Professional Documents
Culture Documents
A. PENGERTIAN
Cidera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan
otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (sylvia anderson
Price, 1985)
Disebut cedera kepala sedang bila GCS 9-12, kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia
lebih dari 24 jam bahkan sampai berhari-hari. Resiko utama pasien yang mengalami cedera kepala
adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap
cedera dan menyebabkan peningkatan TIK.
B. PATOFISIOLOGI
Cedera kulit kepala
Karena bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala berdarah bila
mengalami cedera dalam. Kulit kepala juga merupakan tempat masuknya infeksi intrakranial.
Trauma dapat menimbulkan abrasi, kontisio, laserasi atau avulsi.
Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak disebabkan oleh trauma. Ini
dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat
menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka/tertutup. Bila
fraktur terbuka maka dura rusak dan fraktur tertutup dura tidak rusak. Fraktur kubah kranial
menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur dan karena alasan yang kurang akurat tidak dapat
ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar X, fraktur dasar tengkorak cenderung melintas sinus
paranasal pada tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, juga sering
menimbulkan hemorragi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva.
Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga dan hidung.
Cidera otak
Kejadian cedera Minor dapat menyebabkan kerusakan otak bermakna. Otak tidak dapat
menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu yang bermakna sel-sel cerebral
membutuhkan supalai darah terus menerus untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak tidak
dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir tanpa henti hanya
beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi.
Komosio
Komosio cerebral setelah cedera kepala adalah kehilangan fase neuologik sementara tanpa
kerusakan struktur. Jika jaringan otak dan lobus frontal terkena, pasien dapat menunjukkan
perilaku yang aneh dimana keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan amnesia disoreantasi.
Kontusio
Kontusio cerebral merupakan CKB, dimana otak mengalami memar dan kemungkinan adanya
daerah hemoragi. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri. Pasien terbaring kehilangan
gerakan, denyut nadi lemah, pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat.
Hemoragi cranial
Hematoma ( pengumpulan darah ) yang terjadi dalam tubuh kranial adalah akibat paling
serius dari cedera kepala. Ada 3 macam hematoma :
1.
Setelah terjadi cedera kepala, darah berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural)
diantara tengkorak di dura. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur tulang tengkorak yang
menyebabkan arteri meningkat tengah putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada
diantara dura dan tengkorak daerah frontal inferior menuju bagian tipis tulang temporal, hemoragi
karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak.
2.
hematoma subdural
hematoma subdural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak, yang pada
keadaan normal diisi oleh cairan. Hemoragi sub dural lebih sering terjadi pada vena dan
merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Hematoma
subdural dapat terjadi akut, sub akut atau kronik tergantung pada ukuran pembuluh darah yang
terkena dan jumlah perdarahan yang ada. Hematoma subdural akut: dihubungkan dengan cedera
kepala mayor yang meliputi kkontusio atau laserasi. Hematoma subdural subakut: sekrela kontusio
sedikit berat dan dicurigai pada bagian yang gagal untuk menaikkan kesadaran setelah trauma
kepala. Hematoma subdural kronik: dapat terjadi karena cedera kepala minor dan terjadi paling
sering pada lansia. Lansia cenderung mengalami cedera tipe ini karena atrofi otak, yang
diperkirakan akibat proses penuaan.
3.
C.
Trauma kepala
PATHWAYS
Pola pernafasan
Pusat pernafasan diciderai oleh peningkatan TIK dan hipoksia, trauma langsung atau interupsi
aliran darah. Pola pernafasan dapat berupa hipoventilasi alveolar, dangkal.
Kerusakan mobilitas fisik
Terjadi karena adanya kerusakan kelenjar hipofisis atau hipotalamus dan peningkatan TIK
Aktifitas menelan
Reflek melan dari batang otak mungkin hiperaktif atau menurun sampai hilang sama sekali
Kerusakan komunikasi
Pasien mengalami trauma yang mengenai hemisfer serebral menunjukkan disfasia, kehilangan
kemampuan untuk menggunakan bahasa.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
CT Scan
Ventrikulografi udara
Angiogram
Ultrasonografi
F. PENATALAKSANAAN
1. Air dan Breathing
Perhatian adanya apnoe
Untuk cedera kepala berat lakukan intubasi endotracheal. Penderita mendapat ventilasi dengan
oksigen 100% sampai diperoleh AGD dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2.
Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk mengoreksi asidosis dan menurunkan secara
cepat TIK pada penderita dengan pupil yang telah berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara
25-35 mmhg.
2. Circulation
Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya perburukan pada CKS.
Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak
tampak. Jika terjadi hipotensi maka tindakan yang dilakukan adalah menormalkan tekanan darah.
Lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang sementara penyebab hipotensi
dicari.
3. disability (pemeriksaan neurologis)
Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat dipercaya kebenarannya. Karena
penderita hipotensi yang tidak menunjukkan respon terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi
normal kembali segera tekanan darahnya normal
Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan reflek cahaya pupil
G. PENGKAJIAN PRIMER
a. Airway
Kaji adanya obstruksi jalan antara lain suara stridor, gelisah karena hipoksia, penggunaan otot
bantu pernafasan, sianosis
b. Breathing
Inspeksi frekuensi nafas, apakah terjadi sianosis karena luka tembus dada, fail chest, gerakan otot
pernafasan tambahan. Kaji adanya suara nafas tambahan seperti ronchi, wheezing.
c. Sirkulasi
Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea, hipotermi,pucat, akral dingin,
kapilari refill>2 detik, penurunan produksi urin.
d. Disability
Kaji tingkat kesadaran pasien serta kondisi secara umum.
e. Eksposure
Buka semua pakaian klien untuk melihat adanya luka.
H. PENGKAJIAN SKUNDER
Kepala
Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar dan membrana timpani, cedera
jaringan lunak periorbital
Leher
Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang
Neurologis
Penilaian fungsi otak dengan GCS
Dada
Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan jantung, pemantauan EKG
Abdomen
Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma tumpul abdomen
Pelvis dan ekstremitas
Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma, memar dan cedera yang lain
I.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke serebral, edema serebral
Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada pusat pernafasan otak,
kerusakan persepsi /kognitif)
Kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control volunteer terhadap otot pernafasan
Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekresi, obstruksi jalan nafas
Gangguan pola nafas b.d adanya depresi pada pusat pernafasan
Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan kesadaran
Resiko cedera b.d kejang, penurunan kesadaran
Gangguan eliminasi urin b.d kehilangan control volunteer pada kandung kemih
J. RENCANA KEPERAWATAN
1. Diagnosa : gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke serebral, edema
serebral
Tujuan : mempertahankan tingkat kesadaran, kognisi dan fungsi motorik dan sensorik
Intervensi :
Kaji faktor penyebab penurunan kesadaran dan peningkatan TIK
Monitor status neurologis
Pantau tanda-tanda vital dan peningkatan TIK
Evaluasi pupil, batasan dan proporsinya terhadap cahaya
Letakkan kepala dengan posisi 15-45 derajat lebih tinggi untuk mencegah peningkatan TIK
Kolaburas pemberian oksigen sesuai dengan indikasi, pemasangan cairan IV, persiapan operasi
sesuai dengan indikasi
2.
3.
4.
Diagnosa : Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada pusat pernafasan
otak, kerusakan persepsi /kognitif)
Tujuan : pola nafas pasien efektif
Intervensi :
Kaji pernafasan (irama, frekuensi, kedalaman) catat adanya otot bantu nafas
Kaji reflek menelan dan kemampuan mempertahankan jalan nafas
Tinggikan bagian kepala tempat tidur dan bantu perubahan posisi secara berkala
Lakukan pengisapan lendir, lama pengisapan tidak lebih dari 10-15 detik
Auskultasi bunyi paru, catat adanya bagian yang hipoventilasi dan bunyi tambahan(ronchi,
wheezing)
Catat pengembangan dada
Kolaburasi : awasi seri GDA, berikan oksigen tambahan melalui kanula/ masker sesuai dengan
indikasi
Monitor pemakaian obat depresi pernafasan seperti sedatif
Lakukan program medik
Diagnosa : kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control volunteer terhadap otot pernafasan
tujuan : pasien mempertahankan oksigenasi adekuat
intervensi :
Kaji irama atau pola nafas
Kaji bunyi nafas
Evaluasi nilai AGD
Pantau saturasi oksigen
Diagnosa : Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekret, obstruksi jalan nafas
Tujuan : mempertahankan potensi jalan nafas
intervensi :
5.
6.
7.
Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas misal krekels, mengi, ronchi
Kaji frekuensi pernafasan
Tinggikan posisi kepala tempat tidur sesuai dengan indikasi
Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat warna lendir yang keluar
Kolaburasi : monitor AGD
Diagnosa : resiko cedera b.d penurunan kesadaran
tujuan : tidak terjadi cedera pada pasien selama kejang, agitasi atu postur refleksif
intervensi :
Pantau adanya kejang pada tangan, kaki, mulut atau wajah
Berikan keamanan pada pasien dengan memberikan penghalang tempat tidur
Berikan restrain halus pada ekstremitas bila perlu
Pasang pagar tempat tidur
Jika terjadi kejang, jangan mengikat kaki dan tangan tetapi berilah bantalan pada area sekitarnya.
Pertahankan jalan nafas paten tapi jangan memaksa membuka rahang
Pertahankan tirah baring
Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan kesadaran
Tujuan : tidak terjadi kekurangan kebutuhan nutrisi tepenuhi
Intervensi :
Pasang pipa lambung sesuai indikasi, periksa posisi pipa lambung setiap akan memberikan
makanan
Tinggikan bagian kepala tempat tidur setinggi 30 derajat untuk mencegah terjadinya regurgitasi
dan aspirasi
Catat makanan yang masuk
Kaji cairan gaster, muntahan
Kolaburasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet yang sesuai dengan kondisi pasien
Laksanakan program medik
Diagnosa : Gangguan eliminasi urin b.d hilangnya control volunter pada kandung kemih
tujuan : mempertahankan urin yang adekuat, tanpa retensi urin
intervensi :
Kaji pengeluaran urin terhadap jumlah, kualitas dan berat jenis
Periksa residu kandung kemih setelah berkemih
Pasang kateter jika diperlukan, pertahankan teknik steril selama pemasangan untuk mencegah
infeksi
BAB II : Terdiri dari Konsep Penyakit Cedera Kepala, Asuhan Keperawatan Cedera Kepala, Kasus
Cedera Kepala.
BAB III : Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. KONSEP PENYAKIT CEDERA KEPALA
1. Definisi
Cedera kepala merupakan proses diman terjadi trauma langsung atau deselerasi terhasdap kepala
yang menyebabkan kerusakan tenglorak dan otak. (Pierce Agrace & Neil R. Borlei, 2006 hal 91)
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan fungsi normal otak karena
trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya
substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa karena hemoragik, serta edema serebral do sekitar
jaringan otak. (Batticaca Fransisca, 2008, hal 96)
Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang di sertai
atau tanpa di sertai perdarahan innterstiil dalm substansi otak tanpa di ikuti terputusnya kontinuitas
otak. (Arif Muttaqin, 2008, hal 270-271)
Berdasarkan Glassgow Coma Scale (GCS) cedera kepala atau otak dapat di bagi menjadi 3 gradasi :
a. Cedera kepala ringan (CKR) = GCS 13-15
b. Cedera kepala sedang (CKS) = GCS 9-12
c. Cedera kepala berat (CKB) = GCS 8
2. Etiologi
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi trauma oleh
benda/serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan
ke otak dan efek percepatan dan perlambatan (ekselerasi-deselarasi) pada otak.
kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer
menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan regangan serabut saraf dan
kematian langsung pada daerah yang terkena.
b. Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan primer. Dapat dibagi
menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia(kekurangan
o2 dlm jaringan) dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya
tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi(defisiensi darah suatu bagian) dan
infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor seperti
kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak, gangguan hormonal,
pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau
sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus frontalis akan mengakibatkan
kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah
penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi
yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada epilepsi lobus
temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan adanya kerusakan di
daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio
optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan klor
yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH
dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis. Setelah kurang lebih 5 hari
natrium dan klor akan dikeluarkan melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya
menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan
pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder akibat fleksi atau
torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau karena
penekanan oleh herniasi unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada lesi tranversal dibawah
nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber,
lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku terjadi
bila hubungan batang otak dengan korteks serebri terputus.
5.
Pathway
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi
a. CT scan ( dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan jaringan otak
b. MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radio aktif
c. Cerebral angiografi
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak skundre menjadi edema,
perdarahan, dan trauma.
d. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
e. Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema)
fragmen tulang
f. BAER
Mengeroksi batas fungsi korteks dan otak kecil
g. PET
Mendeteksi perubahan aktifititas metabolism otak
h. CSS
Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid
i. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan intracranial
j. Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran
k. Rontgen thorahk 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural.
l. Toraksentesis menyatakan darah/cairan
m.
Analisa gas darah (AGD/astrup)
Analisa gas darah (AGD/astrup) adalah salah satu tes diaknostik untuk menentukan status status
respirasi. Status respirasi dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenisasi
dan status asam basa
7. Komplikasi
Komplikasi akibat cedera kepala yaitu tumor otak.
8. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari faktor mempertahankan fungsi
ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status neurologis (disability, exposure), maka faktor
yang harus diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ni dapat
dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative
memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu dikontrol kemungkinan intrakranial yang meninggi disebabkan oleh edema serebri.
Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan
intracranial, ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang
mengurangi asidosis intraserebral dan menambah metabolism intraserebral. Adapun usaha untuk
menurunkan PaCO2 ini yakni dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Tin membuat intermitten,
iatrogenic paradisis. Intubasi dilakukan sedini mungkin kepada klien-klien yang koma untuk
mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah
peningkatan tekanan kraanial. Penatalaksanaan konservatif meliputi :
a. Bedrest total
b. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
c. Pemberian obat-obatan
1) Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti-edema serebral, dosis sesuai dengan
berat ringannya traughma
2) Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), berat untuk mengurangi vasodilatasi.
3) Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau glukosa 40%, atau
gliserol 10%.
4) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (panisillin) atau untuk infeksi anaerob diberikan
metronidasol.
d. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa,
hanya cairan infus dextrose 5%, aminofusin, aminopel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan),
2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
e. Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat klien mengalami penurunan kesadaran dan
cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama(2-3 hari) tidak perlu banyak
cairan. Dextrosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrose 8 jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga.
Pada hari selanjutnya bila kesadran rendah maka makanan diberikan melalui nasogastric tube
(25000-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya.
B. ASUHAN KEPERAWATAN PADA CEDERA KEPALA
1. Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada cedera kepala tergantung pada bentuk,
lokasi, jenis injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya.
a. Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan tergantung
seberapa jauh dampak trauma kepala yang di sertai dengan penurunan tinngkat kesadaran.
1) Riwayat penyakit saat ini
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat KLL, jatuh dari dari ketinggian dan trauma
langsung kekepala. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadarn di hubungkan dengan
perubahan didalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai
perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif dan koma.
2)
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala
sebelumnya, DM, penyakit jantung anemia, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator,
obat-obat adiktif, dan konsumsi alkohol yang berlebihan.
3) Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi dan DM.
b. Pengkajian Psiko-Sosio-Spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respon emosi klien terhadap
penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga serta respon atau pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-hari.
c. Pola fungsi kesehatan (11 pola Gordon)
1) Pemeliharaan dan persepsi terhadap kesehatan
Bila mengalami sakit biasanya klien berobat ke Puskesmas atau bidan. Bila sakit ringan seperti
masuk angin kadang kadang klien membuat jamu sendiri. Klien tidak pernah berobat ke dukun atau
pengobatan alternatif lainnya. Klien mengatakan kesehatan adalah hal yang penting dan ingin cepat
sembuh agar bisa bekerja lagi.
2) Pola Nutrisi/metabolic
Sebelum MRS klien biasa makan 3 kali sehari, minum 6-8 gelas sehari.Sejak MRS klien mengatakan
tidak bisa makan dan minum karena mual-mual dan muntah. Sejak kecelakaan sampai sekarang,
klien sudah muntah 4 kali berisi sisa makanan, darah (-). Siang ini klien sempat makan bubur 3
sendok tetapi berhenti karena mual muntah. Minum dari tadi pagi 100 cc air putih.
3) Pola eliminasi
Sebelum MRS klien biasa BAB 1 kali sehari, BAK 7 8 kali sehari ( 1200-1500 cc). Sejak MRS di
Ruang Ratna klien sudah BAK 2 kali dengan jumlah 200 cc setiap kali BAK menggunakan pispot di
atas tempat tidur. Sejak MRS klien belum BAB.
4) Pola aktivitas dan latihan
Kemampuan perawatan diri 0 1
Makan/minum
x
Mandi
x
Toileting
x
Berpakaian
x
Mobilisasi di tempat tidur
x
Berpindah
x
Ambulasi ROM
x
0: mandiri, 1: alat bantu, 2: dibantu orang lain, 3: dibantu orang lain dan alat, 4: tergantung total.
5) Pola tidur dan istirahat
Sebelum MRS klien biasa tidur 6-7 jam sehari dan tidak biasa tidur siang. Setelah MRS klien
mengatakan sering terbangun karena mual dan sakit kepala serta situasi rumah sakit yang ramai.
6) Pola kognitif-perseptual
Klien mampu berkomunikasi dengan suara yang pelan tetapi jelas. Klien mengatakan penglihatan
cukup jelas tetapi tidak bisa membuka mata lama-lama karena masih mengeluh pusingdan mual.
Klien mengeluh telinga kiri terasa penuh berisi cairan sehingga pendengaran agak terganggu.
Tampak otore keluar dari telinga kiri. Klien juga mengeluh sakit kepala seperti berdenyut-denyut
terutama di bagian kanan dan kadang-kadang disertai pusing-pusing. Klien tampak meringis terutama
saat bergerak. Skala nyeri 4-5 (sedang).
7) Pola persepsi diri/konsep diri
Intervensi
1) Ubah posisi klien secara bertahap
Rasional : Klien dengan paraplegia beresiko menglami luka tekan (dekubitus). Perubahan posisi
setiap 2 jam atau sesuai respons klien mencegah terjadinya luka tekan akibat tekanan yang lama
karena jaringan tersebut akan kekurangan nutrisi dan oksigen dibawa oleh darah.
2) Jaga suasana tenang
Rasional : Suasana tenang akan memberikan rasa nyama pda klien dan mencegah ketegangan
3) Kurangi cahaya ruangan
Rasional : Cahaya merupakan salah satu rangsangan yang beresiko terhadap peningkatan TIK
b. Resiko tinggi peningkatan tekanan intracranial b.d desak ruang sekunder dari kompresi korteks
cerebri ditandai dengan
DS :
DO :
- GCS 12 (blackout, post trepanasi)
- TD : 67/42 mmHg
- N : 76x / menit
- Pupil anisocor
Intervensi
1) Kaji faktor penyebab dari situasi kemungkinan penyebab peningkatan TIK
Rasional : deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status neurologis untuk
menentukan perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan.
2)
Rasional : suatu keadaan normal bila sirkulasi cerebral terpelihara dengan baik atau fluktuasi
ditandai dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari autoregulator kebanyakan merupakan tanda
penurunan difusi local vaskularisasi darah cerebral.
3) Pertahankan kepala atau leher pada posisi yang netral, usahakan dengan sedikit bantal. Hindari
penggunaan bantal yang tinggi pada kepala.
Rasional : perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jigularis dan
menghambat aliran darah otak (menghambat drainase pada vena cerebral) untuk itu dapat
meningkatkan tekanan intracranial.
Gangguan visual
Penurunan karbondioksida
Takikardia
Tidak dapat istirhat
Somnolen
Irritabilitas
Hipoksia
Bingung
Dispnea
Perubahan warna kulit (pucat , sianosis)
Hipoksemia
Intervensi :
1) berikan posisi nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke posisi yang
sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
Rasional :Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi
yang tidak sakit
2) Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea, atau perubahan tanda-tanda
vital.
Rasional :Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress
fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.
3) Jelaskan pada klien tentang etiologi/ faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru
Rasional :Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan
kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik
d. Kekurangan volume cairan yang b.d penurunan kesadaran dan disfungsi hormonal ditandai
dengan
DS :
DO:
-
Intervensi
1) Pantau keseimbangan cairan
Rasioanal : Kerusakan otak dapat menghasilkan disfungsi hormonal dan metabolic
2) Pemeriksaan serial elektrolit darah atau urine dan osmolaritas
Rasional : Hal ini dapat dihubungkan dengan gangguan regulasi natrium. Retensi natrium dapat
terjadi beberapa hari, diikuti dengan dieresis natrium. Peningkatan letargi, konfusi, dan kejang akibat
ketidakseimbangan elektrolit.
3) Evaluasi elektrolit
Rasional : Fungsi elektrolit dievaluasi dengan memantau elektrolit, glukosa serum, serta intake dan
output.
e. Gangguan atau kerusakan mobilitas fisik b.d gangguan neurovascular yang di tandai dengan
DS :
DO :
-
Kelemahan
Parestesia
Paralisis
Ketidakmampuan
Kerusakan koordinasi
Keterbatasan rentang gerak
Penurunan kekuatan otot
Intervensi
Klien tidak pernah mengalami penyakit yang berat , hanya flu dan demam biasa. Riwayat
MRS (-).
Riwayat DM (-), sakit jantung (-), asma (-), hipertensi (-)
Alergi
Riwayat alergi terhadap makanan, obat dan benda lain (-)
Kebiasaan merokok/kopi/ alkohol/lain-lain yang merugikan kesehatan)
Kebiasaan merokok (-), minum kopi (-), minum alkohol (-).
c. Pemeriksaan Fisik
1) TTV : Nadi :92 x/mnt
Temp:36,8 0 C
RR :27 x/mnt
TD :115/70 mmHg.
2) Tingkat Kesadaran
Kesadaran
: Composmentis
GCS : E ; 4, M ; 5, V ; 4 = 13 (CKR)
3) Head To Toe
Kepala dan leher
Inspeksi : luka robek yang sudah dihecting pada regio parietal dextra (+) sepanjang 5 cm tanpa
perdarahan aktif, brill hematome (-), battle sign (-), rhinore (-), tampak otore warna kuningbercampur
sedikit darah keluar dari telinga kiri, jejas di daerah wajah dan leher (-), pupil isokor dengan refleks +/
+, anemis (-), deviasi trakea (-)
Palpasi : cephal hematome pada regio parietal dextra (+) dengan nyeri tekan (+), krepitasi (-), nyeri
tekan pada leher (-)
Dada
Inspeksi : gerak dada simetris, retraksi otot bantu nafas (-), jejas (-)
Palpasi : bentuk simetris, benjolan (-), krepitasi (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Suara sonor, kanan kiri sama
Auskultasi : Paru-paru :suara nafas vesikuler, ronchi-/-, wheezing -/Jantung : S1 S2 tunggal reguler, murmur (-)
Payudara dan ketiak
Bentuk simetris, jejas (-), massa/benjolan (-)
Abdomen
Distensi (-), jejas (-), hepar tak teraba, bising usus kuat , peristaltik 8-10 x/mnt.
Genetalia
Bentuk normal, jejas (-), hematome (-)
Integumen
Warna kulit sawo matang, kebersihan cukup, kelainan pada kulit (-).
Ekremitas
Atas
Pada daerah siku dan lengan bawah nampak luka lecet sepanjang 3 cm tanpa perdarahan aktif,
ROM bebas/normal, krepitasi (-), sianosis (-) ,akral hangat, kekuatan motorik 555 555
555 555
Bawah
Jejas(-), ROM bebas/normal, krepitasi (-), sianosis (-) ,akral hangat, kekuatan motorik 555 555
555 555
Pemeriksaan neurologis
Status mental dan emosi
Klien terlihat cukup tenang walaupun merasa masih trauma dengan kecelakaan yang dialami.
Pengkajian saraf kranial
Pemeriksaan saraf kranial I s/d XII masih dalam batas normal.
Pemeriksaan Refleks
Refleks fisiologis (+), refleks patologis (-).
d.
4. Diagnosa
NO DATA SENJANG ETIOLOGI PROBLEM
1 DS : Klien mengatakan
- Pusing
- Mual & muntah
DO :
- Klien tampak terdapat luka pada kepala sebelah kanan
- TTV : N : 92 x/mnt
S:36,8 0 C
RR :27 x/mnt
TD :115/70 mmHg.
Peningkatan intracranial Gangguan perfusi jaringan cerebral
2. DS : Klien mengatakan
- Pusing
DO :
- Klien tampak terdapat luka pada kepala sebelah kanan
- GCS : E ; 4, M ; 4, V ; 5 = 13 (CKR)
- TTV : N : 92 x/mnt
S:36,8 0 C
RR :27 x/mnt
TD :115/70 mmHg.
Desak ruang sekunder dari kompresi korteks cerebri
intracranial
3. DS : Klien mengatakan
- Pusing
DO :
- TTV : N : 92 x/mnt
S:36,8 0 C
RR :27 x/mnt
TD :115/70 mmHg.
- GCS : E ; 4, M ; 4, V ; 4 = 12 (CKR)
Kesadaran : somnolen
5. Intervensi
HARI/
TGL NO
DX RENCANA KEPERAWATAN
TUJUAN &KRITERIA HASIL INTERVENSI
Rabu 29/09/
2012
RASIONAL
Setelah diberikan tindakan kep. selama 224 jam diharapkan gangguan perfusi jaringan klien akan
berkurang dengan K.H :
DS : Klien mengatakan
- Pusing berkurang
- Tidak mual & muntah
DO :
- Klien tampak tenang
- TTV :
N : 80 x/mnt
S :36,8 0 C
RR :22 x/mnt
TD :110/70 mmHg. - Ubah posisi klien secara bertahap
Suasana tenang akan memberikan rasa nyama pda klien dan mencegah ketegangan
- Cahaya merupakan salah satu rangsangan yang beresiko terhadap peningkatan TIK
Rabu 29/09/
2012
Setelah diberikan tindakan perawatan selama 324 jam diharapkan dapat meminimalkan tekanan
intracranial dengan K.H :
DS : Klien mengatakan
- Pusing nya berkurang
DO :
- Klien tampak terdapat luka pada kepala sebelah kanan
-
GCS : E ; 4, M ; 4, V ; 5 = 13 (CKR)
TTV :
N : 92 x/mnt
S :36,8 0 C
RR :22 x/mnt
TD :115/70 mmHg.
Setelah diberikan tindakan perawatan selama 324 jam diharapkan gangguan pernapasan klien
berkurang dengan KH:
DS : Klien mengatakan
- Pusing klien berkurang
DO :
- TTV :
N : 92 x/mnt
S :36,8 0 C
RR :22 x/mnt
TD :115/70 mmHg.
- GCS : E ; 4, M ; 4, V ; 4 = 12 (CKR)
- Kesadaran : somnolen
- berikan posisi nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke posisi yang
sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
- Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea, atau perubahan tanda-tanda
vital.
- Jelaskan pada klien tentang etiologi/ faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru
- Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang
tidak sakit
- Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi
dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.
- Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan
klien terhadap rencana terapeutik
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang di sertai
atau tanpa di sertai perdarahan innterstiil dalm substansi otak tanpa di ikuti terputusnya kontinuitas
otak. (Arif Muttaqin, 2008, hal 270-271)
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi trauma oleh
benda/serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan
ke otak dan efek percepatan dan perlambatan (ekselerasi-deselarasi) pada otak.
B. SARAN
Setelah pembuatan makalah ini sukses diharapkan agar mahasiswa giat membaca makalah ini, dan
mencari ilmu yang lebih banyak diluar dari makalah ini terkait tentang meteri dalam pembahasan, dan
tidak hanya berpatokan dengan satu sumber ilmu (materi terkait), sehingga dalam tindakan
keperawatan dapat menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan cedera kepala.
Saran yang disampaikan kepada Mahasiswa Keperawatan adalah :
1. Dapat menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan cedera kepala.
2. Dapat menilai batasan GCS.
3. Lebih teliti dalam memberikan intervensi keperawatan kepada klien dengan cedera kepala.
4. Dapat memberikan pendidikan kesehatan terhadap keluarga maupun klien, baik di rumah sakit
maupun di rumah.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Muttaqin, 2008, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan,
Jakarta : Salema Medika
Batticaca Fransisca B, 2008, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan,
Jakarta : Salemba Medika
Pierce A. Grace & Neil R. Borley, 2006, Ilmu Bedah, Jakarta : Erlangga
Lecture Notes, 2005, Neurologi, Lionel Ginsberg : Erlangga
http://id.scribd.com/doc/85827418/Laporan-Kasus-Cedera-Kepala (di unduh pada tanggal 21
November 2012)
http://asuhan-keperawatan-yuli.blogspot.com/2009/11/laporan-pendahuluan-cedera-kepala.html (di
unduh pada tanggal 26 November 2012)
http://semaraputraadjoezt.wordpress.com/2012/09/12/asuhan-keperawatan-pada-klien-dengancedera-kepala-ringan/ (di unduh pada tanggal 26 November 2012)
Captopril merupakan obat umum yang digunakan untuk menurunkan tekanan darah. Obat ini merupakan obat
golongan ACE (Angiotensin Converting Enzyme) inhibitor. Captopril dapat digunakan bersamaan dengan obat anti
hipertensi golongan lain untuk mencapai tekanan darah yang diharapkan. Jadi dari namanya pun sudah dapat
dimengerti bahwa captopril menghambat kerja enzim yang mengubah angiotensin. Angiotensin II merupakan suatu
zat aktif yang mengakibatkan vasokonstriksi (mengecilnya pembuluh darah). Jadi secara logika, bila zat yang
mengakibatkan pembuluh darah mengecil dihambat, maka pembuluh darah akan tetap besar sehingga tekanan di
dalam pembuluh darah itu pun tidak meningkat. Hal ini tentu saja dapat dijelaskan, karena secara hukum fisika,
tekanan akan meningkat bila luas penampangnya mengecil dan tekanan akan menurun bila luas penampangnya besar.
Jakarta, Deskripsi
Captopril merupakan obat yang digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi (hipertensi), dapat
digunakan sendiri atau bersama dengan obat-obatan lain. Tekanan darah tinggi menambah beban
kerja jantung dan arteri.
Jika berlangsung dalam waktu lama dapat menyebabkan fungsi jantung dan arteri menurun.
Sehingga dapat menyebabkan rusaknya pembuluh darah otak, jantung, dan ginjal yang dapat
mengakibatkan terjadinya stroke, gagal jantung, atau ginjal. Hipertensi juga dapat meningkatkan
risiko serangan jantung. Hal-hal tersebut dapat dihindari ketika hipertensi dapat terkontrol dengan
baik.
Captopril bekerja dengan menghambat enzim dalam tubuh yang menghasilkan zat yang
menyebabkan pembuluh darah mengencang, sehingga dapat menurunkan tekanan darah serta
meningkatkan pasokan darah dan oksigen ke jantung.
Captopril juga digunakan pada beberapa pasien setelah serangan jantung. Setelah serangan jantung,
beberapa otot jantung rusak dan melemah. Otot jantung dapat terus melemah seiring berjalannya
waktu. Hal ini membuat lebih sulit bagi jantung untuk memompa darah. Captopril dapat dimulai dalam
beberapa hari pertama setelah serangan jantung.
Selain itu, kaptopril digunakan untuk mengobati gagal jantung kongestif atau dapat digunakan untuk
kondisi lain seperti yang ditentukan oleh dokter. Obat ini hanya tersedia dengan resep dokter.