Professional Documents
Culture Documents
1
UKK Gastrohepatologi IDAI
I S
Ikterus adalah pewarnaan kuning pada kulit, sklera, atau membran mukosa, sebagai akibat
penumpukan bilirubin yang berlebihan pada jaringan.1 Penyebab ikterus sangat bervariasi dan berbeda
pada bayi, anak, dan dewasa. Untuk dapat memahami patogenesis berbagai penyebab ikterus akan
diuraikan secara singkat metabolisme bilirubin.
Metabolisme Bilirubin
I S
4
eritrositnya lebih pendek. Selain itu, pada bayi sedang terjadi proses maturasi organ (dalam hal ini hati)
sehingga kemampuan untuk mengkonjugasikan bilirubin terbatas.5
Umumnya bayi tidak tampak ikterus pada saat lahir. Hal ini disebabkan karena kemampuan
plasenta untuk membersihkan bilirubin dari sirkulasi fetal. Namun beberapa hari kemudian, akan terjadi
peningkatan kadar bilirubin serum ( 1,4 mg/dL) pada sebagian besar bayi. 6 Secara klinis ikterus terlihat
apabila kadar bilirubin serum lebih dari 5 mg/dL. Ikterus terlihat bermula dari kulit wajah lalu
berkembang ke arah ekstremitas bawah sesuai dengan peningkatan kadar bilirubin. Menurut Kramer
(1969), didapatkan kadar bilirubin serum 4-8 mg/dL apabila ikterus terlihat pada kulit kepala dan leher,
5-12 mg/dL pada kulit tubuh di atas pusat, 8-16 mg/dL pada kulit tubuh di bawah pusat dan paha, 11-18
mg/dL pada lengan dan tungkai, >15 mg/dL pada telapak tangan dan telapak kaki. 7
Ikterus pada bayi harus dibedakan apakah itu ikterus fisiologis atau patologis. Ikterus dikatakan
fisiologis apabila kadar bilirubin serum < 12 mg/dL pada bayi cukup bulan serta < 15 mg/dL pada bayi
prematur pada minggu pertama kehidupan. Dikatakan patologis apabila1,8 :
1. Ikterus timbul dalam 24 jam pertama setelah lahir
2. Kenaikan kadar bilirubin berlangsung cepat (>5 mg/dL dalam 24 jam)
3. Kadar bilirubin serum > 12 mg/dL pada bayi cukup bulan serta > 15 mg/dL pada bayi prematur
pada minggu pertama kehidupan
4. Ikterus menetap pada usia 2 minggu atau lebih
5. Peningkatan bilirubin direk serum > 1 mg/dL bila bilirubin total < 5 mg/dL atau bilirubin direk
>20% dari bilirubin total bila kadar bilirubin total > 5mg/dL
4
UKK Gastro-Hepatologi IDAI
ETIOLOGI
1.
2.
3.
4.
I S
TOKSISITAS IKTERUS PADA BAYI
Kernikterus adalah konsekuensi neurologis akibat timbunan bilirubin indirek pada jaringan otak.
Apabila kadar bilirubin indirek serum melebihi kemampuan pengikatan albumin, bilirubin yang tidak
terikat albumin dapat menembus sawar darah otak. Toksisitas bilirubin sangat bervariasi, tergantung
pada maturitas bayi serta adanya penyakit hemolitik. Dokter perlu mewaspadai kemungkinan terjadinya
kernikterus pada bayi sehat tanpa adanya penyakit hemolitik apabila kadar bilirubin melebihi 25 mg/dL,
dan lebih dari 20 mg/dL pada bayi dengan penyakit hemolitik.9,10 Efek toksisitas bilirubin pada bayi dapat
dibagi menjadi, yaitu :
-
6
UKK Gastro-Hepatologi IDAI
Gambar 2. Salah Satu Metode Pendekatan untuk Evaluasi Bayi dengan Ikterus6
7
UKK Gastrohepatologi IDAI
I S
TATALAKSANA
Tahap paling penting dalam tatalaksana ikterus pada bayi adalah menentukan penyebab
primernya. Tanpa memandang penyebab ikterusnya, perhatian ditujukan terhadap kemungkinan
terjadinya kernikterus pada hiperbilirubinemia indirek. Pada keadaan ini sebaiknya dihindari pemberian
zat-zat yang dapat mengikat albumin dan menggantikan ikatan albumin dengan bilirubin. Obat yang
telah lama dikenal dapat menggantikan ikatan bilirubin albumin adalah sulfonamid. Kemudian muncul
obat lain seperti seftriakson yang dikatakan sangat kuat menggeser ikatan bilirubin dan sebagai pencetus
terjadinya kernikterus.
Hiperbilirubinemia direk bukan merupakan suatu proses fisiologis, sehingga apabila terjadi hal ini
menandakan adanya suatu proses patologis. Meskipun demikian, tidak seperti bilirubin indirek,
hiperbilirubinemia direk tidak secara langsung bersifat toksik terhadap sel otak bayi.9
Pilihan terapi untuk menurunkan kadar bilirubin (bilirubin indirek) meliputi fototerapi, transfusi
tukar, induksi enzim, serta interupsi sirkulasi enterohepatik.6
Fototerapi
Fototerapi menggunakan cahaya berpanjang gelombang biru untuk mengubah bilirubin indirek di
kulit. Bilirubin diubah menjadi fotoisomer yang larut dalam air yang dapat diekskresi oleh kandung
empedu dan ginjal tanpa dikonjugasi. Keputusan untuk melakukan fototerapi didasarkan pada umur bayi
dan kadar serum bilirubin total.10
8
UKK Gastro-Hepatologi IDAI
Tabel 1. Manajemen Hiperbilirubinemia pada bayi Cukup Bulan Sehat Berdasarkan Kadar Serum
Bilirubin Total / SBT (mg/dL) 10
Umur
Perimbangkan
Fototerapi a
Fototerapi
24 jamc
25-48 jam
49-72 jam
>72 jam
12
15
17
15
18
20
Trasfusi Tukar
Jika Fototerapi
Intensif Gagalb
20
25
25
Trasfusi Tukar
dan Fototerapi
Intensif
25
30
30
Fototerapi pada kondisi ini merupakan pilihan dimana diberikan apabila tersedia fasilitas dan tergantung pada
penilaian klinis individu.
b
Fototerapi intensif harus dapat menurunkan kadar SBT 1-2 mg/dL dalam 4-6 jam dan kadar SBT harus terus turun
sampai menetap di bawah kadar indikasi untuk transfusi tukar. Apabila hal ini tidak terjadi, maka dinyatakan
sebagai kegagalan fototerapi.
c
Bayi cukup bulan yang secara klinis terlihat ikterus pada usia 24 jam tidak temasuk dalam kategori sehat
sehingga membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
I S
MODUL B
KOLESTASIS PADA BAYI
10
UKK Gastro-Hepatologi IDAI
DEFINISI
Kolestasis adalah semua kondisi yang menyebabkan terganggunya sekresi berbagai substansi
yang seharusnya disekresikan ke dalam duodenum, sehingga menyebabkan tertahannya bahan-bahan
atau substansi tesebut di dalam hati dan menimbulkan kerusakan hepatosit.13 Parameter yang paling
banyak digunakan adalah kadar bilirubin direk serum > 1 mg/dL bila bilirubin total < 5 mg/dL atau
bilirubin direk >20% dari bilirubin total bila kadar bilirubin total > 5mg/dL.8 Dengan demikian letak
gangguannya dapat terjadi di duktus biliaris intrahepatal ataupun duktus biliaris ekstrahepatal.
Secara klinis kolestasis ditandai dengan adanya ikterus, tinja berwarna pucat atau akolik, dan urin
yang berwarna kuning tua seperti teh. Apabila proses berjalan lama dapat muncul berbagai manifestasi
klinis lainnya misalnya pruritus, gagal tumbuh, dan lain-lain akibat dari penumpukan zat-zat yang
seharusnya diangkut oleh empedu untuk dibuang melalui usus.
Kolestasis bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu sindroma yang etiologinya
bemacam-macam mulai dari pembentukan empedu di hepatosit, transport keluar dari hepatosit, saluran
empedu intrahepatik dan saluran empedu ekstrahepatik sampai muara keluarnya di duodenum.
Oleh karena etiologinya yang bermacam-macam dan berat ringan dampak yang ditimbulkan juga
bervariasi sedangkan manifestasi klinis awalnya sama, deteksi dini adanya kolestasis pada bayi sangat
penting untuk selanjutnya segera dicari etiologinya. Hal ini akan sangat berpengaruh pada prognosis.
Sebagai contoh, atresia biliaris yang tidak segera mendapatkan intervensi maka prognosisnya menjadi
kurang baik karena penimbunan zat-zat toksik yang terus menerus akan berdampak pada terjadinya
sirosis biliaris.
11
UKK Gastrohepatologi IDAI
I S
EPIDEMIOLOGI
Secara umum insidensi kolestasis kurang lebih 1:2500 kelahiran hidup. Meskipun penyebab
kolestasis sangat beragam, atresia biliaris ekstrahepatik telah diidentifikasi sebagai penyebab tersering
(lebih dari 33%).14,15
ETIOLOGI
Etiologi kolestasis dibagi menjadi 2 yaitu14,16 :
1. EKSTRAHEPATIK : Suatu keadaan yang dapat mengakibatkan obstruksi saluran empedu
ekstrahepatik baik total maupun parsial
Atresia biliaris ekstrahepatik: Suatu obstruksi total duktus biliaris ekstrahepatal
Kista duktus koledokus: Dilatasi dari suatu segmen dukus biliaris ekstrahepatal
Stenosis duktus biliaris: Obstruksi parsial duktus biliaris ekstrahepatal
Sludge dan batu atau kolelitiasis: Adanya suatu penumpukan endapan2 pada duktus biliaris
ekstrahepatal, misalnya sebagai akibat dari proses hemolitik yang berlebihan
2. INTRAHEPATIK : Gangguan yang terjadi pada tingkat hepatosit ataupun elemen duktus biliaris
yang ada di dalam hati atau intrahepatal. Penyebab-penyebab penting yang pernah dilaporkan
antara lain:
Infeksi
- bakteri : sepsis, ISK
- virus : rubella, CMV, herpes simpleks, virus hepatotropik
- parasit : toksoplasma
Metabolik
- gangguan metabolisme karbohidrat : Galaktosemia, Fruktosemia, Gycogen Storage
Disease type IV
12
UKK Gastro-Hepatologi IDAI
13
UKK Gastrohepatologi IDAI
I S
EVALUASI BAYI DENGAN KOLESTASIS (SESUAI KONDISI RS KEBANYAKAN DI INDONESIA): DALAM HAL
INI YANG DIHILANGKAN ADALAH SKINTIGRAFI DAN BIOPSI HATI)
Kolestasis pada bayi
Kriteria kolestasis, apabila:
Bilirubin direk > 1 mg/dL pada bilirubin total < 5 mg/dL atau bilirubin direk >20% dari bilirubin total pada kadar
bilirubin total > 5mg/dL , feses akolik, urin seperti teh
Lacak etiologi lain (Lihat halaman selanjutnya) Kolangiografi intraoperatif (Level of Evidence I)
(sekaligus wedge biopsy)
ANAMNESIS: hasil anamnesis diharapkan dapat menjadi pemandu pencarian etiologi dan faktor risiko
kolestasis. Hal-hal yang sering ditanyakan adalah sbb:
Riwayat kehamilan dan kelahiran: riwayat obsteri ibu (infeksi TORCH, hepatitis B, dan infeksi
lain), berat badan lahir (pada infeksi biasanya didapatkan Kecil Masa Kehamilan sedangkan pada
atresia biliaris biasanya didapatkan Sesuai Masa kehamilan), infeksi intrapartum, morbiditas
perinatal, riwayat pemberian nutrisi parenteral
Riwayat keluarga: bila saudara kandung pasien ada yang menderita penyakit serupa maka
kemungkinan besar merupakan suatu kelainan genetik/metabolik
Risiko hepatitis virus hepatotropik, paparan terhadap toksin / obat-obatan
PEMERIKSAAN FISIK: untuk mencari etiologi atau ada tidaknya komplikasi kolestasis
Fasies dismorfik : pada Sindrom Alagille
Mata :
- Katarak : pada infeksi TORCH
- Choreoretinitis : pada infeksi TORCH
- Posterior embryotoxon : pada Sindrom Alagille
Thoraks : bising jantung pada Sindrom Alagille, atresia biliaris
Abdomen :
- Hepar mengetahui apakah sudah terjadi sirosis : hepatomegali atau sudah mengecil,
konsistensi kenyal atau sudah mengeras, permukaan masih licin atau sudah berbenjolbenjol
- Lien pelacakan hipertensi portal atau mencari kemungkinan infeksi
- Asites gangguan sintesis albumin
- Vena kolateral pelacakan hipertensi portal
Kulit : ikterus, spider angioma, eritema palmaris, edema sudah terjadi sirosis
Lain-lain : Phimosis kemungkinan ISK
15
UKK Gastrohepatologi IDAI
I S
Jari tabuh, asteriksis, foetor hepatikucus sudah terjadi sirosis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
1) Tes hati
Transaminase
Transaminase serum, alanine aminotransferase (ALT) dan aspartat aminotransferase (AST)
merupakan tes yang paling sering dilakukan untuk mengetahui adanya kerusakan hepatoseluler karena
tes ini spesifik untuk mendeteksi adanya nekrosis hepatosit, akan tetapi tidak spesifik. AST dijumpai
dalam kadar yang tinggi pada berbagai jaringan, antara lain hati, otot jantung, otot skelet, ginjal,
pankreas, dan sel darah merah. Apabila ada kerusakan pada jaringan-jaringan tersebut maka akan
terjadi kenaikan kadar enzim ini dalam serum. Dibandingkan dengan ALT, AST lebih spesifik untuk
mendeteksi adanya penyakit hati karena kadar di jaringan lain relatif lebih rendah dibandingkan dengan
kadar di hati.17
Gamma-glutamyltransferase (GGT)
GGT merupakan enzim yang dapat ditemukan pada epitel duktuli biliaris dan hepatosit hati.
Aktivitasnya dapat ditemukan pada pankreas, lien, otak, mammae, dan intestinum dengan kadar
tertinggi pada tubulus renal. Karena enzim ini dapat ditemukan pada banyak jaringan, peningkatannya
tidak spesifik mengindikasikan adanya penyakit hati.18
Pada bayi baru lahir dapat dijumpai kadar GGT yang sangat tinggi, lima sampai delapan kali lebih
tinggi dari batas atas kadar normal pada orang dewasa. Pada bayi prematur, kadar GGT dapat lebih
tinggi dibanding bayi cukup bulan pada minggu pertama kehidupan. Kemudian secara perlahan akan
turun, baik pada bayi prematur maupun cukup bulan dan mencapai kadar normal orang dewasa pada
usia 6-9 bulan.17
16
UKK Gastro-Hepatologi IDAI
Apabila dibandingkan dengan tes serum yang lain, GGT merupakan indikator yang paling sensitif
untuk mendeteksi adanya penyakit hepatobilier. Kadar GGT tertinggi ditemukan pada obstruksi
hepatobilier, tetapi pada kolestasis intrahepatik (contohnya pada Sindrom Alagille) dapat dijumpai kadar
ekstrem yang sangat tinggi. Peningkatan kadar GGT pada kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik
bervariasi dan tidak dapat digunakan untuk membedakan diantara keduanya.17
Tabel 2. Referensi kadar normal GGT19
Umur
Jenis Kelamin
0-5 hari
1-3 tahun
4-6 tahun
7-9 tahun
10-11 tahun
L-P
L-P
L-P
L-P
L
P
L
P
L
P
L
P
12-13 tahun
14-15 tahun
16-19 tahun
I S
Namun peningkatan abnormal enzim ini tidak dapat membedakan antara keduanya. Obstruksi biliaris
terjadi pada lebih dari 90% pasien dewasa yang mengalami peningkatan kadar serum AP lebih dari dua
kali nilai normal dan lebih dari 75% pasien dengan peningkatan kadar lebih dari empat kali nilai normal.
Meskipun demikian, lebih dari 20% pasien dewasa dengan hepatitis viral tanpa obstruksi ekstrahepatik
mengalami peningkatan kadar serum AP lebih dari empat kali nilai normal.
Pada anak yang sedang dalam masa tumbuh kembang, terjadi peningkatan serum AP yang
disebabkan oleh influks isoenzim di tulang ke dalam serum. Maka dari itu, penggunaan kadar serum AP
dalam penilaian penyakit hati pada anak (terutama pada remaja yang sedang dalam pertumbuhan aktif)
kurang bermakna.17
2) Tes fungsi hati: untuk melihat keadaan awal saat penderita datang ke temapt kita
Albumin
Albumin merupakan protein utama serum yang hanya disintesis di retikulum endoplasma
hepatosit dengan half-life dalam serum sekitar 20 hari. Fungsi utamanya adalah untuk mempertahankan
tekanan koloid osmotik intravaskular dan sebagai pembawa (carrier) berbagai komponen dalam serum,
termasuk bilirubin, ion-ion inorganik (contohnya kalsium), serta obat-obatan.
Penurunan kadar albumin serum dapat disebabkan karena penurunan produksi akibat penyakit
parenkim hati. Kadar albumin serum digunakan sebagai indikator utama kapasitas sintesis yang masih
tersisa pada penyakit hati. Karena albumin memiliki half-life yang panjang, kadar albumin serum yang
rendah sering digunakan sebagai indikator adanya penyakit hati kronis.
Pada pasien dengan asites, penurunan kadar albumin lebih disebabkan karena terjadi
peningkatan volume distribusi dibanding penurunan sintesis. Penyebab hipoalbuminemia non-hepatik
lainnya adalah malnutrisi serta kehilangan yang berlebihan dari urin (pada nefrosis) dan usus (pada
protein-losing enteropathies).17,20
18
UKK Gastro-Hepatologi IDAI
g/dL
3.41
3.46
3.62
3.63
4.11
4.0
4.25
+1 SD
0.72
0.36
0.60
0.80
0.78
0.65
0.70
I S
3) Tes untuk pelacakan etiologi
Darah : darah rutin, kultur mencari kemungkinan infeksi
kadar T4 dan TSH serum, -1 antitripsin serum, asam amino, laktat, amonia
mencari kemungkinan kelainan metabolik
Urin : urinalisis, kultur mencari kemungkinan ISK
USG Abdomen
USG abdomen merupakan pemeriksaan radiologis yang paling berguna pada evaluasi awal
kolestasis pada bayi. USG dapat menunjukkan ukuran dan keadaan hati dan kandung empedu,
mendeteksi adanya obstruksi pada sistem bilier oleh batu maupun endapan, ascites, dan menentukan
adanya dilatasi obstruktif atau kistik pada sistem bilier.22,23
Pada saat puasa kandung empedu bayi normal pada umumnya akan terisi cairan empedu
sehingga akan dengan mudah dilihat dengan USG. Setelah diberi minum, kandung empedu akan
berkontraksi sehingga ukuran kandung empedu akan mengecil. Pada atresia biliaris, saat puasa kandung
empedu dapat tidak terlihat. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya gangguan patensi duktus
hepatikus dan duktus hepatikus komunis sehingga terjadi gangguan aliran empedu dari hati ke saluran
empedu ekstrahepatik. Pada keadaan ini USG setelah minum tidak diperlukan lagi.
Pada keadaan lain dapat terlihat kandung empedu kecil saat puasa dan setelah minum ukuran
kandung empedu tidak berubah. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya gangguan aliran
empedu dari kandung empedu melewati duktus koledokus komunis ke duodenum.
Tanda triangular cord yaitu ditemukan adanya densitas ekogenik triangular atau tubular di
kranial bifurcatio vena porta sangat sensitif dan spesifik menunjukkan adanya atresia biliaris (sensitivitas
93%, spesifisitas 96%).24
20
UKK Gastro-Hepatologi IDAI
Skintigrafi hepatobilier
Skintigrafi hepatobilier menggunakan isotop yang dilabel Technetium berguna dalam membantu
membedakan antara atresia biliaris dengan penyebab kolestasis lain. Pemeriksaan ini sangat sensitif
terhadap atresia biliaris tetapi spesifisitasnya rendah karena pada kolestasis intrahepatal ekskresi isotop
dapat pula tertunda (sensitivitas 93%, spesifisitas 40%).23 Pada atresia biliaris uptake isotop oleh
hepatosit normal tetapi ekskresinya tertunda atau tidak diekskresi sama sekali. Sedangkan pada
hepatitis neonatal idiopatik uptake isotop oleh hepatosit tertunda tetapi ekskresinya normal.
Premedikasi dengan phenobarbital (5 mg/kgBB/hari selama 5 hari) dapat meningkatkan sensitivitas
karena phenobarbital diketahui dapat menstimulasi enzim-enzim hati dan meningkatkan aliran
empedu.25
Biopsi hati
Biopsi hati perkutan merupakan tes diagnostik definitif untuk evaluasi kolestasis pada bayi
(sensitivitas 100%, spesifisitas 95%).23 Pada atresia biliaris dapat ditemukan gambaran proliferasi duktus
biliaris, bile plug, portal track edema, dan fibrosis. Sedangkan pada hepatitis neonatal idiopatik dapat
ditemukan gambaran pembengkakan sel difus, transformasi giant cell, dan nekrosis hepatoseluler fokal.
Selain itu dapat pula ditemukan badan inklusi virus yang menunjukkan adanya infeksi CMV atau herpes
simpleks.16
Kolangiografi
Kolangiografi merupakan prosedur yang tidak secara rutin direkomendasikan pada bayi dengan
kolestasis karena sulit dilakukan dan berbahaya namun memiliki akurasi yang tinggi (98%), dengan
sensitifitas 100% dan spesifisitas 96% dalam penegakan diagnosis atresia biliaris.26 Metode ini
menggunakan agen paramagnetik negatif untuk menekan cairan yang ada di usus sehingga visualisasi
duktus pankreatobilier dapat terlihat jelas.
21
UKK Gastrohepatologi IDAI
I S
KOMPLIKASI
PRURITUS
Pruritus merupakan morbiditas yang penting dan sering terjadi baik pada kolestasis intrahepatik
maupun ekstrahepatik. Daerah predileksinya meliputi seluruh bagian tubuh dengan daerah telapak
tangan dan kaki, permukaan ekstensor ekstremitas, wajah, telinga, dan trunkus superior memiliki tingkat
keparahan yang lebih tinggi. Mekanisme terjadinya pruritus masih belum diketahui secara pasti. Deposit
garam empedu di kulit diketahui memiliki efek pruritogenik secara langsung. Namun sudah dibuktikan
bahwa teori ini tidak benar. Sebagai tambahan, hiperbilirubinemia indirek tidak dapat menyebabkan
pruritus.
Teori lain menyatakan bahwa pruritus pada kolestasis disebabkan karena konsentrasi garam
empedu yang tinggi di hati menyebabkan kerusakan hati sehingga terjadi pelepasan substansi yang
bersifat pruritogenik (misalnya histamin).
Akumulasi opioid endogen, yang diketahui dapat memodulasi pruritus dan meningkatkan tonus
opioidergik di otak, saat ini sedang menjadi perhatian karena antagonis opioid telah dibuktikan dapat
mengurangi pruritus pada kolestasis.16
HIPERLIPIDEMIA DAN XANTOMA
Hiperlipidemia dan Xanthoma merupakan komplikasi yang sering terjadi pada kolestasis
intrahepatik (contohnya Sindrom Alagille). Pada kolestasis terjadi gangguan aliran empedu yang akan
menyebabkan meningkatnya kadar lipidoprotein di sirkulasi sehingga terjadi hiperkolesterolemia
(kolesterol serum mencapai 1000-2000 mg/dL). Hal ini akan menyebabkan terdepositnya kolesterol di
kulit, membran mukosa, dan arteri. Risiko atherosklerosis pada anak dengan kolestasis kronis tidak
diketahui, tetapi hiperkolesterolemia berat pada Sindrom Alagille diketahui berhubungan dengan
penumpukan lipid di ginjal yang menyebabkan gagal ginjal dan penumpukan plak aterom di aorta dalam
beberapa tahun pertama kehidupan. 16
22
UKK Gastro-Hepatologi IDAI
I S
umpan balik negatif ke hati, memacu konversi kolesterol menjadi bile acids like cholic acid yang berperan
sebagai koleretik. Kolestiramin biasanya digunakan pada manajemen jangka panjang kolestasis
intrahepatal dan hiperkolesterolemia.
Phenobarbital
Phenobarbital dapat meningkatkan aliran asam empedu, meningkatkan sintesis asam empedu,
menstimulasi pelepasan enzim-enzim hepar, sehingga dapat menurunkan kadar asam empedu dalam
sirkulasi. Akan tetapi phenobarbital dapat menyebabkan sedasi dan gangguan perilaku sehingga
penggunaannya terbatas.14,16
b. Nutrisi
Kekurangan Energi Protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari kolestasis (terjadi pada lebih
dari 60% pasien). Steatorrhea sering terjadi pada bayi dengan kolestasis. Penurunan ekskresi asam
empedu menyebabkan gangguan pada lipolisis intraluminal, solubilisasi dan absorbsi trigliserid rantai
panjang. Maka pada bayi dengan kolestasis diperlukan kalori yang lebih tinggi dibanding bayi normal
untuk mengejar pertumbuhan.
- intake kalori dan protein yang cukup
kebutuhan kalori umumnya dapat mecapai 125% kebutuhan bayi normal sesuai dengan berat
badan ideal
kebutuhan protein : 2-3 gr/kgBB/hari
sebagai tambahan dapat diberikan lemak rantai sedang (medium chain triglyceride) karena
tidak memerlukan pelarutan oleh garam empedu sebelum diabsorbsi usus
- suplementasi vitamin yang larut dalam lemak
Asam empedu dibutuhkan dalam proses absorbsi vitamin-vitamin larut lemak (A, D, E, K). Untuk
mencegah komplikasi akibat defisiensi vitamin-vitamin tersebut perlu diberikan suplementasi oral.
Suplementasi tetap diberikan minimal sampai 3 bulan bebas ikterus. 14,16
24
UKK Gastro-Hepatologi IDAI
Dosis
10 20 mg/kg/hari
10 mg/kg/hari
Efek Samping
Diare, Hepatotoksik
Hepatotoksik, Interaksi obat
Defisiensi
-
Phenobarbital
3-10 mg/kg/hari
Kolestiramin
0,25-0,5 gr/kg/hari
Konstipasi, Steatorrhea,
Asidosis metabolik
hiperkloremik
Vitamin A (Aquasol A)
Hepatotoksik, Hiperkalsemia
Vitamin D
Cholecalciferol
3-5 mcg/kg/hari
Vitamin E
Vitamin K
(Phytonadione)
Hiperkalsemia, Nefrokalsinosis
Buta senja,
Xeroftalmia,
Keratomalacia
Ricketsia,
Osteomalacia
Degenerasi
neuromuskuler
Koagulopati
25
UKK Gastrohepatologi IDAI
I S
Pembahasan berikut adalah keadaan-keadaan yang sering dijumpai dipandang dari:
1. ETIOLOGI
2. MASALAH SEHARI-HARI YANG SERING DIJUMPAI
Atresia Biliaris
Atresia biliaris merupakan penyebab tersering kolestasis pada bayi, dengan prevalensi berkisar
antara 1:8000 (di Asia) 1:18.000 (di Eropa) kelahiran hidup, ditandai dengan obstruksi total aliran
empedu karena destruksi atau hilangnya sebagian atau keseluruhan duktus biliaris ekstrahepatik yang
terjadi dalam 3 bulan pertama kehidupan. Atresia biliaris juga merupakan penyebab tersering kematian
karena penyakit hati dan indikasi utama transplantasi hati pada anak (lebih dari 50% kasus). 16, 27
Penyebab atresia biliaris sampai sekarang masih belum diketahui. Adanya proses inflamasi yang
mengakibatkan terjadinya destruksi duktus biliaris ekstrahepatik memunculkan kemungkinan infeksi
sebagai penyebab atresia biliaris. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara atresia
biliaris dengan infeksi virus seperti Rotavirus C, CMV, rubella, Reovirus tipe 3, namun sampai sekarang
belum dapat dibuktikan sebagai penyebab atresia biliaris. Imaturitas sistem imun dan faktor genetik
diduga berperan dalam patogenesis penyakit ini.28, 29
Ada 2 tipe atresia biliaris29 :
1. Tipe perinatal atau isolated biliary atresia
Terjadi pada 65-90% kasus. Proses obstruksi terjadi setelah lahir. Gejala klinis muncul
pada umur 2-4 minggu kehidupan. Tidak disertai dengan kelainan kongenital lain.
2. Tipe embrionik atau fetal
Terjadi pada 10-35% kasus. Proses obstruksi terjadi sejak dalam kandungan (in utero).
Gejala klinis kolestasis muncul segera setelah lahir, tanpa periode bebas ikterus. Biasanya disertai
dengan kelainan kongenital lain (10-20%), yaitu sindrom polispenia (situs inversus, poli- atau
26
UKK Gastro-Hepatologi IDAI
asplenia, malformasi kardiovaskular, anomali posisi vena porta dan arteri hepatika, serta
malrotasi intestinum).
Menurut anatomis atresia biliaris ada 3 tipe16 :
tipe 1 : Atresia duktus biliaris komunis, segmen proksimal paten
tipe 2 : Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus biliaris komunis, duktus sistikus, dan vesica
velea normal)
tipe 3 : Obliterasi pada semua sistem duktus bilier ekstrahepatik sampai ke hilus
Gambaran Klinis
Atresia biliaris lebih sering ditemukan pada bayi perempuan, lahir dengan berat lahir normal dan
cukup bulan, serta pertumbuhan normal pada awal terjadinya penyakit. Terdapat ikterus
berkepanjangan, feses akolik, dan apabila sudah lanjut dapat dijumpai gagal tumbuh, pruritus, dan
koagulopati. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hepatomegali. Splenomegali, ascites dan tandatanda sirosis lain dapat ditemukan apabila penyakit sudah sampai tahap lanjut. 16, 27
Evaluasi
Pendekatan sistematis terhadap bayi dengan ikterus berkepanjangan dapat membantu
menegakkan diagnosis atresia biliaris pada tahap awal. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya
hiperbilirubinemia direk, serta peningkatan kadar serum transaminase, fosfatase alkali, dan gamma
glutamil transpeptidase.
USG abdomen menunjukkan kandung empedu yang kecil atau tidak ada sama sekali. Adanya
tanda Triangular Cord (area ekogenik di porta hepatis) sangat sensitif menunjukkan adanya atresia bilier.
Apabila USG belum dapat menegakkan diagnosis, dapat dilakukan skintigrafi hepatobilier untuk melihat
patensi duktus biliaris ekstrahepatal. Ekskresi isotop ke dalam duodenum menyingkirkan diagnosis
atresia bilier.
27
UKK Gastrohepatologi IDAI
I S
Apabila pemeriksaan radiologis belum dapat menegakkan diagnosis, biopsi hati perkutan dapat
menegakkan diagnosis pada 94-97% kasus. Gambaran klasik yang dapat ditemukan adalah proliferasi
duktus bilier, bile plug, portal track edema, dan fibrosis. Biopsi hati yang dilakukan pada awal terjadinya
penyakit (umur kurang dari 6 minggu) kadang belum dapat menegakkan diagnosis sehingga harus
dilakukan biopsi ulang. Apabila semua pemeriksaan di atas belum dapat menegakkan diagnosis, harus
dilakukan laparotomi eksplorasi dan kolangiografi intraoperatif.16,29
Manajemen
Terapi optimal pada pasien dengan atresia bilier sebelum usia 12 minggu adalah Kasai
portoenterostomi, dimana dilakukan anastomosis antara roux-en-Y loop jejunum dengan hilum hati
setelah dilakukan pembuangan jaringan fibrotik. Apabila portoenterostomi dilakukan sebelum usia 8
minggu, drainase empedu dari hati ke intestinum tejadi pada 70-80% pasien, yang menyebabkan
peningkatan pigmentasi feses dan hilangnya ikterus, 40-50% pasien apabila dilakukan sebelum antara
usia 8-12 minggu, 25% pasien apabila dilakukan setelah usia 12 minggu, dan 10-20% pasien apabila
dilakukan setelah usia 16 minggu.28,30
Transplantasi hati diindikasikan pada pasien atresia biliaris yang tidak dapat menjalani
portoenterostomi karena keterlambatan diagnosis, pada pasien yang gagal dengan portoenterostomi,
serta pada pasien dengan sirosis yang sudah tidak dapat dikompensasi. Survival jangka panjang setelah
transplantasi hati pada atresia biliaris mencapai 80-90%.29
Komplikasi
Komplikasi post-operasi dibagi menjadi 229 :
1. Komplikasi segera : kolangitis, perdarahan, kebocoran dari anastomosis, dan obstruksi intestinal
2. komplikasi lanjut : kolangitis rekuren, hipertensi portal, ascites, sindrom hepato-pulmonal, dan
sirosis hati
28
UKK Gastro-Hepatologi IDAI
Kolangitis
Kolangitis merupakan komplikasi tersering yang terjadi dalam 2 tahun pertama setelah operasi
Kasai pada 30-60% kasus.31 Etiologi kolangitis sampai sekarang belum jelas, namun diduga karena infeksi
ascending dari usus karena adanya hubungan antara usus dengan traktus biliaris. Keparahan dapat
bervariasi mulai dari infeksi ringan sampai sepsis fulminan. Secara klinis dapat dijumpai demam atau
hipotermia, muntah, ikterus, hepatosplenomegali, nyeri / distensi abdomen, dan feses akolik. Diagnosis
ditegakkan dengan kultur darah dan atau biopsi hati.16, 29,31
Terapi meliputi pemberian cairan intravena, antibiotik spektrum luas, (serta steroid dosis tinggi
di beberapa center) selama 7-10 hari.31
Hipertensi Portal
Insidensi hipertensi portal sekitar 75% setelah operasi Kasai dan berhubungan dengan fibrosis
hati. Pada studi terkini ditemukan bahwa peningkatan tekanan porta (yang diukur pada saat operasi
Kasai) menunjukkan prognosis yang buruk. Hipertensi porta dapat menyebabkan terbentuknya varises di
esofagus, gaster, Roux loop, dan atau rektum. Pada pasien dengan fungsi hati baik dapat dilakukan
skeroterapi atau ligasi endoskopik untuk menangani varises. Namun pada pasien dengan ikterus
persisten dan fungsi hati yang buruk transplantasi hati merupakan satu-satunya terapi yang dapat
memberikan harapan. 31
Sindrom Hepato-Pulmonal
Sindrom hepato-pulmonal ditandai dengan adanya hipoksia, sianosis, dispneu, dan jari tabuh
akibat adanya shunting arteri-vena pulmonal. Diagnosis dapat ditegakkan dengan skintigrafi pulmonal.31
Keganasan
Beberapa keganasan yang dilaporkan pada pasien atresia biliaris dengan sirosis hati antara lain
karsinoma hepatoseluler, hepatoblastoma, dan kolangiokarsinoma.31
29
UKK Gastrohepatologi IDAI
I S
Faktor Prognostik
Faktor yang mempengaruhi prognosis setelah operasi Kasai antara lain :
I. Umur saat dilakukan operasi
II. Pengalaman operator
III. Adanya kerusakan hati sebelumnya
IV. Lokasi terjadinya atresia
V. Frekuensi terjadinya kolangitis
VI. Pasien dengan sindrom
Sindrom Alagille
Sindrom Alagille (SA) merupakan penyebab tersering kolestasis intrahepatal familial yang
diwariskan secara dominan autosom.14,16 Pada sindrom ini terjadi mutasi gen Jagged 1 (JAG1) pada
kromosom 20p12. Insidensinya 1:100.000 kelahiran hidup. Kolestasis yang terjadi pada SA terjadi akibat
ketiadaan atau berkurangnya duktus biliaris intrahepatal (bile duct paucity). Rasio duktus biliaris : portal
space normal pada bayi cukup bulan berkisar antara 0,9-1,8. Disebut bile duct paucity apabila rasionya
kurang dari 0,9. Duktus biliaris terbentuk normal, akan tetapi akan hilang secara progresif dengan
mekanisme yang belum diketahui. 32
Gambaran Klinis
Kriteria mayor SA antara lain32 :
Kolestasis kronis (ditemukan pada 91% pasien)
Fasies yang khas (dahi lebar, dagu lancip, saddle nose, mata menjorok ke dalam ditemukan pada
95% pasien. Gambaran ini sulit dikenali pada saat lahir, tetapi akan jelas terlihat jelas seiring
dengan bertambahnya usia)
30
UKK Gastro-Hepatologi IDAI
Diagnosis SA ditegakkan apabila minimal terdapat 3 dari 5 tanda mayor di atas. SA dapat pula
disertai kelainan ginjal (pada 40-50% pasien dengan SA), retardasi mental (pada 2% pasien dengan SA),
gangguan petumbuhan dan perkembangan (pada 50-87% pasien dengan SA akibat malnutrisi), serta
insufisiensi pankreas.
Tatalaksana
Tatalaksana umumnya suportif dengan terapi nutrisi dan terapi untuk mengatasi komplikasi
kolestasis kronis. Transplantasi hati kadang diperlukan pada 21-31% pasien. 50% pasien yang didiagnosis
pada saat bayi memerlukan transplantasi pada umur 19 tahun. Indikasi transplantasi hati antara lain
disfungsi hati, hipertensi porta yang tidak dapat diatasi, fraktur, gangguan pertumbuhan, dan pruritus. 32
31
UKK Gastrohepatologi IDAI
I S
Hepatitis Neonatal Idiopatik
Istilah idiopatik digunakan pada kasus-kasus yang sembuh sebelum usia 1 tahun. Hepatitis
neonatal idiopatik merupakan diagnosis terakhir yang digunakan apabila penyebab lain tidak diketahui.
Insidensinya 1:4800-9000 kelahiran hidup. Akan tetapi dengan semakin majunya proses diagnostik,
insidensinya semakin berkurang dalam dua dekade terakhir ini. 14
Secara klinis biasanya terdapat pada bayi laki-laki, berat lahir rendah, dengan keadaan umum
tampak sakit. Ikterus umumnya muncul pada minggu pertama kehidupan. Tidak didapatkan feses akolik
kecuali pada kolestasis berat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hepatomegali dengan konsistensi
kenyal. Bilirubin dan transaminase serum sedikit meningkat. Gambaran patologi khas yang ditemukan
pada biopsi hati adalah pembengkakan sel difus, transformasi giant cell, dan nekrosis hepatoseluler
fokal.14,16
Manajemen bersifat suportif.
Kolestasis dengan CMV
Atresia Biliaris dan infeksi CMV
CMV yang dapat menginvasi epitel duktus biliaris, diduga merupakan salah satu penyebab atresia
biliaris. Suatu studi di Swedia menunjukkan suatu prevalensi adanya anti-CMV pada ibu dengan bayi
teinfeksi CMV serta DNA-CMV ditemukan pada hati 9 dari 18 bayi dengan atresia biliaris. Akan tetapi,
pada studi lain menunjukkan bahwa pemeriksaan DNA-CMV menunjukkan hasil negatif.
Hepatitis Neonatal dan infeksi CMV
Infeksi CMV dapat ditularkan secara transplasenta (pada saat lahir) atau postnatal dari sekret
yang terinfeksi (saliva atau ASI), atau dari transfusi darah. CMV merupakan infeksi kongenital tersering di
negara maju, terjadi pada 0,5-1,3% kelahiran hidup. Kurang lebih 20% anak usia kurang dari 15 tahun
32
UKK Gastro-Hepatologi IDAI
dan 50-60% individu usia kurang dari 30 tahun diketahui terinfeksi oleh CMV. Meskipun demikian, hanya
sekitar 10 % yang menimbulkan gejala, sedangkan sisanya asimtomatik. Gambaran klinis pada infeksi
CMV ini antara lain berat lahir rendah, mikrosefali, kalsifikasi periventrikuler, korioretinitis,
trombositopenia, purpura, tuli, serta retardasi psikomotor. Hepatosplenomegali dan hiperbilirubinemia
direk sering terjadi pada infeksi CMV kongenital.
Diagnosis infeksi CMV ditegakkan dari kultur nasofaring, saliva, dan urin. Tes serologi juga
berguna pada diagnosis infeksi CMV. IgM antibodi spesifik CMV dapat digunakan untuk monitoring.
Terapi pada infeksi CMV yaitu dengan pemberian suatu antivirus (Ganciclovir) dan imonoglobulin
CMV intravena.
33
UKK Gastrohepatologi IDAI
I S
DAFTAR PUSTAKA
1. Gourley GR. Jaundice. Dalam: Wyllie R, Hyams JS, penyunting. Pediatric Gastrointestinal Disease.
Pathophysiology, Diagnosis, Management. Edisi ke-2. Philadelphia: Saunders; 1999.h 88-102.
2. Rosenthal P, Sinatra F. Jaundice in Infancy. Pediatric Rev 1989; 11: 79-86.
3. Schwoebel A, Gennaro S. Neonatal hyperbilirubinemia. J Perinat Neonat Nurs 2006; 20: 103-7.
4. Brouillard R. Measurement of red blood cell life-span. JAMA 1974; 230:1304-5.
5. Halamek LP, Stevenson DK. Neonatal jaundice and liver disease. In: Fanaroff AA, Martin RJ, eds. Neonatalperinatal medicine: diseases of the fetus and infant. 6th ed. Vol. 2. St. Louis: MosbyYear Book,
1997:1345-89.
6. Gourley GR. Neonatal Jaundice and Disorders of Bilirubin Metabolism. Dalam: Suchy F, Sokol R, Balistreri
W, penyunting. Liver Disease in Children. Edisi ke-2. Philladelphia: Lippincot William&Wilkins; 2001. 187194.
7. Kramer LI. Advancement of Dermal Icterus in The Jaundiced Newborn. Am J Dis Child 1969; 118: 454-458.
8. NASPGHN. The Neonatal Cholestasis Clinical Practice Guidelines. Website 2007 Diunduh dari: URL:
www.naspghn.sub/positionpapers.asp
9. Jaundice and Hyperbilirubinemia in the Newborn. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, eds. Nelson
Textbook of pediatrics. 16th ed. Philadelphia: Saunders, 2000:511-28.
10. American Academy of Pediatrics Provisional Committee for Quality Improvement and Subcommittee on
Hyperbilirubinemia. Practice Parameter: Management of Hyperbilirubinemia in the Healthy Term
Newborn. Pediatrics 1994;94(4 pt 1):558-65.
11. Jackson JC. Adverse Events Associated with Exchange Transfusion in Healthy and Ill Newborns. Pediatrics
1997;99:E7.
12. Brown AK, Kim MH, Wu YK, Bryla DA. Efficacy of Phototherapy in Prevention and Management of
Neonatal Hyperbilirubinemia. Pediatrics 1985;75(2pt 2):393-400.
13. Karpen SJ. Mechanisms of Bile Formation and Cholestasis. In: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri W, eds. Liver
Disease in Children. 3rd ed. New York: Cambridge University Press; 2007.
14. Suchy FJ. Neonatal Cholestasis. Pediatr Rev 2004; 25: 388-396.
34
UKK Gastro-Hepatologi IDAI
15. NASPGHN. Guideline for the Evaluation of Cholestatic Jaundice in Infants: Recommendations of the North
American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. J of Ped Gastroenterol and
Nutr 2004; 39: 115-128.
16. Venigalla S, Gourley GR. Neonatal Cholestasis. J Ar Neonat For 2005; 2: 27-34.
17. Batres LA, Maller ES. Laboratory Assessment of Liver Function and Injury in Children. Dalam: Dalam: Suchy
F, Sokol R, Balistreri W, penyunting. Liver Disease in Children. Edisi ke-2. Philladelphia: Lippincot
William&Wilkins; 2001. 155-169.
18. Penn R, Worthington DJ. Is Serum Gamma-Glutamyl Transferasea misleading Test? BMJ 1983; 286: 53135.
19. Lockitch G, Halstead AC, Albersheim S, et al. Age and Sex Specific Pediatric Reference Intervals for
Biochemistry Analyses as Measured with Ektachem-700 Analyser. Clin Chem 1988; 34: 1622-25.
20. Rothschild MA, Oratz M, Schreiber SS. Serum Albumin. Hepatology 1988; 8: 385-401.
21. Colon AR. Textbook of Pediatric Hepatology. Chicago: Year Book Medical, 1990:31.
22. Park WH, Choi SO, Lee HJ, et al: A new Diagnostic Approach to Biliary Atresia with Emphasis on the
Ultrasonographic Triangular Cord Sign: Comparison of Ultrasonography, Hepatobiliary Scintigraphy, and
Liver Needle Biopsy in the Evaluation of Infantile Cholestasis. J Pediatr Surg 1997; 32:1555-59.
23. Kotb MA, Kotb A, Sheba MF, et al: Evaluation of the Triangular Cord Sign in the Diagnosis of Biliary Atresia.
Pediatrics 2001; 108:416-20.
24. Kanegawa K, Akasaka Y, Kitamura E, et al: Sonographic Diagnosis of Biliary Atresia in Pediatric Patients
Using the Triangular Cord Sign Versus Gallbladder Length and Contraction. AJR; 181:1387-90.
25. Lin EC, Kuni CC. Radionuclide imaging of hepatic and biliary disease. Semin Liver Dis 2001; 21:179-194.
26. Han SJ, Kim MJ, Han A, Chung KS, Yoon CS, Kim D, et al: Magnetic Resonance Cholangiography for the
Diagnosis of Biliary Atresia. J Pediatr Surg 2002;37:599604.
27. Zallen, GS, Bliss DW, Curran TJ, et al: Biliary Atresia. Pediatr in Rev 2006; 27: 243-48.
28. Balistreri W, Bove K, Rykman F. Biliary Atresia and other Disorder of Extrahepatic Bile Ducts. Dalam: Suchy
F, Sokol R, Balistreri W, penyunting. Liver Disease in Children. Edisi ke-2. Philladelphia: Lippincot
William&Wilkins; 2001. 253-274.
29. Sokol RJ, Mack C, Narkewickz MR, et al: Pathogenesis and Outcome of Biliary Atresia: Current Concepts. J
of Peadiatr Gastroenterol and Nutr 2003; 27: 4-21.
35
UKK Gastrohepatologi IDAI
I S
30. Ohi R. Biliary atresia. A surgical perspective. Clin Liver Dis 2000;4:779804.
31. Sinha CK, Davenport M. Biliary Atresia. 2008; 13:49-56.
32. Piccoli DA. Alagille Syndrome. Dalam: Suchy F, Sokol R, Balistreri W, penyunting. Liver Disease in Children.
Edisi ke-2. Philladelphia: Lippincot William&Wilkins; 2001. 327-342.
36
UKK Gastro-Hepatologi IDAI