You are on page 1of 5

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


CONTINUING MEDICAL EDUCATION

Akreditasi PB IDI2 SKP

Sindrom Hepatorenal
Hamzah Pratama
RSU Siloam, Tangerang, Indonesia

ABSTRAK
Sindrom hepatorenal (HRS) merupakan gagal ginjal yang timbul pada pasien penyakit hati kronik. Tanda khas sindrom hepatorenal adalah
vasokonstriksi ginjal dengan mekanisme yang masih belum jelas. Beberapa faktor pencetus dianggap dapat mempengaruhi timbulnya HRS.
Rekomendasi terapi HRS hingga saat ini adalah transplantasi hati. Terapi medikamentosa sebelum transplantasi hati dapat menggunakan
regimen yang tercantum pada beberapa rekomendasi terapi.
Kata kunci: Sindrom Hepatorenal, gagal ginjal, penyakit hati, vasokonstriksi

ABSTRACT
Hepatorenal syndrome (HRS) is a renal failure in patients with chronic liver disease. Typical sign of hepatorenal syndrome is renal
vasoconstriction caused by still unclear mechanisms. Some trigger factors can influence the onset of HRS. The recommended therapy for HRS
is liver transplantation. Medical therapy prior to liver transplantation can use a choice of recommended multiple regimens. Hamzah Pratama.
Hepatorenal syndrome
Keywords: Hepatorenal syndrome, renal failure, liver disease, vasoconstriction

DEFINISI
Sindrom hepatorenal (hepatorenal syndrome/
HRS) merupakan komplikasi terjadinya gagal
ginjal pada pasien penyakit hati kronik,
kadang-kadang berupa hepatitis fulminan
dengan hipertensi portal dan ascites.1
SEJARAH
Pada abad ke-19, beberapa ahli membuat
deskripsi gangguan fungsi ginjal pada pasien
penyakit hati. Pada saat itu dideskripsikan
sebagai oliguria pada pasien penyakit hati
kronis tanpa proteinuria dan dihubungkan
dengan gangguan ginjal pada sirkulasi
sistemik.2 Mulai tahun 1967, ditemukan
bahwa tanda khas HRS berupa vasokonstriksi
ginjal berat.2

klinis HRS makin berkembang, Sherlock,


dkk.
menekankan
perjalanan
alami
sindrom ini dengan adanya gangguan
sirkulasi dan prognosis yang buruk.
Mereka mendeskripsikan gagal ginjal pada
9 pasien penyakit hati yang mempunyai
karakteristik oliguria progresif, ekskresi Na urin
sangat rendah, hiponatremia, tetapi tanpa
proteinuria. Setelah itu ditemukan bahwa
kelainan tersebut fungsional, karena fungsi
ginjal kembali normal setelah transplantasi
hati. Studi lanjutan pada 20 tahun terakhir
menunjukkan bahwa gagal ginjal terjadi
karena vasokonstriksi sirkulasi renal dan
vasodilatasi arteriol sistemik hebat yang
menghasilkan penurunan sirkulasi vaskuler
sistemik dan arterial hypotension.2

Istilah sindrom hepatorenal digunakan


pertama kali pada tahun 1939 untuk
mendeskripsikan gagal hati yang terjadi
setelah operasi bilier ataupun trauma pada
hati, yang makin berkembang menjadi
berbagai tipe gagal ginjal akut pada
penyakit hati.2 Pada tahun 1950, deskripsi

Pada tahun 1996, International Ascites Club


menginginkan definisi dan kriteria diagnosis
baru HRS, karena istilah ini telah diterima
secara umum untuk gagal ginjal fungsional
yang berkembang pada pasien sirosis tahap
lanjut. Kriteria tahun 1996 tersebut telah
mengalami revisi pada tahun 2007. Kriteria

Alamat korespondensi

30

HRS tahun 1996 dan setelah revisi pada


tahun 20071,2 dapat dilihat pada Tabel 1.
EPIDEMIOLOGI
Pada pasien sirosis tahap lanjut dan ascites,
diperkirakan 18% akan mengalami HRS
dalam 1 tahun setelah didiagnosis, dan
mencapai 40 % pada tahun kelima.3
PATOFISIOLOGI
Tanda khas HRS adalah terjadinya
vasokonstriksi ginjal, walaupun berbagai
mekanisme dianggap mungkin berperan
dalam timbulnya HRS. Karakteristik pola
hemodinamik pasien HRS antara lain: peningkatan curah jantung (cardiac output),
penurunan resistensi vaskuler sistemik,
dan peningkatan resistensi vaskuler renal.
Menurut studi Doppler pada arteri brachial,
cerebri media, dan femoralis menunjukkan
bahwa resistensi ekstrarenal meningkat pada
pasien HRS, sementara sirkulasi splanchnic
yang bertanggung jawab untuk vasodilatasi
arteri dan resistensi vaskuler sistemik total
menurun.4 Patofisiologi sindrom hepatorenal

email: pratama_med@yahoo.com

CDK-224/ vol. 42 no. 1, th. 2015

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


Tabel 1 Kriteria International Ascites Club mengenai HRS
tahun 1996 dan setelah revisi pada tahun 2007
1996 Criteria [39]
Major Criteria
Chronic or acute liver disease with advance hepatic
failure and portal hypertension
Serum creatinine > 1.5 mg/dL or 24-h creatinine of <
40 mL/min
Absence of shock, ongoing bacterial infection, and
current or recent treatment with nephrotoxic drugs.
Absence of gastrointestinal fluid losses (repeated
vomiting or intense diarrhea) or renal fluid losses
No sustained improvement in renal function defined
as a decrease in serum creatinine to < 1.5 mg/dL
or increase in creatinine clearance to 40 mL/min or
more following diuretic withdrawal and expansion of
plasma volume with 1.5 L of isotonic saline
Proteinuria < 500 mg/dL and no ultrasonographic
evidence of obstructive uropathy or parenchymal
renal disease
Minor Criteria
Urine volume < 500 mL/d
Urine sodium < 10 mEq/L
Urine osmolality > plasma osmolality
Urine red blood cells < 50 per high power field
2007 Criteria [40]
Cirrhosis with ascites
Serum creatinine > 1.5 mg/dL
No improvement of serum creatinine (decrease to a
level 1.5 mg/dL) after at least two days of diuretic
withdrawal and volume expansion with albumin. The
recommended dose of albumin is 1 g/kg of body
weight per day up to a maximum of 100 g/day
Absence of shock
No current of recent treatment with nephrotoxic
drugs
Absence of parenchymal kidney disease as indicated
by proteinuria > 500 mg/day, microhematuria
(>50 red blood cells per high power field), and/or
abnormal renal ultrasonography

pada pasien sirosis dan ascites, dan efek ini


makin besar pada HRS.5 Dua teori utama
yang berusaha menjelaskan mekanisme
tersebut adalah teori vasodilatasi arteri dan
teori reflex hepatorenal.2
Teori pertama mengenai retensi air dan
natrium pada sirosis merupakan hipotesis
paling rasional. Menurut teori ini, pada fase
awal saat hipertensi portal dan sirosis masih
terkompensasi, gangguan pengisian arteri
menyebabkan penurunan volume darah
arteri dan menyebabkan aktivasi sistem
vasokonstriktor endogen. Dilatasi pembuluh
darah splanchnic pada pasien hipertensi
portal dan sirosis yang terkompensasi dapat
dimediasi oleh beberapa faktor, terutama
oleh pelepasan vasodilator lokal seperti
NO (nitric oxide). Pada fase ini, perfusi renal
masih dapat dipertahankan atau mendekati
batas normal karena sistem vasodilator
menghambat sistem vasokonstriktor ginjal.1,2
Lalu terjadi aktivasi RAAS dan SNS yang
menyebabkan sekresi hormon anti-diuretik,
selanjutnya terjadi kekacauan sirkulasi. Hal
ini mengakibatkan vasokonstriksi bukan

hanya di pembuluh darah renal, tetapi juga di


pembuluh darah otak, otot, dan ekstremitas.
Namun, sirkulasi splanchnic tetap resisten
terhadap efek ini karena produksi terusmenerus vasodilator lokal, yaitu NO, sehingga
masih terjadi penurunan resistensi vaskuler
sistemik total.5 Jika penyakit hati makin berat
dapat mengakibatkan terjadinya level kritis
kurangnya pengisian pembuluh darah. Sistem
vasodilator ginjal tidak dapat lagi mengatasi
aktivasi maksimal vasokonstriktor eksogen dan/
atau vasokonstriktor intra-renal, menyebabkan
tidak terkontrolnya vasokonstriksi renal.
Studi yang mendukung hipotesis ini adalah
bahwa pemberian vasokonstriktor splanchnic
dikombinasi volume expanders menghasilkan perbaikan tekanan arteri, RPF, dan GFR.5
Teori alternatif lain adalah vasokonstriksi
ginjal pada HRS tidak berhubungan dengan
hemodinamik sistemik, tetapi karena
defisiensi sintesis faktor vasodilator atau
reflex hepatorenal yang mengakibatkan
vasokonstriksi ginjal. Teori vasodilatasi
sampai sekarang dianggap lebih menjelaskan timbulnya HRS (Gambar 1).2,5

pada sirosis sampai sekarang masih belum


diketahui secara jelas.2
Konsep terjadinya HRS pernah diteliti menggunakan Doppler ultrasonography atau
plethysmography pada pasien dengan
berbagai derajat keparahan sirosis, yang
hasilnya menunjukkan vasodilatasi pada
sirkulasi splanchnic dan vasokonstriksi pada
area lain, misalnya pada ginjal dan hati,
sementara aliran darah pada otot dan kulit
dilaporkan bervariasi.1
Beberapa studi lain juga menunjukkan
adanya hubungan dengan sistem reninangiotensin-aldosteron
(renin-angiotensinaldosterone system/RAAS), saraf simpatis
(SNS), dan fungsi prostaglandin pada ginjal.
Aktivitas sistem RAAS dan SNS meningkat

CDK-224/ vol. 42 no. 1, th. 2015

Gambar 1 Patofisiologi sindrom hepatorenal5

31

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


Pada HRS, gambaran histologi ginjal
terlihat normal, dan ginjal sering kembali
ke fungsi normal setelah transplantasi
hati. Hal ini menjadikan HRS merupakan
kelainan patofisiologi unik yang memberikan
kemungkinan untuk dipelajari hubungan
antara sistem vasokonstriktor dan vasodilator pada sirkulasi renal.1,5
Faktor pencetus juga mempengaruhi
timbulnya HRS, dan faktor pencetus
ini dapat lebih dari satu pada seorang
pasien (Gambar 2). Faktor pencetus yang
teridentifikasi di antaranya infeksi bakteri,
paracentesis volume besar tanpa infus
albumin, perdarahan saluran cerna, acute
alcoholic hepatitis.1,5
JENIS HRS
Gagal hati atau gangguan hati berat dapat
berkembang menjadi 2 bentuk HRS, dikenal
dengan HRS tipe 1 dan tipe 2. Pembagian
ini berdasarkan perjalanan penyakit dan
faktor pencetusnya. Tipe 3 dan tipe 4 pernah

disebutkan, tetapi belum cukup studi yang


mendukung pembagian ini.6,7
Tipe 1
Pada HRS tipe 1 serum kreatinin naik
dua kali lipat atau lebih dari 2,5 mg/
dL dalam 2 minggu. Tanda khas tipe ini
adalah perkembangan penyakit yang
cepat dan risiko kematian tinggi, rata-rata
kelangsungan hidup hanya 1-2 minggu. HRS
tipe ini dapat dicetuskan oleh infeksi bakteri,
seperti spontaneous bacterial peritonitis (SBP),
variceal hemorrhage, infeksi besar, acute
alcoholic hepatitis, atau acute hepatic injury
yang berhubungan dengan sirosis. Acute
hepatic decompensation dapat terjadi karena
hepatitis virus akut, drug-induced liver injury
(acetaminophen, idiopathic drug-induced
hepatitis).6,7
Tipe 2
Pada HRS tipe 2, gagal ginjal ditunjukkan
dengan peningkatan kadar serum kreatinin
selama beberapa minggu atau bulan

bersamaan dengan penurunan glomerular


filtration rate (GFR) tanpa faktor pencetus.
Rerata ketahanan hidup pada HRS tipe 2
ini kurang lebih 6 bulan, secara bermakna
lebih lama dibandingkan dengan HRS tipe
pertama. HRS tipe 2 dapat berkembang
menjadi HRS tipe 1 karena faktor pencetus
atau tanpa faktor pencetus yang jelas.
Mekanisme perkembangan ini sampai
sekarang masih belum jelas.6,7
Tipe 3
Tipe ketiga merupakan sindrom hepatorenal
dengan ada penyakit ginjal sebelumnya.
Pada studi didapatkan bahwa 85% pasien
sirosis tahap akhir mempunyai gangguan
ginjal intrinsik yang ditemukan dengan
pemeriksaan biopsi ginjal. Masih belum jelas
apakah penurunan nilai GFR dasar secara
kronis yang berasal dari penyakit ginjal
intrinsik kronis merupakan faktor predisposisi
HRS pada pasien sirosis hati.6
Tipe 4
Tipe keempat ini merupakan sindrom
hepatorenal pada gagal hati akut. Gagal
hati akut (acute liver failure/ALF) dapat
berkembang menjadi HRS, meskipun
frekuensinya bervariasi tergantung penyebab ALF. Patofisiologi ALF dipercaya
sama dengan HRS pada sirosis hati, tetapi
sampai sekarang belum jelas.6
PENATALAKSANAAN
Rekomendasi EASL (European
Association for the Study of the Liver).8
Walaupun tidak ada studi prospektif, terapi
HRS sebelum dilakukan transplantasi
hati, misalnya pemberian vasokonstriktor,
dapat memperbaiki hasil setelah dilakukan
transplantasi. Penurunan serum kreatinin
setelah terapi seharusnya tidak mengubah
keputusan untuk melakukan transplantasi
hati, karena prognosis HRS tipe 1 masih
buruk.

Gambar 2 Hubungan faktor pencetus dengan timbulnya sindrom hepatorenal5

32

Rekomendasi Terapi HRS Tipe 1


Pemberian kombinasi Terlipressin (1 mg/4-6
jam secara bolus intravena) dengan albumin
harus dipertimbangkan sebagai lini pertama.
Tujuan terapi ini adalah memperbaiki fungsi
ginjal untuk menurunkan kadar kreatinin
serum kurang dari 113mol/L (1,5 mg/dL),
hal ini disebut dengan respons penuh. Jika
kadar kreatinin serum tidak turun minimal
25% dalam 3 hari, dosis terlipressin dinaikkan

CDK-224/ vol. 42 no. 1, th. 2015

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


bertahap sampai maksimal 2 mg/4 jam. Untuk
pasien dengan respons sebagian (kadar
kreatinin serum tidak turun < 113mol/L)
atau pada pasien tanpa penurunan kadar
kreatinin serum, terapi harus dihentikan
dalam waktu 14 hari (level A1).8
Alternatif potensial terlipressin antara lain
norepinephrine atau midodrine ditambah
octreotide, keduanya berhubungan dengan
albumin, tetapi data terbatas pada pasien
HRS tipe 1 (level B1).8 Untuk terapi nonfarmakologis HRS tipe 1 seperti TIPS
(transjugular intrahepatic portosystemic shunt
atau transjugular intrahepatic portosystemic
stent shunting) dapat memperbaiki fungsi
renal, namun data penggunaan TIPS pada
HRS tipe 1 tidak cukup untuk mendukung
penggunaannya sebagai terapi pasien HRS
tipe 1. Terapi pengganti ginjal (misalnya:
hemodialisis atau transplantasi ginjal) berguna pada pasien yang tidak merespons
pemberian vasokonstriktor dan memenuhi
kriteria untuk support renal.8
Rekomendasi Terapi HRS Tipe 2
Pemberian terlipressin ditambah albumin
efektif pada 60-70% pasien HRS tipe 2, tetapi
data mengenai dampak dan hasil klinis dari
terapi ini masih belum cukup (level B1).8
Transplantasi hati adalah terapi terbaik,
baik untuk HRS tipe 1 maupun HRS tipe
2. HRS seharusnya diberi terapi sejak sebelum dilakukan transplantasi hati, karena
dapat memperbaiki hasil setelah dilakukan
transplantasi hati (level A1).8
Pasien HRS yang telah merespons terapi
vasopressor sebaiknya diterapi dengan
transplantasi hati, sedangkan pasien HRS
yang tidak merespons terapi vasopressor dan
membutuhkan renal support secara umum
juga harus diterapi dengan transplantasi
hati saja, karena sebagian besar pasien akan
mengalami pemulihan fungsi renal setelah
transplantasi hati. Beberapa subgrup pasien
membutuhkan renal support jangka panjang
(>12 minggu), misalnya hemodialisis, dan
pada kelompok ini harus dipertimbangkan
dilakukan transplantasi hati-ginjal (level B2).8
Pasien spontaneous bacterial peritonitis (SBP)
sebaiknya diberi terapi albumin intravena
karena menurunkan insiden HRS dan
memperbaiki ketahanan hidup (level A1).

CDK-224/ vol. 42 no. 1, th. 2015

Ada beberapa data bahwa pentoxifylline


menurunkan insiden HRS pada pasien
hepatitis alkoholik berat dan norfloxacin menurunkan insiden HRS pada sirosis tahap
lanjut (level B2).8
Rekomendasi American Association for
the Study of Liver Diseases (AASLD) tahun
20129
Pencegahan
Pemberian infus albumin telah ditunjukkan
dalam studi acak untuk mencegah HRS
dan memperbaiki ketahanan hidup dalam
keadaan SBP.9 Pentoxifylline dalam studi acak
lebih superior dibandingkan plasebo sebagai
pencegahan sindrom hepatorenal pada
pasien sirosis, ascites, dan klirens kreatinin
antara 41 dan 80 mL/menit. Banyak pasien
tersebut yang mengalami ascites refrakter.
Pengobatan ini juga mencegah sindrom
hepatorenal dan memperbaiki ketahanan
hidup pasien hepatitis alkoholik berat.9
Terapi
Hemodialisis sering digunakan untuk
mengontrol azotemia dan menjaga keseimbangan elektrolit sebelum transplantasi
hati. Banyak pasien membutuhkannya
dengan interval bervariasi setelah transplantasi. Hipotensi sering menjadi masalah
saat dialisis. Tanpa transplantasi ketahanan
hidup pasien buruk. Dilaporkan 8 dari 30
pasien HRS bertahan 30 hari dengan dialisis
atau continuous venovenous hemodialysis di
ICU.9
Terapi farmakologi banyak digunakan, paling
utama adalah vasokonstriktor. Saat ini, terapi
lebih berhasil pada sindrom hepatorenal tipe
1. Kombinasi obat dengan infus albumin,
yang telah dilaporkan di Eropa dan Amerika
Serikat adalah octreotide dan midodrine.
Pada studi awal, 5 pasien menerima 10-20
gram albumin intravena per hari selama 20
hari ditambah octreotide dengan target
dosis 200 g subkutan tiga kali sehari, dan
midodrine dititrasi sampai maksimal 12,5 mg
oral 3 kali sehari untuk mencapai peningkatan
rata-rata tekanan darah 15 mmHg, hasilnya
lebih baik. Pengobatan ini dapat diberikan
di luar ICU bahkan di rumah. Sebuah studi
retrospektif di Amerika Serikat, dengan 60
subjek yang mendapat octreotide/midodrine/
albumin dan 21 subjek medapatkan albumin
saja, hasilnya terjadi penurunan mortalitas
pada kelompok terapi (43% vs 71%, P < 0.05).9

Sebuah studi pilot tanpa kontrol atas


kombinasi obat ini, dilanjutkan dengan TIPS
(transjugular intrahepatic portosystemic shunt
atau transjugular intrahepatic portosystemic
stent shunting) pada 14 pasien; dilaporkan
terjadi perbaikan fungsi ginjal dan natriuresis.
Dua studi menunjukkan bahwa pemberian
octreotide saja tidak menguntungkan HRS,
tampaknya diperlukan tambahan midodrine.
Dua studi acak membandingkan penggunaan norepinephrine dengan terlipressin,
keduanya mempunyai efikasi yang sama
dalam mengatasi sindrom hepatorenal tipe
1 dan tipe 2, namun terapi ini membutuhkan
perawatan di ICU.9
Terlipressin banyak diteliti di Amerika. Sebuah
studi multisenter, acak, dengan kontrol antara
terlipressin dibandingkan plasebo pada 112
pasien dengan sindrom hepatorenal tipe
1 hampir mencapai perbedaan bermakna
(p=0,059) pada end point primer (ketahanan
hidup 14 hari dengan kadar kreatinin serum
<1,5mg/dL), tetapi tidak ada perbedaan
ketahanan hidup.9 Meta-analisis terbaru
atas 8 studi yang meliputi 320 pasien
menunjukkan efikasi hampir mencapai 50%
dengan odds ratio 7,5 dalam mengatasi
sindrom hepatorenal.9
TIPS saja juga dilaporkan efektif untuk
sindrom hepatorenal tipe 1 pada studi pilot
7 pasien tanpa kontrol. Masih terlalu sedikit
subjek studi penggunaan TIPS saja pada
HRS dengan atau tanpa vasokonstriktor.9
Dua studi pasien sindrom hepatorenal tipe 2
telah dipublikasikan; yang pertama sebuah
studi tanpa kontrol dengan terapi terlipressin
pada 11 pasien diikuti TIPS pada 9 pasien,
fungsi ginjal membaik secara bermakna
dibandingkan sebelum terapi. Studi lain
adalah studi pilot TIPS pada 18 pasien yang
menunggu transplantasi hati, 8 pasien remisi
total ascites, pada 10 pasien mengalami
respons sebagian tanpa membutuhkan
paracentesis.9
Meta-analisis terapi vasokonstriktor (termasuk terlipressin, octreotide/midodrine, dan
norepinephrine) pada sindrom hepatorenal
tipe 1 dan tipe 2, melaporkan bahwa
pengobatan vasokonstriktor dengan atau
tanpa albumin, menurunkan mortalitas
dibandingkan jika tanpa intervensi sama
sekali atau hanya pemberian albumin saja
(relative risk 0,82; 95% CI 0,40-1,39). Terlipressin

33

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


ditambah albumin menurunkan mortalitas
dibandingkan dengan pemberian albumin
saja (relative risk 0,81; 95% CI 0,68-0,97) pada
HRS tipe 1, tapi tidak pada HRS tipe 2.9
Antusiasme tinggi pada terapi baru tetap
harus didukung studi acak tersamar
ganda. Sampai data cukup, penggunaan
albumin,
octreotide,
dan
midodrine
harus dipertimbangkan dalam terapi
sindrom hepatorenal tipe 1. Albumin dan
norepinephrine atau vasopressin dapat dipertimbangkan pada perawatan di ICU.9
Sudah lebih dari 30 tahun transplantasi hati
efektif sebagai terapi sindrom hepatorenal.
Namun apabila pasien telah menjalani dialisis
lebih dari 8 minggu sebelum transplantasi
hati, transplantasi ginjal juga diperlukan untuk
mencegah dialisis setelah transplantasi.9
Umum
Infus albumin ditambah obat vasoactive,
seperti octreotide dan midodrine, harus

dipertimbangkan pada terapi sindrom


hepatorenal tipe 1 (Class IIa, Level B).
Infus albumin ditambah norepinephrine harus
dipertimbangkan juga pada pasien sindrom
hepatorenal tipe 1 saat dirawat di ICU (Class
IIa, Level A).
Pasien sirosis dengan ascites, sindrom
hepatorenal tipe 1 dan tipe 2 sebaiknya
segera dirujuk untuk transplantasi hati (Class
I, Level B).
SIMPULAN
Sindrom hepatorenal (HRS) adalah gagal
ginjal pada pasien penyakit hati kronis.
Kriteria HRS yang dipakai adalah kriteria
dari International Ascites Club tahun 1996
yang telah mengalami revisi pada tahun
2007.
Mekanisme timbulnya HRS sampai saat
ini masih belum jelas, diduga pada pasien

dengan hipertensi portal dan sirosis terkompensasi terjadi gangguan pengisian


arteri menyebabkan penurunan volume
darah arteri dan menyebabkan aktivasi
sistem vasokonstriktor. Namun, sirkulasi
splanchnic resisten terhadap efek ini karena
produksi terus-menerus vasodilator lokal (NO),
sehingga masih terjadi penurunan resistensi
vaskuler sistemik total. Apabila penyakit
hati makin berat, sistem vasodilator ginjal
tidak dapat lagi mengatasi aktivasi maksimal
sehingga menyebabkan tidak terkontrolnya
vasokonstriksi renal. Beberapa faktor pencetus juga dianggap dapat mempengaruhi
timbulnya HRS.
Terapi HRS sampai saat ini yang tetap direkomendasikan adalah dengan transplantasi hati. Pencegahan dan terapi
medikamentosa (misalnya: terlipressin,
octreotide/midodrine, dan norepinephrine)
sebelum transplantasi hati dapat mengikuti
rekomendasi dari EASL maupun AASLD.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Salerno F, Gerbes A, Gins P, Wong F, Arroyo V. Diagnosis, prevention and treatment of hepatorenal syndrome in cirrhosis. Gut. 2007 Sep;56(9):1310-8. Epub 2007 Mar 27.

2.

Ng C, Chan M, Tai M, Lam C. Hepatorenal syndrome. Clin Biochem Rev. 2007 Feb;28(1):11-7.

3.

Nadim MK, Kellum JA, Davenport A, Wong F, Davis C, Pannu N, et al. Hepatorenal syndrome: The 8th international consensus conference of the acute dialysis quality initiative (ADQI) group.

4.

Sol E, Guevara M, Gins P. Current treatment strategies for hepatorenal syndrome. Clinical Liver Dis. 2013;2:1369. doi: 10.1002/cld.209

Crit Care. 2012 Feb 9;16(1):R23. doi: 10.1186/cc11188.

5.

Wadei HM, Mai ML, Ahsan N, Gonwa TA. Hepatorenal syndrome: Pathophysiology and management. Clin J Am Soc Nephrol. 2006 Sep;1(5):1066-79. Epub 2006 Jul 12.

6.

Rajekar H, Chawla Y. Terlipressin in hepatorenal syndrome: Evidence for present indications. J Gastroenterol Hepatol. 2011 Jan;26(Suppl 1):109-14. doi: 10.1111/j.1440-1746.2010.06583.x.

7.

Lata J. Hepatorenal syndrome. World J Gastroenterol. 2012 Sep 28;18(36):4978-84. doi: 10.3748/wjg.v18.i36.4978.

8.

European Association for the Study of the Liver. EASL clinical practice guidelines on the management of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and hepatorenal syndrome in cirrhosis.

9.

Runyon BA. Management of adult patients with ascites due to cirrhosis: Update 2012. Alexandria (VA): American Association for the Study of Liver Diseases; 2013.

J Hepatol. 2010 Sep;53(3):397-417. doi: 10.1016/j.jhep.2010.05.004. Epub 2010 Jun 1.

34

CDK-224/ vol. 42 no. 1, th. 2015

You might also like