Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.
BELLS PALSY
ll.1.1. Definisi
BeIls palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral
karena gangguan nervus fasialis perifer yang bersifat akut dengan
penyebab yang tidak teridentifikasi dan dengan perbaikan fungsi yang
terjadi dalam 6 bulan (Berg 2009).
II.1.2. Epidemiologi
Bells palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling
sering ditemukan, yaitu sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis. Insiden
bervariasi di berbagai Negara di seluruh dunia. Perbedaan insidensi ini
tergantung pada kondisi geografis masing- masing negara. Insiden
tahunan yang telah dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000 populasi.
Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan keempat (15-45 tahun).
Tidak dijumpai perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin. Insiden
meningkat tiga kali lebih besar pada wanita hamil (45 kasus per 100.000).
Sebanyak 5-10% kasus Bells palsy adalah penderita diabetes mellitus.
(Finsterer 2008; Monini dkk, 2010). Bells palsy jarang ditemukan pada
anak- anak < 2 tahun. Tidak ada perbedaan pada sisi kanan dan kiri
wajah. Kadang- kadang paralisis saraf fasialis bilateral dapat terjadi
dengan prevalensi 0,3- 2% (Finsterer, 2008). Resiko terjadinya rekurensi
dilaporkan sekitar 8-12% kasus, dengan 36% pada sisi yang sama dan
64% pada sisi yang berlawanan (Tiemstra dkk, 2007; Kanerva 2008).
Adanya riwayat keluarga
positif diperkirakan pada 4-14% kasus Bells palsy (Kubik dkk, 2012)
Suatu studi epidemiologi yang dilakukan oleh Monini dkk (2010) terhadap
500.000 penduduk di satu wilayah di Roma ltalia selama 2 tahun, telah
rnenemukan jumlah pasien Bells palsy sebanyak 381 orang, dengan
insiden kumulatif sebesar 53,3 kasus pertahun.
ll.1.3. Anatomi Saraf Fasialis
Saraf fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari 2 akar
saraf, yaitu akar motorik (lebih besar dan lebih medial) dan intermedius
(lebih kecil dan lebih lateral)(gambar 1). Akar motorik berasal dari nukleus
fasialis dan berfungsi membawa serabut- serabut motorik ke otot- otot
ekspresi wajah. Saraf intermedius yang berasal dari nukleus salivatorius
anterior, membawa serabut-serabut parasimpatis ke kelenjar lakrimal,
submandibular, dan sublingual. Saraf intermedius juga membawa serabutserabut aferen untuk pengecapan pada dua pertiga depan lidah dan
aferen somatik dari kanalis auditori eksterna dan pinna (gambar 2)
(Monkhouse 2006).
Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan
berjalan secara lateral melalui cerebellopontine angle bersama dengan
saraf vestibulocochlearis menuju meatus akustikus internus, yang memiliki
panjang 1 centimeter (cm), dibungkus dalam periosteum dan
perineurium (Ronthal dkk, 2012; Berg 2009).
maka
setiap
terjadi
pembengkakan
saraf,
paling
sering
The facial nerve provides motor innervation to all the muscles of facial expression and the three muscle
derivatives of the second pharyngeal arch (posterior digastric, stapedius, and stylohyoid). It
parasympathetically fires three of the four glands in the head: the submandibular and sublingual salivary
glands, and the lacrimal gland (A). Other parasympathetic fibers stimulate mucous secretion in the nose and
palate. Taste fibers from the anterior two-thirds of the tongue follow the path of the lingual branch of cranial
nerve (CN) V until just before entering the cranium as a distinct chorda tympani nerve (B).
cabang
kecil
ke
auricular
posterior
(mempersarafi
II.1.4. Etiopatogenesis
Bells palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada
ganglion genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan
demielinasi.
Ganglion
ini
terletak
didalam
kanalis
fasialis
pada
palsy
(Kanerva
Suatu
hipotesa
imunologis
telah
trauma, kompresi dapat terjadi tiba- tiba atau lambat progresif dalam 5- 10
hari. Pada otitis media dan trauma, proses yang terjadi lebih kepada
tekanan yang mendesak saraf daripada gangguan intraneural, namun
hasil kompresi saraf tetap sama seperti pada Bells palsy dan herpes
zoster
cephalicus.
Diawali
dengan
penggembungan
aksoplasma,
kompresi pada aliran vena dan selanjutnya terjadi kompresi saraf dan
kehilangan akson- akson, dan dengan cepat terjadi kehilangan endoneural
tube yang kemudian menyebabkan derajat ketiga dari trauma. Pada
derajat empat dan lima, karena kebanyakan atau semua endoneural tube
telah dirusak, sama seperti perineurium pada derajat keempat trauma, dan
prineurium
dan
epineurium
pada
pada
trauma
derajat
kelima,
terjadi
suatu
tic
atau
kedutan
involunter
(May
2000).
Tabel 1. Neuropatologi dan kesembuhan spontan dihubungkan dengan derajat trauma saraf fasialis
Derajat
Trauma
Patologi Trauma
Onset
Perbaikan
Klinis
Neurobiologi Saraf
Kompresi.
Aksoplasma
menggembung. Tidak ada
Tidak ada perubahan morfologi
perubahan
morfologi
(neuropraksia)
1-4 minggu
Kompresi
menetap.
Tekanan
intraneural
meningkat.
Kehilangan
akson tetapi endoneural
tube
masih
intak
(aksonometsis)
Akson- akson tumbuh ke dalam tabung myelin kosong yang intak pada
kecepatan 1 mm/ hari yang memungkinkan kesembuhan dalam jangka
1-2 bulan
waktu yang lebih lama dibandingkan derajat 1, lebih sedikit sembuh
lengkap karena beberapa serabut mengalami derajat 3
Tekanan
intraneural Dengan hilangnya tabung myelin, akson- akson baru memiliki
meningkat.
Kehilangan kesempatan untuk bercampur dan membelah menyebabkan terjadinya 2-4 bulan
myelin (neurometsis)
gerakan mulut sewaktu menutup mata, yang disebut sinkinesia.
Derajat 3 + gangguan
Selain gangguan yang terjadi pada derajat 2 dan 3, sekarang akson- akson
pada
perineurium
4-18 bulan
dihambat oleh skar yang memperburuk regenerasi
(transeksi parsial)
Derajat 4 + kerusakan Kerusakan lengkap dengan skar mengisi celah menjadi suatu penghalang
Tidak
terjadi
pada
epineurium yang tidak dapat diatasi hingga pertumbuhan kembali akson- akson dan
Grade VI: tidak ada
kesembuhan
(transeksi lengkap)
anastomosis kembali neuromuskular.
Dikutip dari: May, M. 1986. Disorders of facial nerve. In: May, M (ed). The Facial Nerve. Thieme. New York
Selain itu, terdapat juga gerakan yang tidak wajar, seperti gerakan mulut
dengan berkedip, atau menutup mata dengan tersenyum. Penyebab lain
dari gerakan abnormal selama regenerasi mungkin karena terjadi
perubahan pada myoneural junction. Selain faktor- faktor ini, kemungkinan
terjadi perubahan didalam dan disekitar nukleus saraf fasialis di batang
otak, sama seperti perubahan pada hubungan sentral menuju badan sel.
Kombinasi dari faktor- faktor ini, dapat menyebabkan spasme yang terjadi
pada sisi wajah yang paralisis, menyebabkan mata menutup dan sudut
mulut menarik. spasme ini dapat dirasakan cukup nyeri (May 2000).
ll.1.6. Gambaran Klinis
Bells palsy adalah suatu gangguan saraf fasialis perifer akut, yang
biasanya mengenai hanya satu sisi wajah. Gambaran klinis bervariasi,
tergantung lokasi lesi dari saraf fasialis sepanjang perjalanannya menuju
otot. Gejala dan tanda yang dihasilkan tidak hanya pada serabut motorik
termasuk ke otot stapedius, tetapi juga pada inervasi otonom kelenjar
lakrimal, submandibular, sensasi sebagian telinga, dan pengecapan pada
du pertiga lidah melalui korda timpani (Finsterer 2008).
Pasien Bells palsy biasanya datang dengan paralisis wajah
unilateral yang terjadi secara tiba-tiba. Temuan klinis yang sering
termasuk alis mata turun, dahi tidak berkerut, tidak mampu menutup mata,
dan bila diusahakan tampak bola mata berputar ke atas (Bell's
phenomen), sudut nasolabial tidak tampak, dan mulut tertarik ke sisi yang
sehat. Gejala lainnya adalah berkurangnya air mata, hiperakusis, dan atau
untuk
membedakannya
dengan
penyakit
lain
yang
perbedaannya dari lesi perifer tidak dijumpainya paralisis dahi pada sisi
yang terlibat dan dapat menutup mata dengan baik (lagophtalmus tidak
dijumpai) dan disertai dengan defisit neurologis lainnya, sekurangkurangnya kelumpuhan ekstremitas pada sisi yang kontralateral (gambar
6) (Tiemstra dkk, 2007).
Tes topognostik (fungsi kelenjar lakrimal, aliran saliva, dan
pengecapan) selain refleks stapedial, telah diteliti tidak memiliki manfaat
sebagai tes diagnostik dan prognostik pada pasien dengan paralisis
fasialis, sehingga jarang digunakan dalam praktek klinis. Hal ini
dikarenakan:
terletak
pada
level
tertentu,
karena
suatu
lesi
dapat
Gambar 6. Pasien dengan (A) lesi saraf fasialis perifer (B) lesi
supranuklear
Dikutip dari: Tiemstra, D.J., Khatkhate, N. 2007. Bells palsy; Diagnosis and
Management. American Academy of Family Physicians. 76:997-1002
tumor
saliva)
Pasien
dengan
tumor
memiliki
Dikutip dari: Kanerva, M. 2008. Peripheral Facial Palsy: Grading, Etiology, and
Melkerson- Rosenthal Syndrome. Otolaryngology-Head and Neck Surgery, In Press.
Pada tahun 1996, Ross dkk, mengusulkan suatu sistem grading the
Sunnybrook facial grading system. Sistem ini merupakan suatu sistem
regional berdasarkan evaluasi dari simetris saat istirahat, derajat simetris
Dikutip dari: Berg, T. 2009. Medical Treatment and Grading of Bells palsy. Acta
Universitatis Upsalensis. Digital Comprehensive Summaries of Uppsala Dissertations
from the Faculty of Medicine 460. 47 pp. Uppsala.
Dikutip dari: Berg, T. 2009. Medical Treatment and Grading of Bells palsy. Acta
Universitatis Upsalensis. Digital Comprehensive Summaries of Uppsala Dissertations
from the Faculty of Medicine 460. 47 pp. Uppsala.
II.1.10.PENGOBATAN
Karena etiologi Bells palsy belum jelas, beberapa pengobatan
yang berbeda telah digunakan. Secara garis besar, pengobatan Bells
palsy dikelompokkan menjadi 3, yaitu: medikamentosa, bedah, dan terapi
fisik. Semua pengobatan ditujukan untuk mengurangi inflamasi, edema
dan kompresi saraf (Axelsson 2013).
II.1.10.1.MEDIKAMENTOSA
Modalitas pengobatan medikamentosa yang digunakan pada
pasien Bells palsy adalah kortikosteroid dan/ atau antivirus. Jenis
kortikosteroid yang paling banyak digunakan pada banyak penelitian Bells
palsy adalah golongan prednisolon.
II.1.10.1.1. Anti Virus
Herpes simpleks tipe 1 dan Varicella zoster virus (VZV) merupakan
dua virus yang dipercaya bertanggung jawab pada kasus Bells palsy.
Reaktivasi dari virus- virus ini dapat menyebabkan inflamasi pada saraf
fasialis. Pengobatan anti virus dengan asiklovir dan valasiklovir telah
digunakan pada beberapa studi, sering dengan kombinasi dengan
prednisolon dan hasilnya beragam. Asiklovir diberikan lima kali sehari.
Valasiklovir, merupakan prodrug asiklovir, hanya diberikan tiga kali sehari
karena biovaibilitasnya lebih tinggi dari asiklovir. Dijumpai keuntungan
menggunakan
valasiklovir
dibandingkan
asiklovir
karena
obat
ini
Perubahan
pada
molekul
glukokortikoid
mempengaruhi
II.1.10.1.2.2. Farmakodinamik
A.
Mekanisme kerja
Kerja steroid sintetik sama dengan steroid alami (kortisol), yang
diperantarai oleh reseptor glukokortikoid yang tersebar luas. Proteinprotein ini merupakan anggota dari superfamily reseptor inti termasuk
steroid,
lainnya dengan ligand yang tidak ada atau tidak diketahui (orphan
receptor). Reseptor intraselluler ini berikatan dengan protein yang stabil,
termasuk dua molekul heat shock protein (Hsp90). Kompleks reseptor ini
dapat mengaktifkan transkripsi gen di sel target. Steroid dijumpai didalam
darah dalarn bentuk terikat corticosteroid binding globulin (CBG), namun
memasuki sel sebagai molekul yang bebas. Steroid kemudian berikatan
dengan kompleks reseptor, menyebabkan terjadinya suatu kompleks yang
tidak stabil dan Hsp90 dan molekul-molekul yang terikat dilepas.
Kompleks steroid- reseptor ini dapat memasuki nukleus, berikatan dengan
glucocorticoid response element (GRE) pada promoter gen. Glucocorticoid
response element (GRE) dibentuk dari dua rangkaian yang mengikat
receptor dimer. Kemudian kompleks steroid- reseptor tersebut mengatur
transkripsi oleh Ribonucleic acid (RNA) polymerase dan faktor- faktor
lainnya yang berhubungan dengan transkripsi. Messenger (m) RNA yang
dihasilkan diedit dan dibawa ke sitoplasma untuk produksi protein-protein
(gambar 8) (Katzung 2003; Lullman dkk, 2000).
B.
imunosupresif.
Steroid
mengurangi
manifestasi
inflamasi
melalui
infeksi,
penyembuhan
lambatnya
ulkus
peptik.
penyembuhan
Akibat
kerja
luka,
memperburuk
glukokortikoid
terjadi
pertumbuhan
pada
bayi,
atrofi
kulit.
Akibat
kerja
D.
kortikosteroid (kortison,
prednison atau
1950 dan telah secara luas digunakan hingga saat ini. Kortikosteroid
berperan dalam mengurangi inflamasi, degenerasi, dan regenerasi yang
salah dari saraf fasialis (Kanerva 2008).
Terdapat dua penelitian yang menggunakan prednisolon dalam
pengobatan BeIIs palsy. Penelitian pertama yang dilakukan oleh
Engstrom dkk (2008) menggunakan dosis prednisolon oral 60 mg/hari
selama 5 hari, kemudian dosis diturunkan 10 mg setiap harinya, dengan
total waktu pengobatan 10 hari. Obat diberikan dalam 72 jam setelah
onset Bells palsy. Follow up dilakukan antara hari ke 11-17, dan pada
1,2,3,6,12 bulan setelah randomisasi dengan menilai fungsi saraf fasialis
menggunakan dua sistem grading, yaitu House Brackmann (HB) grading
system dan Sunnybrook scale. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa
pasien yang mendapatkan prednisolon memiliki waktu yang lebih pendek
untuk sembuh sempuma dan outcome setelah 12 bulan yang lebih baik
(kejadian sinkinesia yang lebih sedikit) dibandingkan pasien yang tidak
mendapat prednisolon. Penelitian lainnya dilakukan oleh Sullivan dkk
(2007) yang menggunakan prednisolon dengan dosis 25 mg dua kali
sehari selama 10 hari yang diberikan dalam 72 jam setelah onset.
Penilaian fungsi saraf fasialis dengan menggunakan HB grading system.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pasien yang diberikan prednisolon
memperoleh outcome yang lebih baik dengan kesembuhan sempurna
sebesar 90 % pada pasien yang diobati dengan prednisolon dan 75%
pada pasien yang tidak mendapatkan prednisolon (Marsk 2012).
Prinsip
Rehabilitasi
fisik
kabat
atau
nama
lainnya
proprioceptive
bentuk
yang
penting
dari
latihan
resistensi
untuk
Teknik
Teknik ini dapat diterapkan secara luas pada pasien-pasien dengan
paling
banyak
berjalan
secara
diagonal,
dengan
suatu
A
1
Melatih m. frontalis
Pada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah diletakkan di atas alis
mata
A. Dilakukan peregangan pada m. frontalis dengan mendorong alis
mata ke arah kaudal/ bawah
B. Pasien disuruh mengerutkan kening sambil diberi tahanan selama 8
kali hitungan
8. Melatih m. mentalis
Pada posisi awal, jari telunjuk dan jari tengah diletakkan pada dagu
A. Dilakukan peregangan dengan menarik dagu ke arah lateral
B. Pasien disuruh mengerutkan bibir bawah sambil diberi selama 8
kali hitungan (Al-mohana dkk, 2007; Keisner dkk, 2007)
C.
hari ke- 4 setelah onset paralisis fasialis, dengan satu sesi setiap hari
selama 15 hari. Pasien kemudian di follow up selama 15 hari dan dinilai
tingkat perbaikannya berdasarkan HB grading system pada hari ke 4, 7
dan 15 setelah onset pengobatan. Dari hasil penelitian ini disimpulkan
bahwa pasien-pasien pada kelompok pertama yang mendapatkan
rehabilitasi fisik secara jelas menunjukkan perbaikan klinis yang lebih
cepat dibandingkan kelompok tanpa rehabilitasi fisik.
II.2.
KERANGKA TEORI
BELLS PALSY
GENETIK
Kanerva, 2008:
EDEMA &
PENJEPITAN
INFLAMASI
Garg dkk, 2012: kasus
Bells palsy terkait genetik
rekurensi
ipsilateral
atau
kontralateral.
Mayoritas
adalah
autosomal
dominant
inheritance
Hughes
dkk,
1986:
menemukan
adanya
transformasi
abnormal
limfosit . BP hasil dari
imunitas
sel melawan
antigen saraf perifer
AUTOIMUN
iskemia saraf
fasialis menyebabkan edema dan
penjepitan
saraf
disepanjang
perjalanannya di kanal temporal
ISKEMIA
INFEKSI
VIRUS
VASKULAR
II.3.
KERANGKA KONSEP
BELLS PALSY
METIL
PREDNISOLON
PERBAIKAN KLINIS
METIL PREDNISOLON +
REHABILITASI KABAT
PERBAIKAN KLINIS