruh pelepasan reseptor M3 dengan tiotropium adalah 34.7 jam sedangkan pada ipratropium 0.3 jam. Lama pengikatan reseptor pada tiotropium menjelaskan fraksi yang tertelan diabsorbsi di saluran pencernaan. Jumlah pengikatan protein plasma adalah 70% dan tiotropium tidak melewati sawar darah otak. Tiotropium hampir tidak dimetabolisasi dan dieksresikan ke dalam urin dalam bentuk yang sama. Peningkatan tiotopium pada plasma dapat terjadi pada insufisiensi renal. Efek samping muskarinik sistemik seperti hambatan salivasi, lakrimasi, sekresi asam lambung, midriasis, takikardia dan retensi urin terbatas setelahsetelah inhalasi tiotropium bromide.4,10,11 9. Barnes PJ. The pharmacological properties of tiotropium. Chest. 2000;117:63S-6S. 10. Vincken W. Bronchodilator treatment of stable COPD: longacting anticholinergics. Eur Respir Rev. 2005;14(94):23-31. 1. Oba Y, Zaza T, Thameem DM. Safety, tolerability and risk benefit analysis of tiotropium in COPD. Int J of COPD. 2008;3(4):575-84. 4. Gross NJ. Tiotropium bromide. Chest. 2004;126:1946-53.
11. Kesten S, Celli B, Decramer M, Leimer I, Tashkin D.
Tiotropium handihaler in the treatment of OPD: a safety review Int J of COPD. 2009;4:397-409.