Professional Documents
Culture Documents
BAB 1. PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui definisi miastenia gravis
1.2.2 Mengetahui epidemiologi miastenia gravis
1.2.3 Mengetahui etiologi miastenia gravis
1.2.4 Mengetahui tanda dan gejala miastenia gravis
1.2.5 Mengetahui patofisiologi miastenia gravis
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1
Definisi
Klasifikasi secara umum pada Miastenia gravis dibagi menjadi dua golongan (Price
&Wilson, 1995), yaitu:
a.
b.
Miastenia Ringan
2.
Miastenia Sedang
3.
Miastenia Berat
2.2 Epidemiologi
Miastenia Gravis menyerang semua usia, paling banyak ditemukan pada usia 20-40
tahun. Penyakit ini menyerang pria dan wanita secara seimbang. Sedangkan bayi
yang dilahirkan oleh ibu Miastenia gravis akan memiliki Miastenia transient (kadang
permanen) dengan persentase 20%. Penyakit ini akan muncul bersamaan dengan
gangguan sistem kekebalan dan gangguan tiroid. Sekitar 15% dari penderita
Miastenia Gravis mengalami thymoma (tumor yang dibentuk oleh jaringan kelenjar
timus). Remisi terjadi pada 25% penderita penyakit ini.
Di Amerika prevalensi penyakit ini adalah 2 dari setiap 1.000.000 penduduk.
Namun, akhir-akhir ini prevalensi di Amerika Serikat meningkat, yang berkisar
antara 0,5-14,2 kasus per 100.000 orang. Sedangkan di dunia, miastenia gravis
mempengaruhi sekitar 400 per 1 juta orang.
2.3
Etiologi
Infeksi (virus)
b.
Pembedahan
c.
Stress
d. Perubahan hormonal
e.
Alkohol
f.
Tumor mediastinum
g.
Obat-obatan
2.4
e. kelemahan otot pada jari-jari, tangan, dan kaki (seperti gejala stroke tapi tidak
disertai gejala stroke lainnya);
f.
Miastenia Okular
Hanya menyerang otot-otot okular, disertai ptosis dan diplopia. Golongan ini dalam
keadaan yang sangat ringan dan tidak ada kasus kematian.
b. Miastenia umum
1)
Miastenia Ringan
a) Awitan (onset) lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot
rangka dan bulbar.
b) Sistem pernapasan belum terkena dan respons terhadap terapi obat baik.
c) Angka kematian rendah
2)
Miastenia Sedang
a.) Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala okular, lalu berlanjut semakin
berat dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar
b.) Disartria, disfagia, dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan
miastenia gravis umum ringan. Otot-otot pernapasan juga belum terkena.
c.) Respons terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktivitas klien terbatas,
tetapi angka kematian rendah.
3)
Miastenia Berat
a) Fulminan akut:
1. Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar dan mulai
terserangnya otot-otot pernapasan.
2. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan.
3. Respons terhadap obat buruk.
4. Insiden krisis miastenik dan kolinergik
5. Tingkat kematian tinggi.
b) Lanjut
1. Miastenia gravis berat timbul paling sedikit 2 tahun setelah awitan .
2. Miastenia gravis dapat berkembang secara perlahan atau tiba-tiba.
3. Respons terhadap obat-obatan prognosis buruk.
2.5
Patofisiologi
Pada orang normal, jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari cukup untuk
menghasilkan potensial aksi. Bila ada impuls saraf mencapai hubungan
neuromuskular, maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi
sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi
melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran
postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap
natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir
dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan
terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan
saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu
serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi
melewati hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh enzim
asetilkolinesterase.
Sedangkan pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu karena
kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal membran postsinaps pada
2.6
2.6.1 Komplikasi
Miastenia gravis dikatakan berada dalam keadaan krisis jika tidak dapat menelan,
membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alatalat. Terdapat dua jenis krisis yang terjadi sebagai komplikasi dari miastenia gravis
(Corwin, 2009), yaitu:
a.
Krisis Miastenik
Ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yang memuncak pada gawat
napas dan kematian karena diafragma dan otot interkostal menjadi lumpuh.
b.
Krisis kolinergik
Krisis kolinergik
1.
Meningkatnya
tekanan darah
1.
Menurunnya tekanan
darah
2.
Takikardia
2.
Bradikardia
3.
Gelisah
3.
Gelisah
4.
Ketakutan
4.
Ketakutan
5.
Meningkatnya sekresi
bronkhial, air mata dan
keringat
5.
Meningkatnya sekresi
bronkhial, air mata dan
keringat
6.
Kelemahan otot
umum
6.
7.
Kehilangan refleks
batuk
8.
Kesulitan bernafas,
menelan dan bicara
9.
Penurunan output
urine
7.
Kesultan bernapas,
menelan dan bicara
8.
Mual, muntah
9.
Diare
10.
Kram abdomen
Gagal nafas
2.
Disfagia
3.
Pneumonia
b.
c.
2.7 Penatalaksanaan
Menurut Corwin (2009), penatalaksanaan pada pasien dengan miastenia gravis
adalah:
a.
b.
Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk menghemat energi.
Timektomi (pengangkatan timus melalui pembedahan).
c.
Perawatan pasca operasi dan pengontrolan jalan napas. Melemahnya
penderita selamabeberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian
antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini
harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.
d. Krisis miastenik dapat diatasi dengan obat tambahan dan bantuan pernapasan
jika perlu.
e. Krisis kolinergik diatasi dengan atropin (penyekat asetilkolin) dan bantuan
pernapasan, sampai gejala hilang. Terapi antikolinesterase ditunda sampai kadar
toksik obat diatasi.
f.
Krisis miastenia dan krisis kolinergik terjadi dengan cara yang sama, namun
diatasi secara berbeda. Pemberian Tensilon dilakukan untuk membedakan antara
dua gangguan tersebut.
g.
h. Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50
ml/kg BB. Plasmaferesis mungkin efektif pada krisis miastenik karena
kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak
bermanfaat pada penanganan kasus kronik.
i.
Terapi farmakologi
2.8
Pencegahan
BAB 3. PATHWAY
Resiko tinggi aspirasi
Intake kurang
Suara abnormal
Resiko cidera
Otot pernafasan
kerusakan pada transmisi impuls saraf menuju kesel-sel otot karena kehilangan
kemampuan mentransmisikan
Kelemahan otot-otot
Otot-otot okuler
Otot volunter
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Jakarta : EGC.
Dongoes, M.E., Mary F.M., dan Alice C. G. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan.
Jakarta: EGC.
NANDA International. 2012. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 20121014.Jakarta: EGC.
Price & Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
EGC.