Professional Documents
Culture Documents
dan kemudian lahirlah Ahlus sunah. Melihat rentetan latar belakang sejarah
yang mengiringi lahirnya Aswaja, dapat ditarik garis kesimpulan bahwa
lahirnya Aswaja tidak bisa terlepas dari latar belakang politik.
ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
Melihat dari latar kultural dan politik sejarah kelahiran Aswaja, beserta
ruang lingkup yang ada di dalamnya. Terminologi Aswaja yang sebagai mana
kita pegangi selama ini, sehingga tidak jarang memunculkan paradigma jumud
(mandeg), kaku, dan eksklusif atau bahkan menganggap sebagai sebuah
madzhab dan idiologi yang Qodi. Bagaimana mungkin dalam satu madzhab
kok mengandung beberapa madzhab, dan bagaimana mungkin dalam satu
idiologi ada doktrin yang kontradiktif antara doktrin imam satu dengan imam
yang lain.
Salah satu karakter Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan
situasi dan kondisi, oleh karena itu Aswaja tidaklah jumud, tidak kaku, tidak
eksklusif, dan juga tidak elitis, apa lagi ekstrim. Sebaliknya Aswaja bisa
berkembang dan sekaligus dimungkinkan bisa mendobrak kemapanan yang
sudah kondusif. Tentunya perubahan tersebut harus tetap mengacu pada
paradigma dan prinsip al-sholih wa al-ahslah. Karena itu menurut saya
implementasi dari qaidah al-muhafadhoh ala qodim al-sholih wa al-akhdzu bi al
jadid alashlah. Adalah menyamakan langkah sesuai dengan kondisi yang
berkembang pada masa kini dan masa yang akan datang. Yakni pemekaran
relevansi implementatif pemikiran dan gerakan kongkrit ke dalam semua
sektor dan bidang kehidupan baik, aqidah, syariah, akhlaq, sosial budaya,
ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya.
Walhasil, Aswaja itu sebenarnya bukanlah madzhab. Tetapi hanyalah
manhaj al-fikr atau paham saja, yang di dalamnya masih memuat beberapa
aliran dan madzhab. Ini berarti masih terbuka luas bagi kita wacana pemikiran
Islam yang transformatif, kreatif, dan inovatif, sehingga dapat mengakomodir
nuansa perkembangan kemajuan budaya manusia. Atau selalu up to date dan
tanggap terhadap tantangan jaman. Nah dengan demikian akan terjadi
kebekuan dan kefakuman besar-besaran diantara kita kalau doktrin-doktrin
eksklusif yang ada dalam Aswaja seperti yang selama ini kita dengar dan kita
pahami dicerna mentah-mentah sesuai dengan kemasan praktis pemikiran
aswaja, tanpa mau membongkar sisi metodologi berfikirnya, yakni kerangka
berpikir yang
menganggap
prinsip
tawassuth
(moderat),
tawazun
(keseimbangan), taadul ( keadilan) dapat mengantarkan pada sikap yang mau
dan mampu menghargai keberagaman yang non ekstrimitas (tatharruf) kiri
ataupun kanan.
NILAI-NILAI ASWAJA YANG TOLERAN DAN ANTI EKSTREM?
Dalam sejarah tokoh pemikir Islam, kehadiran Abu Hasan al-Asyaari
dan Abu Manshur al-Maturidi, melalui pemikiran-pemikiran teologis kedua
orang ini berhasil mempengaruhi pikiran banyak orang dan mengubah
kecenderungan dari berpikir rasionalis ala Mutazilah kepada berpikir
tradisionalis dengan berpegang pada sunnah Nabi. Asawaja dengan nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya seperti tawassuth, tawazun tasamuh mampu
tampil sebagai sebuah ajaran yang berkarakter lentur, moderat, dan fleksibel.
Dari sikap yang lentur dan fleksibel tersebut barang kali yang bisa
mengantarkan paham ini diterima oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.