You are on page 1of 32

BAB I

PENDAHULUAN
A; Latar Belakang
Hirschsprung terjadi karena adanya permasalahan pada persarafan
usus besar paling bawah, mulai anus hingga usus di atasnya. Saraf yang
berguna untuk membuat usus bergerak melebar menyempit biasanya tidak ada
sama sekali atau kalo pun ada sedikit sekali. Namun yang jelas kelainan ini
akan membuat BAB bayi tidak normal, bahkan cenderung sembelit terus
menerus. Hal ini dikarenakan tidak adanya saraf yang dapat mendorong feses
keluar dari anus
Dalam keadaan normal, bahan makanan yang dicerna bisa berjalan di
sepanjang usus karena adanya kontraksi ritmis dari otot-otot yang melapisi
usus (kontraksi ritmis ini disebut gerakan peristaltik). Kontraksi otot-otot
tersebut dirangsang oleh sekumpulan saraf yang disebut ganglion, yang
terletak dibawah lapisan otot. Pada penyakit Hirschsprung, ganglion ini tidak
ada, biasanya hanya sepanjang beberapa sentimeter. Segmen usus yang tidak
memiliki gerakan peristaltik tidak dapat mendorong bahan-bahan yang
dicerna dan terjadi penyumbatan. Faktor penyebab penyakit hisprung diduga
dapat terjadi karena faktor genetik dan faktor lingkungan.
Penyakit hisprung terjadi 1/5000 kelahiran hidup. Insiden hisprung di
Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000
kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat
kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi
dengan penyakit hisprung. Insiden keseluruhan dari penyakit hisprung 1:5000
kelahiran hidup, laki-laki lebih banyak diserang dibandingkan perempuan
(4:1). Biasanya penyakit hisprung terjadi pada bayi aterm dan jarang pada
bayi prematur.
1

Selain pada anak, hisprung ditemukan tanda dan gejala yaitu adanya
kegagalan mengeluarkan mekonium dalam waktu 24-48 jam setelah lahir,
muntah berwarna hijau dan konstipasi.
Oleh karena itu, penyakit hisprung sudah dapat dideteksi melalui
pemeriksaan seperti pemeriksaan radiologi, barium, enema, rectal biopsi,
manometri anorektal. Penatalaksanaan medik yang dapat dilakukan adalah
dengan pembedahan dan colosyomi.
B; Tujuan
1; Tujuan Umum
Setelah penulis melakukan Asuhan Keperawatan pada An.P dengan
Diagnosa Medis Hirschprung, diharapkan dapat menambah pengetahuan
perawat dan mampu melakukan penerapan asuhan keperawatan pada
klien dengan penyakit Hirschprung.
2; Tujuan Khusus
Untuk mendapatkan gambaran nyata tentang :
a

Pengkajian keperawatan pada An. P Usia 4 tahun dengan masalah


Hirschprung.

Diagnosa keperawatan pada An. P Usia 4 tahun dengan masalah


Hirschprung.

Perencanaan keperawatan pada An. P Usia 4 tahun dengan masalah


Hirschprung.

Palaksanaan keperawatan pada An. P Usia 4 tahun dengan masalah


Hirschprung.

Evaluasi keperawatan pada An. P Usia 4 tahun dengan masalah


Hirschprung.

Faktor penunjang dan penghambat dalam melakukan asuhan


keperawatan An. P Usia 4 tahun dengan masalah Hirschprung.

Pemecahan masalah/solusi asuhan keperawatan pada An. P Usia 4


tahun dengan masalah Hirschprung.

BAB II
KONSEP DASAR
A; Pengertian
Hirschsprung adalah suatu kelainan ganglion usus yang dimulai dari
spingter ani internal ke arah proksimal dengan panjang yang bervariasi dan
termasuk anus sampai rectum serta kelainan kongenital dimana tidak
terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari pleksus auerbach di kolon (Aziz,
2006).
Hirschsprung adalah suatu penyumbatan pada usus besar yang terjadi
akibat pergerakan usus yang tidak adequat karena sebagian dari usus besar
tidak memiliki saraf yang mengendalikan kontraksi ototnya (Anonim, 2007).
Hirschsprung adalah tidak adanya sel ganglion dalam rectum dan sebagian
tidak ada didalam kolon. (Suriadi, 2006)
B; Etiologi
1 Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal
eksistensi kranio kaudal pada sub mukosa dinding fleksus.
2 Segmen usus yang tidak memiliki gerakan peristaltik tidak mendorong
bahan-bagan yang dicerna dan terjadi penyumbatan.
3 Kelainan bawaan sering terjadi pada anak sindrom down
4 Tidak adanya ganglion
C; Manifestasi Klinik
1; Masa neonatal
Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir

Muntah berwarna hijau

Tidak mau minum

2; Distensi abdomen
1 Masa bayi dan kanak-kanak
3; Konstipasi
4; Diare berulang
5; Feses berbau khas
6; Gangguan tumbuh kembang
D; Pathway
Penyakit Hirscprung atau megakolon kongenital adalah tidak adanya
sel-sel ganglion dalam rektum atau bagian rektosigmoid kolon. Hal ini
menimbulkan

ketidaknormalan

atau

tidak

adanya

peristaltik

yang

menyebabkan tidak adanya evakuasi usus spontan. Selain itu, sfingter rektum
tidak dapat berelaksasi, mencegah keluarnya feses secara normal. Isi usus
terdorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul di daerah tersebut,
menyebabkan dilatasi bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu.
Penyakit hirscprung diduga terjadi karena faktor-faktor genetik dan faktor
lingkungan, namun etiologi sebanarnya tidak diketahui. Penyakit hirscprung
dapat muncul pada sembarang usia, walaupun sering terjadi pada neonatus.
Pembentukan anus umumnya terjadi pada usia 4-6 minggu.

Sel ganglion parasimpatik dari pleksus aurbach di kolon tidak ada

Peristaltik segmen kolon turun dan mengenai rektum dan kolon kongenital
bagian bawah

Hipertrofi

Distensi kolon bagian proksimal


Distensi abdomen (perut membesar)
E; Pemeriksaan Penunjang Penyakit Hirschprung
1; Radiologi
1; Pada foto polos abdomen memperlihatkan obstruksi pada bagian
distal dan dilatasi kolon proksimal.
2; Pada foto barium enema memberikan gambaran yang sama disertai
dengan adanya daerah transisi diantara segmen yang sempit pada
bagian distal dengan segmen yang dilatasi pada bagian yang
proksimal. Jika tidak terdapat daerah transisi, diagnosa penyakit
hirschprung ditegakkan dengan melihat perlambatan evakuasi barium
karena gangguan peristaltik.
2; Laboratorium : Tidak ditemukan adanya sesuatu yang khas kecuali jika
terjadi komplikasi, misal : enterokolitis atau sepsis (leukosit meningkat).
3; Biopsi : Biopsi rektum untuk melihat ganglion pleksus submukosa
meisner, apakah terdapat ganglion atau tidak. Pada penyakit hirschprung
ganglion ini tidak ditemukan.
4; Manometri anus (pengukuran tekanan sfingter anus dengan cara
mengembangkan balon di dalam rektum)
6

5; Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin esterase dimana terdapat


peningkatan aktivitas enzim asetilkolin eseterase.
F; Penatalaksanaan Hirschprung Pembedahan
Pembedahan pada penyakit hirscprung dilakukan dalam dua tahap. Mula-mula
dilakukan kolostomi loop atau doublebarrel sehingga tonus dan ukuran usus
yang dilatasi dan hipertrofi dapat kembali normal (memerlukan waktu kirakira 3 sampai 4 bulan). Bila umur bayi itu antara 6-12 bulan (atau bila
beratnya antara 9 dan 10 Kg), satu dari tiga prosedur berikut dilakukan dengan
cara memotong usus aganglionik dan menganastomosiskan usus yang
berganglion ke rectum dengan jarak 1 cm dari anus. Prosedur Duhamel
umumnya dilakukan terhadap bayi yang berusia kurang dari 1 tahun. Prosedur
ini

terdiri

atas

penarikan

kolon

nromal

ke

arah

bawah

dan

menganastomosiskannya di belakang anus aganglionik, menciptakan dinding


ganda yang terdiri dari selubung aganglionik dan bagian posterior kolon
normal yang ditarik tersebut. Pada prosedur Swenson, bagian kolon yang
aganglionik itu dibuang. Kemudian dilakukan anastomosis end-to-end pada
kolon berganglion dengan saluran anal yang dilatasi. Sfinterotomi dilakukan
pada bagian posterior. Prosedur Soave dilakukan pada anak-anak yang lebih
besar dan merupakan prosedur yang paling banyak dilakukanuntuk mengobati
penyakit hirsrcprung. Dinding otot dari segmen rektum dibiarkan tetap utuh.
Kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus, tempat dilakukannya
anastomosis antara kolon normal dan jaringan otot rektosigmoid yang tersisa.

Konservatif
Pada neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif melalui
pemasangan sonde lambung serta pipa rectal untuk mengeluarkan mekonium
dan udara.

Kolostomi dikerjakan pada pasien neonatus, pasien anak dan dewasa yang
terlambat didiagnosis dan pasien dengan enterokolitis berat dan keadaan
umum memburuk. Kolostomi dibuat di kolon berganglion normal yang paling
distal.
G; Asuhan Keperawatan Anak dengan Masalah Penyakit Hisprung
1

Pengkajian.
1; Identitas
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan
merupakan kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau
bersamaan dengan kelainan bawaan lain. Pada segmen aganglionosis
dari anus sampai sigmoid lebih sering ditemukan pada anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan. Sedangkan kelainan yang melebihi
sigmoid bahkan seluruh kolon atau usus halus ditemukan sama banyak
pada anak laki-laki dan perempuan (Ngastiyah, 1997).
2; Riwayat Keperawatan.
a Keluhan utama.
Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir. Gejala
yang sering ditemukan adalah mekonium yang lambat keluar (lebih
dari 24 jam setelah lahir), perut kembung dan muntah berwarna
hijau. Gejala lain adalah muntah dan diare.
b Riwayat penyakit sekarang.
Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional.
Obstruksi total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan
ketiadaan evakuasi mekonium. Bayi sering mengalami konstipasi,
muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa konstipasi selama
beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus
akut. Namun ada juga yang konstipasi ringan, enterokolitis dengan

diare, distensi abdomen, dan demam. Diare berbau busuk dapat


terjadi.
c Riwayat penyakit dahulu.
Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi terjadinya
penyakit Hirschsprung.
d Riwayat kesehatan keluarga.
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini diturunkan kepada
anaknya.
e Riwayat kesehatan lingkungan.
Tidak ada hubungan dengan kesehatan lingkungan.
f Imunisasi.
Tidak ada imunisasi untuk bayi atau anak dengan penyakit
Hirschsprung.
g Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.
Nutrisi.
3; Pemeriksaan fisik.
a

Sistem kardiovaskuler.
Tidak ada kelainan.

Sistem pernapasan.
Sesak napas, distres pernapasan.

Sistem pencernaan.
Umumnya obstipasi. Perut kembung/perut tegang, muntah
berwarna hijau. Pada anak yang lebih besar terdapat diare kronik.
Pada colok anus jari akan merasakan jepitan dan pada waktu
ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara dan mekonium atau
tinja yang menyemprot.

Sistem genitourinarius.

Sistem saraf.
Tidak ada kelainan.
9

Sistem lokomotor/muskuloskeletal.
Gangguan rasa nyaman.

.Sistem endokrin.
Tidak ada kelainan.

Sistem integumen.
Akral hangat.

Sistem pendengaran.
Tidak ada kelainan.

Pada pengkajian anak dengan penyakit hisprung dapat ditemukan tanda


dan gejala sebagai berikut. Adanya kegagalan mengeluarkan mekonium
dalam waktu 24-28 jam setelah lahir, muntah berwarna hijau, dan
konstipasi. Pada pengkajian terhadap faktor penyebab penyakit hisprung
diduga dapat terjadi karena faktor genetis dan faktor lingkungan. Penyakit
ini dapat muncul pada semua usia akan tetapi paling sering ditemukan
pada neonatus. Pada perkusi adanya kembung, apabila dilakukan colok
anus, feses akan menyemprot. Pada pemeriksaan radiologis didapatkan
adanya segmen aganglionosis diantaranya: apabila segmen aganglionosis
mulai dari anus sampai sigmoid, maka termasuk tipe hisprung segmen
pendek dan apabila segmen aganglionosis melebihi sigmoid sampai
seluruh kolon maka termasuk tipe hisprung segmen panjang. Pemeriksaan
biopsi rektal digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion.
Pemeriksaan manometri anorektal digunakan untuk mencatat respons
refluks sfingter internal dan eksternal.
2

Diagnosis / Masalah Keperawatan


Diagnosis atau masalah keperawatan yang terjadi pada anak dengan
penyakit hisprung (megakolon kongenital) antara lain:
Prapembedahan
1; Konstipasi
10

2; Kurang volume cairan dan elektrolit


3; Gangguan kebutuhan nutrisi
Pascapembedahan
1; Nyeri
2; Risiko infeksi
3; Risiko komplikasi pascapembedahan
3

Rencana Tindakan Keperawatan


Prapembedahan
1; Konstipas
Terjadinya masalah konstipasi ini dapat disebabkan oleh obtruksi,
tidak adanya ganglion pada usus. Rencana tindakan keperawatan yang
dapat dilakukan adalah mencegah atau mengatasi konstipasi dengan
mempertahankan status hidrasi, dengan harapan feses yang keluar
menjadi lembek dan tanpa adanya retensi
Tindakan:
a; Monitor terhadap fungsi usus dan karakteristik feses
feses
b; Berikan spoling dengan air garam fisiologis bila tidak ada kontra
indikasi lain
c; Kolaborasi dengan dokter tentang rencana pembedahan:
Ada dua tahap pembedahan pertama dengan kolostomi loop atau
double barrel di mana diharapkan tonus dan ukuran usus yang
dilatasi dan hipertropi dapat kembali menjadi normal dalam waktu
3-4 bulan. Terdapat tiga prosedur dalam pembedahan diantaranya:
a;

Prosedur duhamel dengan cara penarikan kolon normal ke


arah bawah dan menganastomosiskannya di belakang usus
aganglionik,

membuat

dinding

ganda

yaitu

selubung

aganglionik dan bagian posterior kolon normal yang telah


ditarik.
11

b;

Prosedur swenson membuang bagian aganglionik kemudian


menganastomosiskan end to end pada kolon yang berganglion
dengan saluran anal yang dilatasi dan pemotongan sfingter
dilakukan pada bagian posterior.

c;

Prosedur soave dengan cara membiarkan dinding otot dari


segmen rektum tetap utuh kemudian kolon yang besaraf
normal ditarik sampai ke anus tempat dilakukannya
anastomosis

antara

kolon

normal

dan

jaringan

otot

rektosigmoid yang tersisa.


2; Kurang Volume Cairan dan Elektrolit
Kekurangan volume cairan dapat disebabkan asupan yang tidak
memadai sehingga dapat menimbulkan perubahan status hidrasi seperti
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, perubahan membran mukosa,
produksi, dan berat jenis urine. Maka upaya yang dapat dilakukan
adalah mempertahankan status cairan tubuh.
Tindakan:
a; Lakukan monitor terhadap status hidrasi dengan cara mengukur
asupan dan keluaran cairan tubuh.
b; Observasi membran mukosa, turgor kulit, produksi urine, dan
status cairan.
c; Kolaborasi dalam pemberian cairan sesuai dengan indikasi.
3; Gangguan Kebutuhan Nutrisi
Gangguan kebutuhan nutrisi ini dapat timbul dengan adanya
perubahan status nutrisi seperti penurunan berat badan, turgor kulit
menurun, serta asupan yang kurang, maka untuk mengatasi masalah
yang demikian dapat dilakukan dengan mempertahankan status nutrisi.
Tindakan:
a; Monitor perubahan status nutrisi antara lain turgor kulit, asupan.
b; Lakukan pemberian nutrisi parenteral apabila secara oral tidak
12

memungkinkan.
c; Timbang berat badan setiap hari.
d; Lakukan pemberian nutrisi dengan tinggi kalori, tinggi protein, dan
tinggi sisa.
4; Risiko Cedera (Injuri)
Masalah ini dapat ditimbulkan akibat komplikasi yang ditimbulkan
oleh penyakit hisprung seperti gawat pernafasan ajut dan enterokolitis.
Untuk mengatasi cedera atau injuri yang dapat disebabkan adanya
komplikasi

maka

dapat

dilakukan

pemantauan

dengan

mempertahankan status kesehatan.


Tindakan:
a; Pantau tanda vital setiap 2 jam (kalau perlu).
b; Observasi

tanda

adanya

perforasi

usus

seperti

muntah,

meningkatnya nyeri tekan, distensi abdomen, iritabilitas, gawat


pernafasan, tanda adanya enterokolitis.
c; Lakukan pengukuran lingkar abdomen setiap 4 jam untuk
mengetahui adanya distensi abdomen.
Pascapembedahan
1; Nyeri
Masalah nyeri yang dijumpai pada pascapembedahan ini dapat
disebabkan karena efek dari insisi, hal ini dapat ditunjukan dengan
adanya tanda nyeri seperti ekspresi perasaan nyeri, perubahan tanda
vital, pembatasan aktivitas.
Tindakan:
a; Lakukan observasi atau monitoring tanda skala nyeri.
b; Lakukan teknik pengurangan nyeri seperti teknik pijat punggung
(back rub), sentuhan.
c; Pertahankan posisi yang nyaman bagi pasien.
d; Kolaborasi dalam pemberian analgesik apabila dimungkinkan.
13

2; Risiko Infeksi
Risiko infeksi pascapembedahan dapat disebabkan oleh dadanya
mikroorganisme yang masuk melalui insisi daerah pembedahan, atau
kurang pengetahuan pasien dalam penatalaksanaan terapeutik
pascapembedahan.
Tindakan:
a; Monitor tempat insisi.
b; Ganti popok yang kering untuk menghindari konstaminasi feses.
c; Lakukan keperawatan pada kolostomi atau perianal.
d; Kolaborasi

pemberian

antibiotik

dalam

penatalaksanaan

pengobatan terhadap mikroorganisme.


3; Risiko Komplikasi Pascapembedahan
Risiko komplikasi pascapembedahan pada penyakit hisprung ini
seperti adanya striktur ani, adanya perforasi, obstruksi usus,
kebocoran, dan lain-lain. Rencana yang dapat dilakukan adalah
mempertahankan status pascapembedahan agar lebih baik dan tidak
terjadi komplikasi lebih lanjut.
Tindakan:
a; Monitor tanda adanya komplikasi seperti: obstruksi usus karena
perlengketan, volvulus, kebocoran pada anastomosis, sepsis,
fistula, enterokolitis, frekuensi defekasi, konstipasi, pendarahan
dan lain-lain.
b; Monitor peristaltik usus.
c; Monitor tanda vital dan adanya distensi abdomen untuk
mempertahankan kepatenan pemasangan naso gastrik.

14

BAB III
Tinjauan Kasus
Dalam bab ini menguraikan data-data yang telah didapatkan saat dilakukan
pengkajian dan pelaksanaan asuahan keperawatan yang diberikan kepada pasien An.
P Usia 4 Tahun Dengan Masalah Hirschprung Di Gedung Teratai Lantai III Selatan
Ruang 301 RSUP Fatmawati di Gedung Teratai Lantai 3 utara RSUP Fatmawati
Jakarta Selatan
A; Gambaran Kasus
An. P, usia 4 tahun, tanggal lahir Bogor, 22 Juli 2011, pasien belum Sekolah,
jenis kelamin pasien laki-laki, agama pasien islam, suku bangsa sunda, bahasa
yang digunakan Indonesia, alamat rumah pasien Jl. Babakan desa gombang no.
02 RT 02 RW 04 rumping kabupaten bogor, jawa barat. Pasien datang dengan
keluhan tidak bisa BAB sejak 10 hari SMRS. Keluhan tersebut disertai dengan
15

perut yang membesar, terlihat kembung dan kencang sejak 7 hari SMRS, pasien
juga muntah hijau 3 hari SMRS. Pasien BAB 1 minggu hanya sekali jika diberi
dulcolac. Orang tua menyadari perut yang membesar sudah 1 tahun SMRS,
pasien memang sulit BAB sejak 1 tahun SMRS, pasien lahir normal dan
mempunyai riwayat BAB normal 1-2 tahun.
Dari hasil pemeriksaan umum pasien TTV : Suhu: 38,6oC, Nadi : 115 x/ menit,
Pernafasan: 24 x/ menit, Tekanan darah: 100/60 mmHg, kesadaran : Compos
Mentis, lingkar kepala : 48 cm, lingkar dada: 52 cm, lingkar perut: 59 cm, lingkar
lengan atas: 11 cm, mukosa bibir kering, dan pasien tampak pucat.
Hasil pemeriksaan penunjang
1; Hasil radiologi ( 24 agustus 2015 ) : Kesan : Jantung dan paru dalam batas
normal
2; Hasil laboraturium patologi tanggal
Tanggal 25 agustus 2015
Pemeriksaan
Hematologi

Metode

Hasil

Satuan

Nilai rujukan

Hemoglobin

Automatic

11,5

g/dl

10,8-15,6

Hematokrit

Automatic

37

35-43

Leukosit

Automatic

12,6

Ribu/ul

5,5-15,5

Trombosit

Automatic

523

Ribu/ul

217-497

Eritrosit

Automatic

4,97

Juta/ul

3,7-5,7

VER

Automatic

73,5

Fl

73-101

HER

Automatic

23,2

Pg

23-31

KHER

Automatic

31,5

g/dl

26-34

VER/HER
/KHER/RDW

16

RDW

Automatic

14,0

11,5-14,5

Mekanik

26,7

Detik

28,6-35,8

30,7

Detik

13,5

Detik

13,6

Detik

Hemotasis
APTT
Kontrol APTT
PT

Mekanik

Kontrol PT
INR

12,1-14,5

Mekanik

0,99

SGOT

IFCC, 37C

27

u/l

0-34

SGPT

IFCC, 37C

u/l

0-40

Ureum darah

Urease

15

mg/dl

0-48

Kreatinin darah

Jaffe no deprot 0,2

mg/dl

0,0-0,9

Gula darah sewaktu

Hexokinase

56

mg/dl

60-100

ISE

133

mmol/l

135-147

ISE

3,66

mmol/l

3,10-5,10

Albumin

ISE

101

mmol/l

95-100

Golongan darah

BCG

3,10

g/dl

3,40-4,8

Fungsi hati

Fungsi ginjal

Elektrolit darah
Natrium (darah)
Kalium (darah)
Klorida (darah)

17

Aglutination

A/RH +

B; Diagnosa, Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi


Dari data hasil pengkajian diatas penulis mengangkat diagnosa
keperawatan

yang

ditemukan

pada

tanggal

26

Agustus

2015

dan

mengimplementasikan tindakan mulai tanggal 26 Agustus 2015, yaitu:


Pre operasi
1; Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake tidak adekuat dan tidak adekuatnya penyerapan di usus halus
ditandai dengan Data Subjektif ibu pasien mengatakan napsu makan pasien
menurun, ibu pasien mengatakan pasien muntah berwarna hijau 3 hari
sebelum masuk rumah sakit, ibu pasien mengatakan pasien mengalami
penurunan berat badan 3kg dari 12,5 kg menjadi 9,5 kg. Data Objektif
mukosa bibir pasien kering, TTV: TD : 100/60 mmHg, N : 115x/m, RR :
24x/m, S : 38,50C, LILA 11 cm, BB : 9,5 kg TB : 87 cm, IMT : 12,6, pasien
terpasang NGT dialirkan produksi ada berwarna hijau, pasien dipuasakan,
pasien rewel. Tujuan kebutuhan nutrisi pasien teratasi setalah dilakukan
tindakkan keperawatan 3x24 jam. Kriteria Hasil napsu makan pasien
membaik, perut pasien sudah tidak kembung, pasien sudah tidak muntah,
pasien sudah tidak terpasang NGT, mukosa bibir pasien lembab, IMT : 18,5
kg/m2-25 kg/m2, tidak mengalami penurunan berat badan, turgor kulit elastis.
Intervensi timbang berat badan setiap hari atau sesuai indikasi, kaji
konjungtiva, turgor kulit, kelembaban kulit, dan kekuatan otot, motivasi
keluarga untuk memberikan makanan sedikit tapi sering, lakukan
akukan pemberian
nutrisi parenteral apabila secara oral tidak memungkinkan,
hasil
memungkinkan, monitor
m
laboratorium, kolaborasi dengan ahli gizi (pemberian
pemberian nutrisi dengan tinggi
kalori, tinggi protein, dan tinggi sisa). Implementasi menimbang
berat badan
men
setiap hari atau sesuai indikasi, mengkaji konjungtiva, turgor kulit,
18

kelembaban kulit, dan kekuatan otot, , melakukan


akukan pemberian nutrisi
parenteral apabila secara oral tidak memungkinkan,
hasil
memungkinkan, memonitor
mem
laboratorium. Evaluasi dari evaluasi tanggal 28 Agustus 2015 S :-, O : TTV:
R: TD : 90/60 mmHg, N : 10 x/m, S : 36,0oC, RR : 22 x/m, kesadaran umum
sakit sedang, kesadaran compos mentis, turgor kulit elastis, kelembapan
baik, mukosa bibir kering, pasien terpasang NGT dialirkan produkasi ada
warna hijau, pasien masih dipuasakan A : Gangguan kebutuhan nutrisi :
Kurang dari kebutuhan tubuh belum teratasi P : timbang BB pasien/ 3 hari,
ukur produksi NGT, kaji tanda-tanda kurang gizi, berikan nutrisi parenteral
Aminofusin pedriatik 100cc/24 jam

2; Nyeri akut berhubungan dengan refleks spasme otot sekunder akibat


gangguan viseral usus, ditandai dengan Data Subjektif ibu pasien
mengatakan pasien belum BAB sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit,
ibu pasien mengatakan perut pasien membesar dan kencang sejak 7 hari
sebelum masuk rumah sakit. Data Objektif TTV : TD : 100/60mmHg, N :
115x/m, RR : 24x/m, S : 38,50C, pasein rewel, perut pasien membesar dan
kencang, pasien belum BAB sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit, skala
nyeri 5. Tujuan gangguan rasa aman nyaman : Nyeri pasien teratasi setelah
dilakukan tindakkan keperawatan 1x24 jam. Kriteria Hasil pasien sudah
tidak rewel, skala nyeri pasien berkurang menjadi 1-2, perut pasien sudah
tidak kembung dan kencang, pasien sudah dapat BAB. Intervensi selidiki
laporan nyeri, catat lokasi, lama, intensitas (skala 0-10) dan karakteristiknya
(dangkal, tajam, konstan), pertahankan posisi semi-fowler sesuai indikasi,
berikan tindakan kenyamanan, contoh pijatan punggung, nafas dalam,
latihan relaksasi, lakukan pemberian obat analgetik. Implementasi mengkaji
nyeri, catat lokasi, lama, intensitas (skala 0-10) dan karakteristiknya
(dangkal, tajam, konstan), mempertahankan posisi semi-fowler sesuai
19

indikasi, memberikan tindakan kenyamanan, contoh pijatan punggung, nafas


dalam, latihan relaksasi, melakukan pemberian obat analgetik. Evaluasi dari
evaluasi tanggal 28 Agustus 2015 S : -, O : melakukan TTV: R: TD : 90/60
mmHg, N : 102 x/m, S : 37,0oC, RR : 22 x/m skala nyeri 3, pasien tampak
lebih tenang, perut pasien membesar dan kembung, pasien sudah BAB 1x,
A : Gangguan rasa aman nyaman : Nyeri belum teratasi, P : observasi skala
nyeri, observasi TTV, anjurkan untuk relaksasi napas dalam dan distraksi,
bila nyeri bertambah kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat.
3; Gangguan eliminasi fekal : Konstipasi berhubungan dengan penurunan gerak
peristaltik, ditandai dengan Data Subjektif ibu pasien mengatakan pasien
tidak dapat BAB sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit, ibu pasien
mengatakan pasien sulit BAB sejak 1 tahun, ibu pasien mengatakan perut
pasien membesar dan terkencang sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit,
ibu pasien mengatakan pasien BAB hanya 1 kali seminggu dengan
menggunakan obat Dulcolak. Data Objektif TTV :TD : 100/60 mmHg, N :
115x/m, RR : 24x/m, S : 38,50C, perut pasien kembung, perut pasien
membesar (lingkar perut 59 cm), pasien belum BAB sejak 10 hari sebelum
masuk rumah sakit. Tujuan gangguan eliminasi fekal : Konstipasi pasien
teratasi setelah dilakukan tindakkan keperawatan 3x24 jam, ditandai dengan
Kriteria Hasil pasien sudah dapat BAB, perut pasien sudah tidak kembung,
perut pasien sudah tidak kencang. Intervensi kaji pola eliminasi fekal pasien,
monitor terhadap fungsi usus dan karakteristik feses, berikan spoling dengan
air garam fisiologis bila tidak ada kontra indikasi lain, kolaborasi dengan
dokter tentang rencana pembedahan. Implementasi mengkaji pola eliminasi
fekal pasien, mengkaji dan mencatat fungsi usus dan karakteristik feses,
memberikan spoling dengan air garam fisiologis bila tidak ada kontra
indikasi lain, berkolaborasi dengan dokter tentang rencana pembedahan.
Evaluasi S : -, O : TTV : R: TD : 90/60 mmHg, N : 102 x/m, S : 37,4 oC,
20

RR : 23 x/m, pasien sudah BAB 1x dan banyak, perut pasien membesar dan
kembung, A : gangguan eliminasi fekal belum teratasi, P : observasi BAB
pasien, lakukan spooling pagi sore, bila feses tidak keluar lakukan kolaborasi
dengan dokter untuk pemberian obat pencahar, lakukan kolaborasi dengan
dokter dengan tindakkan pembedahan.
4; Resiko infeksi berhubungan dengan feses yang menumpuk pada usus
ditandai dengan Data Subjektif-, Data Objektif :TTV TD : 100/60 mmHg, N
: 115x/m, RR : 24x/m, S : 38,50C, perut pasien kembung, perut pasien
membesar (lingkar perut 59 cm), pasien belum BAB sejak 10 hari sebelum
masuk rumah sakit, hasil lab: Leukosit 12,6 ribu/ul. Tujuan : resiko infeki
tidak menjadi masalah yang aktual setelah dilakukan tindakkan keperawatan
3x24 jam ditandai dengan Kriteria Hasil : tidak ditemukan tanda tanda
infeksi, TTV, TD : 90/60, N : 60-110x/m, RR : 20-40x/m, S : 36,50C-37,50C,
pasien sudah dapat BAB secara normal, tidak terjadi peningkatan leukosit
(5,5 ribu/ul- 15,5 ribu/ul). Intervensi Observasi TTV tiap shift, observasi
BAB pasien, observasi tanda-tanda infeksi, lakukan kompres air hangat bila
suhu lebih dari 37,50C, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian
antibiotik. Implementasi mengobservasi TTV tiap shift, mengobservasi
BAB pasien, mengobservasi tanda-tanda infeksi, melakukan kompres air
hangat bila suhu lebih dari 37,50C, berkolaborasi dengan dokter dalam
pemberian antibiotik. Evaluasi S : -, O :TTV TD : 90/60 mmHg , N : 102
x/m, S : 37,4oC, RR : 23 x/m, pasien sudah BAB 1x, perut pasien membesar,
dan kembung, lingkar perut 59 cm, A : Resiko infeksi tidak belum teratasi,
P : observasi TTV, observasi tanda-tanda infeksi, observasi BAB, berikan
terapi antibiotik sesuai program, kolaborasi dalam tindakkan pembedahan.
Post operasi
1;

Nyeri akut berhubungan dengan luka post operasi ditandai dengan Data
Subjektif

ibu pasien mengatakan anaknya rewel setelah operasi Data


21

Objektif TTV TD : 90/60 mmHg, N : 110x/m, RR : 23x/m, S : 37,5 0C,


pasein rewel, terdapat luka post operasi on colostomy terbalut oleh kasa,
skala nyeri 3, pasien post operasi hari ke 3, post rawat HCU. Tujuan nyeri
pasien teratasi setelah dilakukan tindakkan keperawatan 1x24 jam. Kriteria
Hasil pasien sudah tidak rewel, skala nyeri pasien berkurang menjadi 1-2,
luka operasi kering dan tidak ada rembesan, produksi stoma ada, TTV : TD :
90/60, N : 60-110x/m, RR : 20-40x/m, S : 36,50C-37,50C. Intervensi
Selidiki laporan nyeri, catat lokasi, lama, intensitas (skala 0-10) dan
karakteristiknya (dangkal, tajam, konstan), pertahankan posisi semi-fowler
sesuai indikasi, berikan tindakan kenyamanan, contoh pijatan punggung,
nafas dalam, latihan relaksasi, lakukan pemberian obat analgetik.
Implementasi Selidiki laporan nyeri, catat lokasi, lama, intensitas (skala 010) dan karakteristiknya (dangkal, tajam, konstan), pertahankan posisi semifowler sesuai indikasi, berikan tindakan kenyamanan, contoh pijatan
punggung, nafas dalam, latihan relaksasi, lakukan pemberian obat analgetik.
Evaluasi S :-, O : TTV R: TD : 90/60 mmHg, N : 98 x/m, S : 36,0 oC
RR : 20 x/m, skala nyeri 2, karakteristik nyeri hilang timbul, pasien sudah
tidak rewel, A : Nyeri akut teratasi, P : Intervensi dihentikan, pasien rencana
pulang.
2; Resiko infeksi berhubungan dengan tindakkan invasif ditandai dengan Data
Subjektif -, Data Objektif TTV TD : 90/70 mmHg, N : 112x/m, RR : 24x/m,
S : 370C, pasien post operasi on colostomy hari ke 3, post rawat HCU,
terdapat luka operasi tertutup kasa, rembes tidak ada, hasil lab: Leukosit 11,9
ribu/ul. Tujuan resiko infeki tidak menjadi masalah yang aktual setelah
dilakukan tindakkan keperawatan 3x24 jam ditandai dengan Kriteria Hasil
tidak ditemukan tanda tanda infeksi pada luka operasi dan daerah sekitar
luka operasi, TTV TD : 90/60, N : 60-110x/m, RR : 20-40x/m, S : 36,50C37,50C, tidak ditemukan tanda-tanda iritasi pada sekitar stoma, tidak terjadi
peningkatan leukosit (5,5 ribu/ul- 15,5 ribu/ul). Intervensi observasi TTV
22

tiap shift, observasi tanda-tanda infeksi pada luka post operasi, daerah
sekitar luka post operasi, lakukan perawatan luka dengan prinsip steril,
lakukan perawatan kantong kolostomi jika kantong rembes, lakukan
penggantian kantong, lakukan edukasi kepada keluarga mengenai perawatan
stoma dan kantong kolostomi, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian
antibiotik. Implementasi

mengobservasi TTV tiap shift, mengobservasi

tanda-tanda infeksi pada luka post operasi, daerah sekitar luka post operasi,
melakukan perawatan luka dengan prinsip steril, melakukan perawatan
kantong kolostomi jika kantong rembes, melakukan penggantian kantong,
melakukan edukasi kepada keluarga mengenai perawatan stoma dan kantong
kolostomi, berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik.
Evaluasi S : -, O : TTV R: TD : 90/60 mmHg, N : 98 x/m, S : 36,0 oC, RR :
20 x/m, tidak ditemukan tanda tanda infeksi disekitar luka operasi, tidak
ditemukan tanda-tanda iritasi disekitar stoma, A : Resiko infeksi tidak
menjadi masalah yang aktual, P : edukasi kembali ibu pasien mengenai
perawatan kantong kolostomi dirumah

23

BAB IV
Pembahasan
Pada bab ini penulis akan membahas tentang kesenjangan yang ditemukan
antara asuhan keperawatan yang ditemukan pada teori dengan masalah asuhan
keperawatan yang ditemukan pada pasien An. P Usia 4 Tahun Dengan Masalah
Hirschprung Di Gedung Teratai Lantai III Selatan Ruang 301 RSUP Fatmawati di
Gedung Teratai Lantai 3 utara RSUP Fatmawati Jakarta Selatan.
A; Pengkajian
Dalam teori penyebab terjadinya Hirschprung adalah kegagalan sel neural pada
masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi kranio kaudal pada sub
mukosa dinding fleksus, segmen usus yang tidak memiliki gerakan peristaltik
tidak mendorong bahan-bagan yang dicerna dan terjadi penyumbatan, kelainan
bawaan sering terjadi pada anak sindrom down, tidak adanya ganglion.
Pada kasus An. P disebabkan karna tidak adanya ganglion sejak usia 3 tahun,
pasien mempunyai riwayat BAB normal pada usia 1 sampai 2 tahun. Sejak 1
tahun SMRS perut pasien membesar, 7 hari SMRS orang tua pasien mengatakan
24

perut anaknya kembung dan terlihat kencang, 3 hari SMRS pasien muntah
berwarna hijau, pasien belum BAB selama 10 hari SMRS, dan pasien selama ini
BAB 1 minggu sekali jika diberi dulcolac.
Perbandingan hasil pengkajian dengan teori yang didapat :
Pada saat pengkajian keluhan utama pasien adalah pasien tidak bisa BAB sejak
10 hari SMRS. Keluhan tersebut disertai dengan perut yang membesar, terlihat
kembung dan kencang sejak 7 hari SMRS, pasien juga muntah hijau 3 hari
SMRS. Pasien BAB 1 minggu hanya sekali jika diberi dulcolac. Orang tua
menyadari perut yang membesar sudah 1 tahun SMRS, pasien memang sulit
BAB sejak 1 tahun SMRS, pasien lahir normal dan mempunyai riwayat BAB
normal 1-2 tahun.
Pada teori dijelaskan tidak adanya sel-sel ganglion dalam rektum atau bagian
rektosigmoid kolon. Hal ini menimbulkan ketidaknormalan atau tidak adanya
peristaltik yang menyebabkan tidak adanya evakuasi usus spontan. Selain itu,
sfingter rektum tidak dapat berelaksasi, mencegah keluarnya feses secara normal.
Isi usus terdorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul di daerah tersebut,
menyebabkan dilatasi bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu.
Sesuai dengan teori yang dijelaskan diatas, pasien mengalami distensi abdomen
atau perut membesar karena tidak adanya sel-sel ganglion sehingga tidak ada
gerak peristaltik yang dapat mendorong feses keluar.
Pasien juga mengalami muntah berwarna hijau ini dikarenakan oleh penyerapan
yang tidak maksimal pada usus karana banyaknya feses yang menumpuk pada
usus.
Pada kasus ditemukan berat badan pasien 9,5 kg, seharusnya berat badan anak
usia 4 tahun berat badannya 13,5kg-16kg, ini dikarenakan penyerapan nutrisi
pada usus halus kurang maksimal dikarenakan banyaknya feses yang menumpuk
pada usus pasien karena pasien belum BAB sejak 10 hari.

25

Pada kasus pasien mengalami peningkatan suhu tubuh 38,6oC ini dikarenakan
pasien mengalami peradangan pada usus karena feses yang tidak dapat
dikeluarkan.
C; Diagnosa, Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi
Pre operasi
1;

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan intake tidak adekuat dan tidak adekuatnya penyerapan di usus halus.
Definisi : suatu keadaan ketika individu yang tidak puasa mengalami atau
beresiko mengalami penurunan berat badan yang berhubungan dengan
asupan yang tidak adekuat atau metabolisme nutrien yang tidak adekuat
untuk kebutuhan metabolik. (Carpenito, Lynda Juall, 2007)
Pembahasan : penumpukan feses pada usus mengakibatkan penyerapan
nutrisi pada pasien berkurang sehingga mempengaruhi pertumbuhan pasien.
Pada pasien ditemukan berat badan pasien menurun 3kg dari 12,5kg ke
9,5kg, LILA 11 cm, dan saat ini pasien dipuasakan karena produksi NGT
pasien berwarna hijau, pasien belum BAB selama 10 hari, Pasien
mendapatkan cairan parenteral kaen 1B 900cc/24 jam dan Memberikan
aminosteril 150 cc/24 jam.
Intervensi : semua yang ada di intervensi diteori dapat diterapkan dalam
kasus ini, namun observasi dan perubahan perubahan berat badan harus
dipantau dengan baik, sehingga dapat mempermudah intervensi selanjutnya.
Implementasi keperawatan : dalam pelaksaan tindakkan keperawatan tidak
semua intervensi di implementasikan karena tidak sesuai dengan kondisi
pasien, intervensi yang tidak dilakukan adalah motivasi keluarga untuk
memberikan makanan sedikit tapi sering dan lakukan pemberian nutrisi
parenteral. Intervensi ini tidak dilakukan karena pasien terpasang NGT dan
dialirkan, produksi NGT berwarna hijau sehingga pasien dipuasakan.
Evaluasi : Dari hasil evaluasi terakhir tanggal 28 Agustus 2015 masalah
26

ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh belum teratasi


Faktor pendukung : keluarga kooperatif dalam tindakan keperawatan yang
dilakukan oleh perawat maupun dokter.
Faktor penghambat : anak rewel dan tidak bisa diam saat dilakukan
tindakan keperawatan.
Solusi : lebih ditingkatkan dalam komunikasi terapetik dengan anak.
2; Nyeri akut berhubungan dengan refleks spasme otot sekunder akibat
gangguan viseral usus..
Definisi : Keadaan ketika individu mengalami sensasi yang tidak
menyenangkan dalam berespon terhadap suatu rangsangan yang berbahaya.
(Carpenito, Lynda Juall, 2006).
Pembahasan : feses yang tidak dapat keluar dan menumpuk dalam usus
dapat membuat perut pasien bertambah besar dan kencang sehingga
membuat pasien tidak nyaman. Pada pasien ditemukan TTV : TD :
100/60mmHg, N : 115x/m, RR : 24x/m, S : 38,5 0C, pasein rewel, perut
pasien membesar dan kencang, pasien belum BAB sejak 10 hari sebelum
masuk rumah sakit, skala nyeri 5.
Intervensi : semua yang ada di intervensi diteori dapat diterapkan dalam
kasus ini, namun observasi dan perubahan tingkat nyeri harus dipantau
dengan baik, sehingga dapat mempermudah intervensi selanjutnya.
Implementasi keperawatan : semua yang ada di intervensi diteori dapat
diImplementasikan dalam kasus ini.
Evaluasi : Dari hasil evaluasi terakhir tanggal 28 Agustus 2015 nyeri akut
belum teratasi
Faktor pendukung : keluarga kooperatif dalam tindakan keperawatan yang
dilakukan oleh perawat maupun dokter.
Faktor penghambat : anak rewel dan tidak bisa diam saat dilakukan
tindakan keperawatan.
27

Solusi : lebih ditingkatkan dalam komunikasi terapetik dengan anak.


3; Gangguan eliminasi fekal : Konstipasi berhubungan dengan penurunan gerak
peristaltik.
Definisi : keadaan dimana individu mengalami stasis usus besar, yang
mengakibatkan eliminasi yang jarang (dua kali atau kurang dalam
seminggu).
Pembahasan : penumpukan feses yang telalu banyak dan dalam waktu yang
lama dapat menyebabkan feses menjadi keras sehingga semakin sulit
dikeluarkan. Pada pasien ditemukan pasein belum BAB selama 10 hari.
Intervensi : semua yang ada di intervensi diteori dapat diterapkan dalam
kasus ini, namun observasi dan perubahan tingkat nyeri harus dipantau
dengan baik, sehingga dapat mempermudah intervensi selanjutnya.
Implementasi keperawatan : semua yang ada di intervensi diteori dapat
diImplementasikan dalam kasus ini.
Evaluasi : Dari hasil evaluasi terakhir tanggal 28 Agustus 2015 ganggaun
eliminasi fekal belum teratasi
Faktor pendukung : keluarga kooperatif dalam tindakan keperawatan yang
dilakukan oleh perawat maupun dokter.
Faktor penghambat : anak rewel dan tidak bisa diam saat dilakukan
tindakan keperawatan.
Solusi : lebih ditingkatkan dalam komunikasi terapetik dengan anak.
4; Resiko infeksi berhubungan dengan feses yang menumpuk pada usus.
Definisi : Dimana individu beresiko terkena agen oprtunistik/patogenis
(virus, jamur, bakteri, protozoa, parasit) dari berbagai sumber baik dalam
ataupun luar tubuh. (Carpenito, Lynda Juall, 2001).
Pembahasan : feses yang menumpuk pada usus yang terlalu banyak dan
lama dapat menyebabkan infeksi pada usus karana feses merupakan sisa sisa
28

makanan yang tidak diserap.


Intervensi : semua yang ada di intervensi diteori dapat diterapkan dalam
kasus ini, namun observasi dan perubahan tingkat nyeri harus dipantau
dengan baik, sehingga dapat mempermudah intervensi selanjutnya.
Implementasi keperawatan : semua yang ada di intervensi diteori dapat
diImplementasikan dalam kasus ini.
Evaluasi : Dari hasil evaluasi terakhir tanggal 28 Agustus 2015 resiko
infeksi tidak menjadi masalah yang aktual.
Faktor pendukung : keluarga kooperatif dalam tindakan keperawatan yang
dilakukan oleh perawat maupun dokter.
Faktor penghambat : anak rewel dan tidak bisa diam saat dilakukan
tindakan keperawatan.
Solusi : lebih ditingkatkan dalam komunikasi terapetik dengan anak.

Post operasi
1;

Nyeri akut berhubungan dengan luka post operasi.


Definisi : Keadaan ketika individu mengalami sensasi yang tidak
menyenangkan dalam berespon terhadap suatu rangsangan yang berbahaya.
(Carpenito, Lynda Juall, 2006).
Pembahasan : Masalah nyeri yang dijumpai pada pascapembedahan ini
dapat disebabkan karena efek dari insisi, hal ini dapat ditunjukan dengan
adanya tanda nyeri seperti ekspresi perasaan nyeri, perubahan tanda vital,
pembatasan aktivitas. Pada kasus ditemukan TTV : TD : 90/60 mmHg,,
N:110x/m,, RR : 23x/m,, S : 37,50C,, pasein
rewel, terdapat luka post operasi
p
on colostomy terbalut oleh kasa,, skala
nyeri 3, pasien post operasi hari ke 3,
s
post rawat HCU.
Intervensi : semua yang ada di intervensi diteori dapat diterapkan dalam
kasus ini, namun observasi dan perubahan tingkat nyeri harus dipantau
29

dengan baik, sehingga dapat mempermudah intervensi selanjutnya.


Implementasi keperawatan : semua yang ada di intervensi diteori dapat
diImplementasikan dalam kasus ini.
Evaluasi : Dari hasil evaluasi terakhir tanggal 28 Agustus 2015 nyeri akut
belum teratasi
Faktor pendukung : keluarga kooperatif dalam tindakan keperawatan yang
dilakukan oleh perawat maupun dokter.
Faktor penghambat : anak rewel dan tidak bisa diam saat dilakukan
tindakan keperawatan.
Solusi : lebih ditingkatkan dalam komunikasi terapetik dengan anak.
2;

Resiko infeksi berhubungan dengan tindakkan invasif.


Definisi : Dimana individu beresiko terkena agen oprtunistik/patogenis
(virus, jamur, bakteri, protozoa, parasit) dari berbagai sumber baik dalam
ataupun luar tubuh. (Carpenito, Lynda Juall, 2001).
Pembahasan : risiko
risiko infeksi pascapembedahan dapat disebabkan oleh
dadanya mikroorganisme yang masuk melalui insisi daerah pembedahan,
atau kurang pengetahuan pasien dalam penatalaksanaan terapeutik
pascapembedahan. Sehingga harus diperhatikan dalam pemberian antibiotik
dan saat melakukan perawatan kantong kolostomi serta saat melakukan
perawatan luka. Pada kasus ditemukan pasien post operasi pembuatan
kolostomi, terdapat luka jahitan, tertutup kasa.
Intervensi : semua yang ada di intervensi diteori dapat diterapkan dalam
kasus ini, namun observasi dan perubahan tingkat nyeri harus dipantau
dengan baik, sehingga dapat mempermudah intervensi selanjutnya.
Implementasi keperawatan : semua yang ada di intervensi diteori dapat
diImplementasikan dalam kasus ini.
Evaluasi : Dari hasil evaluasi terakhir tanggal 28 Agustus 2015 resiko
infeksi tidak menjadi masalah yang aktual.
Faktor pendukung : keluarga kooperatif dalam tindakan keperawatan yang
30

dilakukan oleh perawat maupun dokter.


Faktor penghambat : anak rewel dan tidak bisa diam saat dilakukan
tindakan keperawatan.
Solusi : lebih ditingkatkan dalam komunikasi terapetik dengan anak.

BAB V
PENUTUP

A; Simpulan
Setelah penulis melakukan Asuhan Keperawatan pada pasien An. P Usia 4
Tahun Dengan Masalah Hirschprung Di Gedung Teratai Lantai III Selatan Ruang
301 RSUP Fatmawati di Gedung Teratai Lantai 3 utara RSUP Fatmawati Jakarta
Selatan, didapatkan kesimpulan yaitu :
Pada proses pengkajian pada pasien dengan Efusi Pleura ditemukan
keluhan tidak bisa BAB disertai dengan perut yang membesar, terlihat kembung
dan kencang, pasien juga muntah berwarna hijau. Cara pengumpulan data
diperoleh melalui metode wawancara, observasi dan pemeriksaan fisik, klien dan
keluarga klien koperatif saat dilakukan wawancara.
31

Dari hasil pengkajian ditemukan 4 diagnosa keperawatan pre operasi dan


2 diagnosa post operasi, namun diagnosa yang menjadi prioritas yaitu :
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Intervensi keperawatan pada sudah di rencanakan sesuai dengan diagnosa
dan kondisi pasien.
Implementasi keperawatan pada An. P sudah dilakukan dengan baik
sesuai dengan intervensi dan kondisi pasien saat akan dilakukan implementasi.
Pasien kurang komperatif sehingga perlu pendekatan dan komunikasi terapetik
yang baik dan keluarga klien kooperatif saat dilakukan tindakan keperawatan.
Evaluasi dari tindakan keperawatan semua masalah pasien teratasi
B; Saran
Berdasarkan perumusan dan hambatan selama melakukan asuhan keperawatan
penulis menemukan beberapa saran untuk dijadikan bahan pertimbangan yang
mungkin dapat berguna bagi usaha peningkatan mutu pelayanan keperawatan di
masa mendatang, saran yang dapat penulis kemukan sebagai berikut : diharapkan
perawat dapat memperhatikan lebih memperhatikan lagi kondisi pasien misalnya
dalam mengkaji pernapasan pasien, mengukur lingkar perut, serta melakukan
perawatan kolostomi dan memberikan edukasi mengenai perawatan kolostomi
dirumah agar masalah keperawatan pasien dapat teratasi.

32

You might also like