Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit muskuloskeletal saat ini telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di
pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia, bahkan WHO telah menetapkan
dekade ini (2000-2010) menjadi dekade tulang dan persendian. Fraktur atau sering
disebut patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang penyebabnya dapat dikarenakan penyakit pengeroposan tulang diantaranya
penyakit yang sering disebut osteoporosis, biasanya dialami pada usia dewasa, dan dapat
juga disebabkan karena kecelakaan yang tidak terduga (Mansjoer, 2000, hal 347)
Kecelakaan lalulintas ini, selain menyebabkan fraktur, menurut WHO, juga
menyebabkan kematian 1,25 juta orang setiap tahunnya, dimana sebagian besar
korbannya adalah remaja atau dewasa muda (Lukman, 2009)
Penderita fraktur dengan tingkat pendidikan rendah cenderung menunjukan adanya
respon cemas yang berlebihan mengingat keterbatasan mereka dalam memahami proses
penyembuhan dari kondisi fraktur yang dialaminya tetapi sebagian besar penelitian tidak
menunjukan adanya korelasi kuat antara tingkat pendidikan dengan kecemasan penderita
fraktur. Respon cemas yang terjadi pada penderita fraktur sangat berkaitan sekali dengan
mekanisme koping yang dimilikinya, mekasnisme koping yang baik akan membentuk
respon psikologis yang baik, respon psikologis yang baik yang berperan dalam
menunjang proses kesembuhan. Perawat diharapkan memiliki pengetahuan yang cukup
dalam memberikan askep pada klien fraktur, diantaranya adalah memberikan pendidikan
kesehatan untuk mencegah komplikasi (Lukman, 2009).
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat pada tahun 2005 terdapat lebih dari 7 juta
orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami
kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang cukup tinggi yakni insiden fraktur
ekstremitas bawah, sekitar 46,2% dari insiden kecelakaan yang terjadi. Kejadian terjatuh
dan fraktur pada manula merupakan persoalan penting kesehatan masyarakat yang terus
meningkat dan dialami oleh 150.000 200.000 orang setiap tahun di Inggris, diantara
jumlah tersebut ditemukan sebanyak 60.000 kasus fraktur panggul. Data Badan
Kesehatan Amerika Serikat pada tahun 2001 memperkirakan terjadinya kasus patah
tulang akibat osteoporosis adalah 1,5 juta kasus pertahun dengan rincian 33% kasus
patah tulang daerah belakang, 14% kasus patah tulang daerah pergelangan tangan, 20%
ASUHAN KEPERAWATAN DAN SAP PADA TINDAKAN FIKSATOR EKSTERNAL
Page 1
kasus patah tulang panggul serta lebih dari 30% patah tulang pada bagian tubuh lainnya
(Lukman,2009)
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat tahun 2009 terdapat lebih dari 7 juta orang
meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami kecacatan
fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki prevalensi cukup tinggi yakni insiden
fraktur ekstremitas bawah yakni sekitar 46,2% dari insiden kecelekaan yang terjadi.
Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi diistegritas tulang. Penyebab terbanyak
adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses degeneratif juga dapat
berpengaruh terhadap kejadian fraktur (Lukman, 2009).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Depkes RI tahun 2007 di Indonesia terjadi kasus fraktur yang disebabkan
oleh cedera antara lain karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma benda tajam/
tumpul. Dari 45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775
orang(3,8%), dari 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, yang mengalami fraktur sebanyak
1.770 orang (8,5%), dari 14.127 trauma benda tajam/ tumpul, yang mengalami fraktur
sebanyak 236 orang (1,7%). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah tahun 2007 didapatkan sekitar 2.700 orang mengalami insiden fraktur, 56%
penderita mengalami kecacatan fisik, 24% mengalami kematian, 15% mengalami
kesembuhan dan 5% mengalami gangguan psikologis atau depresi terhadap adanya
kejadian fraktur. Pada tahun yang sama di Rumah Sakit Umum di Jawa Tengah, tercatat
terdapat 676 kasus fraktur dengan rincian 86,2% fraktur jenis terbuka dan 13,8% fraktur
jenis tertutup, 68,14% jenis fraktur tersebut adalah fraktur ekstremitas bawah
(Lukman,2007)
Penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di pusat-pusat
pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Penyebab fraktur terbanyak adalah karena
kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas ini, selain menyebabkan fraktur, menurut
WHO, juga menyebabkan kematian 1,25 juta orang setiap tahunnya, dimana sebagian
besar korbannya adalah remaja atau dewasa muda.
Beberapa tulang, misalnya femur mempunyai kekuatan otot yang kuat sehingga
reposisi tidak dapat dilakukan sekaligus. Untuk menghindari berbagai permasalahan
diperlukan penanganan fraktur sedini mungkin. Umumnya penanganan fraktur dibagi 2
macam, yaitu; secara konservatif (penanganan tanpa pembedahan) dan operatif meliputi
operasi ORIF dan OREF. maka dilakukan penatalaksanaan untuk mencegah infeksi dan
injury pada oref (Open Reduction External Fixation) pada fraktur dengan cara Perawatan
luka merupakan tindakan keperawatan yaitu berupa mengganti balutan dan
ASUHAN KEPERAWATAN DAN SAP PADA TINDAKAN FIKSATOR EKSTERNAL
Page 2
membersihkan luka baik pada luka yang bersih maupun luka yang kotor untuk mencegah
infeksi. Dan untuk mencegah injury dalam penatalaksanaan dilakukan dengan traksi dan
latihan aktif.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari tindakan fiksator eksternal?
2. Apa tujuan dari tindakan fiksator eksternal?
3. Apa saja indikasi dari tindakan fiksator eksternal?
4. Apa saja keuntungan dari tindakan fiksator eksternal?
5. Apa saja komplikasi yang ditimbulkan oleh tindakan fiksator eksternal?
6. Apa saja hal-hal yang harus diperhatikan pada klien dengan pemasangan fiksator
eksternal?
7. Bagaimana patofisiologi terjadinya tindakan fiksator eksternal
8. Bagaimana penatalaksanaan dan perawatan pada tindakan fiksator eksternal?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pada tindakan fiksator eksternal?
1.3 Tujuan
Penulis dapat menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan tindakan fiksator
eksternal melalui pendekatan proses keperawatan yang tepat.
1.4 Manfaat
1. Bagi ilmu pengetahuan
Diharapkan dapat digunakan sebagai referensi pembelajaran dalam penanganan
pada tindakan fiksator eksternal.
2. Bagi penulis
Diharapkan dapat menambah pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman bagi
penulis tentang penanganan pada tindakan fiksator eksternal.
3. Bagi institusi
a. Sebagai sumber kepustakaan bagi mahasiswa terkait asuhan keperawatan pada
tindakan fiksator eksternal
b. Sebagai tolak ukur dalam keberhasilan proses belajar mengajar.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Definisi
OREF adalah reduksi terbuka dengan fiksasi eksternal di mana prinsipnya tulang
ditransfiksasikan di atas dan di bawah fraktur, sekrup atau kawat ditransfiksi di bagian
proksimal dan distal kemudian dihubungkan satu sama lain dengan suatu batang lain
OREF adalah Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan
cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduction and external
fixation=OREF) sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang baik. Keuntungan fiksasi
eksternal adalah memungkinkan stabilisasi fraktur sekaligus menilai jaringan lunak
sekitar dalam masa penyembuhan fraktur. Penanganan pascaoperatif yaitu perawatan luka
ASUHAN KEPERAWATAN DAN SAP PADA TINDAKAN FIKSATOR EKSTERNAL
Page 3
dan pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial,
darah lengkap, serta rehabilitasi berupa latihan-latihan secara teratur dan bertahap
sehingga ketiga tujuan utama penanganan fraktur bisa tercapai, yakni union
(penyambungan tulang secara sempurna), sembuh secara anatomis (penampakan fisik
organ anggota gerak; baik, proporsional), dan sembuh secara fungsional (tidak ada
kekakuan dan hambatan lain dalam melakukan gerakan)
Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan
jaringan lunak . Alat ini memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur
kominutif( hancur atau remuk ) . Pin yang telah terpasang dijaga agar tetap terjaga
posisinya , kemudian dikaitkan pada kerangkanya. Fiksasi ini memberikan rasa nyaman
bagi pasien yang mengalami kerusakan fragmen tulang.
2.2
Tujuan
Page 4
2.3 Indikasi
1. Fraktur terbuka grade II (Seperti grade I dengan memar kulit dan otot ) dan III (Luka
2.
3.
4.
5.
6.
sebesar 6-8 cm dengan kerusakan pembuluh darah, syaraf otot dan kulit )
Fraktur terbuka yang disertai hilangnya jaringan atau tulang yang parah.
Fraktur yang sangat kominutif ( remuk ) dan tidak stabil.
Fraktur yang disertai dengan kerusakan pembuluh darah dan saraf.
Fraktur pelvis yang tidak bisa diatasi dengan cara lain.
Fraktur yang terinfeksi di mana fiksasi internal mungkin tidak cocok. Misal : infeksi
Page 5
Page 6
atau
memperbaiki
tingkat
kesempurnaan
kemampuan
Page 7
2008). Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan
persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat
mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.
b) ROM Aktif
Latihan ROM aktif adalah Perawat memberikan motivasi, dan
membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan sendi secara mandiri sesuai
dengan rentang gerak sendi normal. Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan
otot serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif
Pergerakan aktif adalah dimana seseorang yang bisa untuk melakukan
latihan / menggerakan anggota tubuh dengan kekuatannya sendiri tanpa dibantu
oleh orang lain.
Tujuan
a) Mencegah terjadinya kelumpuhan pada otot otot.
b) Memprlancar predaran darah.
c) Mencegah terjadinya atrofi.
d) Untuk mendorong dan membantu agar pasien dapat menggunakan lagi anggota
gerak yang lumpuh.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
ASUHAN KEPERAWATAN DAN SAP PADA TINDAKAN FIKSATOR EKSTERNAL
Page 8
a. Pre operasi
Data subyektif
a. Mengeluh takut
Data Obyektif
a. Klien tampak gelisah,
menjalani operasi
Masalah
Kecemasan
murung
Nyeri
Masalah
1). Resti infeksi
operasi,terpasang alat
fiksasi eksterna ( pin,
kerangka portable )
Mengeluh malu dengan
3) Hambatan mobilitas
bergerak bebas
dalam bergerak.
fisik
Klien mengatakan tidak Klien selalu menanyakan 4 4) Defisit pengetahuan
tahu cara perawatan alat
yang dipasang
5) Resiko
penatalaksanaan
regimen terapeutik
inefektif
6) Resiko cedera
Page 9
1)
mengeluh takut operasi, takut dipasang alat, khawatir tangan dan kaki tidak berfungsi,
tampak gelisah dan murung , tachicardi.
2) Nyeri b/d trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder akibat fraktur
ditandai dengan mengeluh sakit, sulit bergerak, tampak meringis dan memegangi
tubuh yang cedera.
b. Post operasi
1) Resti infeksi b/d tempat masuknya organisme sekunder akibat adanya jalur
invasif (pin ).
2) Gangguan citra tubuh b/d perubahan dalam penampilan sekunder akibat
pemasangan eksternal fiksasi.
3) Hambatan mobilitas fisik b/d alat eksternal fiksasi.
4) Defisit pengetahuan b/d kurangnya informasi.
5) Resiko penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif b/d ketidaktahuan tentang
perawatan eksternal fiksasi.
6) Resiko cedera b/d terpasang alat berujung tajam.
3.3 Intervensi
a. Prioritas Diagnosa Keperawatan
Pre operasi :
1)
Nyeri b/d trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder akibat fraktur
ditandai dengan mengeluh sakit, sulit bergerak, tampak meringis dan memegangi
tubuh yang cedera
2)
mengeluh takut operasi, takut dipasang alat, khawatir tangan dan kaki tidak berfungsi,
tampak gelisah dan murung , tachicardi.
Post operasi :
1)
invasif
adanya jalur
(pin ).
akibat
Rencana tindakan
a. Kaji tingkat nyeri dan intensitas.
b. Ajarkan teknik distraksi selama
nyeri akut
c. Observasi vital sign
d. Kolaboratif pemberian obat
Rasionalisasi
a. Mengetahui tingkat nyeri
Rencana tindakan
a. Kaji tingkat ansietas
b. Beri kenyamanan dan ketentraman
hati, perlihatkan rasa empati.
c. Bila ansietas berkurang , beri
penjelasan tentang operasi ,
Rasionalisasi
a. Sebagai acuan membuat strategi
tindakan.
b. Agar pasien lebih tenang menghadapi
operasi.
c. Bila keadaan klien lebih tenang maka
Post operasi
ASUHAN KEPERAWATAN DAN SAP PADA TINDAKAN FIKSATOR EKSTERNAL Page 11
1) Diagnosa 1
Rencana tujuan :
Setelah diberikan askep selama 1 minggu diharapkan tidak terjadi infeksi
Rencana tindakan
a. Jaga kebersihan di daerah
pemasangan eksternal fiksasi.
b. Lakukan perawatan luka secara
aseptik di daerah pin.
Rasionalisasi
a. Mencegah kolonisasi kuman.
b. Mencegah infeksi kuman melalui pin
c. Menemukan tanda-tanda infeksi
secara dini.
mengobati infeksi.
Rencana tindakan
Rasionalisasi
yang tajam
cedera.
3) Diagnosa 3
Rencana tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selam 3 x 24 jam diharapkan klien mampu
memperlihatkan kemampuan mobilitas.
Rencana Tindakan
Rasionalisasi
a. Mencegah terjadinya atrofi disuse .
4) Diagnosa 4
Rencana tujuan :
Setelah diberikan askep selama 3 x 24 jam diharapkan klien mempunyai gambaran
diri yang positif .
Rencana Tindakan
a. Dorong individu untuk
Rasionalisasi
a. Dapat mengidentifikasi
mengekspresikan pikiran,
perasaan, pandangan
dirinya.
tentang dirinya.
b. Membantu meningkatkan rasa
b. Ungkapkan aspek positif
dari klien.
c. Merngurangi kecemasan,
c. Libatkan orang-orang
terdekat untuk :
yang positif.
dengan klien
5) Diagnosa 5 :
Rencana tujuan :
Setelah diberikan askep selama 3 x 30 menit diharapkan klien dapat menunjukkan
perilaku yang mendukung penatalaksanaan program terapi.
Rencana tindakan
a. Berikan pengertian bahwa
Rasionalisasi
a. Agar secara psikologis klien
lama
( 6-8 bulan ).
b. Klien mempunyai gambaran
c. Menjamin kesinambungan
program pengobatan .
3.4 Evaluasi
Hasil yang diharapkan dari asuhan keperawatan pasien dengan OREF adalah :
a. Pre operasi
1) Klien melaporkan penurunan tingkat nyeri, ekspresi wajah rileks.
2) Klien menunjukkan penurunan tingkat kecemasan dan siap menjalani operasi.
b. Post operasi
1) Tidak ada tanda tanda infeksi sistemik maupun lokal ( vital sign normal, tidak
ada kemerahan atau cairan / pus keluar dari pin, nyeri minimal ).
2) Tidak ada cedera karena alat.
3) Memperlihatkan peningkatan kemampuan mobilitas
Mempergunakan alat bantu yang aman
Berlatih untuk meningkatkan kekuatan
Mengubah posisi sesering mungkin.
ASUHAN KEPERAWATAN DAN SAP PADA TINDAKAN FIKSATOR EKSTERNAL Page 14
yang
penampilan
sekarang
5) Klien mematuhi regimen terapeutik yang harus dilakukan dan mampu melakukan
perawatan di rumah secara berkesinambungan..
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Umumnya penanganan fraktur dibagi 2 macam, yaitu; secara konservatif
(penanganan tanpa pembedahan) dan operatif meliputi operasi ORIF dan OREF. maka
dilakukan penatalaksanaan untuk mencegah infeksi dan injury pada oref (Open
Reduction External Fixation) pada fraktur dengan cara Perawatan luka merupakan
tindakan keperawatan yaitu berupa mengganti balutan dan membersihkan luka baik
pada luka yang bersih maupun luka yang kotor untuk mencegah infeksi. Dan untuk
mencegah injury dalam penatalaksanaan dilakukan dengan traksi dan latihan aktif
4.2 Saran
Penulis menyarankan kepada pembaca khususnya mahasiswa keperawatan
agar dapat memahami konsep pencegahan infeksi dan injury pada OREF maupun
penatalaksanaanya baik medis maupun dari sisi perawatannya. Hal ini diharapkan
mampu meningkatkan kinerja dan kualitas perawat di indonesia dalam menangani
DAFTAR PUSTAKA
1. Smeltzer, G. Bare, Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth,
Edisi 8, EGC,Jakarta, 2002.
2. Susilo, Ignatius Eko,Ns, S.Kep., Bahan Kuliah : Asuhan Keperawatan
Klien Dengan Trauma Sistem Muskuloskeletal,Akademi Keperawatan
Panti Rapih, Yogyakarta,2004
3. Carpenito Moyet, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosis Keperawatan, Edisi
10, EGC< Jakarta, 2007.
4. Muttaqin, Arif, Ns, S.Kep, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien
Gangguan Muskuloskeletal, EGC, Jakarta, 2008
5. Lukman dan Ningsih, Nurna. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien