You are on page 1of 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
I.

Definisi
HIV (Human immunodeficiency Virus) adalah virus pada manusia yang
menyerang system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang relatif
lama dapat menyebabkan AIDS, sedangkan AIDS sendiri adalah suatu sindroma
penyakit yang muncul secara kompleks dalam waktu relatif lama karena penurunan
sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sindroma yang
menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa adanya penyebab yang
diketahui untuk dapat menerangkan terjadinya defisiensi tersebut sepertii
keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan
sebagainya (Rampengan dan Laurentz, 2007).

II. Epidemiologi
Menurut data WHO tahun 2014, prevalensi penduduk dengan terinfeksi HIV
sejumlah 36,9 juta jiwa dengan 2,6 juta diantaranya adalah anak-anak di bawah usia
15 tahun. Infeksi baru diperkirakan mencapai 2 juta per tahunnya dengan angka
kematian sekitar 1,2 juta jiwa. Pada anak usia kurang dari 15 tahun terdapat sekitar
220.000 infeksi baru dengan 150.000 diantaranya meninggal dunia.

Data Epidemiologi AIDS menurut WHO tahun 2014


11

III. Etiologi
Sindrom immunodefisiensi didapat pediatrik (AIDS) disebabkan oleh virus
immunodefisiensi manusia / Human Immunodeficiency virus (HIV) tipe 1 (HIV-1)
yang melekat dan memasuki limfosit T helper CD4+ , yang juga ditemukan dalam
jumlah yang lebih rendah pada monosit dan makrofag. HIV-I merupakan retrovirus
yang termasuk pada subfamili Lentivirus. Juga sangat dekat dengan HIV-II, yang
menyebabkan penyakit yang sama. HIV adalah virus RNA dan merupakan parasit
obligat intra sel .Dalam bentuknya yang asli ia merupakan partikel yang inert, tidak
dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel host ( sel target ).
Retrovirus mengandung kapsid sebelah dalam yang disusun dari protein struktur
yang dirujuk pada ukurannya.
Protein struktural utama adalah p24, terdeteksi dalam serum penderita yang
terinfeksi dengan beban virus tinggi.
Kapsid virion mengandung dua kopi RNA helai tunggal dan beberapa molekul
transkriptase balik. Transkriptase balik adalah polimerase DNA virus yang
menggabung nukleosid menjadi DNA dengan menggunakan RNA virus sebagai
model. (Behrman et al 2009)
HIV merupakan retrovirus sitopatik tidak bertransformasi mendorong
terjadinya immunodefisiensi dengan merusak sel T sasaran. Selubung (envelope)
lipid HIV-I berasal dari membran sel pejamu yang terinfeksi saat budding, yang
mengandung dua glikoprotein virus, gp120 dan gp41. gp120 penting pada
pengikatan pada molekul CD4 pejamu untuk memulai infeksi virus. Ditemukan
beberapa gen yang tidak ditemukan pada retrovirus lain, yaitu tat, vpu, vip, nef, dan
rev.tat dan rev, mengatur transkripsi HIV dan karenanya dapat dipakai sebagai target
terapi. Virus diisolasi dari sel limfosit, serum cairan serebrospinal, dan semua
sekresi dari penderita yang terinfeksi. (Robbins et al, 2008).
IV. Patofisiologi
Atas dasar interaksi HIV dengan respon imun pejamu, infeksi HIV dibagi
menjadi tiga Tahap :
12

1) Tahap dini, fase akut, ditandai oleh viremia transien, masuk ke dalam jaringan
limfoid, terjadi penurunan sementara dari CD4+ sel T diikuti serokonversi dan
pengaturan replikasi virus dengan dihasilkannya CD8+ sel T antivirus. Secara
klinis merupakan penyakit akut yang sembuh sendiri dengan nyeri tenggorok,
mialgia non-spesifik, dan meningitis aseptik. Keseimbangan klinis dan jumlah
CD4+ sel T menjadi normal terjadi dalam waktu 6-12 minggu.
2) Tahap menengah, fase kronik, berupa keadaan laten secara klinis dengan
replikasi. virus yang rendah khususnya di jaringan limfoid dan hitungan CD4+
secara perlahan menurun. Penderita dapat mengalami pembesaran kelenjar limfe
yang luas tanpa gejala yang jelas. Tahap ini dapat mencapai beberapa tahun.
Pada akhir tahap ini terjadi demam, kemerahan kulit, kelelahan, dan viremia.
Tahap kronik dapat berakhir antara 7-10 tahun.
3)

Tahap akhir, fase krisis, ditandai dengan menurunnya pertahanan tubuh


penderita secara cepat berupa rendahnya jumlah CD4+, penurunan berat badan,
diare, infeksi oportunistik, dan keganasan sekunder. Tahap ini umumnya dikenal
sebagai AIDS. Petunjuk dari CDC di Amerika Serikat menganggap semua orang
dengan infeksi HIV dan jumlah sel T CD4+ kurang dari 200 sel/l sebagai
AIDS, meskipun gambaran klinis belum terlihat. (Robbins et al, 2008)

V. Infeksi HIV pada Anak


Pada neonatal HIV dapat masuk ke dalam tubuh melalui penularan
transplasental atau perinatal. Setelah virus HIV masuk ke dalam target yang
mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD4. Ia melepas bungkusnya
kemudian mengeluarkan enzim R-tase yang dibawanya untuk mengubah bentuk
RNA-nya menjadi DNA agar dapat bergabung menyatukan diri dengan DNA sel
target (sel limfosit T helper CD4 dan sel-sel imunologik lain) . Dari DNA sel target
ini berlangsung seumur hidup. Sel limfosit T ini dalam tubuh mempunyai
mempunyai fungsi yang penting sebagai daya tahan tubuh. Akibat infeksi ini fungsi
sistem imun (daya tahan tubuh) berkurang atau rusak, maka fungsi imonologik lain
juga mulai terganggu. HIV dapat pula menginfeksi makrofag, sel-sel yang dipakai
13

virus untuk melewati sawar darah otak masuk ke dalam otak. Fungsi linfosit B juga
terpengaruh, dengan peningkatan produksi imunoglobulin total sehubungan dengan
penurunan produksi antibodi spesifik. Dengan memburuknya sistem imun secara
progresif, tubuh menjadi semakin rentan terhadap infeksi oportunis dan juga
berkurang kemampuannya dalam memperlambat replikasi HIV. Infeksi HIV
dimanifestasikan sebagai penyakit multi-sistem yang dapat bersifat dorman selama
bertahun-tahun sambil menyebabkan imunodefisiensi secara bertahap. Kecepatan
perkembangan dan manifestasi klinis dari penyakit ini bervariasi dari orang ke
orang. Virus ini ditularkan hanya melalui kontak langsung dengan darah atau produk
darah dan cairan tubuh, melalui obat-obatan intravena, kontak seksual, transmisi
perinatal dari ibu ke bayi, dan menyusui. Tidak ada bukti yang menunjukkan infeksi
HIV didapat melalui kontak biasa.
Empat populasi utama pada kelopok usia pediatrik yang terkena HIV :
1) Bayi yang terinfeksi melalui penularan perinatal dari ibu yang terinfeksi
(disebut juga trasmisi vertikal); hal ini menimbulkan lebih dari 85% kasus
AIDS pada anak-anak yang berusia kurang dari 13 tahun.
2) Anak-anak yang telah menerima produk darah (terutama anak dengan
hemofili)
3) Remaja yang terinfeksi setelah terlibat dalam perilaku resiko tinggi.
4) Bayi yang mendapat ASI ( terutama di negara-negara berkembang ).
(Cecily, 2012)

14

PATOGENESIS
HIV-1

Jarum suntik

Ibu

Transfusi

Hub sexual

Transplasental

Sel Host

Limfosit T

Perinatal

Aliran darah / mukosa


Kel. Limfe

CD4+
Hiperplasi
folikel

Internalisasi
Enzim RT-ase
Transkripsi terbalik
Mengubah RNA
menjadi DNA

Replikasi
virus masit

Limfadenopati

Viremia

Destruksi sel
CD4
Bertahap

Inf. Akut
Laten

Kel. Getah
bening perifer

Lim B

Kel. Sel. B

Pe Ab
spesifik

Pe Ig
total

Krisis

Integritas DNA
provirus ke Host

Hiper gamma
globulinemia

Transkripsi / translasi
& propagasi virus

Respon IgM
me

Inf. Oportunistik
Keganasan sekunder
AIDS
Monosit
makrorag

Tahan sitopatik HIV

Penyebaran patogenesis

Gangguan fungsi monosit & makrofag

Kematoksis
Fagositosis

SSP

15

AIDS
Inf. Oportunistik
SSP

Mata

Cryptococcus
Toxoplasma
Candida
Mycobacterium
TB
Tumor

Meningitis
Encepalitis
Demensia
Gangguan psikomotor
Kejang-kejang

CM V
Toxoplasma

Perivaskulitis
Retinitis

Hidung

Sinusitis

Mulut

Jamur oral thrush


Stomatitis herpes
Parotitis
Kandidiasis oral / faring

Paru

Pnemonia pneumocystis carinii (PPC)


Cytomegalovirus
Mycobacterium avium intracellare / M. TB
Lymphoid interstitial pneumonitis
Virus epstein Barr bronkopneumonia

Jantung

Kardiomiopati DC

Limpa

Splenomegali

pankreas

Pankreatitis (trauma akibat pemberian pentamidin)

Hepar

hepatitis

GI track

Diare
Malabsorbsi

Kel. limfe

Ensepalopati

Salmonella
CMV
Kandida
Herpes simplex
Cryptosporodium
Camphilobacter

Limfodenopati

Ginjal

Focal glomerulosclerosis
Mesangial hyperplasia

Kulit

Dermatitis (Ekzema s/d pyoderma gangrenosum & scabies

Darah

Trombocytopenia, Neutropeni, Anemi

Proteinuria

16

VI. Manifestasi Klinis pada Bayi dan Anak


Bayi yang terinfeksi tidak dapat dikenali secara klinis sampai terjadi penyakit
berat atau sampai masalah kronis seperti diare, gagal tumbuh, atau kandidiasis oral
memberi kesan imunodefisiensi yang mendasari. Kebanyakan anak dengan infeksi
HIV-1 terdiagnosis antara umur 2 bulan dan 3 tahun.
Manifestasi klinisnya antara lain :
1) Berat badan lahir rendah
2) Gagal tumbuh
3) Limfadenopati umum
4) Hepatosplenomegali
5) Sinusitis
6) Infeksi saluran pernafasan atas berulang
7) Parotitis
8) Diare kronik atau kambuhan
9) Infeksi bakteri dan virus kambuhan
10) Infeksi virus Epstein-Barr persisten
11) Sariawan Orofaring
12) Trombositopenia
13) Infeksi bakteri seperti meningitis
14) Pneumonia Interstisial kronik
Lima puluh persen anak-anak dengan infeksi HIV terkena sarafnya yang
memanifestasikan dirinya sebagai ensefalopati progresif, perkembangan yang
terhambat, atau hilangnya perkembangan motoris.
(Cecily, 2012)
Kategori Klinis HIV
1) Kategori N : Tidak bergejala
Anak-anak tanpa tanda atau gejala infeksi HIV
2) Kategori A : Gejala ringan
Anak-anak mengalami dua atau lebih gejala berikut ini :
Limfadenopati
17

Hepatomegali
Splenomegali
Dermatitis
Parotitis
Infeksi saluran pernapasan atas yang kambuhan/ persisten, sinusitis, atau
otitis media
3) Kategori B : Gejala sedang
Anak-anak dengan kondisi simtomatik karena infeksi HIV atau
menunjukkan kekurangan kekebalan karena infeksi HIV . Contoh dari kondisikondisi tersebut adalah sebagai berikut :
Anemia, neutropenia, trombositopenia selama > 30 hari
Meningitis bakterial, pneumonia, atau sepsis
Sariawan persisten selama lebih dari 2 bulan pada anak di atas 6 bulan
Kardiomiopati
Infeksi sitomegalovirus dengan awitan sebelum berusia 1 bulan
Diare, kambuhan atau kronik
Hepatitis
Stomatitis herpes, kambuhan
Bronkitis, pneumonitis, atau esofagitis HSV dengan awitan sebelum berusia 1
bulan
Herpes zoster, dua atau lebih episode
Leimiosarkoma
Pneomonia interstisial limfoid atau kompleks hiperplasia limfoid pulmoner
(LIP/PLH)
Nefropati
Nokardiosis
Varisela zoster persisten

18

Demam persisten >1 bulan


Toksoplasmosis, awitan sebelum berusia 1 bulam
Varisela, diseminata ( cacar air berkomplikasi )
4) Kategori C : Gejala Hebat
Anak dengan kondisi berikut :
Infeksi balterial multipel atau kambuhan
Kandidiasis pada trakea, bronki, paru, atau esofagus
Koksidioidomikosis, intestinal kronik
Penyakit sitomegalovirus ( selain hati, limpa, nodus ) dimulai pada umur > 1
bulan.
Retinitis sitomegalovirus (dengan kehilangan penglihatan).
Ensefalopati HIV.
Ulkus herpes simpleks kronik ( durasi > 1 bulan ) atau pneumonitis atau
esofagitis, awitan saat berusia > 1 bulan.
Histoplasmosis, diseminata atau ekstrapulmoner.
Isosporiasis interstinal kronik (durasi > 1 bulan).
Sarkoma kaposi.
Limfoma, primer di otak.
Limfoma ( sarkoma burkitt atau sarkoa imunoblastik ).
Kompleks Mycobacterium avium atau Mycobacterium kansasii, diseminata
atau ekstrapulmoner.
Pneumonia Pneumocystis carinii.
Leukoensefalopati multifokal progresif.
Septikemia salmonella kambuhan.
Toksoplasmosis pada otak, awitan saat berumur > 1 bulan.
Wasting Syndrome karena HIV. (Cecily, 2012)

19

VII.Pendekatan Diagnosis
Pendekatan diagnosa HIV pada anak terutama bayi relatif lebih sukar dari
pada orang dewasa. Hal ini di samping karena tanda klinisnya yang tidak / kurang
meyakinkan akibat banyaknya penyakit lain yang harus dipikirkan sebagai diagnosa
bandingnya, juga karena pemeriksaan serologisnya yang sering membingungkan.
Adanya antibodi terhadap HIV (IgG) pada darah bayi dapat merupakan antibodi
yang berasal dari ibunya, karena antibodi ini dapat menembus plasenta, yang dapat
menetap berada dalam darah si anak sampai berumur 18 bulan. Kalau hal ini terjadi,
maka memerlukan pemeriksaan serial dan untuk mengevaluasi kebenaran terjadinya
infeksi bagi si bayi. Pada umumnya dikatakan, masih terdapatnya antibodi sampai
lebih dari 15 bulan menunjukkan adanya infeksi HIV pada bayi. Terdapatnya
antibodi kelas IgM atau IgA, mempunyai arti diagnostik yang lebih tinggi, dengan
sensitifitas dan spesifitas sampai 98%.
Pada umumnya diagnosa infeksi HIV pada anak ditegakkan atas dasar :
1.

Tergolong dalam kelompok resiko tinggi.

2.

Adanya infeksi oportunistik dengan atau tanpa


keganasan

3.

Adanya

tanda-tanda

defisiensi

imun,

seperti

menurunnya T4 (ratio T4:T8)


4.

Tidak didapatkan adanya penyebab lain dari defisiensi


imun.

Terbukti adanya HIV baik secara serologi maupun kultur.


Pembuktian adanya HIV dapat dengan mencari antibodinya (IgG, IgM
maupun IgA) yang dapat dikerjakan dengan metoda Elisa maupun Weste Blot.
Dapat pula dengan menentukan Antigen p-24 dengan metoda Elisa, ataupun DNA
virus dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Pemeriksaan ini tentunya
mempunyai arti diagnostik yang lebih tinggi. Metoda lain yang sedang
dikembangkan adalah IVAP (In vitro Antibody Production), dengan mencari sel-sel
penghasil antibodi dari darah bayi.
WHO telah menetapkan kriteria diagnosa AIDS pada anak sebagai berikut :
20

Seorang anak (<12 tahun) dianggap menderita AIDS bila :


1.

Lebih dari 18 bulan, menunjukkan tes HIV positif, dan sekurangkurangnya didapatkan 2 gejala mayor dengan 2 gejala minor. Gejala-gejala
ini bukan disebabkan oleh keadaan-keadaan lain yang tidak berkaitan
dengan infeksi HIV.

2.

Kurang dari 18 bulan, ditemukan 2 gejala mayor dan 2 gejala minor


dengan ibu yang HIV positif. Gejala-gejala ini bukan disebabkan oleh
keadaan-keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.

Tabel 1 : Definisi Klinis HIV pada anak di bawah 12 tahun (menurut WHO).
Gejala Mayor :
a)
b)
c)
d)

Penurunan berat badan atau kegagalan pertumbuhan.


Diare kronik (lebih dari 1 bulan)
Demam yang berkepanjangan (lebih dari 1 bulan)
Infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang parah dan menetap

Gejala Minor :
a)
b)
c)
d)
e)
f)

Limfadenopati yang menyeluruh atau hepatosplenomegali


Kandidiasis mulut dan faring
Infeksi ringan yang berulang (otitis media, faringitis
Batuk kronik (lebih dari 1 bulan)
Dermatitis yang menyelurh
Ensefalitis

Metoda ini mempunyai spesifisitas yang tinggi, tetapi sensitivitas positive


predictive valuenya yang rendah. Pada umumnya digunakan hanya untuk
melakukan surveillance epidemiologi.
Untuk keperluan pencatatan dalam melaksanakan surveillance epidemiologi,
CDC telah membuat klasifikasi penderita AIDS pada anak sebagai berikut (lihat
tabel 2) :
Tabel 2. Klasifikasi infeksi HIV pada anak di bawah umur 18 tahun menurut
Center for Disease Control (CDC)

21

Klas
P-0
P1

P-2

Subklas / kategori
Infeksi yang tak dapat dipastikan (indeterminate infection)
Infeksi yang asimtomatik
Subklas A : Fungsi immun normal
Subklas B : Fungsi immun tak normal
Subklas C : Fungsi immun tidak diperiksa
Infeksi yang simtomatik
Subklas A : Hasil pemeriksaan tidak spesifik (2/lebih gejala menetap
lebih 2 bulan)
Subklas B : Gejala neurologis yang progressip
Subklas C : Lymphoid interstitial pneumonitis
Subklas D : Penyakit infeksi sekunder
Kategori D-1 Infeksi sekunder yang spesifik, sebagaimana
tercantum dalam daftar definisi surveillance CDC
untuk AIDS
Kategori D-2 Infeksi bakteri serius berulang
Kategori D-3 Penyakit infeksi sekunder yang lain
Subklas E : Kanker sekunder
Kategori E-1 Kanker sekunder sebagaimana tercantum dalam
daftar definisi surveillance CDC untuk AIDS
Kategori E-2 Kanker lain yang mungkin juga disebabkan karena
infeksi AIDS
Subklas F : Penyakit-penyakit lain yang mungkin juga disebabkan oleh
infeksi H HIV
Anak-anak yang menderita penyakit dengan gejala klinis yang tidak

sesuai dengan kriteria diagnosa infeksi HIV disebut AIDS Related Complex
(ARC). Pada umumnya gejalanya berupa : limfadenopati, peumonitis
interstitialis, diare menahun, infeksi berulang, kandidiasis mulutyang menetap,
serta pembesaran hepar, namun belum ada infeksi oportunistik atau keganasan.
Untuk memudahan dalam membuat diagnosa ARC, oleh CDC telah pula
diberikan kriterianya seperti tercantum pada tabel 3
Tabel 3. Kriteria AIDS Related Complex (ARC) pada anak (CDC)
Kriteria Mayor :
- Pneumonitis interstitialis
- Oral Thrush yang menetap / berulang
- Pembesaran kelenjar parotis

22

Kriteria Minor :
- Limfadenopati pada 2 tempat atau lebih (bilateral dihitung 1)
- Pembesaran hepar dan lien
- Diare menahun / berulang
- Kegagalan pertumbuhan (failure to thrive)
- Ensefalopati idiopatik progresip
Kriteria Laboratorium :
- Peningkatan IgA / IgM dalam serum
- Perbandingan T4/T8 terbalik
- IVAP rendah
Diagnosa ARC ditegakkan apabila ada 1 kriteria mayor, 1 kriteria minor. Serta 2
kriteria laboratorium selama lebih dari 3 bulan.
VIII. Uji Laboratorium dan Diagnostik
1)

Elisa : Enzyme-linked imunosorbent assay (uji awal yang umum)


mendeteksi
antibodi terhadap antigen HIV (umumnya dipakai untuk skrining HIV pada
individu yang berusia lebih dari 2 tahun).

2)

Western blot (uji konfirmasi yang umum) mendeteksi adanya antibodi


terhadap beberapa protein spesifik HIV.

3)

Kultur HIV standar emas untuk memastikan diagnosis pada bayi.

4)

Reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction [PCR]) mendeteksi


asam deoksiribonukleat (DNA) HIV (uji langsung ini bermanfaat untuk
mendiagnosis HIV pada bayi dan anak.

5)

Uji antigen HIV mendeteksi antigen HIV.

6)

HIV, IgA, IgM mendeteksi antibodi HIV yang diproduksi bayi (secara
eksperimental dipakai untuk mendiagnosis HIV pada bayi).
Mendiagnosis infeksi HIV pada bayi dari ibu yang terinfeksi HIV tidak

mudah. Dengan menggunakan gabungan dari tes-tes di atas, diagnosis dapat


ditetapkan pada kebanyakan anak yang terinfeksi sebelum berusia 6 bulan.

23

1)

Temuan laboratorium ini umumnya terdapat pada bayi dan anak-anak


yang terinfeksi HIV : Penurunan rasio CD4 terhadap CD8.

2)

Limfopenia.

3)

Anemia, trombositopenia.

4)

Hipergammaglobulinemia (IgG, IgA, IgM).

5)

Penurunan respon terhadap tes kulit (candida albican, tetanus).

6)

Respon buruk terhadap vaksin yang didapat (dipteria, tetanus, morbili )

7)

Haemophilus influenzae tipe B

8)

Penurunan jumlah limfosit CD4+ absolut.

9)

Penurunan persentase CD4+.


Bayi yang lahir dari ibu HIV positif yang berusia kurang dari 18 bulan dan

yang menunjukkan uji positif untuk sekurang-kurangnya 2 determinasi terpisah


dari kultur HIV, reaksi rantai polimerase HIV, atau antigen HIV, maka dia dapat
dikatakan terinfeksi HIV. Bayi yang lahir dari ibu HIV-positif, berusia kurang
dari 18 bulan, dan tidak positif terhadap ketiga uji tersebut dikatakan terpajan
pada masa perinatal. Bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV yang ternyata
antibodi HIV negatif dan tidak ada bukti laboratorium lain yang menunjukkan
bahwa ia terinfeksi HIV, maka ia dikatakan Seroreverter.
( Cecily, 2012)
IX. Penatalaksanaan Medis
1. Penalaksanaan perinatal terhadap bayi yang dilahirkan dari ibu yang terbukti
terinfeksi HIV.
Pembersihan bayi segera setelah lahir terhadap segala cairan yang berasal
dari ibu baik darah maupun cairan-cairan lain, sebaiknya segala tindakan
terhadap si bayi dikerjakan secara steril. Pertimbangan untuk tetap memberikan
ASI harus dipikirkan masak-masak, bahkan ada yang menganjurkan untuk
penunjukan orang tua asuh. Penting untuk senantiasa memonitor anti HIV, sejak
si ibu hamil sampai melahirkan, demikian juga sang bayi sampai berumur lebih
dari 2 tahun. Ada pula yang menganjurkan untuk melakukan terminasi
24

kehamilan, bagi ibu yang jelas terkena infeksi HIV, karena kemungkinan
penularan pada bayinya sampai 50%.
2. Penatalaksanaan bayi/anak yang telah tertular
a.

Terhadap Etiologi
Diberikan obat-obatan antiretroviral
Tabel 4. Macam-macam antiretroviral
Golongan obat
Nucleoside-reserve
Transcriptase

Nama generik
Azidotimidin/zidovudin
Didanosin
Stavudin
Zalbitabin
Lamivudin

Singkatan
AZT
DDI
D4T
DDC
3TC

Protease Inhibitor (PI)

Indinavir
Ritonavir
Saquinavir

IDV

Non-Nucleoside-Reserve
Transcriptase Inhibitor (NNRTI)

Nevirapin

Pada pemberian pengobatan dengan antiretroviral sebagai indikator


pemakaian/ kemajuan sering dipakai perhitungan jumlah CD4 serta
menghitung beban viral (viral load).
Tabel 5. Terapi antiretroviral menurut tahapan klinis infeksi-HIV
Keadaan klinis penyakit
Sindroma Retroviral Akut (2-4 minggu
setelah terpajan)
Asimtomatik dengan beban virus
< 10.000/ml
Simtomatik / asimtomatik
Dengan beban virus > 10.000/ml
Berlanjutnya penyakit setelah terapi
dengan 2 NRTI

Pedoman terapi
PI + (1 atau 2 NRTI)
Didanosin
Kombinasi 2 NRTI
PI + (1 atau 2 NRTI)
Pindah ke terapi PI NRTI

25

Pada wanita hamil dengan infeksi HIV dapat diberi AZT 2 kali
sehari peroral sejak minggu ke 36 kehamilan sampai persalinan tanpa
memandang jumlah CD4, serta dianjurkan untuk tidak menyusui
bayinya. Pada bayi yang baru lahir bila ibunya HIV positif, dapat diobati
dengan AZT sampai 6 minggu. Sebenarya pada bayi / anak pengukuran
viral-load penting karena rentang jumlah CD4 yang sangat bervariasi
selama masa pertumbuhannya.
Sebagai profilaksis pasca pajanan dapat diberikan AZT sampai 4
minggu. Zidovudin (Azidothymidine), mempunyai efek mempengaruhi
proses replikasi virus.
Dosis yang dianjurkan untuk anak-anak 80, 120, 160 mg/m 2,
diberikan secara intravena setiap 6 jam, selama 1-2 bulan, diikuti peroral
selama 1-2 bulan dengan dosis satu sampai satu setengah kali dosis
intravena.
Efek samping obat berupa neutropenia dan anemia, biasanya
segera membaik dengan pengurangan dosis, atau penghentian pemberian
obat. Dengan pemberian obat ini penderita PCP 73% dapat bertahan
sampai 44 minggu.
Pada umumnya adanya perbaikan ditandai dengan :

b.

Adanya peningkatan berat badan

Pengecilan hepar dan lien

Penurunan immunoglobulin (IgG, IgM)

Peningkatan T4

Perbaikan klinis / radiologis

Peningkatan jumlah trombosit


Terhadap Infeksi Sekunder

1) Infeksi Protozoa
Yang terpenting terhadap : Penumocystis carinii, Toxoplasma dan
Cryptosporidium.
26

i)

Terhadap Pneucystis Carinii, penyebab pneumonia


(Pneumocystis Carinii Pneumonia/PCP)
a) Pentamidin (IV/IM) 4 mg/kg/hr, selama 2 minggu, dosis tunggal.
b) Efek samping berupa : neuse, diare, hipotensi, hipoglikemia dan
gangguan fungsi ginjal
c) Cotrimoxazole (IV/oral), 20 mg/kg/hr, dibagi dalam 4 dosis. Hati-hati
bagi bayi kurang dari 3 bulan. Pada infeksi yang berat dapat
diberikan kortikosteroid.

ii) Terhadap Toxoplasma


Dapat menyebabkan CNS syndrome akibat lesi serebral / space
occupying lesions
a. Pyrimethamine (oral), 12,5-25 mg/hari
b. Sulfadiazin (oral) 2-4 gr/hari
iii)Terhadap Cryptosporidium
Dapat menyebabkan diare kronik. Obat kausal spiramycine, yang
penting pengobatan suportif dan simtomatik terutama rehidrasi.
2) Infeksi Jamur
Manifestasi klinik berupa kandidiasis, pada umumnya memberikan
respon yang baik dengan nystatin topikal amfoterisin B. 0,3 0,5
mg/kg/hari, ketoconazole 5 mg/kg/hr.
3) Infeksi Virus
Yang penting : Virus herpes, cytomegalovirus (CMV), papovavirus
(penyebab progressive multifocal leucoencephalopaty / PML)
i)

Acyclovir 7,5 15
mg/kg/hr (IV) dibagi dalam 3 dosis diberikan selama 7 hari.

ii)

Gancyclovir 7,5
15 mg/kg/hr (IV) dibagi dalam 2 dosis baik untuk CM
Di samping obat-obat di atas, perlu dipertimbangkan pemberian :
2. Vaksinasi dengan vaksin influenza A dan influenza B, setiap tahun.
3. Pemberian amantidin untuk pencegahan infeksi virus influenza A.
27

4. Immunoglobulin Varicella-Zoster 125 u/kg (maksimum 625 u).


Diberikan dalam waktu 96 jam setelah kontak dengan penderita.
5. Immunoglobulin campak : 0,5 ml/kg (maksimum 15 ml) dalam
waktu 6 hari setelah kontak dengan penderita

4) Infeksi Bakteria
Yang penting adalah : Mycobacterium TBC, Mycobacterium
avium intra cellulare, streptococcus, staphylococcus, dll. Diatasi dengan
pemberian antibiotika yang spesifik. Kadang-kadang dipertimbangkan
pemberian immunoglobulin.
- Mengatasi Status Defisiensi Imun
Pada umumnya pemberian obat-obatan pada keadaan ini tidak
banyak memberikan keuntungan. Obat yang pernah dicoba :
i) Biological respons modifier, misalnya alpha / gamma interferron,
interleukin 2, thymic hormon, tranplantasi sumsum tulang,
transplantasi timus.
ii) Immunomodulator misalnya isoprinosine.
- Mengatasi Neoplasma
Neoplamsa yang terpenting adalah sarkoma kaposi. Kalau masih
bersifat lokal, diatasi dengan eksisi dan radio terapi, kalau sudah lanjut,
hanya radioterapi, dikombinasi dengan kemoterapi / interferron.
- Pemberian Vaksinasi
Pada penelitian ternyata, bahwa anak yang terkena infeksi HIV,
masih mempunyai kemampuan immunitas terhadap vaksinasi yang baik
sampai berumur 1-2 tahun. Kemampuan ini menurun setelah berusia di
atas 2 tahun, bahkan ada yang mengatakan menghilang pada umur 4
tahun.

Karenanya

vaksinasi

rutin

sesuai

dengan

Program

Pengembangan Immunisasi yang ada di Indonesia dapat tetap diberikan,

28

dengan pertimbangan yang lebih terhadap pemberian vaksin hidup,


terutama BCG dan Polio.

Tabel 6. Penetapan kategori imun berdasarkan usia dan jumlah CD4


Kelompok Usia :
Jumlah CD4 dan Persentase
Kategori Imun
0 11 bulan
1 5 tahun
6 12 tahun
1) Tidak ada tanda>1500
>1000
>500
tanda supresi
>25%
>25%
>25%
2) Tanda-tanda
750-1499
500-999
200-499
supresi sedang
15-25%
15-25%
15-25%
3) Tanda
supresi
<750
<500
<200
hebat
<15%
<15%
<15%
X. Pencegahan
Pemberian zidovudin selama kehamilan efektif dalam menurunkan resiko
infeksi janin dari wanita hamil yang terinfeksi

HIV-1 pada minggu ke 14-34

kehamilan yang belum mendapat obat ini karena memiliki limfosit CD4 yang
jumlahnya lebih dari 200 sel/mmtanpa gejala klinis AIDS. Ibu mendapat terapi
zidovudin oral (100 mg lima kali sehari) selama sisa masa kehamilan.
Saat persalinan obat diberikan secara intravena ; dosis awal 2 mg/kg diberikan
selama 1 jam dan disertai dengan infus sebanyak 1 mg/kg/jam hingga bersalin.
Bayi baru lahir mendapat terapi antivirus selama 6 minggu ( sirup zidovudin
dosis 2 mg/kg setiap 6 jam ) mulai pada 8-12 jam pascalahir. Hal ini mengakibatkan
penurunan resiko relatif sebesar 67,5%. (Behrman, 2009)

29

BAB III
ANALISA KASUS
Dari alloanamnesis didapatkan keluhan pasien berupa diare sejak 1 bulan yang
lalu. Orang tua pasien mengatakan pasien dapat mengalami 3-5 kali diare dalam satu
hari sebanyak setengah gelas belimbing dengan konsistensi cair maupun lembek. Dari
alloanamnesis tidak didapatkan adanya keluhan BAB disertai darah. Riwayat muntah
disangkal, namun orang tua pasien mengeluhkan minum pasien yang semakin lama
dirasakan semakin menurun. Keluhan berat badan menurun juga dirasakan, sejak 1 bulan
ini pasien sudah mengalami penurunan berat badan dari 4 kg menjadi 3,1 kg.
Selain mengeluhkan diare, pasien juga mengeluhkan adanya batuk berdahak
lama sejak 1 bulan ini. Pasien juga mengeluhkan adanya sariawan sejak 2 minggu yang
lalu dan dirasa semakin hari semakin banyak.
Hari masuk rumah sakit, pasien dibawa berobat ke RSDM dikarenakan kondisi
pasien yang dirasakan semakin lemas oleh orang tua pasien. Saat di IGD, pasien terlihat
lemas. Pasien mengalami diare sudah 3 kali sehari dengan konsistensi cair lebih banyak
daripada padat, tidak ada lendir maupun darah saat BAB. Muntah disangkal, dan pasien
mengaami sariawan. Dari tanda vital pasien didapatkan nadi 110x/menit, laju nafas
30x/menit, dan suhu 36,7C (per aksiller). Dari pemeriksaan fisik didapatkan air mata
yang menurun jumlahnya serta mata cekung. Tidak didapatkan kelainan pada telinga
serta hidung. Dari inspeksi bagian mulut didapatkan adanya mukosa basah dan adanya
oral thrush yang luas di mukosa mulut pasien. Pada pemeriksaan leher didapatkan
adanya pembesaran kelenjar getah bening, multiple bilateral dengan diameter 0,5 cm
namun tidak nyeri tekan. Pada inspeksi bagian thoraks didapatkan adanya iga gambang.

30

Turgor kulit didapatkan hasil kembali lambat, serta ditemukan adanya wasting pada
keempat ekstremitas pasien, serta ditemukan adanya baggy pants. Pada skoring TB yang
dilakukan didapatkan skoring 4. Untuk hasil pemeriksaan lab darah pasien saat di IGD
didapatkan adanya trombositosis (581 ribu/uL) dan anemia (7,5 g/dL).
Pada kasus ini, perlu dilakukan rawat inap karena kondisi pasien yang masuk
dalam kategori gizi buruk, serta dari riwayat nutrisi dan riwayat penurunan berat badan
sehingga perlu pemantauan yang lebih intensif. Untuk masalah gizi pasien dilakukan
beberapa terapi guna stabilisasi dan transisi. Pada pasien ini dilakukan terapi antara lain
rawat bangsal metabolik anak dan dilakukan 10 langkah tatalaksana gizi buruk, yaitu
mencegah dan mengatasi hipoglikemia ( GDS 91 mg/dl), mencegah dan mengatasi
hipotermia (t 37C), mencegah dan mengatasi dehidrasi (tatalaksana rencana III D10%
50ml dilanjutkan dengan pemberian resomal melalui NGT (5 ml/kg) 15 ml tiap 30 menit
selama 2 jam pertama, dilanjutkan pemberian F-75 35 ml selang-seling dengan resomal
15 ml tiap jam dalam 10 jam pertama), memperbaiki gangguan keseimbangan elektrolit
(Na 134, K 4,3 Ca 1,23), pemberian antibiotik selektif: a) Inj ampicilin (50 mg/kg/6jam)
150 mg/6 jam; b) Inj gentamicin (7.5 mg/kg/24 jam) 25 mg/24 jam, memperbaiki
kekurangan zat gizi mikro (mineral mix 1cth 1, Vitamin A 1x200.000 IU, Vitamin C
1x50 mg, asam folat 1x5 mg), memberikan makanan untuk stabilisasi dan transisi (diet
F75 : 12x35 cc), memberikan makanan untuk tumbuh kejar, memberikan stimulasi untuk
kembang, mempersiapkan untuk tindak lanjut di rumah.
Untuk menangani masalah infeksi yang mungkin terjadi dilakukan beberapa
langkah rencana penegakkan diagnosis antara lain pemeriksaan urin dan fese rutin,
rontgen thorak AP/Lateral, Mantoux test, pemeriksaan panel besi, dan pemeriksaan VCT.
Pemeriksaan VCT di sini direncanakan untuk dilakukan mengingat adanya riwayat dari
orang tua pasien yang mengalami penyakit infeksi B20 serta adanya tanda-tanda klinis
dari pasien tersebut. Tanda klinis yang menunjang adanya infeksi dari virus HIV antara
lain ditemukannya oral thrush pada mulut pasien, adanya pembesaran beberapa kelenjar
getah bening (limfadenopati), serta adanya kegagalan pertumbuhan (gizi buruk). Karena
itu perlu dipertimbangkan adanya

pemeriksaan secara menyeluruh termasuk

pemeriksaan VCT.

31

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pasien didiagnosis dengan:
- Tersangka B20
- Tersangka TB paru dd PCP
- Anemia normositik hipokromik ec dd infeksi kronik, def. Fe
- Gizi buruk tipe marasmik fase stabilisasi
2. Pada pasien telah dilakukan penanganan sesuai dengan Pedoman Pelayanan
Medis IDAI.
B. Saran
1. Perlu dilakukan pemeriksaan secara menyeuruh pada pasien ini, mengingat usia
pasien yang masih 6 bulan dengan riwayat keluarga yang mengalami infeksi B20
serta adanya tanda dan gejala yang mengarah pada adanya infeksi virus HIV
pada pasien tersebut.
2. Edukasi pada pasien dan keluarga untuk menjaga kebersihan lingkungan dan
kebersihan diri untuk mencegah adanya

kontaminasi dari kontan secara

langsung terhadap pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Behrman E. (2009) Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15. Jakatra : EGC

32

Cecily LB. (2012) Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC


Rampengan dan Laurentz (2007) Ilmu Penyakit Tropik pada Anak. Jakarta : EGC
Robbins KE. (2008) Dasar Patologi Penyakit. Edisi 5. Jakarta : EGC
RSUD Dr. Soetomo / FK UNAIR (2000), Instalasi Rawat Inap Anak, Surabaya.
Syahlan, JH (2007) AIDS dan Penanggulangan. Jakarta : Studio Driya Media
Wartono, JH (2009) AIDS Dikenal Untuk Dihindari. Jakarta : Lembaga Pengembangan
Informasi Indonesia
World Healt Organization. (2014). Global Summary of the AIDS Epidemic. World Health
Organization Pub.

33

You might also like