You are on page 1of 4

Hewan coba / hewan uji atau sering disebut hewan laboratorium adalah

hewan yang khusus diternakan untuk keperluan penelitian biologik. Hewan


percobaan digunakan untuk penelitian pengaruh bahan kimia atau obat pada
manusia. Peranan hewan percobaan dalam kegiatan penelitian ilmiah telah
berjalan sejak puluhan tahun yang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan pembangunan
nasional bahkan internasional, dalam rangka keselamatan umat manusia di dunia
adalah adanya Deklarasi Helsinki. Deklarasi ini berisi tentang segi etik percobaan
yang meng-gunakan manusia (1964) antara lain dikatakan perlunya diakukan
percobaan pada hewan, sebelum percobaan di bidang biomedis maupun riset
lainnya dilakukan atau diperlakukan terhadap manusia, sehingga dengan demikian
jelas hewan per-cobaan mempunyai mission di dalam keikutsertaannya
menunjang program keselamatan umat manusia melalui suatu penelitian biomedis
(Sulaksono, M.E., 1987).
Penanganan hewan percobaan hendaklah dilakukan dengan penuh rasa kasih
sayang dan berprikemanusiaan. Di dalam menilai efek farmakologis suatu
senyawa bioaktif dengan hewan percobaan dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, antara lain :
1. Faktor internal pada hewan percobaan sendiri : umur, jenis kelamin, bobot
badan, keadaan kesehatan, nutrisi, dan sifat genetik.
2. Faktorfaktor lain yaitu faktor lingkungan, keadaan kandang, suasana
kandang, populasi dalam kandang, keadaan ruang tempat pemeliharaan,
pengalaman hewan percobaan sebelumnya, suplai oksigen dalam ruang
pemeliharaan, dan cara pemeliharaan.
3. Keadaan faktorfaktor ini dapat merubah atau mempengaruhi respon
hewan percobaan terhadap senyawa bioaktif yang diujikan. Penanganan
yang tidak wajar terhadap hewan percobaan dapat mempengaruhi hasil
percobaan, memberikan penyimpangan hasil. Di samping itu cara
pemberian senyawa bioaktif terhadap hewan percobaan tentu
mempengaruhi respon hewan terhadap senyawa bioaktif yang
bersangkutan terutama segi kemunculan efeknya. Cara pemberian yang
digunakan tentu tergantung pula kepada bahan atau bentuk sediaan yang

akan digunakan serta hewan percobaan yang akan digunakan. Sebelum


senyawa bioaktif dapat mencapai tempat kerjanya, senyawa bioaktif harus
melalui proses absorpsi terlebih dahulu (Malole, 1989).
Rute pemberian obat menentukan jumlah dan kecepatan obat yang masuk ke
dalam tubuh, sehingga merupakan penentu keberhasilan terapi atau kemungkinan
timbulnya efek yang merugikan. Rute pemberian obat dibagi 2, yaitu enternal dan
parenteral .
1. Jalur Enteral
Jalur enteral berarti pemberian obat melalui saluran gastrointestinal (GI),
seperti pemberian obat melalui sublingual, bukal, rektal, dan oral. Pemberian
melalui oral merupakan jalur pemberian obat paling banyak digunakan karena
paling murah, paling mudah, dan paling aman. Kerugian dari pemberian melalui
jalur enternal adalah absorpsinya lambat, tidak dapat diberikan pada pasien yang
tidak sadar atau tidak dapat menelan. Kebanyakan obat diberikan melalui jalur ini,
selain alasan di atas juga alasan kepraktisan dan tidak menimbulkan rasa sakit.
Bahkan dianjurkan jika obat dapat diberikan melalui jalur ini dan untuk
kepentingan emergensi (obat segera berefek), obat harus diberikan secara enteral.
2. Jalur Parenteral
Parenteral berarti tidak melalui enteral. Termasuk jalur parenteral adalah
transdermal (topikal), injeksi, endotrakeal (pemberian obat ke dalam trakea
menggunakan endotrakeal tube), dan inhalasi. Pemberian obat melalui jalur ini
dapat menimbulkan efek sistemik atau lokal (Priyanto, 2008).
Mencit merupakan hewan yang paling umum digunakan sebagai hewan
percobaan terutama dalam penelitian-penelitian yang dipelihara secara intensif
didalam laborotorium. Mencit adalah hewan yang paling banyak (40-80%)
digunakan sebagai hewan percobaan laboratorium. Keunggulan mencit sebagai
hewan percobaan adalah sangat produktif dalam menghasilkan keturunan dan
pengelolaannya sangat mudah karena ukurannya yang kecil (Arrington, 1972).

Beberapa keunggulan mencit sebagai hewan percobaan adalah siklus


hidupnya relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya
tinggi, mudah ditangani, serta sifat produksi dan reproduksinya menyerupai
hewan mamalia lain (Moriwaki et al, 1994).
Urutan taksonomi dari mencit adalah termasuk kedalam Filum Chordata,
Kelas Mammalia, Ordo Rodentia, Famili Muridae, Genus Mus, Spesies Mus
musculus (Storer et al., 1979). Mencit putih memiliki bulu pendek halus berwarna
putih dan ekor berwarna kemerahan dengan ukuran lebih panjang daripada badan
dan kepala. Mencit memiliki warna bulu yang berbeda dapat disebabkan
perbedaan dalam kondisi proporsi darah mencit liar dan memiliki kelenturan pada
sifat-sifat produksi dan reproduksinya (Nafiu, 1996).
Tikus putih sebagai hewan percobaan relatif resisten terhadap infeksi dan
sangat cerdas. Tikus putih tidak begitu bersifat foto fobik seperti halnya mencit
dan kecenderungan untuk berkumpul dengan sesamanya tidak begitu besar.
Aktivitasnya tidak terganggu oleh adanya manusia di sekitarnya (Smith dan
Mangkoewidjojo, 1988).
Ada dua sifat yang membedakan tikus putih dari hewan percobaan yang lain,
yaitu bahwa tikus putih tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak
lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lubang dan tikus putih tidak
mempunyai kandung empedu. Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti
mencit jantan. Tikus putih dapat tinggal sendirian dalam kandang dan hewan ini
lebih besar dibandingkan dengan mencit, sehingga untuk percobaan laboratorium,
tikus putih lebih menguntungkan daripada mencit (Smith dan Mangkoewidjojo,
1988).
Tikus putih memiliki kekurangan pada saat digunakan sebagai hewan
percobaan yaitu jika diperlakukan secara kasar akan menjadi liar dan galak
(Sulaksono,1987).
Sulaksono, M.E., 1987. Peranan, Pengelolaan dan Pengembangan Hewan
Percobaan. Tersedia Online di

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/16_PerkembangbiakanHewanPercobaan.pdf
/16_PerkembangbiakanHewanPercobaan.html [diakses pada 28 Maret 2010].
Malole, M.B. dan C.S. Pramono. 1989. Penggunaan Hewan Percobaan di
Laboratorium. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Priyanto. 2008. Farmakologi Dasar Untuk Mahasiswa Keperawatan dan Farmasi.
Depok: Leskonsi.
Arrington, L. R. 1972. Introductory Science Laboratory Animal. The Breeding,
Care and Management of Experimental Animal Science. New York : The
Interstate Printers and Publishing Inc.
Moriwaki, K., T. Shiroishi dan H. Yonekawa. 1994. Genetic in Wild Mice, Its
Aplication to Biomedical Research. Tokyo : Japan ScientificSocieties Press.
Nafiu, L. O. 1996. Kelenturan fenotipik mencit (Mus musculus) terhadap ransum
berprotein rendah. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Smith, J. B., dan Mangkoewidjojo, S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan
Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI Press).

You might also like