You are on page 1of 24

LAPORAN KASUS

PTERIGIUM

Pembimbing:
dr. Agah Gadjali, SpM
dr. Gartati Ismail, SpM
dr. Henry A. W, SpM
dr. Hermansyah, SpM
dr. Mustafa K. Shahab, SpM

Disusun oleh:
Eka Septia Puspitasari
1102010086

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I RADEN SAID SUKANTO
PERIODE 16 NOVEMBER 2015 18 DESEMBER 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

BAB I
LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS PASIEN
No. Rekam Medis: 774367

Nama

: Tn. AW

Umur

: 55 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Tanggal lahir

: 6 Juni 1960

Agama

: Islam

Bangsa / Suku

: Indonesia / Batak

Pendidikan

: S1 Teknik Sipil

Pekerjaan

: Kontraktor

Alamat

: Jl. Palam I D7 Nomer 7 Cisalak Depok

Status

: Menikah

Tanggal pemeriksaan

: Kamis , 26 November 2015

II.

ANAMNESA (Autoanamnesis dengan pasien pada 26 November 2015)

Keluhan Utama : Terdapat garis berwarna merah pada mata kiri sejak 4 hari yang lalu.
Keluhan tambahan : Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan terdapat garis berwarna merah pada mata kiri
baru disadari sejak 4 hari yang lalu.Pasien juga mengeluhkan kadang mata terasa gatal.
Penglihatan menurun di sangkal pasien. Pasien mengaku sering terpapar sinar matahari
dan debu, mengingat pekerjaan pasien sebagai kontraktor. Pasien tidak mengeluhkan
mual dan muntah. nyeri/ cekot-cekot pada mata (-), berair(-), ada yang mengganjal pada
mata (-), mata terasa kering (-), silau (-), dan ada kotoran pada mata (-). Alergi obat dan
makanan juga disangkal pasien. Trauma dan sering menggosok-gosok mata juga
2

disangkal pasien. Sebelumnya menderita kelainan pada mata seperti tukak atau luka pada
koena, disangkal pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu

a. Riwayat menggunakan kacamata 10 tahun yang lalu, ukuran OD: cilinder -0,5 D
dan OS: pasien lupa
b. Riwayat penyakit diabetes melitus diakui pasien
c. Riwayat stroke diakui pasienl
d. Riwayat mengalami benturan atau trauma benda lain disangkal
Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat keluarga tidak ada yang menderita penyakit yang sama seperti pasien
b. Riwayat penyakit diabetes melitus disangkal
III.

PEMERIKSAAN FISIK

Status generalis:
Keadaan umum

: Baik

Kesadaran

: Compos Mentis

Tanda Vital
Tekanan darah : Nadi

: 80 kali/menit

Respirasi

: 20 kali/menit

Suhu

: afebris

IV. STATUS OFTALMOLOGI


INSPEKSI

Visus
Koreksi
Posisi Hirschberg

OD
5/10 sinekoreksi
C-0,75x90 , 5/5

OS
5/10 sinekoreksi
C-0,75x 90, 5/5
Ortoforia

Gerakan bola mata

TIO

N/palpasi

N/palpasi

Palpebra superior

Edema (-), benjolan (-) Edema (-), benjolan (-),


Hiperemis (-), nyeri tekan hiperemis (-), nyeri tekan
(-)

Palpebra inferior

(-)

Edema (-), benjolan (-), Edema (-), benjolan (-),


hiperemis (-), nyeri tekan hiperemis (-), nyeri tekan
(-)

Konjungtiva tarsalis superior

Hiperemis (-), papil (-), Hiperemis (-), papil (-),


edema (-)

Konjungtiva tarsalis inferior

Konjungtiva bulbi

(-)

edema (-)

Hiperemis (-), papil (-), Hiperemis (-), papil (-),


edema (-)

edema (-)

Tenang

Hiperemis

(+),

tampak

selaput bentuk segitiga di


daerah

nasal,

dengan

apeks melewati limbus,


belum mencapai pupil
Kornea

Jernih, ulkus (-), infiltrat Jernih, ulkus (-), infiltrat


(-), sikatriks (-)

(-), sikatriks (-)

Bilik mata depan

Dalam, jernih,

Iris

Bulat, batas tegas, kripte Bulat, batas tegas, kripte


(+),
sinekia anterior (-),
sinekia posterior (-)

Pupil

Dalam, jernih,

(+),
sinekia anterior (-),
sinekia posterior (-)

Bulat, isokor, jernih, berada Bulat,

isokor,

jernih,

di sentral, RCL (+), RCTL berada di sentral, RCL


(+)

(+), RCTL (+)

Lensa

Jernih

Jernih

Fundus

Refleks fundus (+), papil Refleks fundus (+), papil


N.II batas tegas, CDR 0,3, N.II batas tegas, CDR 0,3,
a/v : 2/3, macula : refleks a/v : 2/3, macula : refleks
5

fovea (+), retina perifer fovea (+), retina perifer


kesan normal.

kesan normal.

V. RESUME
Pasien datang dengan keluhan terdapat garis berwarna merah pada mata kiri
baru disadari sejak 4 hari yang lalu terkadang disertai gatal. Pasien mengaku sering
terpapar sinar matahari dan debu, mengingat pekerjaan pasien sebagai kontraktor.
Riwayat menggunakan kacamata 10 tahun yang lalu, ukuran OD: cilinder -0,5 D dan OS:
pasien lupa. Pada pemeriksaan fisik dalam batas normal
Status Oftalmologi :

Visus
Koreksi
Konjungtiva

OD
5/10 sinekoreksi

5/10 sinekoreksi

C-0,75 x 90 , 5/5

C-0,75 x 90 , 5/5

Tenang

Hiperemis (+), tampak

bulbi

OS

selaput bentuk segitiga


di daerah nasal, dengan
apeks melewati limbus,
belum mencapai pupil

VI.

DIAGNOSIS KERJA
Pterigium stadium II OS

VII.

DIAGNOSIS BANDING
Pseudopterigium
VIII. RENCANA PENATALAKSANAAN
1. Resep Kacamata dengan koreksi :
Kanan
: C -0,75 x 90, 5/5
Kiri
: C -0,75 x 90, 5/5
2. Edukasi
a. Menjelaskan kepada pasien agar menggunakan kacamata untuk melindungi
dari sinar matahari dan debu
b. Menjelaskan kepada pasien bahwa pasien dapat mengalami pertambahan
ukuran kacamata.
c. Jika ada keluhan segera ke dokter
6

3.

MONITOR
a. Pemeriksaan funduskopi setiap 6 bulan

IX. PROGNOSIS
a. Quo Ad Vitam
b. Quo Ad Fungsionam
c. Quo Ad Sanactionam
d. Quo Ad Cosmetican

: Dubia ad Bonam
: Dubia ad Bonam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad Bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi & Fisiologi
2.1.1 Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak mata bagian
belakang. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu konjungtiva tarsal yang menutupi
tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtiva bulbi menutupi
sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya. Konjungtiva forniks yang
merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.1,4,5
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan di
bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak. Konjungtiva bulbi superior paling sering
mengalami infeksi dan menyebar ke bawahnya. Pada pterigium, konjungtiva yang
mengalami fibrovaskular adalah konjungtiva bulbi.1,4,5

Gambar 1. Penampang sagital konjungtiva


(diambil dari www.eastoneye.com)
Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis.
Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva
yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva
yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan
lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe palpebra hingga membentuk
8

pleksus limfatikus yang banyak. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan


pertama (oftalmik) nervus trigeminus. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat
nyeri.4,5
2.1.2 Fisiologi Konjungtiva
Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan kebutuhan
oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata dengan mekanisme
pertahanan nonspesifik yang berupa barrier epitel, aktivitas lakrimasi, dan menyuplai
darah. Selain itu, terdapat pertahanan spesifik berupa mekanisme imunologis seperti sel
mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk
IgA.1,4
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder
bertingkat, superficial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas
karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari
sel-sel epitel skuamosa.4,5
Sel-sel epitel superficial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang
mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk
dispersi lapisan air mata secara merata diseluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna
lebih pekat daripada sel-sel superficial dan di dekat limbus dapat mengandung
pigmen.1,4,5
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial) dan satu
lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di
beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum
germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3
bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler
bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari
jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran
reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola
mata.1,4,5
Secara garis besar, kelenjar pada konjungtiva dibagi menjadi dua yaitu:
1. Penghasil musin
a. Sel goblet terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada daerah
inferonasal.
b. Crypts of Henle terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva tarsalis superior
dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva tarsalis inferior.
9

c. Kelenjar Manz mengelilingi daerah limbus.


2. Kelenjar asesoris lakrimalis.
Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar krause dan kelenjar wolfring. Kedua
kelenjar ini terletak dalam di bawah substansi propria. Kelenjar air mata asesori
(kelenjar krause dan kolfring), yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal,
terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, dan
sedikit ada diforniks bawah. Kelenjar wolfring terletak ditepi atas tarsus atas. Pada
sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme namun karena suhunya
yang cukup rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan suplai darah yang rendah
menyebabkan bakteri kurang mampu berkembang biak. Selain itu, air mata bukan
merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri.4,5

2.1.3 Anatomi kornea


Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya,
merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. 2
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
1. Epitel
a.
Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
b.

tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel
basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di
depanya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat

c.

pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.


Epitel berasal dari ektoderm permukaan.2

2. Membran Bowman
a.
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
b.

a.

stroma.
Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.2

3. Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan
lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer
serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu
10

yang lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma
kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara seratkolagen stroma. Diduga
keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio
atau sesudah trauma.2

a.

b.

4. Membrane descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
dihasilkan selendotel dan merupakan membran basalnya.
Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal
40m.2

a.

5. Endotel
Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40m.
endotel melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula
okluden.2
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar

longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke
dalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung
schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa
ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus.
Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3
bulan.2 Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system
pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea.
Endotel tidak mempunyai daya regenarasi.2
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di
sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari
50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.2

11

2.2 Pterigium
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat degeneratif
dan invasif. Menurut Hamurwono, pterigium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang
menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea
dengan puncak segitiga di kornea. Pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang
artinya wing atau sayap.1,6

Gambar 2. Pterigium; jaringan fibrovaskular konjungtiva berbentuk segitiga dengan puncak


di kornea (diambil www.eastoneye.com diakses 30 November 2015)
Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi UV
matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara, dan faktor herediter. 3,7
a.

Radiasi Ultraviolet
Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata dan topi
mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan
konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan proliferasi sel.3,7

b.

Faktor Genetik
Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium,
kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan. 3,7

c.

Faktor lain
12

Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi,
dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterigium. Debu, kelembaban yang
rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eyes, dan virus papiloma juga
diduga sebagai penyebab dari pterigium.3,7
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun, karena lebih sering terjadi
pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang paling diterima
tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap
matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor
iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva pada fisura interpalpebralis
disebabkan oleh karena kelainan tear film bisa menimbulkan pertumbuhan fibroblastik baru
merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim kering
mendukung teori ini.6,7
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada limbal basal stem
cell, tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta overproduksi dan menimbulkan
kolagenase meningkat, sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan
degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibroveskular. Jaringan subkonjungtiva
terjadi degenerasi elastoic dan proliferasi jaringan granulasi vaskular di bawah epitelium
yang akhirnya menembus kornea terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan
jaringan fibrovaskular, sering dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis
dan kadang terjadi displasia.7,8
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi
limbal ada pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan
membran basement, dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada
pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa perigium merupakan
manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell.
Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.8,9
Pemisahan fibroblas dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan fenotif,
pertumbuhan banyak lebih baik pada media yang mengandung serum dengan konsentrasi
rendah dibanding dengan fibroblas konjungtiva normal. Lapisan fibroblas pada bagian
pterigium menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblas pterigium
13

menunjukkan matrix metalloproteinase, di mana matrix tersebut adalah matrix ekstraseluler


yang berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyenbuhan luka, mengubah bentuk dan fibroblas
pterigium bereaksi terhadap TGF- (transforming growth factor-) berbeda dengan jaringan
konjungtiva normal, bFGF (basic fibroblast growth factor) yang berlebihan, TNF- (tumor
necrosis factor-) dan IGF II. Hal ini menjelaskan bahwa pterigium cenderung terus tumbuh,
invasi ke stroma kornea dan terjadi fibrovaskular dan inflamasi.8,9
Dengan menggunakan anterior segmen fluorescein agiografi ditemukan peningkatan
area nonperfusi dan penambahan pembuluh darah di nasal limbus selama fase awal
pterigium. Sirkulasi CD 4+ MNCs dan c-kit+ MNCs meningkat pada pterigium dibanding
dengan konjungtiva normal. Sitokin lokal dan sistemik, SP (substance P), VEGF (Vascular
endothelial growth Factor) dan SCF (Stem Cell Factor) pada pterigium meningkat,
berhubungan dengan CD 34+ dan C kit+ MNC. Hal ini menunjukkan pada pterigium terlibat
pertumbuhan EPCs (Endothelial Progenitor Cells) dan hipoksia okular yang merupakan
faktor pencetus neovaskularisasi dengan mengambil EPCs yang berasal dari sumsum tulang
melalui produksi sitokin lokal dan sistemik.7,8
Secara histopatologi dengan menggunakan mikroskop elektron menunjukkan proliferasi
fibrotik yang menyimpang di bawah epitel pterigium, dengan epitel meluas ke stroma.
Pemisahan sel-sel epitel pterigium menunjukkan epitel dikelilingi sel-sel fibroblas yang aktif,
karakteristik dari E-cadherin, penumpukan -catenin di intranuklear dan limphoid factor-1
meningkat pada epitel pterigium. Sel epitel meluas ke stroma pada -SMA/ vimentin dan
cytokeratin 14. Kesimpulannya bahwa epitel mesencymal transition terlibat dalam
patogenesis pterigium. -catenin meningkat pada pterigium dan PFC (pterigial fibroblast)
dibandingkan pada konjungtiva normal. -catenin berperan penting dalam patogenesis
pterigium.10,11
2.2.1 Diagnosis pterigium
1. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data administrasi
dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk mengetahui faktor resiko
pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok usia 20-30 tahun dan jenis kelamin
laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat perlu ditanyakan untuk mengetahui
kecenderungan pasien terpapar sinar matahari.3

14

Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan berupa mata


sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang
memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat menimbulkan
diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan
khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik. Keluhan subjektif dapat berupa
rasa panas, gatal, ada yang mengganjal.1,3
2.

Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul sebagai lipatan
berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fisura
interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari
kepala pterigium (stokers line). Kira-kira 90% pterigium terletak di daerah nasal.
Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga menutupi visual
axis, menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan penglihatan terjadi ketika pterigium
mencapai pupil atau menyebabkan kornea astigmatisme pada tahap regresif.
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head), dan cap. Bagian
segitiga yang meninggu pada pterigium dengan dasarnya ke arah limbus disebut body,
bagian atasnya disebut apex, dan bagian belakang disebut cap. Subepitelial cap atau halo
timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterigium.1,3,5,7
Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan derajat atau
klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi menjadi beberapa kelompok
yaitu:
a. Berdasarkan perjalanan penyakit
1). Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di
depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
2). Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membran tetapi tidak pernah hilang.
b. Berdasarkan luas pterigium
1). Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea
2). Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm melewati
kornea
3). Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil mata
dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)

15

4). Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga


mengganggu penglihatan8

Gambar 3. Pterigium grade III, di mana pterigium telah melewati kornea lebih dari
2mm, namun belum melewati pupil. (sumber: www.icoph.org)
c. Berdasarkan pemeriksaan pembuluh darah dengan slitlamp
1). T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat
2). T2 (intermediate): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
3). T3 (fleshy, opaque): pembuluh darah tidak jelas
Secara

klinis

pterigium

dapat

dibedakan

dengan

pinguekula

dan

pseudopterigium.

Pembeda
Definisi

Pterigium
Jaringan

Pinguekula
Pseudopterigium
Benjolan pada Perlengketan

fibrovaskular

konjungtiva

konjungtiba

konjungtiva

bulbi

dengan kornea yang

bulbi berbentuk

cacat

Warna

segitiga
Putih

Letak

kekuningan
keabu-abuan
Celah kelopak Celah kelopak Pada
bagian
atau

Putih-kuning

Putih kekuningan

nasal mata terutama konjungtiva


temporal bagian nasal

yang meluas ke
6:

arah kornea
>

bulbi

daerah
yang

terdekat

dengan

proses

kornea

sebelumnya
=
16

Progresif
Reaksi

Sedang
Tidak ada

Tidak
Tidak ada

Tidak
Ada

Lebih menonjol

Menonjol

Normal

kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh
darah
konjungtiva
Sonde

Tidak

dapat Tidak

diselipkan

dapat Dapat diselipkan di

diselipkan

bawah lesi karena


tidak melekat pada

Puncak

Ada
pulau

Histopatologi

limbus
Tidak ada (tidak ada

pulau- Tidak ada


Funchs

head, cap, body)

(bercak kelabu)
Epitel ireguler Degenerasi

Perlengketan

dan degenerasi hialin jaringan


hialin

dalam submukosa

stromanya
konjungtiva
Tabel 3. Diagnosis banding pterigium (dikutip dari Vaughan, Daniel G., Asbury
Taylor,

Riordan

Eva-Paul.

Oftalmologi

Umum.

Edisi

14.Jakarta:Widya

Medika,2000,hal 5-6.111, Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-2. 2002.
Jakarta: Sagung Seto)
2.2.2 Penatalaksanaan Pterigium
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan
jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada
pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada
pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan. Pengobatan tidak
diperlukan karena bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila
pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan. Lindungi
mata yang terkena pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata
pelindung. Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila perlu dapat diberikan
steroid . Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep.
17

Bila diberi vasokonstriktor maka perlu control dalam 2 minggu dan bila telah terdapat
perbaikan pengobatan dihentikan.1
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap termasuk
gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan yang progresif menuju
tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan pergerakan bola mata. Eksisi
pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan normal yaitu gambaran permukaan bola
mata yang licin. Teknik bedah yang sering digunakan untuk mengangkat pterigium
adalah dengan menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium ke arah
limbus. Walaupun memisahkan pterigium dengan bare sclera ke arah bawah pada limbus
lebih disukai, namun tidak perlu memisahkan jaringan tenon secara berlebihan di daerah
medial, karena kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma tidak
disengaja di daerah jaringan otot. Setelah dieksisi, kauter sering digunakan untuk
mengontrol perdarahan.6,8
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik simple surgical
removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat menurunkan tingkat rekurensi
hingga 5% adalah conjunctival autograft (Gambar 4). Dimana pterigium yang dibuang
digantikan dengan konjungtiva normal yang belum terpapar sinar UV (misalnya
konjungtiva yang secara normal berada di belakang kelopak mata atas). Konjungtiva
normal ini biasaya akan sembuh normal dan tidak memiliki kecenderungan unuk
menyebabkan pterigium rekuren.12
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium.
Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium
tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian
superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium
yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi
seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC)
sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari
pemakaian MMC juga cukup berat.10

Indikasi Operasi pterigium


1.
Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2.
Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3.
Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
18

4.

Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.6

Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan
dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah
digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat
kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium
adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk
memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk
epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan
kornea.1
1.

Teknik Bare Sclera


Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sclera
untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah
didokumentasikan dalam berbagai laporan.1

2.

Teknik Autograft Konjungtiva


Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40
persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan
autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera
yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil
yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's
dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat
dari grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan
menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka
kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.1

3.

Cangkok Membran Amnion


Mencangkok

membran

amnion

juga

telah

digunakan

untuk

mencegah

kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion


ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah
membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis
dan epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang
ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5
persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama
19

autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion


biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan
stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan
lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral
dibawahnya. Lemfibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.1
Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam
pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh
cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.1
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya
untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis
minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini
digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium,
dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian
sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi
toksisitas.1
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena
menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada
data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi
termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah
mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.1
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan
pemberian:
1.

Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan
dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off

2.

3.
4.

sampai 6minggu.
Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan
dengan salep mata dexamethasone.
Sinar Beta.
Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam selama
6minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol, dan
steroidselama 1 minggu.6
20

Gambar 4. Prosedur Conjunctiva Autograft; (a).Pterygium,


(b).Pterygium removed, (c).Leaving bare area, (d).Graft outlined,
(e).Graft sutured into place (diambil dari www.baysideeyes.com.au diakses 30
November 2015)

2.2.3 Komplikasi
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut) pada
konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar pada rektus
medial dapat menyebabkan diplopia.11,12
Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:
a.

Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar,


dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous
hemorrhage atau retinal detachment

b.

Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting


pada sklera dan kornea

c.

Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren


pterigium post operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang
tinggi kira-kira 50-80 %. Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva
autograft atau amnion graft.

21

d.

Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringan epitel


di atas pterigium.11

2.2.4 Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak nyaman
pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 24 jam
postop dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan
eksisi ulang dan graft dengan autograft atau transplantasi membran amnion.11

BAB III
PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keluhan terdapat garis berwarna merah pada mata kiri
baru disadari sejak 4 hari yang lalu terkadang disertai gatal. Pasien mengaku sering
terpapar sinar matahari dan debu, mengingat pekerjaan pasien sebagai kontraktor Pada
22

pemeriksaan fisik dalam batas normal. Status oftalmologi visus pasien 5/10 sinekoreksi
ODS dan dikoreksi dengan lensa cilinder -0,75x 90, terkoreksi 5/5. Pada konjungtiva OS
ditemukan Hiperemis (+), tampak selaput bentuk segitiga di daerah nasal, dengan apeks
melewati limbus, belum mencapai pupil.
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Penduduk Indonesia memiliki risiko tinggi terkena
pterigium. Hal ini diduga berkaitan dengan paparan sinar matahari berlebihan yang
diterima oleh mata.
Diagnosis pterigium dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis. Biasanya
penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya
keganasan atau alasan kosmetik. Pada pemeriksaan terlihat lesi pterigium sebagai lipatan
berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fisura
interpalpebralis, berwarna putih kekuningan. Bedakan lesi pterigium dengan pinguekula
dan pseudopterigium. Derajat pterigium dapat dinilai dengan melihat luas pterigium.
Penentuan derajat pterigium sangat penting untuk penatalaksanaan selanjutnya. Prinsip
penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan jika pterygium
masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada pterigium yang melebihi
derajat 2.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2008. Jakarta: FK UI.

23

2.

Chandra DW et al. Effectiveness of subconjunctival mitomycin-C compared with


subconjunctival triamcinolon acetonide on the recurrence of progresive primary
pterygium which underwent Mc Reynolds method. Berkala llmu Kedokteran, Volume 39,
No. 4, Desember 2007: 186-19.

3.

Gazzard G, Saw S-M, Farook M, Koh D, Wijaya D, et all. Pterygium in Indonesia:


prevalence, severity and risk factors. British Journal of Ophthalmology. 2002; 86(12):
13411346. Avaiable at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1771435/

4.

Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum. Edisi
14.Jakarta:Widya Medika,2000,hal 5-6.

5.

Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto.

6.

Hamurwono GD, Nainggolan SH, Soekraningsih. Buku Pedoman Kesehatan Mata dan
Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina Upaya Kesehatan
Puskesmas Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan, 1984. 1417

7.

American Academy of Ophtalmology. Basic and Clinical Science Course section 8


External Disease and Cornea. 2007-2008. p: 344&405

8.

T H Tan Donald et all. Pterygium clinical Ophtalmology An Asian Perspective, Chapter


3.2.Saunders Elsevier. Singapore. 2005. p:207-214.

9.

Khurana A. K. Community Ophtalmology in Comprehensive Ophtalmologu. Fourth


Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age International Limited Publisher. 2007. p: 443457

10. D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert. Pterygium: Panduan Manajemen


Klinis Perdami. CV Ondo. Jakarta. 2006. p: 56-58
11. Jerome

Fisher.

Pterygium.

2009.

available

at:

http://emedicine.medscape.com/article/1192527-followup
12. Pterygium and Pingueculum available at:

http://www.baysideeyes.com.au/eye-

specialists/pterygium.htm

24

You might also like