Professional Documents
Culture Documents
Pengantar
Kalimantan Barat dikenal sebagai daerah rawan kerusuhan sosial terutama konflik antarkelompok etnis yang berulangkali terjadi. Selain konflik antar-kelompok etnis, di
Kalimantan Barat kerap pula terjadi konflik sosial vertikal antara masyarakat adat dengan
perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang industri perkayuan dan perkebunan
seperti perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan Hutan
Tanaman Industri (HPHTI), dan Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR Bun). Konflikkonflik sosial ini tak banyak diperhatikan oleh para pengamat sosial karena tak pernah
merebak dalam skala besar sebagaimana konflik antar-kelompok etnis seperti kasus
Sanggau Ledo (1997) dan Sambas (1999) yang mengorbankan ratusan jiwa. Padahal,
frekuensi dan persebaran konflik sosial antara masyarakat adat melawan perusahaan
swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengelola dan mengekploitasi
sumber daya alam, jauh lebih tinggi dan merata di seluruh pelosok Kalimantan Barat.
Di seantero pelosok Kalimantan Barat, telah bertahun-tahun komunitas masyarakat
memperjuangkan hak penguasaan mereka atas sumber daya alam di sekitar
pemukimannya. Kehidupan masyarakat adat tak dapat dilepaskan dari lingkungan alam
sekitarnya, terutama hutan. Mereka berladang, mencari rotan, mengumpulkan madu lebah
dan tengkawang, mencari kayu gaharu dan berburu rusa atau babi di hutan. Selama
ratusan bahkan ribuan tahun, masyarakat adat beradaptasi dengan lingkungan, dan
mereka percaya bahwa tanah itu merupakan anugerah Tuhan untuk mereka.
Pemerintahan Orde Baru memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dalam program
pembangunan. Awalnya, pemerintah mengandalkan kenaikan devisa negara melalui hasil
ekspor minyak, tetapi ketika anjloknya harga minyak di pasar dunia, pemerintah
mengalihkan perhatiannya pada sektor ekonomi kehutanan. Hutan dianggap sebagai
tambang minyak yang baru sehingga pemerintah memacu upaya eksploitasi sumber
daya hutan secara maksimal. Kemudian muncullah berbagai produk perundang-undangan
yang bertujuan untuk melegalisasi dan melegitimasi eksploitasi sumber daya alam
tersebut. Pemerintah menggunakan berbagai peraturan perundang-undangan sektoral
seperti UU Pokok Kehutanan, UU Pertambangan, dan UU Penataan Ruang sebagai
instrumen utama dalam pengambilalihan sumber-sumber daya hutan milik komunitaskomunitas adat dan secara kolutif serta nepotis diserahkan kepada perusahaan-perusahaan
swasta tertentu maupun BUMN.
Kearifan Masyarakat Adat
Menurut mitologi penciptaan alam semesta yang berlaku pada beberapa sub-suku
Dayak, dinyatakan bahwa ada kesatuan alam semesta yang tak terpisahkan, yakni dunia
atas tempat burung Enggang berasal dan dunia bawah (hutan) tempat burung Enggang
bertengger menjelaskan adanya nilai penting hutan bagi kehidupan masyarakat adat.
Hasil adaptasi masyarakat adat dengan hutan itu telah merasuk ke dalam struktur sosiokultural masyarakat adat. Sehingga ada pepatah yang mengatakan bahwa hutan
merupakan jiwa dan darah orang Dayak (Edi Petebang, 1999).
Berlakunya mitos tak berarti masyarakat adat berperilaku irrasional. Masyarakat adat
di Kalimantan Barat yang memiliki mata pencaharian sebagai petani peladang adalah
petani yang rasional sebagaimana petani-petani lainnya di seluruh dunia. Setiap perilaku
ekonominya dalam mengolah tanah, menanam dan melakukan usaha perladangan secara
berpindah-pindah dilakukan dengan perhitungan rasional. Michael R. Dove (1985) yang
meneliti secara bertahun-tahun pola pertanian ladang berpindah (slush and burn
cultivation) menyimpulkan bahwa pola perladangan yang dipraktekkan oleh masyarakat
adat di Kalimantan Barat adalah merupakan hasil adaptasi paling baik dan paling rasional
yang dilakukan oleh masyarakat adat terhadap lingkungan alam dan sosialnya.
Rasionalitas masyarakat adat dapat dipahami dalam konteks keseimbangan yang
mereka bangun dari keterbatasan tenaga kerja dan sumber daya alam yang tersedia.
Pilihan sebagai peladang adalah tindakan yang paling rasional dalam arti perilaku
ekonomi mereka efisien dan efektif dalam konteks sosial-ekonomi mereka. Hal ini
terbukti bahwa mereka dapat menciptakan kelestarian sistem sosial-ekonominya selama
ratusan bahkan mungkin ribuan tahun. Hasil penelitian Michael R. Dove (1985)
membuktikan bahwa sistem perladangan yang dikembangkan oleh masyarakat adat di
Kalimantan Barat tidak merusak kelestarian sumber daya alam yang dapat diperbaharui
(renewable resources) berupa hutan dan kesuburan tanahnya. Masyarakat adat telah
berhasil mengembangkan ecological wisdom yang selama ini dipegang teguh sebagai
pedoman dalam pengelolaan sumber daya hutan secara berkelanjutan.
Marjinalisasi Masyarakat Adat
Semenjak
beroperasinya
perusahaan-perusahaan
swasta
dan
BUMN
yang
mengeksploitasi sumber daya alam terutama hutan di lingkungan masyarakat adat, maka
akses warga masyarakat adat terhadap hutan menjadi semakin sempit bahkan di beberapa
tempat menjadi terputus sama sekali. Fenomena yang terjadi secara merata pada semua
komunitas adat di Kalimantan Barat adalah semakin mengecilnya pola rotasi ladang
berpindah yang dikerjakan oleh masyarakat adat. Dahulu ketika hutan masih tersedia
secara luas, rotasi perputaran ladang berpindah itu dapat mencapai 12 kali perpindahan
ladang, artinya satu keluarga orang adat akan kembali menggarap ladang yang sama
setelah 12 kali berpindah ladang. Namun, saat ini sudah turun menjadi 6 kali dan bahkan
di beberapa tempat sudah menjadi 3 kali. Hal ini terjadi karena pertambahan jumlah
penduduk secara alami, ditimpali oleh pertambahan penduduk karena migrasi, dan
pengambilalihan lahan hutan oleh perusahaan-perusahaan besar serta BUMN di
Kalimantan Barat.
Dalam kerangka pemikiran ekonomi politik model Orde Baru, sistem ekonomi
Kalimantan Barat diintegrasikan dengan sistem ekonomi nasional dan global melalui
proses pembangunan dan modernisasi. Perekonomian Kalimantan Barat mengalami
proses transformasi di bawah tekanan ekspansi kekuatan-kekuatan perusahaan nasional
dan asing (Multi National Corporation) yang terjalin erat dengan elit politik di tingkat
nasional. Kekuatan-kekuatan itu muncul dalam bentuk ekspansi kapital melalui berbagai
investasi-investasi di berbagai sektor, terutama sektor industri perkayuan (Loekman
Soetrisno et al., 1998).
Eksploitasi sumber daya alam di Kalimantan Barat berlangsung secara sistematis dan
dalam skala besar. Berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan dipersiapkan
untuk melegitimasi pengurasan sumber daya alam tersebut (Sandra Kartika dan Candra
Gautama, eds, 1999).
Masyarakat adat sebagai penduduk asli (indigenous people) Kalimantan Barat justru
diabaikan dalam program pembangunan daerah, khususnya dalam hal alokasi
pemanfaatan tanah. Stepanus Djuweng (1997) mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada
Tata Guna Tanah Kesepakatan di Kalimantan Barat, namun yang ada hanyalah
perampasan wilayah masyarakat adat yang secara sepihak dinyatakan sebagai tanah
negara. Tanah tersebut sebelumnya secara kultural menjadi bagian tak terpisahkan dari
masyarakat adat setempat. Tanah bagi masyarakat Dayak bernilai lebih dari sekedar
faktor produksi pertanian namun bermakna kultural, sosial, politik, spiritual dan masa
depan anak cucu mereka.
Secara politik, Orde Baru melakukan dominasi dan hegemoni secara sistematis dalam
hampir semua pengambilan keputusan politik, sehingga keterlibatan masyarakat adat
dalam
aspek
ini
hampir
tidak
ada.
Orang-orang
daerah
tidak
dipandang
komunitas binua atau kampong menjadi sub-ordinat dari birokrasi pemerintahan daerah.
Terjadilah proses negaranisasi, sehingga terbangun dasar legitimasi politik untuk
menguasai sumber-sumber daya alam milik komunitas binua atau kampong.
Pemerintah membangun basis legitimasi penguasaan sumber daya alam dengan
perundang-undangan yang bersifat sektoral. Pemegang HPH memanfaatkan dengan baik
perundang-undangan tersebut untuk mengekploitasi sumber daya alam. Celakanya, fungsi
sosial kelembagaan adat yang dikembangkan oleh masyarakat adat Dayak atas dasar
hubungan manusia dengan lingkungan hutan sebagai kawasan hidup dan religio magis
tidak dihormati oleh pemegang HPH dan investor yang masuk di daerah tersebut.
Pemegang
HPH
yang
tujuan
utamanya
mengejar
kepentingan
materi
tanpa
yang memiliki modal besar, teknologi canggih, kekuasaan politik dan organisasi yang
kuat. Orientasi produksi dari pemegang HPH, HPHTI dan PIR Perkebunan adalah
kebutuhan pasar, sedangkan orientasi produksi masyarakat adat atau petani peladang
berpindah adalah kebutuhan rumah-tangganya atau ekonomi subsisten.
Tekanan keterbatasan lingkungan (environmental scarcity) dan ketidakberdayaan
sebagian besar penduduk sekitar hutan dalam memperebutkan sumber daya alam dapat
memancing pertikaian sosial yang disertai dengan tindak kekerasan (violent conflict) di
Kalimantan Barat. Berbagai konflik dan tindak kekerasan telah terjadi antara pihak
masyarakat adat Dayak melawan perusahaan-perusahaan yang mengelola sumber daya
hutan di Kalimantan Barat.
Konflik sosial yang berlangsung di Kalimantan Barat selama ini mengingatkan pada
hipotesis Homer-Dixon (1994) tentang keberingasan sosial (violent conflict) yang
disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk yang semakin tinggi angkanya dalam
waktu yang semakin cepat. Sementara itu, terjadi proses kelangkaan lingkungan akibat
ekploitasi sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) secara
berlebihan. Sehingga terjadi penurunan kapasitas produksi sumber daya yang dapat
diperbaharui. Konsekuensinya, muncul dua gejala sosial. Pertama, terjadi migrasi dan
pengungsian penduduk dari area yang telah mengalami kerusakan lingkungan ke daerah
perkotaan atau daerah lain yang memungkinkan mereka memperoleh sumber daya yang
baru. Migrasi ke kota akan menimbulkan masalah yang serius di daerah perkotaan:
meningkatnya kepadatan penduduk, akses terhadap sumber daya yang kecil, merebaknya
sektor informal, tumbuh suburnya pemukiman kumuh dan seterusnya. Sedangkan migrasi
ke daerah yang memberi peluang pemanfaatan sumberdaya yang baru, seperti ke daerah
dataran tinggi dan hutan, akan menyebabkan dan menambah kerusakan lingkungan di
area baru tersebut. Gejala sosial kedua ialah terjadi penurunan produktivitas ekonomi
atau marjinalisasi ekonomi. Ini terjadi karena sumber daya yang menjadi tumpuan hidup
penduduk telah rusak sebagai akibat dari aktivitas perusahaan yang mengekploitasi
sumber daya secara berlebihan.
Proses marjinalisasi ekonomi pada gilirannya akan menimbulkan dua persoalan:
Pertama, menurunnya pendapatan ekonomi yang akan diikuti pula oleh melemahnya
kapasitas institusi-institusi sosial lokal dalam memecahkan masalah sosial ekonomi.
Kedua, terjadinya gejala derivasi relatif yang akan sangat potensial dalam memunculkan
kerusuhan sosial (social riot).
Menurut James C. Scott (1976), masyarakat petani pada umumnya akan melakukan
perlawanan atau sikap reaktif dan pada hal tertentu bersikap defensif terhadap masuknya
kekuatan kapital dari luar. Sikap demikian akan muncul apabila keberadaan lembaga
kapital itu dianggap akan menganggu kemapanan sosial dan terutama mengancam
keamanan subsistensi mereka.
Penurunan Kapasitas Negara
Kelangkaan sumber daya alam yang dapat diperbarui merupakan hasil dari tiga kasus.
Pertama, penurunan lingkungan mengurangi jumlah sumber daya yang tersedia, seperti
penggundulan hutan, penyusutan panen, dan kerusakan habitat ikan. Kedua, pertumbuhan
jumlah penduduk akan mengurangi ketersediaan sumber daya alam per kapita, sementara
itu tumbuh permintaan akan sumber daya alam per kapita yang meningkat sesuai dengan
pertumbuhan income per kapita. Ketiga, ketidakmerataan distribusi sumber daya alam di
tangan beberapa orang (pemilik maupun penguasa) akan memperbesar kelangkaan
struktural.
Ada tiga argumen yang dapat menjelaskan bahwa kelangkaan SDA yang dapat
diperbarui akan mengikis/menggerogoti kemampuan negara (state capacity) dan
meningkatkan kemungkinan konflik masyarakat sipil.
Pertama, kelangkaan mendorong permintaan politik dan keuangan di pemerintahan.
Kerusakan sumber daya alam yang absolut mengharuskan adanya teknologi atau alat
rehabilitasi sumber daya alam yang sangat mahal. Semakin turunnya pendapatan kaum
elite yang menggantungkan income-nya pada eksploitasi sumber daya alam, dapat
semakin memiskinkan penduduk yang kehidupannya bergantung pada sumber daya alam.
Mereka yang miskin ini terdorong untuk melakukan migrasi menuju daerah slum
(kumuh) atau berpindah ke daerah lain yang rawan habitatnya. Semua ini akan semakin
mempercepat dan memperluas proses kerusakan sumber daya alam yang dapat
diperbarui.
Kedua, kelangkaan sumber daya alam yang dapat diperbarui akan merugikan atau
berdampak negatif terhadap produktivitas ekonomi secara umum, misalnya penurunan
Kalimantan Barat merupakan salah satu wilayah konsentrasi eksploitasi sumber daya
alam yakni sebagai sasaran beroperasinya perusahaan perkayuan (logging company),
perusahaan agriculture seperti sawit, dan daerah resettlement bagi para transmigran.
Kebijakan transmigrasi ini dikaitkan dengan kepentingan perusahaan agribisnis di luar
pulau Jawa untuk memperoleh tenaga kerja murah yang tidak dapat dipasok oleh
komunitas penduduk lokal, namun selain itu juga dimaksudkan untuk memperlemah
sistem dan legitimasi penguasaan sumber daya alam oleh penduduk asli (local indigenous
communities). Sumber daya alam yang dahulu dikuasai oleh penduduk lokal, kemudian
diklaim dalam penguasaan negara untuk kemudian dibagi-bagi kepada perusahaanperusahaan pemegang konsensi HPH.
Proses kelangkaan sumber daya alam terjadi ketika akses penduduk lokal terhadap
sumber daya alam di sekitarnya dirampas oleh negara dan diberikan kepada perusahaanperusahaan pemegang konsesi. Kelangkaan sumber daya alam yang dirasakan oleh
penduduk lokal ini telah memicu berbagai bentuk resistensi terhadap perusahaanperusahaan yang dianggap telah merampas akses mereka terhadap sumber daya alam di
sekitarnya.