You are on page 1of 12

ANALISA SINTESA

RESUSITASI JANTUNG PARU PADA KEGAWATAN


KARDIOVASKULER

Oleh :
AGUNG DARMAWAN
G1B210052

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU- ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2011

PENDAHULUAN

Istilah resusitasi atau reanimasi di dalam kamus-kamus diartikan sebagai


menghidupkan kembali atau memberi hidup baru. Dalam arti luas resusitasi
merupakan segala bentuk usaha medis, yang dilakukan terhadap mereka yang
berada dalam keadaan gawat atau kritis, untuk mencegah kematian. Kematian di
dalam klinik diartikan sebagai hilangnya kesadaran dan semua refleks, disertai
berhentinya pernafasan dan peredaran darah yang ireversibel. Oleh karena itu
resusitasi merupakan segala usaha untuk mengembalikan fungsi sistem
pernafasan, peredaran darah dan saraf, yang terhenti atau terganggu sedemikain
rupa sehingga fungsinya dapat berhenti sewaktu-waktu, agar kembali menjadi
normal seperti semula. Karenanya timbullah istilah Cardio Pumonary
Resuscitation (CPR) yang dalam bahasa Indonesia menjadi Resusitasi Jantung
Paru (RJP).
Berhasil tidaknya resusitasi jantung paru tergantung pada cepat tindakan
dan tepatnya teknik pelaksanaannya. Pada beberapa keadaan, tindakan resusitasi
tidak dianjurkan (tidak efektif) antara lain bila henti jantung (arrest) telah
berlangung lebih dari 5 menit karena biasanya kerusakan otak permanen telah
terjadi, pada keganasan stadium lanjut, gagal jantung refrakter, edema paru
refrakter, renjatan yang mendahului arrest, kelainan neurologik berat, penyakit
ginjal, hati dan paru yang lanjut. (2)
Permasalahan yang sering kita hadapi, bagaimana cara menangani
kegawatan kardiovaskuler lewat resusitasi jantung paru dengan tindakan dan
teknik pelaksanaan yang tepat.
Tujuan penulisan ini untuk memberi jawaban pertanyaan di atas secara
praktis, sehingga pembaca dapat mengenal dan melakukan resusitasi jantung paru
pada kegawatan kardiovaskuler.

RESUSITASI JANTUNG PARU PADA KEGAWATAN


KARDIOVASKULAR
A. Pengertian
Resusitasi mengandung arti harfiah Menghidupkan kembali
tentunya dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah
suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis.
B. Klasifikasi
Resusitasi jantung paru terdiri atas 2 komponen utama yakni,
a. Bantuan hidup dasar / BHD adalah usaha yang dilakukan untuk
menjaga jalan nafas (airway) tetap terbuka, menunjang pernafasan
dan sirkulasi dan tanpa menggunakan alat-alat bantu. Usaha ini
harus dimulai dengan mengenali secara tepat keadaan henti jantung
atau henti nafas dan segera memberikan bantuan sirkulasi dan
ventilasi. Usaha BHD ini bertujuan dengan cepat mempertahankan
pasok oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya sambil
menunggu pengobatan lanjutan. Pengalaman menunjukkan bahwa
resusitasi jantung paru akan berhasil terutama pada keadaan henti
jantung yang disaksikan (witnessed) dimana resusitasi segera
dilakukan oleh orang yang berada di sekitar korban.
b. Bantuan hidup lanjut / BHL adalah usaha yang dilakukan setelah
dilakukan usaha hidup dasar dengan memberikan obat-obatan yang
dapat memperpanjang hidup pasien. (3)
c. Tunjangan Hidup Terus Menerus.
C. Etiologi henti jantung dan nafas
Beberapa penyebab henti jantung dan nafas adalah,
a. nfark miokard akut, dengan komplikasi fibrilasi ventrikel, cardiac
standstill, aritmia lain, renjatan dan edema paru.
b. Emboli paru, karena adanya penyumbatan aliran darah paru.
c. Aneurisma disekans, karena kehilangan darah intravaskular.

d. Hipoksia, asidosis, karena adanya gagal jantung atau kegagalan


paru

berat,

tenggelam,

aspirasi,

penyumbatan

trakea,

pneumothoraks, kelebihan dosis obat, kelainan susunan saraf pusat.


e. Gagal ginjal, karena hiperkalemia
Henti jantung biasanya terjadi beberapa menit setelah henti nafas.
Umumnya, walaupun kegagalan pernafasan telah terjadi, denyut jantung
masih dapat berlangsung terus sampai kira-kira 30 menit. Pada henti
jantung, dilatasi pupil kadang-kadang tidak jelas. Dilatasi pupil mulai
terjadi 45 detik setelah aliran darah ke otak terhenti dan dilatasi maksimal
terjadi dalam waktu 1 menit 45 detik. Bila telah terjadi dilatasi pupil
maksimal, hal ini menandakan sudah terjadi 50 % kerusakan otak
irreversibel.
D. Diagnosis
a. Tanda-tanda henti jantung
i. Kesadaran hilang (dalam 15 detik setelah henti jantung)
ii. Tak teraba denyut arteri besar (femoralis dan karotis pada
orang dewasa atau brakialis pada bayi)
iii. Henti nafas atau mengap-megap (gasping)
iv. Terlihat seperti mati (death like appearance)
v. Warna kulit pucat sampai kelabu
vi. Pupil dilatasi (setelah 45 detik).
b. Diagnosis henti jantung sudah dapat ditegakkan bila dijumpai
ketidak sadaran dan tak teraba denyut arteri besar
i. Tekanan

darah

sistolik

50

mmHg

mungkin

tidak

menghasilkan denyut nadi yang dapat diraba.


ii. Aktivitas

elektrokardiogram

(EKG)

mungkin

terus

berlanjut meskipun tidak ada kontraksi mekanis, terutama


pada asfiksia.
iii. Gerakan kabel EKG dapat menyerupai irama yang tidak
mantap.
iv. Bila ragu-ragu, mulai saja RIP.

E. Penatalaksanaan henti jantung dan nafas


Resusitasi jantung paru hanya dilakukan pada penderita yang
mengalami henti jantung atau henti nafas dengan hilangnya kesadaran.oleh
karena itu harus selalu dimulai dengan menilai respon penderita,
memastikan penderita tidak bernafas dan tidak ada pulsasi. (3) Pada
penatalaksanaan resusitasi jantung paru harus diketahui antara lain, kapan
resusitasi dilakukan dan kapan resusitasi tidak dilakukan.
a. Resusitasi dilakukan pada :
i. Infark jantung kecil yang mengakibatkan kematian
listrik
ii. Serangan Adams-Stokes
iii. Hipoksia akut
iv. Keracunan dan kelebihan dosis obat-obatan
v. Sengatan listrik
vi. Refleks vagal
vii. Tenggelam dan kecelakaan-kecelakaan lain yang masih
memberi peluang untuk hidup.
b. Resusitasi tidak dilakukan pada :
i. Kematian normal, seperti yang biasa terjadi pada penyakit
akut atau kronik yang berat.
ii. Stadium

terminal

suatu

penyakit

yang

tak

dapat

disembuhkan lagi.
iii. Bila hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tidak
akan pulih, yaitu sesudah 1 jam terbukti tidak ada nadi
pada normotermia tanpa RJP.
Pada penatalaksanaan resusitasi jantung paru penilaian tahapan
BHD sangat penting. Tindakan resusitasi (yaitu posisi, pembukaan jalan
nafas, nafas buatan dan kompresi dada luar) dilakukan kalau memang
betul dibutuhkan. Ini ditentukan penilaian yang tepat, setiap langkah ABC
RJP dimulai dengan : penentuan tidak ada respons, tidak ada nafas dan

tidak ada nadi. Langkah-langkah yang dilakukan dalam resusitasi jantung


paru adalah sebagai berikut :
1. Bantuan Hidup Dasar
a. Airway (jalan nafas)
Berhasilnya resusitasi tergantung dari cepatnya
pembukaan jalan nafas. Caranya ialah segera menekuk
kepala korban ke belakang sejauh mungkin, posisi
terlentang kadang-kadang sudah cukup menolong
karena sumbatan anatomis akibat lidah jatuh ke
belakang

dapat

dihilangkan.

Kepala

harus

dipertahankan dalam posisi ini. Bila tindakan ini tidak


menolong, maka rahang bawah ditarik ke depan.
Caranya ialah,
1. Tarik mendibula ke depan dengan ibu jari
sambil,
2. Mendorong

kepala

ke

belakang

dan

kemudian,
3. Buka rahang bawah untuk memudahkan
bernafas melalui mulut atau hidung.
4. Penarikan rahang bawah paling baik
dilakukan bila penolong berada pada
bagian puncak kepala korban. Bila korban
tidak mau bernafas spontan, penolong
harus pindah ke samping korban untuk
segera melakukan pernafasan buatan mulut
ke mulut atau mulut ke hidung.
b. Breathing (Pernafasan)
Dalam melakukan pernafasa mulut ke mulut
penolong menggunakan satu tangan di belakang leher
korban sebagai ganjalan agar kepala tetap tertarik ke
belakang, tangan yang lain menutup hidung korban
(dengan ibu jari dan telunjuk) sambil turut menekan

dahi korban ke belakang. Penolong menghirup nafas


dalam kemudian meniupkan udara ke dalam mulut
korban dengan kuat. Ekspirasi korban adalah secara
pasif,

sambil

diperhatikan

gerakan

dada

waktu

mengecil. Siklus ini diulang satu kali tiap lima detik


selama pernafasan masih belum adekuat. Pernafasan
yang adekuat dinilai tiap kali tiupan oleh penolong,
yaitu perhatikan :
1. gerakan

dada

waktu

membesar

dan

mengecil
2. merasakan tahanan waktu meniup dan isi
paru korban waktu mengembang
3. dengan suara dan rasakan udara yang
keluar waktu ekspirasi.
4. Tiupan pertama ialah 4 kali tiupan cepat,
penuh, tanpa menunggu paru korban
mengecil sampai batas habis.
c. Circulation (Sirkulasi buatan)
Sering disebut juga dengan Kompresi Jantung Luar
(KJL). Henti jantung (cardiac arrest) ialah hentinya
jantung dan peredaran darah secara tiba-tiba, pada
seseorang yang tadinya tidak apa-apa; merupakan
keadaan darurat yang paling gawat. Untuk mencegah
mati biologi (serebral death), pertolongan harus
diberikan dalam 3 atau 4 menit setelah hilangnya
sirkulasi. Bila terjadi henti jantung yang tidak terduga,
maka langkah-langkah ABC dari tunjangan hidup dasar
harus segera dilakukan, termasuk pernafasan dan
sirkulasi buatan. Henti jantung diketahui dari :
1. Hilangnya denyut nadi pada arteri besar
2. Korban tidak sadar
3. Korban tampak seperti mati

4. Hilangnya gerakan bernafas atau megapmegap.


Pada henti jantung yang tidak diketahui, penolong
pertama-tama membuka jalan nafas dengan menarik
kepala ke belakang. Bila korban tidak bernafas, segera
tiup paru korban 3-5 kali lalu raba denyut a. carotis.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan
ABC RJP tersebut adalah,
1. RJP jangan berhenti lebih dari 5 detik
dengan alasan apapun
2. Tidak perlu memindahkan penderita ke
tempat yang lebih baik, kecuali bila ia
sudah stabil
3. Jangan menekan prosesus xifoideus pada
ujung tulang dada, karena dapat berakibat
robeknya hati
4. Diantara tiap kompresi, tangan harus
melepas tekanan tetapi melekat pada
sternum, jari-jari jangan menekan iga
korban
5. Hindarkan

gerakan

yang

menyentak.

Kompresi harus lembut, teratur dan tidak


terputus
6. Perhatikan

komplikasi

yang

mungkin

karena RJP.
ABC RJP dilakukan pada korban yang mengalami
henti jantung dapat memberi kemungkinan beberapa
hasil,
1. Korban menjadi sadar kembali
2. Korban

dinyatakan

mati,

ini

dapat

disebabkan karena pertolongan RJP yang


terlambat diberikan atau pertolongan tak

terlambat

tetapi

tidak

betul

pelaksanaannya.
3. Korban belum dinyatakan mati dan belum
timbul denyut jantung spontan. Dalam hal
ini perlu diberi pertolongan lebih lanjut
yaitu bantuan hidup lanjut (BHL).
2. Bantuan Hidup Lanjut
a. Drugs
Setelah penilaian terhadap hasil bantuan hidup
dasar, dapat diteruskan dengan bantuan hidup lanjut
(korban dinyatakan belum mati dan belum timbul
denyut jantung spontan), maka bantuan hidup lanjut
dapat diberikan berupa obat-obatan.
Penting

untuk

melawan

metabolik

asidosis,

diberikan iv dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik


berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama
periode 10 menit. Dapat juga diberikan intrakardial,
begitu

sirkulasi

pemberian

harus

spontan

yang

dihentikan

efektif

karena

tercapai,

bisa

terjadi

metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas.


Bila belum ada sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi
pemberian dengan dosis yang sama.
b. EKG
Diagnosis elektrokardiografis untuk mengetahui
adanya fibrilasi ventrikel dan monitoring. Tindakan
defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda
dipasang sebelah kiri putting susu kiri dan di sebelah
kanan sternum atas.
Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha
resusitasi adalah masalah medis, tergantung pada
pertimbangan

penafsiran

status

serebral

dan

kardiovaskuler penderita. Kriteria terbaik adanya


sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi pupil,
tingkat kesadaran, gerakan dan pernafasan spontan dan
refleks. Keadaan tidak sadar yang dalam tanpa
pernafasan spontan dan pupil tetap dilatasi 15-30 menit,
biasanya menandakan kematian serebral dan usahausaha resusitasi selanjutnya biasanya sia-sia. Kematian
jantung sangat memungkinkan terjadi bila tidak ada
aktivitas elektrokardiografi ventrikuler secara berturutturut selama 10 menit atau lebih sesudah RJP yang tepat
termasuk terapi obat.

KESIMPULAN
Resusitasi mengandung arti harfiah Menghidupkan kembali tentunya
dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode
henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi jantung paru terdiri
atas 2 komponen utama yakni : bantuan hidup dasar / BHD dan Bantuan hidup
lanjut

BHL Usaha

Bantuan

Hidup

Dasar

bertujuan

dengan

cepat

mempertahankan pasok oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya sambil
menunggu pengobatan lanjutan. Bantuan hidup lanjut dengan pemberian obatobatan untuk memperpanjang hidup Resusitasi dilakukan pada : infark jantung
kecil yang mengakibatkan kematian listrik, serangan Adams-Stokes, Hipoksia
akut, keracunan dan kelebihan dosis obat-obatan, sengatan listrik, refleks vagal,
serta kecelakaan lain yang masih memberikan peluang untuk hidup. Resusitasi
tidak dilakukan pada : kematian normal stadium terminal suatu yang tak dapat
disembuhkan.
Penanganan dan tindakan cepat pada resusitasi jantung paru khususnya
pada kegawatan kardiovaskuler amat penting untuk menyelematkan hidup, untuk
itu perlu pengetahuan RJP yang tepat dan benar dalam pelaksanaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Alkatri J, dkk, Resusitasi Jantung Paru, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Editor Soeparman, Jilid I, ed. Ke-2, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, hal : 281, 1987.
Emergency Medicine Illustrated, Editor Tsuyoshi Sugimoto, Takeda Chemical
Industries, 1985.
Mustafa I, dkk, Bantuan Hidup Dasar, RS Jantung Harapan Kita, Jakarta,
1996.
Otto C.W., Cardiopulmonary Resuscitation, in Critical Care Practice, The
American Society of Critical Care Anesthesiologists, 1994.
Safar P, Resusitasi Jantung Paru Otak, diterbitkan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, hal : 4, 1984.
Siahaan O, Resusitasi Jantung Paru Otak, Cermin Dunia Kedokteran, Edisi
Khusus, No. 80, hal : 137-129, 1992.
Sjamsuhidajat R, Jong Wd, Resusitasi, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi
Revisi, EGC, Jakarta, hal : 124-119, 1997.
Soerianata S, Resusitasi Jantung Paru, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Kardiologi, Editor Lyli Ismudiat R, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal :
106, 1998.
Sunatrio DR, Resusitasi Jantung Paru, Editor Muchtaruddin Mansyur, IDI,
Jakarta, hal : 193.
Sunatrio S, dkk, Resusitasi Jantung Paru, dalam Anesteiologi, Editor Muhardi
Muhiman, dkk, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI, 1989.

You might also like