Professional Documents
Culture Documents
Keterangan:
a: Cleavage (Pembelahan sel); b: Morula; c: Blastula;
d: Gastrula; e: Gastrula Akhir; f: Organogenesis
23
24
Keterangan:
a: 2 sel; b: 4 sel; c: 8 sel; d: 16 sel; e: 32 sel
25
ruang perivitelin
kutub anima
32 blastomer
yolk
Gambar 5. Fase Morula Telur Ikan Nilem
Fase morula (Gambar 5) menurut Effendie (1995) fase morula dimulai ketika
telah mencapai 32 sel. Hasil pengamatan fase morula awal terjadi 3 jam setelah
pembuahan, sedangkan menurut Olivia (2011) pembelahan kelima (32 sel) terjadi
3 jam 50 menit setelah pembuahan pada suhu 29C. Dari gambar 5 terlihat ukuran
sel blastodisk sudah mulai beragam. Sel membelah secara melintang dan mulai
terbentuk formasi lapisan kedua secara samar pada kutub anima. Fase morula
berakhir apabila pembelahan sel sudah menghasilkan blastomer yang ukuran sama
tetapi lebih kecil. Sel tersebut memadat untuk menjadi blastodisk kecil
membentuk dua lapis sel.
yolk
blastoderma
periblast
26
perisai embrio
yolk
korion
blastopor
Gambar 7. Fase Gastrula Telur Ikan Nilem
Setelah fase blastula kemudian dilanjutkan fase gastrula (Gambar 7), dimana
pada awal fase ini blastoderma menutupi hampir seluruh kuning telur. Bagian
yang tidak menutupi kuning telur dinamakan blastopor. Jaringan luar embrio terus
berkembang mengelilingi kuning telur. Setelah jaringan menutupi seluruh kuning
telur terbentuklah perisai embrio pada kutub anima. Perisai embrio yang berada
pada kutub anima akan berkembang menjadi tulang belakang. Fase gastrula
terjadi 5 jam setelah pembuahan. Akhir dari proses gastrulasi apabila kuning telur
sudah tertutup lapisan sel (perisai embrio). Bersamaan dengan selesainya proses
gastrulasi sebenarnya sudah dimulai awal pembentukan organ-organ.
notochord
korion
yolk
kepala
ekor
bakal mata
27
28
tubuh larva. Hal ini dicirikan dari penyusutan volume kuning telur (Gambar 10).
0.90
0.80
0.70
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
0.00
A (25C)
B (27C)
C (29C)
D (31C)
0
9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45
Waktu Pengamatan (jam)
Gambar 10. Kurva Penyusutan Volume Kuning Telur Larva Ikan Nilem Perwaktu
Pengamatan
29
Volume kuning telur larva ikan nilem pada Gambar 6 lebih cepat menurun pada
suhu yang lebih tinggi daripada suhu yang rendah. Penelitian Pramono dan Sri
(2009) volume kuning telur larva ikan senggaringan semakin menurun seiring
dengan pertambahan waktu. Penyusutan volume kuning telur tersebut dikarenakan
kuning telur digunakan sebagai nutrisi pada fase endogenous feeding dan juga
terdapat faktor lain yang mempengaruhinya seperti faktor lingkungan yaitu
kualitas air. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kamler (1992) bahwa pengurangan
jumlah volume kuning telur tersebut disebabkan oleh beberapa faktor salah
satunya adalah suhu. Woynarovich dan Horvarth (1980) menyatakan bahwa suhu
air yang rendah dapat menghalangi perkembangan dan produksi enzim, Sehingga
menyebabkan lamanya proses metabolisme. Walaupun larva dapat mentolerir air
dingin akan tetapi larva tidak dapat menetas karena produksi enzim terhambat.
Hasil pengamatan laju penyerapan kuning telur berdasarkan volume kuning
telur serta waktu kuning telur habis terserap menunjukkan terdapat perbedaan laju
A (25C)
20
B (27C)
15
C (29C)
10
D (31C)
5
0
0
9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45
Waktu Pengamatan (jam)
Gambar 11. Kurva Laju Penyerapan Kuning Telur Larva Ikan Nilem Perwaktu
Pengamatan
Laju penyerapan kuning telur larva ikan nilem pada Gambar 11 saat fase awal
menetas lambat, kemudian cepat dan lambat lagi hingga kuning telur habis
terserap. Sesuai dengan pernyataan Hemming dan Buddington (1988) bahwa laju
penyerapan kuning telur berlangsung secara eksponensial. Penyerapan lambat
30
menjelang kuning telur habis terserap diduga disebabkan oleh berkurangnya luas
permukaan sejalan dengan penyusutan kantung kuning telur dan perubahan
komposisi telur.
Laju penyerapan kuning telur ikan nilem pada Gambar 12 terlihat bahwa
seiring peningkatan suhu media pemeliharaan laju penyerapan kuning telur juga
semakin meningkat, tapi kemudian menurun pada suhu media pemeliharaan
paling tinggi. Pada ikan Oncorhynchus tshawytschat laju penyerapan kuning telur
juga mengalami peningkatan mulai dari suhu 6C sampai suhu 10C dan
kemudian mengalami penurunan pada suhu 12C (Kamler 1992). Penurunan laju
penyerapan kuning telur pada suhu tinggi di karenakan telah melewati batas
optimum serta aktivitas metabolisme yang berjalan lambat. Sesuai dengan
pernyataan Heming dan Buddington (1990) dalam Shafrudin (1997) mengatakan
bahwa kecepatan laju penyerapan kuning telur meningkat dengan meningkatnya
suhu dan akan menurun pada saat mendekati batas atas toleransi.
7.00
6.00
5.701a
5.885a
5.919a
4.897a
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
25
27
29
31
Gambar 12. Laju Penyerapan Kuning Telur Larva Ikan Nilem Tiap Perlakuan
Hasil dari analisis sidik ragam (Lampiran 8) menyatakan suhu media
pemeliharaan tidak berpengaruh nyata terhadap laju penyerapan kuning telur larva
ikan nilem. Tidak berbeda nyata perlakuan yang diberikan, bukan berarti tidak ada
suhu yang terbaik untuk laju penyerapan kuning telur. Suhu yang terbaik untuk
laju penyerapan kuning telur dapat di lihat dari nilai tertinggi yang diberikan. Laju
31
A (25C)
0.015
B (27C)
0.010
C (29C)
0.005
D (31C)
0.000
0
9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45
Waktu Pengamatan (jam)
Gambar 13. Kurva Pertumbuhan Panjang Larva Ikan Nilem Perwaktu Pengamatan
32
33
0.90
0.8001c
0.80
0.70
0.6169a
0.6755b
0.6169a
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
0.00
25
27
29
31
34
A (25C)
B (27C)
C (29C)
D (31C)
9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45
Waktu Pengamatan (jam)
Gambar 15. Kurva Efisiensi Pemanfaatan Kuning Telur Larva Ikan Nilem
Perwaktu Pengamatan
Gambar 15 menunjukkan nilai efisiensi pemanfaatan kuning telur mengalami
penurunan sampai kuning telur habis terserap. Penurunan nilai efisiensi
pemanfaatan kuning telur terhadap perubahan waktu karena nilai laju
pertumbuhan lebih rendah dari pada laju penyerapan kuning telur serta volume
kuning telur yang digunakan sebagai energi dalam proses pertumbuhan,
perkembangan dan metabolisme semakin berkurang seiring pertambahan umur
35
larva ikan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Shukla (2009) bahwa nilai
efisiensi tinggi dihasilkan dari aktvitas yang rendah, proporsi yang tinggi dari
kuning telur yang digunakan untuk pertumbuhan. Efisiensi kumulatif harus jelas
menurun sebagai hasil peningkatan pertumbuhan dan persyaratan pemeliharaan.
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 10) untuk efisiensi pemanfaatan kuning
telur pada larva ikan nilem bahwa suhu berbeda nyata dengan nilai efisiensi
pemanfaatan kuning telur. Berdasarkan hasil uji Duncan suhu media pemeliharaan
25C (perlakuan A) tidak berbeda nyata dengan suhu 27C (perlakuan B) dan
31C (Perlakuan D). Suhu media pemeliharaan 29C (perlakuan C) tidak berbeda
nyata dengan suhu 31C (perlakuan D). Walaupun efisiensi pemanfaatan tidak
berbeda nyata dengan suhu media pemeliharaan, tapi dari hasil yang ditunjukkan
suhu 29C (perlakuan C) merupakan suhu terbaik dalam efisiensi pemanfaatan
kuning telur larva ikan nilem karena memiliki nilai yang tertinggi sebesar 13,5%.
16
13.500b
14
12
10.981a
12.736ab
11.510a
10
8
6
4
2
0
25
27
29
31
36
ini dapat diartikan bahwa penggunaan kuning telur untuk pertumbuhan larva
rendah. Ini sesuai dengan nilai laju penyerapan kuning telur dan laju pertumbuhan
yang
37
16
14
12
10
8
y = 0.3628x + 2.0236
R = 0.2726
6
4
2
0
25
27
29
31
Suhu Media Pemeliharaan (C)
33
Effendie (1995) bahwa kelangsungan hidup larva ikan sangat dipengaruhi oleh
faktor lingkungan, karena larva sangat sensitif pada perubahan lingkungan yang
cepat terjadi dan juga pada fase larva belum memiliki organ tubuh yang lengkap
seperti ikan dewasa. Air dengan suhu berfluktuatif dapat mengakibatkan ikan
stress dan kematian. Sehingga dapat diasumsikan suhu 25C (perlakuan A)
merupakan suhu letal bagi larva ikan nilem.
38
120
100
99a
98a
98a
27
29
31
80
60
40
20
0
25
Gambar 18. Kelangsungan Hidup Larva Ikan Nilem Fase Endogenous Feeding
Suhu media pemeliharaan 27C (perlakuan B), 29C (perlakuan C), 31C
(perlakuan D) persentase kelangsungan hidupnya hampir sama karena menurut
Woynarovich dan Hovarth (1980) suhu 27C-29C merupakan suhu terbaik dalam
penetasan telur ikan. Sedangkan menurut penelitian Kelabora dan Dominggas
(2012) kelangsungan hidup larva ikan mas yang berumur 7 hari tidak berbeda
nyata pada suhu perlakuan 28-30C.
Hasil analisis sidik ragam kelangsungan ikan nilem fase endogenous feeding
(Lampiran 13) menunjukkan tidak ada perbedaan kelangsungan hidup antara suhu
media pemeliharaan 27C (perlakuan B), 29C (perlakuan C), 31C (perlakuan
D). Tidak ada perbedaan kelangsungan hidup dikarenakan perlakuan tersebut
masih bisa ditoleransi dengan larva ikan nilem. Ini sesuai dengan pernyataan Hoar
(1962) dalam Kelabora dan Dominggas (2010) bahwa secara ilmiah setiap
organisme mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahanperubahan yang terjadi di lingkungannnya dalam batas-batas tertentu atau disebut
juga tingkat toleransi.
39
4.5.1 Kelangsungan Hidup Larva Ikan Nilem Pada Fase Exogenous Feeding
Fase exogenous feeding (Gambar 19) merupakan fase dimana nutrisi yang
diperoleh dari larva ikan tidak lagi berasal dari kuning telur tetapi telah
memanfaatkan pakan dari luar atau lingkungannya (Effendie, 1995).
40
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
78bc
83.036c
47.321a
0
25
27
29
31
Gambar 20. Kelangsungan Hidup Larva Ikan Nilem Fase Exogenous Feeding
Hasil analisis sidik ragam terdapat perbedaan yang nyata tiap perlakuan suhu
media pemeliharaan yang digunakan terhadap kelangsungan hidup larva ikan
nilem fase exogenous feeding (Lampiran 14). Berdasarkan hasil uji Duncan
kelangsungan hidup pada suhu media pemeliharaan 31C (perlakuan B) berbeda
nyata dengan suhu media pemeliharaan 29C (perlakuan C) dan 27C (perlakuan
B). Suhu media pemeliharaan 29C (perlakuan C) tidak berbeda nyata dengan
suhu 27C (perlakuan B). Walaupun tidak berbeda nyata antara suhu 27C
(perlakuan B) dan 29C (perlakuan C), tapi nilai kelangsungan hidup 29C
(perlakuan C) lebih tinggi dari pada suhu 27C (perlakuan B) yaitu sebesar
83,036%. Dapat disimpulkan bahwa suhu media pemeliharaan 29C (perlakuan
C) merupakan suhu terbaik untuk kelangsungan hidup larva ikan nilem fase
exogenous feeding. Hasil analisis sidik ragam pada kelangsungan hidup fase
exogenous feeding tidak mencantumkan suhu media pemeliharaan 25C
(perlakuan A) dikarenakan tidak ada yang hidup sampai post larva.
Kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada suhu media pemeliharaan 29C
(perlakuan C). Ini dikarenakan nilai efisiensi pemanfaatan kuning telur yang
tinggi pada suhu tersebut, sehingga mengakibatkan konversi penyerapan kuning
telur untuk pembentukan organ lebih baik dari pada suhu lainnya. Pernyataan
tersebut sesuai dengan pendapat Shukla (2009) bahwa efisiensi pemanfaatan yang
41
tinggi akan menghasilkan larva yang lebih besar, kuat dan rentan terhadap
kerusakan yang dapat mengakibatkan kematian.
Kelangsungan hidup yang rendah pada suhu media pemeliharaan 31C
(perlakuan D) disebabkan oleh penyerapan kuning telur yang terlalu cepat
(Lampiran 6) dari pada perlakuan lainnya yang menyebabkan nutrisi dari kuning
telur belum digunakan secara sempurna untuk perkembangan larva ikan nilem.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Sembiring (2011) mengatakan bahwa proses
penyerapan kuning telur yang kurang optimal menyebabkan keterlambatan
perkembangan bukaan mulut larva sehingga pada saat kuning telur habis dan larva
memerlukan pakan dari luar, larva tersebut tidak memanfaatkan pakan tersebut
dengan baik. Effendie (1995) mengatakan pada fase masa kritis larva terletak pada
saat sebelum dan sesudah penghisapan kuning telur dan masa transisi mulai
mengambil makanan dari luar.