Professional Documents
Culture Documents
PTERIGIUM
Pembimbing:
dr. Agah Gadjali, SpM
dr. Gartati Ismail, SpM
dr. Henry A. W, SpM
dr. Hermansyah, SpM
dr. Mustafa K. Shahab, SpM
Disusun oleh:
Eka Septia Puspitasari
1102010086
BAB I
LAPORAN KASUS
I.
IDENTITAS PASIEN
No. Rekam Medis: 774367
Nama
: Tn. AW
Umur
: 55 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Tanggal lahir
: 6 Juni 1960
Agama
: Islam
Bangsa / Suku
: Indonesia / Batak
Pendidikan
: S1 Teknik Sipil
Pekerjaan
: Kontraktor
Alamat
Status
: Menikah
Tanggal pemeriksaan
II.
Keluhan Utama : Terdapat garis berwarna merah pada mata kiri sejak 4 hari yang lalu.
Keluhan tambahan : Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan terdapat garis berwarna merah pada mata kiri
baru disadari sejak 4 hari yang lalu.Pasien juga mengeluhkan kadang mata terasa gatal.
Penglihatan menurun di sangkal pasien. Pasien mengaku sering terpapar sinar matahari
dan debu, mengingat pekerjaan pasien sebagai kontraktor. Pasien tidak mengeluhkan
mual dan muntah. nyeri/ cekot-cekot pada mata (-), berair(-), ada yang mengganjal pada
mata (-), mata terasa kering (-), silau (-), dan ada kotoran pada mata (-). Alergi obat dan
makanan juga disangkal pasien. Trauma dan sering menggosok-gosok mata juga
2
disangkal pasien. Sebelumnya menderita kelainan pada mata seperti tukak atau luka pada
koena, disangkal pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat menggunakan kacamata 10 tahun yang lalu, ukuran OD: cilinder -0,5 D
dan OS: pasien lupa
b. Riwayat penyakit diabetes melitus diakui pasien
c. Riwayat stroke diakui pasienl
d. Riwayat mengalami benturan atau trauma benda lain disangkal
Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat keluarga tidak ada yang menderita penyakit yang sama seperti pasien
b. Riwayat penyakit diabetes melitus disangkal
III.
PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis:
Keadaan umum
: Baik
Kesadaran
: Compos Mentis
Tanda Vital
Tekanan darah : Nadi
: 80 kali/menit
Respirasi
: 20 kali/menit
Suhu
: afebris
Visus
Koreksi
Posisi Hirschberg
OD
5/10 sinekoreksi
C-0,75x90 , 5/5
OS
5/10 sinekoreksi
C-0,75x 90, 5/5
Ortoforia
TIO
N/palpasi
N/palpasi
Palpebra superior
Palpebra inferior
(-)
Konjungtiva bulbi
(-)
edema (-)
edema (-)
Tenang
Hiperemis
(+),
tampak
nasal,
dengan
Dalam, jernih,
Iris
Pupil
Dalam, jernih,
(+),
sinekia anterior (-),
sinekia posterior (-)
isokor,
jernih,
Lensa
Jernih
Jernih
Fundus
kesan normal.
V. RESUME
Pasien datang dengan keluhan terdapat garis berwarna merah pada mata kiri
baru disadari sejak 4 hari yang lalu terkadang disertai gatal. Pasien mengaku sering
terpapar sinar matahari dan debu, mengingat pekerjaan pasien sebagai kontraktor.
Riwayat menggunakan kacamata 10 tahun yang lalu, ukuran OD: cilinder -0,5 D dan OS:
pasien lupa. Pada pemeriksaan fisik dalam batas normal
Status Oftalmologi :
Visus
Koreksi
Konjungtiva
OD
5/10 sinekoreksi
5/10 sinekoreksi
C-0,75 x 90 , 5/5
C-0,75 x 90 , 5/5
Tenang
bulbi
OS
VI.
DIAGNOSIS KERJA
Pterigium stadium II OS
VII.
DIAGNOSIS BANDING
Pseudopterigium
VIII. RENCANA PENATALAKSANAAN
1. Resep Kacamata dengan koreksi :
Kanan
: C -0,75 x 90, 5/5
Kiri
: C -0,75 x 90, 5/5
2. Edukasi
a. Menjelaskan kepada pasien agar menggunakan kacamata untuk melindungi
dari sinar matahari dan debu
b. Menjelaskan kepada pasien bahwa pasien dapat mengalami pertambahan
ukuran kacamata.
c. Jika ada keluhan segera ke dokter
6
3.
MONITOR
a. Pemeriksaan funduskopi setiap 6 bulan
IX. PROGNOSIS
a. Quo Ad Vitam
b. Quo Ad Fungsionam
c. Quo Ad Sanactionam
d. Quo Ad Cosmetican
: Dubia ad Bonam
: Dubia ad Bonam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad Bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi & Fisiologi
2.1.1 Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak mata bagian
belakang. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu konjungtiva tarsal yang menutupi
tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtiva bulbi menutupi
sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya. Konjungtiva forniks yang
merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.1,4,5
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan di
bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak. Konjungtiva bulbi superior paling sering
mengalami infeksi dan menyebar ke bawahnya. Pada pterigium, konjungtiva yang
mengalami fibrovaskular adalah konjungtiva bulbi.1,4,5
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel
basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di
depanya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat
c.
2. Membran Bowman
a.
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
b.
a.
stroma.
Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.2
3. Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan
lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer
serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu
10
yang lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma
kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara seratkolagen stroma. Diduga
keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio
atau sesudah trauma.2
a.
b.
4. Membrane descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
dihasilkan selendotel dan merupakan membran basalnya.
Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal
40m.2
a.
5. Endotel
Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40m.
endotel melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula
okluden.2
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke
dalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung
schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa
ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus.
Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3
bulan.2 Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system
pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea.
Endotel tidak mempunyai daya regenarasi.2
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di
sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari
50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.2
11
2.2 Pterigium
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat degeneratif
dan invasif. Menurut Hamurwono, pterigium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang
menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea
dengan puncak segitiga di kornea. Pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang
artinya wing atau sayap.1,6
Radiasi Ultraviolet
Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata dan topi
mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan
konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan proliferasi sel.3,7
b.
Faktor Genetik
Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium,
kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan. 3,7
c.
Faktor lain
12
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi,
dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterigium. Debu, kelembaban yang
rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eyes, dan virus papiloma juga
diduga sebagai penyebab dari pterigium.3,7
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun, karena lebih sering terjadi
pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang paling diterima
tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap
matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor
iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva pada fisura interpalpebralis
disebabkan oleh karena kelainan tear film bisa menimbulkan pertumbuhan fibroblastik baru
merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim kering
mendukung teori ini.6,7
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada limbal basal stem
cell, tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta overproduksi dan menimbulkan
kolagenase meningkat, sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan
degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibroveskular. Jaringan subkonjungtiva
terjadi degenerasi elastoic dan proliferasi jaringan granulasi vaskular di bawah epitelium
yang akhirnya menembus kornea terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan
jaringan fibrovaskular, sering dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis
dan kadang terjadi displasia.7,8
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi
limbal ada pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan
membran basement, dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada
pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa perigium merupakan
manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell.
Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.8,9
Pemisahan fibroblas dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan fenotif,
pertumbuhan banyak lebih baik pada media yang mengandung serum dengan konsentrasi
rendah dibanding dengan fibroblas konjungtiva normal. Lapisan fibroblas pada bagian
pterigium menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblas pterigium
13
14
Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul sebagai lipatan
berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fisura
interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari
kepala pterigium (stokers line). Kira-kira 90% pterigium terletak di daerah nasal.
Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga menutupi visual
axis, menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan penglihatan terjadi ketika pterigium
mencapai pupil atau menyebabkan kornea astigmatisme pada tahap regresif.
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head), dan cap. Bagian
segitiga yang meninggu pada pterigium dengan dasarnya ke arah limbus disebut body,
bagian atasnya disebut apex, dan bagian belakang disebut cap. Subepitelial cap atau halo
timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterigium.1,3,5,7
Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan derajat atau
klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi menjadi beberapa kelompok
yaitu:
a. Berdasarkan perjalanan penyakit
1). Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di
depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
2). Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membran tetapi tidak pernah hilang.
b. Berdasarkan luas pterigium
1). Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea
2). Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm melewati
kornea
3). Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil mata
dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)
15
Gambar 3. Pterigium grade III, di mana pterigium telah melewati kornea lebih dari
2mm, namun belum melewati pupil. (sumber: www.icoph.org)
c. Berdasarkan pemeriksaan pembuluh darah dengan slitlamp
1). T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat
2). T2 (intermediate): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
3). T3 (fleshy, opaque): pembuluh darah tidak jelas
Secara
klinis
pterigium
dapat
dibedakan
dengan
pinguekula
dan
pseudopterigium.
Pembeda
Definisi
Pterigium
Jaringan
Pinguekula
Pseudopterigium
Benjolan pada Perlengketan
fibrovaskular
konjungtiva
konjungtiba
konjungtiva
bulbi
bulbi berbentuk
cacat
Warna
segitiga
Putih
Letak
kekuningan
keabu-abuan
Celah kelopak Celah kelopak Pada
bagian
atau
Putih-kuning
Putih kekuningan
yang meluas ke
6:
arah kornea
>
bulbi
daerah
yang
terdekat
dengan
proses
kornea
sebelumnya
=
16
Progresif
Reaksi
Sedang
Tidak ada
Tidak
Tidak ada
Tidak
Ada
Lebih menonjol
Menonjol
Normal
kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh
darah
konjungtiva
Sonde
Tidak
dapat Tidak
diselipkan
diselipkan
Puncak
Ada
pulau
Histopatologi
limbus
Tidak ada (tidak ada
(bercak kelabu)
Epitel ireguler Degenerasi
Perlengketan
dalam submukosa
stromanya
konjungtiva
Tabel 3. Diagnosis banding pterigium (dikutip dari Vaughan, Daniel G., Asbury
Taylor,
Riordan
Eva-Paul.
Oftalmologi
Umum.
Edisi
14.Jakarta:Widya
Medika,2000,hal 5-6.111, Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-2. 2002.
Jakarta: Sagung Seto)
2.2.2 Penatalaksanaan Pterigium
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan
jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada
pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada
pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan. Pengobatan tidak
diperlukan karena bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila
pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan. Lindungi
mata yang terkena pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata
pelindung. Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila perlu dapat diberikan
steroid . Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep.
17
Bila diberi vasokonstriktor maka perlu control dalam 2 minggu dan bila telah terdapat
perbaikan pengobatan dihentikan.1
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap termasuk
gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan yang progresif menuju
tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan pergerakan bola mata. Eksisi
pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan normal yaitu gambaran permukaan bola
mata yang licin. Teknik bedah yang sering digunakan untuk mengangkat pterigium
adalah dengan menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium ke arah
limbus. Walaupun memisahkan pterigium dengan bare sclera ke arah bawah pada limbus
lebih disukai, namun tidak perlu memisahkan jaringan tenon secara berlebihan di daerah
medial, karena kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma tidak
disengaja di daerah jaringan otot. Setelah dieksisi, kauter sering digunakan untuk
mengontrol perdarahan.6,8
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik simple surgical
removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat menurunkan tingkat rekurensi
hingga 5% adalah conjunctival autograft (Gambar 4). Dimana pterigium yang dibuang
digantikan dengan konjungtiva normal yang belum terpapar sinar UV (misalnya
konjungtiva yang secara normal berada di belakang kelopak mata atas). Konjungtiva
normal ini biasaya akan sembuh normal dan tidak memiliki kecenderungan unuk
menyebabkan pterigium rekuren.12
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium.
Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium
tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian
superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium
yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi
seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC)
sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari
pemakaian MMC juga cukup berat.10
4.
Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan
dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah
digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat
kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium
adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk
memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk
epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan
kornea.1
1.
2.
3.
membran
amnion
juga
telah
digunakan
untuk
mencegah
Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan
dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off
2.
3.
4.
sampai 6minggu.
Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan
dengan salep mata dexamethasone.
Sinar Beta.
Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam selama
6minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol, dan
steroidselama 1 minggu.6
20
2.2.3 Komplikasi
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut) pada
konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar pada rektus
medial dapat menyebabkan diplopia.11,12
Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:
a.
b.
c.
21
d.
2.2.4 Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak nyaman
pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 24 jam
postop dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan
eksisi ulang dan graft dengan autograft atau transplantasi membran amnion.11
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keluhan terdapat garis berwarna merah pada mata kiri
baru disadari sejak 4 hari yang lalu terkadang disertai gatal. Pasien mengaku sering
terpapar sinar matahari dan debu, mengingat pekerjaan pasien sebagai kontraktor Pada
22
pemeriksaan fisik dalam batas normal. Status oftalmologi visus pasien 5/10 sinekoreksi
ODS dan dikoreksi dengan lensa cilinder -0,75x 90, terkoreksi 5/5. Pada konjungtiva OS
ditemukan Hiperemis (+), tampak selaput bentuk segitiga di daerah nasal, dengan apeks
melewati limbus, belum mencapai pupil.
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Penduduk Indonesia memiliki risiko tinggi terkena
pterigium. Hal ini diduga berkaitan dengan paparan sinar matahari berlebihan yang
diterima oleh mata.
Diagnosis pterigium dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis. Biasanya
penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya
keganasan atau alasan kosmetik. Pada pemeriksaan terlihat lesi pterigium sebagai lipatan
berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fisura
interpalpebralis, berwarna putih kekuningan. Bedakan lesi pterigium dengan pinguekula
dan pseudopterigium. Derajat pterigium dapat dinilai dengan melihat luas pterigium.
Penentuan derajat pterigium sangat penting untuk penatalaksanaan selanjutnya. Prinsip
penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan jika pterygium
masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada pterigium yang melebihi
derajat 2.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2008. Jakarta: FK UI.
23
2.
3.
4.
Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum. Edisi
14.Jakarta:Widya Medika,2000,hal 5-6.
5.
Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto.
6.
Hamurwono GD, Nainggolan SH, Soekraningsih. Buku Pedoman Kesehatan Mata dan
Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina Upaya Kesehatan
Puskesmas Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan, 1984. 1417
7.
8.
9.
Fisher.
Pterygium.
2009.
available
at:
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-followup
12. Pterygium and Pingueculum available at:
http://www.baysideeyes.com.au/eye-
specialists/pterygium.htm
24