You are on page 1of 28

TUBERKULOSIS PARU (TB PARU)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit pada sistem pernafasan merupakan masalah yang sudah
umum terjadi di masyarakat. Dan TB paru merupakan penyakit infeksi
yang menyebabkan kematian dengan urutan atas atau angka kematian
(mortalitas) tinggi, angka kejadian penyakit (morbiditas), diagnosis dan
terapi yang cukup lama. Penyakit ini biasanya banyak terjadi pada negara
berkembang atau yang mempunyai tingkat sosial ekonomi menengah ke
bawah.
Di Indonesia TB paru merupakan penyebab kematian utama dan angka
kesakitan dengan urutan teratas setelah ISPA. Indonesia menduduki
urutan ketiga setelah India dan China dalam jumlah penderita TB paru di
dunia.
Mycobacterium tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga
penduduk dunia, menurut WHO sekitar 8 juta penduduk dunia diserang TB
dengan kematian 3 juta orang per tahun (WHO, 1993). Di negara
berkembang kematian ini merupakan 25% dari kematian penyakit yang
sebenarnya dapat diadakan pencegahan. Diperkirakan 95% penderita TB
berada di negara-negara berkembang. Dengan munculnya epidemi
HIV/AIDS di dunia jumlah penderita TB akan meningkat. Hasil survey
kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa
tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua golongan
usia dan nomor I dari golongan infeksi. Antara tahun 1979-1982 telah
dilakukan survey prevalensi di 15 propinsi dengan hasil 200-400 penderita
tiap 100.000 penduduk.
Diperkirakan setiap tahun 450.000 kasus baru TB dimana sekitar 1/3
penderita terdapat disekitar puskesmas, 1/3 ditemukan di pelayanan
rumah sakit atau klinik pemerintah dan swasta, praktek swasta dan
sisanya belum terjangkau unit pelayanan kesehatan. Sedangkan kematian
karena TB diperkirakan 175.000 per tahun.
Penyakit TB menyerang sebagian besar kelompok usia kerja
produktif, penderita TB kebanyakan dari kelompok sosio ekonomi rendah.
Dari 1995-1998, cakupan penderita TB Paru dengan strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy) atau
pengawasan langsung menelan obat jangka pendek/setiap hari baru
[1]

mencapai 36% dengan angka kesembuhan 87%. Sebelum strategi DOTS


(1969-1994) cakupannya sebesar 56% dengan angka kesembuhan yang
dapat dicapai hanya 40-60%. Karena pengobatan yang tidak teratur dan
kombinasi obat yang tidak cukup di masa lalu kemungkinan telah timbul
kekebalan kuman TB terhadap OAT (obat anti tuberkulosis) secara meluas
atau multi drug resistance (MDR).
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana TB Paru bisa terjadi ?
2. Apa tanda dan gejala yang muncul (manifestasi klinis) dari TB Paru ?
3. Apa pemeriksaan diagnostik pada pasien dengan TB Paru ?
4. Bagaimana cara menangani gangguan pernapasan akibat penyakit
TB Paru ?
5. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan TB Paru ?
1.3. Tujuan
Menjelaskan asuhan keperawatan pada penderita TB paru, meliputi :
a)
pengkajian TB paru
b)
Mengidentifikasi diagnosa keperawatan pada klien dewasa
dengan TB paru dan
c)
Melakukan perencanaan pada klien dewasa dengan TB paru

[2]

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian TB Paru
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang meyerang parenkim
paru-paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Sebagian
besar kuman menyerang Paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh
lain (Dep Kes, 2003). Kuman TB berbentuk batang mempunyai sifat
khusus yaitu tahan terhadap asam pewarnaan yang disebut pula Basil
Tahan Asam (BTA). Kuman batang tahan asam ini dapat merupakan
organisme patogen maupun saprofit.
2.2. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk
batang berukuran panjang 1 4 mm dan tebal 0,3 0,6 mm. Sebagian
besar komponen M.tuberculosis adalah berupa lemak/lipid sehingga
kuman mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat
kimia dan faktor fisik. Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni
menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh karena itu, M.tuberculosis
senang tinggal di daerah aspek paru-paru yang kandungan oksigennya
tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit
tuberculosis. Yang tergolong kuman mycobacterium tuberkulosis kompleks
adalah:

Mycobacterium tuberculosis

Varian asian

Varian african I

Varian asfrican II

Mycobakterium bovis

Kelompok kuman mycobakterium tuberkulosis dan mycobakterial othetan


Tb (mott, atipyeal) adalah :
[3]

Mycobacterium cansasli

Mycobacterium avium

Mycobacterium intra celulase

Mycobacterium scrofulaceum

Mycobacterium malma cerse

2.3. Patofisiologi
Infeksi diawali karena seseorang menghirup basil M.tuberculosis.
bakteri menyebar melalui jalan napas menuju alveoli lalu berkembang
biak dan terlihat bertumpuk. Perkembangan M.tuberculosis juga dapat
menjangkau sampai ke area lain dari paru-paru (lobus atas). Basil juga
menyebar melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lain
(ginjal, tulang, dan korteks serebri) dan area lain dari paru-paru (lobus
atas). Selanjutnya, sistem kekbalan tubuh memberikan respons dengan
melakukan reaksi inflamasi. Neutrofil dan makrofag melakukan aksi
fagositosis (menelan bakteri), sementara limfosit spesifik-tuberculosis
menghancurkan (melisiskan) basil dan jaringan normal.
Reaksi jaringan ini mengakibatkan terakumulasinya eksudat dalam alveoli
yang menyebabkan bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya timbul dlam
waktu 2-10 minggu setelah terpapar bakteri.
Interaksi antara M.tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh pada
awl infeksi membentuk sebuah massa jaringan baru yang disebut
granulma. Granulma terdiri atas gumpalan basil hidup dan mati yang
dikelilingi oleh makrofag seperti dinding. Granulma selanjutnya berubah
bentuk menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa
tersebut disebut ghon tubercle. Materi yang terdiri atas makrofag dan
bakteri menjadi nekrotik yang selanjutnya membentuk materi yang
penampakannya seperti keju (necrotizing caseosa). Hal ini akan menjadi
klasifikasi dan akhirnya membentuk jaringan kolagen, kemudian bakteri
menjadi nonaktif.
Setelah infeksi awal, jika respons sistem imun tidak adekuat maka
penyakit akan menjadi lebih parah. Penyakit yang kian parah dapat timbul
akibat infeksi ulang atau bakteri yang sebelumnnya tidak aktif kembali
menjadi aktif. Pada kasus ini, ghon tubercle mengalami ulserasi sehingga
menghasilkan necrotizing caseosa di dalam bronkhus. Tuberkel yang
ulserasi selanjutnya menjadi sembuh dan membentuk jaringan parut.
Paru-paru yang terinfeksi kemudian meradang, mengakibatkantimbulnya
bronkopneumonia, membentuk tuberkel, dan seterusnya. Pneumonia
[4]

seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini berjalan terus dan
basil terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Makrofag yang
mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu
membentuk sel tuberkel epiteloid yag dikelilingi oleh limfosit
(membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang mengalami nekrosis dan
jaringan granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan fibroblas akan
menimbulkan respons berbeda, kemudian pada akhirnya akan
membentuk suatu kapsul yang dikelilingi oleh tuberkel.

Invasi bakteri tuberkolosis via


inhalasi
Penyebaran bakteri
secara bronkogen,
limfogen & hematogen

sembuh
Infeksi
primer

Sembuh dengan fokus


ghon
Infeksi pasca
primer
(reaktivasi)

Bakteri
dorman

Sembuh
dengan fibrotik

Bakteri muncul beberapa tahun


kemudian

Edema trakeal
/faringeal &
Peningkatan produksi
sekret

Pecahnya pembuluh
darah jalan nafas

Batuk produktif,
Batuk darah &
sesak nafas

Penurunan
kemampuan batuk

Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas

Reaksi infeksi atau


inflamasi membentuk
kavitas & merusak
parenkim paru

Penurunan jaringan
efektif paru, kerusakan
membran alveolarkapiler merusak pleura &
perubahan cairan
intrapleura

Komplikasi TB paru :
Efusi pleura &
pneumothoraks

[5]

Reaksi sistemis :
anoreksia, mual,
demam, penurunan
berat badan
&kelemahan

Intake nutrisi tidak


adekuat, tubuh
makin kurus,
kecemasan,
kurangnya informasi
& kurangnya
istirahat & tidur

Sesak nafas ,
penggunaan otot
bantu nafas & pola
nafas tidak efektif

Perubahan
pemenuhan nutrisi
kurang dari
kebutuhan,
kecemasan,

Gambar : Patofisiologi TB paru yang mengarah pada terjadinya masalah


keperawatan

Tuberkulosis Primer
Tuberkulosis primer adalah infeksi bakteri TB dari penderita yang
belum mempunyai reaksi spesifik terhadap bakteri TB. Infeksi primer
terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet
yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem
pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di
alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil
berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang
mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran limfe akan membawa
kuman TB ke kelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai
kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan
kompleks primer adalah 4-6 minggu.
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi
tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer
tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh
(imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat
menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada
beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant
(tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu mengehentikan
perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang
bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu
waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan
sekitar 6 bulan.
Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TB)
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan
atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh
menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari
[6]

tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan


terjadinya kavitas atau efusi pleura.
Tuberculosis sekunder
Setelah terjadi resolusi dari infeksi primer, sejumlah kecil bakteri TB
masih hidup dalam keadaan normal di jaringan perut. Sebanyak 90%
diantaranya tidak mengalami kekambuhan. Reaktivasi penyakit TB (TB
pasca primer/TB sekunder) terjadi bila daya tahan tubuh menurun,
alkoholisme, keganasan, diabetes melitus, dan AIDS.
Berbeda dengan TB primer, pada TB sekunder kelenjar limfe
regional dan organ lainnya jarang terkena, lesi lebih terbatas dan
terlokalisasi. Reaksi imunologis terjadi dengan adanya pembentukan
granuloma, mirip dengan yang terjadi pada TB primer. Tetapi, nekrosis
jaringan lebih menyolok dan menghasilkan lesi kaseosa (perkijuan) yang
luas dan disebut tuberkuloma. Proteaseyang di keluarkan oleh makrofag
aktif akan menyebabkan pelunakan bahan kaseosa.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa tterbentuknya kavitas dan
manifestasi lainnya dari TB sekunder adlah akibat dari reaksi nekrotik
yang dikenal sebagai hipersensitivitas seluler (delayed hipersensitivity).
2.4. Morfologi dan Fisiologi Bakteri Tuberculosis
Bakteri tuberculosis berbentuk batang dengan ukuran 2-4 u x 0,20,5 um, bentuknya seragam tidak berspora, dan tidak bersimpai. Pada
biakan, terlihat bentuknya bervariasi mulai dari bentuk kokoid sampai
berupa filamen. Beberapa strain tertentu seperti tali yang disebut cord
formation (Budiarti,2001). Dinding selnya mengandung lipid sampai
hampir 60% dari berat seluruhnya, sangat sukar diwarnai dan perlu cara
khusus agar terjadi penetrasi zat warna. Ada beberapa teknik pewarnaan
yang lazim digunakan adalah pewarnaan Ziehl-Neelsen. Cara lainnya
adalah pewarnaan Kinyoun Gabett atau pewarnaan Than Thiam Hok. Pada
pewarnaan tersebut bakteri tampak bewarna merah dengan latar
belakang biru. Pada pewarnaan fluhirokrom bakteri berfluresensi dengan
warna kuning oranye.
Kandungan lipid yang tinggi pada dinding sel menyebabkan bakteri
ini sangat tahan terhadap asam, basa, dan kerja antibiotik bakterisidal.
Selain itu, bahan-bahan makanan juga sukar mengadakan penetrasi
melalui dinding selnya sehingga untuk pertumbuhannya perlu waktu yang
cukup lama. Tuberkulin positif dapat ditransfer oleh monosit dari
seseorang dengan tuberkulin positif kepada seorang dengan tuberkulin
negatif. Tuberkulin positif mempunyai anti pada infeksi sebelumnya
[7]

dengan Mycobacterium, akan tetapi tidak menunjukan bahwa penyakitnya


dalam keadaan aktif kecuali hasil tes positif pada anak-anak.
Sifat-sifat pertumbuhan
Bakteri TB memerlukan oksigen untuk tumbuh dan kelangsungan
hidupnya (obligat aerob obligat). Energi diperoleh dari hasil oksidasi
senyawa karbon sederhana. Karbon dioksida dapat merangsang
pertumbuhan dengan suhu pertumbuhan 30-40 derajat celcius dan suhu
optimum 37-38 derajat celcius. Dan bakteri akan mati pada pemanasan
dengan suhu 60 derajat celcius selama 15-20 menit. Bakteri Tb bersifat
hidrofobik pada permukaan selnya, yang tahan asam,alkali,dan zat warna
lainnya.
2.5. Manifestasi Klinis
Tuberkulosis sering dijuluki the great imitator yaitu suatu penyakit
yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga
memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah
penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan
kadang-kadang asimtomatik.
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala
respiratorik dan gejala sistemik:
1. Gejala respiratorik, meliputi:
a. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang
paling sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian
berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
b. Batuk Darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak
berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan darah atau darah segar
dalam jumlah sangat banyak. Batuk darah terjadi karena pecahnya
pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar
kecilnya pembuluh darah yang pecah.
c. Sesak Napas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau
karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax,
anemia dan lain-lain.
[8]

d. Nyeri Dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan.
Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena.
2. Gejala sistemik, meliputi:
a. Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore
dan malam hari miripdemam influenza, hilang timbul dan makin lama
makin panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin pendek.
b. Gejala sistemik lain
Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan
berat badan serta malaise.Timbulnya gejala biasanya gradual dalam
beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan akut dengan batuk,
panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai gejala
pneumonia.

Gejala klinis Hemoptoe :


Kita harus memastikan bahwa perdarahan dari nasofaring dengan cara
membedakan ciri-ciri sebagai berikut :
1) Batuk darah
a. Darah dibatukkan dengan rasa panas di tenggorokan
b. Darah berbuih bercampur udara
c. Darah segar berwarna merah muda
d. Darah bersifat alkalis
e. Anemia kadang-kadang terjadi
f. Benzidin test negatif
2) Muntah darah
a. Darah dimuntahkan dengan rasa mual
b. Darah bercampur sisa makanan
c. Darah berwarna hitam karena bercampur asam lambung
d. Darah bersifat asam
e. Anemia seriang terjadi
f. Benzidin test positif
[9]

3) Epistaksis
a. Darah menetes dari hidung
b. Batuk pelan kadang keluar
c. Darah berwarna merah segar
d. Darah bersifat alkalis
e. Anemia jarang terjadi
Gejala-gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit paru
selain TBC. Oleh sebab itu orang yang datang dengan gejala diatas harus
dianggap sebagai seorang suspek tuberkulosis atau tersangka penderita
TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
Selain itu, semua kontak penderita TB Paru BTA positif dengan gejala
sama, harus diperiksa dahaknya.
Komplikasi
Penyakit TB Paru bila tidak ditangani
menimbulkan komplikasi, diantaranya :
1.

Pembesaran kelenjar sevikalis yang superfisial

2.

Pleuritis tuberkulosa

3.

Efusi pleura

4.

Tuberkulosa milier

5.

Meningitis tuberkulosa

dengan

benar

akan

2.6 Pemeriksaan Diagnostik


1) Pemeriksaan sputum (S-P-S)
Pemeriksaan sputum penting untuk dilakukan karena dengan
pemeriksaan tersebut akan ditemukan kuman BTA. Di samping itu
pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap
pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah
sehingga dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas). Tetapi kadangkadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak
batuk atau batuk yang non produktif Dalam hal ini dianjurkan satu hari
sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak + 2
liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan
memberikan tambahan obat-obat mukolitik eks-pektoran atau dengan
[10]

inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih sulit,
sputum dapat diperoieh dengan cara bronkos kopi diambil dengan
brushing atau bronchial washing atau BAL (bronchn alveolar lavage). BTA
dari sputum bisa juga didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering
dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya.
Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegar mungkin. Bila sputum
sudah didapat. kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan. Kuman
bant dapat dkcmukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini
terbuka ke luar, sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah
ke luar.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya
ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain
diperlukan 5.000 kuman dalam 1 mil sputum Hasil pemeriksaan BTA (basil
tahan asam) (+) di bawah mikroskop memerlukan kurang lebih 5000
kuman/ml sputum, sedangkan untuk mendapatkan kuman (+) pada
biakan yang merupakan diagnosis pasti, dibutuhkan sekitar 50 - 100
kuman/ml sputum. Hasil kultur memerlukan waktu tidak kurang dan 6 - 8
minggu dengan angka sensitiviti 18-30%.

2) Pemeriksaan tuberculin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling
bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mikobakterium
tuberkulosa dan sering digunakan dalam "Screening TBC". Efektifitas
dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari
90%.
Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif
uji tuberkulin positif 100%, umur 12 tahun 92%, 24 tahun 78%, 46
tahun 75%, dan umur 612 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat
dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin
kurang spesifik. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun
sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi
penyuntikan uji mantoux umumnya pada bagian atas lengan bawah kiri
bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji
tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter
dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi.
3) Pemeriksaan Rontgen Thoraks
[11]

Pada hasil pemeriksaan rontgen thoraks, sering didapatkan adanya


suatu lesi sebelum ditemukan adanya gejala subjektif awal dan sebelum
pemeriksaan fisik menemukan kelainan pada paru. Bila pemeriksaan
rontgen menemukan suatu kelainan, tidak ada gambaran khusus
mengenai TB paru awal kecuali di lobus bawah dan biasanya berada di
sekitar hilus. Karakteristik kelainan ini terlihat sebagai daerah bergarisgaris opaque yang ukurannya bervariasi dengan batas lesi yang tidak
jelas. Kriteria yang kabur dan gambar yang kurang jelas ini sering diduga
sebagai pneumonia atau suatu proses edukatif, yang akan tampak lebih
jelas dengan pemberian kontras.
Pemeriksaan rontgen thoraks sangat berguna untuk mengevaluasi
hasil pengobatan dan ini bergantung pada tipe keterlibatan dan
kerentanan bakteri tuberkel terhadap obat antituberkulosis, apakah sama
baiknya dengan respons dari klien. Penyembuhan yang lengkap serinng
kali terjadi di beberapa area dan ini adalah observasi yang dapat terjadi
pada penyembuhan yang lengkap. Hal ini tampak paling menyolok pada
klien dengan penyakit akut yang relatif di mana prosesnya dianggap
berasal dari tingkat eksudatif yang besar.
4) Pemeriksaan CT Scan
Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menemukan hubungan kasus
TB inaktif/stabil yang ditunjukkan dengan adanya gambaran garis-garis
fibrotik ireguler, pita parenkimal, kalsifikasi nodul dan adenopati,
perubahan kelengkungan beras bronkhovaskuler, bronkhiektasis, dan
emifesema perisikatriksial.
Sebagaimana pemeriksaan Rontgen thoraks, penentuan bahwa kelainan
inaktif tidak dapat hanya berdasarkan pada temuan CT scan pada
pemeriksaan tunggal, namun selalu dihubungkan dengan kultur sputum
yang negatif dan pemeriksaan secara serial setiap saat. Pemeriksaan CT
scan sangat bermanfaat untuk mendeteksi adanya pembentukan
kavasitas dan lebih dapat diandalkan daripada pemeriksaan Rontgen
thoraks biasa.
5) Radiologis TB Paru Milier
TB paru milier terbagi menjadi dua tipe, yaitu TB paru milier akut
dan TB paru milier subakut (kronis). Penyebaran milier terjadi setelah
infeksi primer. TB milier akut diikuti oleh invasi pembuluh darah secara
masif/menyeluruh serta mengakibatkan penyakit akut yang berat dan
sering disertai akibat yang fatal sebelum penggunaan OAT. Hasil
pemeriksaan rontgen thoraks bergantung pada ukuran dan jumlah
[12]

tuberkel milier. Nodul-nodul dapat terlihat pada rontgen akibat tumpang


tindih dengan lesi parenkim sehingga cukup terlihat sebagai nodul-nodul
kecil. Pada beberapa klien, didapat bentuk berupa granul-granul halus
atau nodul-nodul yang sangat kecil yang menyebar secara difus di kedua
lapangan paru. Pada saat lesi mulai bersih, terlihat gambaran nodul-nodul
halus yang tak terhitung banyaknya dan masing-masing berupa garisgaris tajam.
6) Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis terbaik dari penyakit diperoleh dengan pemeriksaan
mikrobiologi melalui isolasi bakteri. Untuk membedakan spesies
Mycobacterium antara yang satu dengan yang lainnya harus dilihat sifat
koloni, waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media,
perbedaan kepekaan terhadap OAT dan kemoterapeutik, perbedaan
kepekaan tehadap binatang percobaan, dan percobaan kepekaan kulit
terhadap berbagai jenis antigen Mycobacterium. Pemeriksaan darah yang
dapat menunjang diagnosis TB paru walaupun kurang sensitif adalah
pemeriksaan laju endap darah (LED). Adanya peningkatan LED biasanya
disebabkan peningkatan imunoglobulin terutama IgG dan IgA.
2.7. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan tuberkulosis antara lain :
Pencegahan Tuberkulosis Paru
1. Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul
erat dengan penderita tuberkulosis paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi
tes tuberkulin, klinis, dan radiologis. Bila tes tuberkulin positif, maka
pemeriksaan radiologis foto thorax diulang pada 6 dan 12 bulan
mendatang. Bila masih negatif, diberikan BCG vaksinasi. Bila positif,
berarti terjadi konversi hasil tes tuberkulin dan diberikan kemoprofilaksis.
2. Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompokkelompok
populasi
tertentu
misalnya:
karyawan
rumah
sakit/Puskesmas/balai pengobatan, penghuni rumah tahanan, dan siswasiswi pesantren.
3. Vaksinasi BCG
4. Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12
bulan dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri
yang masih sedikit. Indikasi kemoprofilaksis primer atau utama ialah bayi
[13]

yang menyusu pada ibu dengan BTA positif, sedangkan kemoprofilaksis


sekunder diperlukan bagi kelompok berikut: bayi di bawah lima tahun
dengan hasil tes tuberkulin positif karena resiko timbulnya TB milier dan
meningitis TB, anak dan remaja di bawah 20 tahun dengan hasil tes
tuberkulin positif yang bergaul erat dengan penderita TB yang menular,
individu yang menunjukkan konversi hasil tes tuberkulin dari negatif
menjadi positif, penderita yang menerima pengobatan steroid atau obat
imunosupresif jangka panjang, penderita diabetes mellitus.
5. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkulosis
kepada masyarakat di tingkat Puskesmas maupun di tingkat rumah sakit
oleh petugas pemerintah maupun petugas LSM (misalnya Perkumpulan
Pemberantasan Tuberkulosis Paru Indonsia PPTI).
Pengobatan Tuberkulosis Paru
Mekanisme kerja obat anti-tuberkulosis (OAT) :
1. Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat
2. Aktivitas sterilisasi, terhadap the pesisters (bakteri semidormant)
3. Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas
bakteriostatis terhadap bakteri tahan asam.
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase yaitu :
1. Fase intensif (2-3 bulan) :
Tujuan tahapan awal adalah membunuh kuman yang aktif
membelah sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya dengan obat yang
bersifat bakterisidal. Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4
obat, terjadi pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien
yang infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar
pasien dengan sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2
bulan.
Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society,
fase awal diberikan selama 2 bulan yaitu INH 5 mg/kgBB, Rifampisin 10
mg/kgBB, Pirazinamid 35 mg/kgBB dan Etambutol 15 mg/kgBB.
2. Fase lanjutan (4-7 bulan).

[14]

Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu
yang lebih panjang. Penggunaan 4 obat selama fase awal dan 2 obat
selama fase lanjutan akan mengurangi resiko terjadinya resistensi selektif.
Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society
fase lanjutan selama 4 bulan dengan INH dan Rifampisin untuk
tuberkulosis paru dan ekstra paru. Etambutol dapat diberikan pada pasien
dengan resistensi terhadap INH.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. Pengkajian
a. Identitas
[15]

Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur,


agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status
perkawinan, dan penanggung biaya.
b. Riwayat Kesehatan
keluhan yang sering muncul antara lain :
1. Demam
: subfebris, febris (40-41 derajat celcius) hilang timbul
2. Batuk
: terjadi karena adanya iritasi pada bronkhus. Batuk ini
terjadi untuk membuang/mengeluarkan produksi radang yang
dimulai dari batuk kering sampai dengan batuk purulen
(menghasilkan sputum)
3. Sesak napas
: bila sudah lanjut di mana infiltrasi radang sampai
setengah paru-paru
4. Nyeri dada : jarang ditemukan, nyeri akan timbul bila infiltrasi
radang sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis
5. Malaise
: ditemukan berupa anoreksia, nafsu makan menurun,
berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot, dan keringat malam
6. Sianosis, sesak napas, dan kolaps merupakan gejala atelektasis.
Bagian dada pasien tidak bergerak pada saat bernapas dan jantung
terdorong ke sisi yang sakit. Pada foto toraks, pada sisi yang sakit
tampak bayangan hitam dan diafragma menonjol ke atas.
7. Perlu ditanyakan dengan siapa pasien tinggal, karena biasanya
penyakit ini muncul bukan karena sebagai penyakit keturunan tetapi
merupakan penyakit infeksi menular
Riwayat penyakit saat ini
Pengkajian dilakukan untuk mendukung keluhan utama. Pengkajian
ringkas dengan PQRST dapat lebih memudahkan perawat dalam
melengkapi pengkajian.
Provoking Incident : apakah ada peristiwa yang menjadi faktor penyebab
sesak napas, apakah sesak napas berkurang apabila beristirahat?
Quality of Pain
: seperti apa rasa sesak napas yang dirasakan
atau digambarkan klien, apakah rasa sesaknya seperti tercekik atau susah
dalam melakukan inspirasi atau kesulitan dalam mencari posisi yang enak
dalam melakukan pernapasan ?
[16]

Region
pernapasan ?
Severity of Pain

di

mana

rasa

berat

dalam

melakukan

: seberapa jauh rasa sesak yang dirasakan klien ?

Time
: berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan,
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari, apakah gejala timbul
mendadak, perlahan-lahan atau seketika itu juga, apakah timbul gejala
secara terus-menerus atau hilang timbul (intermitten), apa yang sedang
dilakukan klien saat gejala timbul, lama timbulnya (durasi), kapan gejala
tersebut pertama kali timbul (onset).
Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah
sebelumnya klien pernah menderita TB paru, keluhan batuk lama pada
masa kecil, tuberkulosis dari organ lain, pembesaran getah bening, dan
penyakit lain yang memperberat TB paru seperti diabetes mellitus.
Tanyakan mengenai obat-obat yang biasa diminum oleh klien pada masa
lalu yang relevan, obat-obat ini meliputi obat OAT dan antitusif. Catat
adanya efek samping yang terjai di masa lalu. Kaji lebih dalam tentang
seberapa jauh penurunan berat badan (BB) dalam enam bulan terakhir.
Penurunan BB pada klien dengan TB paru berhubungan erat dengan
proses penyembuhan penyakit serta adanya anoreksia dan mual yang
sering disebabkan karena meminum OAT.
Riwayat Penyakit Keluarga
Secara patologi TB paru tidak diturunkan, tetapi perawat perlu
menanyakan apakah penyakit ini pernah dialami oleh anggota keluarga
lainnya sebagai faktor predisposisi penularan di dalam rumah.
c. Pengkajian Psiko-Sosio-Spiritual
Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai
status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Perawat mengumpulkan data
hasil pemeriksaan awal klien tentang kapasitas fisik dan intelektual saat
ini. Data ini penting untuk menentukan tingkat perlunya pengkajian psikososio-spiritual yang seksama. Pada kondisi, klien dengan TB paru sering
mengalami kecemasan bertingkat sesuiai dengan keluhan yang
dialaminya.

[17]

d. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru meliputi pemerikasaan
fisik umum per system dari observasi keadaan umum, pemeriksaan
tanda-tanda vital, B1 (breathing), B2 (Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5
(Bowel), dan B6 (Bone) serta pemeriksaan yang focus pada B2 dengan
pemeriksaan menyeluruh system pernapasan.

Keadaan Umum dan Tanda- tanda Vital

Keadaan umum pada klien dengan TB paru dapat dilakukan secara


selintas pandang dengan menilai keadaaan fisik tiap bagian tubuh. Selain
itu, perlu di nilai secara umum tentang kesadaran klien yang terdiri atas
compos mentis, apatis, somnolen, sopor, soporokoma, atau koma. Hasil
pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan TB paru biasanya
didapatkan peningkatan suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas
meningkat apabila disertai sesak napas, denyut nadi biasanya meningkat
seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan frekuensi pernapasan, dan
tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya penyulit seperti hipertensi.

B1 (Breathing)

Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru merupakan


pemeriksaan fokus yang terdiri atas inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi.
Inspeksi
Bentuk dada dan pergerakan pernapasan. Sekilas pandang klien
dengan TB paru biasanya tampak kurus sehingga terlihat adanya
penurunan proporsi diameter bentuk dada antero-posterior dibandingkan
proporsi diameter lateral. Apabila ada penyulit dari TB paru seperti
adanya efusi pleura yang masif, maka terlihat adanya ketidaksimetrian
rongga dada, pelebar intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. TB
paru yang disertai atelektasis paru membuat bentuk dada menjadi tidak
simetris, yang membuat penderitanya mengalami penyempitan
intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. Pada klien dengan TB paru
minimal dan tanpa komplikasi, biasanya gerakan pernapasan tidak
mengalami perubahan. Meskipun demikian, jika terdapat komplikasi yang
melibatkan kerusakan luas pada parenkim paru biasanya klien akan
terlihat mengalami sesak napas, peningkatan frekuensi napas, dan
menggunakan otot bantu napas.

[18]

Batuk dan sputum. Saat melakukan pengkajian batuk pada klien


dengan TB paru, biasanya didapatkan batuk produktif yang disertai
adanya peningkatan produksi secret dan sekresi sputum yang purulen.
Periksa jumlah produksi sputum, terutama apabila TB paru disertai adanya
brokhiektasis yang membuat klien akan mengalami peningkatan produksi
sputum yang sangat banyak. Perawat perlu mengukur jumlah produksi
sputum per hari sebagai penunjang evaluasi terhadap intervensi
keperawatan yang telah diberikan.
Palpasi
Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernapasan. TB paru
tanpa komplikasi pada saat dilakukan palpasi, gerakan dada saat
bernapas biasanya normal seimbang antara bagian kanan dan kiri.
Adanya penurunan gerakan dinding pernapasan biasanya ditemukan pada
klien TB paru dengan kerusakan parenkim paru yang luas.
Getaran suara (fremitus vokal). Getaran yang terasa ketika perawat
meletakkan tangannya di dada klien saat klien berbicara adalah bunyi
yang dibangkitkan oleh penjalaran dalam laring arah distal sepanjang
pohon bronchial untuk membuat dinding dada dalam gerakan resonan,
teerutama pada bunyi konsonan. Kapasitas untuk merasakan bunyi pada
dinding dada disebut taktil fremitus.
Perkusi
Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya akan
didapatkan resonan atau sonor pada seluruh lapang paru. Pada klien
dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi pleura akan
didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang sesuai banyaknya
akumulasi cairan di rongga pleura. Apabila disertai pneumothoraks, maka
didapatkan bunyi hiperresonan terutama jika pneumothoraks ventil yang
mendorong posisiparu ke sisi yang sehat.
Auskultasi
Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan
(ronkhi) pada sisi yang sakit. Penting bagi perawat pemeriksa untuk
mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah mana didapatkan adanya
ronkhi. Bunyi yang terdengar melalui stetoskop ketika klien berbica
disebut sebagai resonan vokal. Klien dengan TB paru yang disertai
komplikasi seperti efusi pleura dan pneumopthoraks akan didapatkan
penurunan resonan vocal pada sisi yang sakit.
[19]

B2 (Blood)
Pada klien dengan TB paru pengkajian yang didapat meliputi:

Inspeksi
: Inspeksi tentang adanya parut dan keluhan kelemahan fisik.
Palpasi
: Denyut nadi perifer melemah.
Perkusi
: Batas jantung mengalami pergeseran pada TB paru
dengan efusi pleura masih mendorong ke sisi sehat.
Auskultasi : Tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung tambahan
biasanya tidak didapatkan.

B3 (Brain)

Kesadaran biasanya compos mentis, ditemukan adanya sianosis


perifer apabila gangguan perfusi jaringan berat. Pada pengkajian objektif,
klien tampak dengan meringis, menangis, merintih, meregang, dan
menggeliat. Saat dilakukan pengkajian pada mata, biasanya didapatkan
adanya kengjungtiva anemis pada TB paru dengan gangguan fungsi hati.

B4 (Bladder)

Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake


cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria karena
hal tersebut merupakan tanda awal dari syok. Klien diinformasikan agar
terbiasa dengan urine yang berwarna jingga pekat dan berbau yang
menandakan fungsi ginjal masih normal sebagai ekskresi karena
meminum OAT terutama fifampisin.

B5 (Bowel)

Klien biasanya mengalami mual, penurunan nafsu makan, dan


penurunan berat badan.

B6 (Bone)

Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien dengan TB paru.


Gejala yang muncul antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola
hidup menetap, jadwal olahraga menjadi tak teratur.
e. Pemeriksaan Tambahan
1. Sputum Culture untuk memastikan
M.Tuberculosis pada stadium aktif.
[20]

apakah

keberadaan

2. Ziehl Neelsen ( Acid-fast staind applied to smear of body fluid )


positif untuk BTA.
3. SKIN TEST ( PPD, mantoux, tine, and vollmer patch ) : reaksi
positif/area industri 10mm atau lebih, timbul 48-72 jam setelah
injeksi antigen intradermal, mengindikasikan infeksi lama dan
adanya antibodi, tetapi tidak mengindikasikan penyakit sedang
aktif.
4. Histologi Atau Kultur Jarinngan ( termasuk kumbah lambung,
urine dan biopsi kulit)
5. Bronkografi merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat
kerusakan bronkhus atau kerusakan paru-paru karena TB.
3.2. Diagnosis Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan
sekresi mukus yang kental, hemoptisis, kelemahan, upaya batuk
buruk, dan edema trakheal/faringeal.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan
membran alveolar-kapiler.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan peningkatan produksi sputum/batuk, dyspnea atau
anoreksia.
4. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan proses peradangan
ditandai dengan peningkatan suhu tubuh (hypertermi).
5. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak
adekuatnya pertahanan primer, penurunan gerakan silia, stasis dari
sekresi.
3.3. Intervensi Dan Implementasi Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tak efektif b.d sekret kental atau sekret darah,
kelemahan, upaya batuk buruk, edema tracheal atau faringeal ditandai
dengan :

Frekuensi pernafasan, irama, kedalaman tak normal


Bunyi nafas tak normal, ( ronchi, mengi ) stridor

Dispnoe
[21]

Tujuan

:
1. Kebersihan jalan napas efektif.
2. Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.

Kriteria hasil :
1. Mencari posisi yang nyaman yang memudahkan peningkatan
pertukaran udara.
2. Mendemontrasikan batuk efektif.
3. Menyatakan strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi.
INTERVENSI
1. Jelaskan klien tentang
kegunaan batuk yang efektif
dan mengapa terdapat
penumpukan sekret di saluran
pernapasan.

RASIONAL
1. Pengetahuan yang diharapkan
akan membantu
mengembangkan kepatuhan
klien terhadap rencana
teraupetik.

2. Ajarkan klien tentang metode


yang tepat pengontrolan
batuk.

2. Batuk yang tidak terkontrol


adalah melelahkan dan tidak
efektif, menyebabkan frustasi.

3. Napas dalam dan perlahan


saat duduk setegak mungkin.

3. Memungkinkan ekspansi paru


lebih luas.

4. Lakukan pernapasan
diafragma.

4. Pernapasan diafragma
menurunkan frek. napas dan
meningkatkan ventilasi
alveolar.

5. Tahan napas selama 3 5


detik kemudian secara
perlahan-lahan, keluarkan
sebanyak mungkin melalui
mulut. Lakukan napas ke dua ,
tahan dan batukkan dari dada
dengan melakukan 2 batuk
pendek dan kuat.
6. Auskultasi paru sebelum dan
sesudah klien batuk.

5. Meningkatkan volume udara


dalam paru mempermudah
pengeluaran sekresi sekret.
6. Pengkajian ini membantu
mengevaluasi keefektifan
upaya batuk klien.
7. Hiegene mulut yang baik
meningkatkan rasa
kesejahteraan dan mencegah
bau mulut.

7. Dorong atau berikan


perawatan mulut yang baik
setelah batuk.
8. Kolaborasi dengan tim
kesehatan lain
[22]

2.Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran


alveolar-kapiler.
Tujuan

: Pertukaran gas efektif.

Kriteria hasil : 1. Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif.


2. Mengalami pertukaran gas-gas pada paru.
3. Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab perbaikan
INTERVENSI
1. Berikan posisi yang nyaman,
biasanya dengan peninggian
kepala tempat tidur, Balik ke
sisi yang sakit, Dorong klien
untuk duduk sebanyak
mungkin.
2. Observasi fungsi pernapasan,
catat frekuensi pernapasan,
dispnea atau perubahan
tanda-tanda vital.
3. Jelaskan pada klien tentang
etiologi/faktor pencetus
adanya sesak atau kolaps
paru-paru.

RASIONAL
1. Posisi membantu
memaksimalkan ekspansi
paru dan menurunkan upaya
pernafasan, ventilasi
meksimal membuka area
atelektasis dan meningkatkan
gerakan sekret kedalam jalan
nafas besar untuk
dikeluarkan.
2. Distress pernapasan dan
perubahan pada tanda vital
dapat terjadi sebagai akibat
stress fisiologi dan nyeri atau
dapat menunjukkan terjadinya
syock sehubungan dengan
hipoksia.
3. Pengetahuan apa yang
diharapkan dapat
mengembangkan kepatuhan
klien terhadap rencana
teraupetik.

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


peningkatan produksi sputum/batuk, dyspnea atau anoreksia.
Tujuan

: Kebutuhan nutrisi adekuat

Kriteria hasil : 1. Menyebutkan makanan mana yang tinggi protein dan


kalori
2. Menu makanan yang disajikan habis
3. Peningkatan berat badan tanpa peningkatan edema

[23]

INTERVENSI
1. Diskusikan penyebab
anoreksia, dispnea dan mual.
2. Ajarkan dan bantu klien untuk
istirahat sebelum makan.
3. Tawarkan makan sedikit tapi
sering (enam kali sehari plus
tambahan).

RASIONAL
1. Dengan membantu klien
memahami kondisi dapat
menurunkan ansietas dan
dapat membantu
memperbaiki kepatuhan
teraupetik.
2. Keletihan berlanjut
menurunkan keinginan untuk
makan.

4. Atur makanan dengan


protein/kalori tinggi yang
disajikan pada waktu klien
merasa paling suka untuk
memakannya

3. Peningkatan tekanan intra


abdomen dapat
menurunkan/menekan saluran
GI dan menurunkan kapasitas.
4. Ini meningkatkan
kemungkinan klien
mengkonsumsi jumlah protein
dan kalori adekuat.

4. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan proses peradangan


ditandai dengan peningkatan suhu tubuh (hypertermi).
Tujuan & kriteria : 1. Mengidentifikasi intervensi untuk menurunkan suhu
tubuh.
2. Meminimalisir proses peradangan untuk meningkatkan
kenyamanan.

INTERVENSI
1. Mempertahankan
keseimbangan cairan dalam
tubuh dengan pemasangan
infus.

RASIONAL
1. Cairan dalam tubuh sangat
penting guna menjaga
homeostasis (keseimbangan)
tubuh, Apabila suhu tubuh
meningkat maka tubuh akan
kehilangan cairan lebih
banyak.

2. Monitoring perubahan suhu


tubuh.
3. Kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian antibiotik
guna mengurangi proses
peradangan (inflamasi).

2. Suhu tubuh harus dipantau


secara efektif guna
mengetahui perkembangan
dan kemajuan dari pasien.
[24]

4. Anjurkan pada pasien untuk


memenuhi kebutuhan nutrisi
yang optimal sehingga
metabolisme dalam tubuh
dapat berjalan lancar.

3. Antibiotik berperan penting


dalam mengatasi proses
peradangan (inflamasi).
4. Jika metabolisme dalam tubuh
berjalan sempurna maka
tingkat kekebalan/ sistem
imun bisa melawan semua
benda asing (antigen) yang
masuk.

5. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya


pertahanan primer, penurunan gerakan silia, stasis dari sekresi.
Tujuan& kriteria :
1. Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan
resiko penyebaran infeksi.
2. Menunjukkan/melakukan perubahan pola hidup untuk
meningkatkan lingkungan yang.aman.
INTERVENSI

RASIONAL

1. Review patologi penyakit fase


aktif/tidak aktif, penyebaran
infeksi melalui bronkus pada
jaringan sekitarnya atau
aliran darah atau sistem limfe
dan resiko infeksi melalui
batuk, bersin, meludah.
2. Identifikasi orang-orang yang
beresiko terkena infeksi
seperti anggota keluarga,
teman, orang dalam satu
perkumpulan.

1. Membantu pasien agar mau


mengerti dan menerima
terapi yang diberikan untuk
mencegah komplikasi.
2. Orang-orang yang beresiko
perlu program terapi obat
untuk mencegah penyebaran
infeksi.
3. Kebiasaan ini untuk
mencegah terjadinya
penularan infeksi.

3. Anjurkan pasien menutup


mulut dan membuang dahak
di tempat penampungan yang
tertutup jika batuk.
4. Monitor sputum BTA
5. Pemberian terapi INH,
etambutol, Rifampisin.
[25]

4. Untuk mengawasi keefektifan


obat dan efeknya serta respon
pasien terhadap terapi.
5. INH adalah obat pilihan bagi
penyakit Tuberkulosis primer
dikombinasikan dengan obatobat lainnya. Pengobatan
jangka pendek INH dan

Rifampisin selama 9 bulan


dan Etambutol untuk 2 bulan
pertama.

BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
[26]

TB paru dapat terjadi dengan peristiwa sebagai berikut :


Ketika seorang klien TB paru batuk, bersin, atau berbicara, maka
secara tak sengaja keluarlah droplet nuklei dan jatuh ke tanah, lantai,
atau tempat lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau suhu udara yang
panas, droplet nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri ke udara
dibantu dengan pergerakan angin akan membuat bakteri tuberkolosis
yang terkandung dalam droplet nuklei terbang ke udara. Apabila bakteri
ini terhirup oleh orang sehat, maka orang itu berpotensi terkena infeksi
bakteri tuberkolosis.
4.2 SARAN
1. Hendaknya mewaspadai terhadap droplet yang dikeluarkan oleh klien
dengan TB paru karena merupakan media penularan bakteri tuberkulosis.
2. Memeriksakan dengan segera apabila terjadi tanda-tanda dan gejala
adanya TB paru.
3. Sebagai perawat hendaknya mampu memberikan asuhan keperawatan
sesuai dengan rencana keperawatan pada penderita TB Paru.

DAFTAR PUSTAKA
Somanttri, Irman. 2008.Keperawtatan Medikal Bedah : Asuhan
Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.Jakarta :
Salemba Medika
[27]

Muttaqin, Arif. 2012. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan


Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika
Sudoyo, Aruw. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2 Edisi IV. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Soeparman dan sarwono Waspadji. 1990. Ilmu Penyakit Dalam jilid 2.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
http://www.rajawana.com/artikel/kesehatan/264-tuberculosis-paru-tbparu.html diakses pada tanggal 16 November 2010
http://jarumsuntik.com/asuhan-keperawatan-dengan-tb-paru diakses pada
tanggal 16 November 2010
sumber : http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35527-Kep
%20Respirasi-Askep%20TB%20Paru.html

[28]

You might also like