Professional Documents
Culture Documents
Volume Darah
Darah mengandung cairan ekstrasel (cairan dalam plasma) dan cairan intrasel (cairan
dalam sel darah merah). Akan tetapi, darah dianggap sebagai kompartemen cairan terpisah
karena darah terkandung dalam ruangannya sendiri, yaitu sistem sirkulasi. Volume darah
khususnya penting dalam dinamika sistem kardiovaskuler.3
Rata-rata darah orang dewasa adalah sekitar 7% BB atau sekitar 5 liter. Sekitar 60%
darah berupa plasma dan 40% berupa sel darah merah, namun persentase ini dapat bervariasi
pada masing-masing orang, bergantung pada jenis kelamin, berat badan dan faktor lainnya.3
Hematokrit (Packed Red Cell Volume) adalah fraksi darah yang terdiri atas sel darah
merah, yang ditentukan melalui sentrifugasi darah dalam tabung hematokrit sampai sel-sel ini
menjadi benar-benar mampat di bagian bawah tabung. Pada pria, nilai hematokrit yang terukur
normalnya 0,40, dan pada wanita kira-kira 0,36. Penurunan nilai hematokrit terdapat pada
anemia, sedangkan peningkatannya terjadi pada kasus polisitemia.3
syok yang terjadi bukan karena perdarahan, namun akan memberi respon sedikit atau singkat
terhadap resusitasi cairan. Karena itu, bila terdapat tanda-tanda syok, maka syok itu dianggap
disebabkan oleh hipovolemia.
Syok Non-Hemoragik
(1) Tension Pneumothoraks
Suatu pneumotoraks yang progresif dan cepat sehingga membahayakan jiwa penderita
dan dalam waktu yang tidak lama. Merupakan keadaan gawat darurat bedah yang memerlukan
diagnosis dan penanganan segera. Tension pneumothoraks terjadi bila ada udara yang masuk ke
rongga pleura tetapi karena suatu mekanisme bentil (katup-ayun / flap-valve) mencegah aliran
keluarnya. Tekanan intraplerural meningkat dan menyebabkan paru-paru kolaps total dan terjadi
penggeseran dari mediastinum ke sisi seberangnya diikuti terganggunya aliran darah balik ke
jantung (venous return) dan penurunan output jantung.4
Adanya gangguan pernafasan yang akut, emfisema subkutan, menghilangnya suara nafas pada
auskultasi, hipersonor pada perkusi dan pergeseran trakea mendukung diagnosis dari tension
pneumothoraks dan menuntut dilakukannya dekompresi toraks dengan segera tanpa menunggu
konfirmasi foto ronsen untuk diagnosisnya.
(2) Syok Kardiogenik
Penyebab primer syok kardiogenik adalah kegagalan fungsi jantung sebagai pompa
sehingga curah jantung menurun.1 sebanyak 80% syok ini disebabkan oleh gangguan fungsi
ventrikel kiri akibat infark miokard dengan elevasi segmen ST pada elektrokardiografi (EKG).
Selain karena disfungsi miokard, adanya penurunan kontraktilitas jantung, obstruksi aliran
ventrikel ke luar jantung, kelainan pengisian ventrikel, disaritmia, dan defek septum juga turut
menggagalkan fungsi jantung. Mortalitas akibat syok karidogenik adalah sebesar 50%.1
Disfungsi miokardial dapat terjadi dari trauma tumpul jantung, tamponade jantung,
emboli udara, atau yang agak jarang infark miokard yang berhubungan dengan cedera penderita.
Trauma Tumpul
Bila mekanisme cedera pada toraks merupakan deselerasi, harus dicurigai cedera
tumpul jantung (blunt). Semua penderita dengan trauma tumpul toraks memerlukan EKG
terus-menerus utnuk mengetahui pola cedera dan disaritmia. Isoenzim-CPK dan
pemeriksaan isotop spesifik jarang dipakai dalam menegakan diagnosis atau mengelola
penderita di bagian gawat-darurat. Cedera tumpul jantung mungkin merupakan suatu
indikasi pemasangan tekanan vena sentral (CVP) secara dini agar dapat memandu
resusitasi cairan dalam situasi ini.
Temponade Jantung
terjadi. Syok septik dapat terjadi pada penderita dengan cedera perut yang tembus serta
kontaminasi rongga peritoneal dengan isi usus.
Penderita septik yang hipotensif dan afebril secara klinis sukar dibedakan dengan
penderita syok hipovolemik, karena kedua kelompok ini dapat menunjukan takikardia,
vasokonstriksi kulit, produksi urin menurun, tekanan sistolik yang menurun, dan tekanan nadi
yang mengecil. Penderita dengan syok septik yang dini mungkin mempunyai peredaran volume
yang normal, takikardia yang sedang, kulit berwarna merah jambu hangat, tekanan sistolik
mendekati normal dan tekanan nadi yang lebar.
(6) Supine Hypotensive Syndrome (SHS)
Disebut juga sebagai sindrom kompresi aortakaval (aortacaval compression syndrome),
juga disebut sebagai Sindrom hipotensi maternal (maternal hypotension syndrome). Hal ini
terjadi ketika vena kava inferior tertekan oleh berat uterus, janin, plasenta, dan cairan amnion
pada seorang wanita hamil yang sedang berbaring dalam posisi supinasi. Umumnya terjadi pada
trimester 2 pada usia gestasi 36-38 minggu. Pada wanita hamil dengan usia gestasi ini berbaring
degan posisi supinasi (supine), beban berat (kenaikan berat badan akibat adanya kehamilan dan
berat uterus yang membesar) akan mengkompresi vena kava inferior, dimana fungsi dari vena ini
adalah sebagai jalur darah yang terdeoksigenasi dari separuh tubuh kembali ke jantung melalui
vena tersebut. Akibat adanya kompresi pada vena kava inferior, aliran darah yang akan kembali
ke jantung dan juga cardiac output sehingga sebanyak 30% efektivitas sirkulasi darah berkurang.
Dibutuhkan 3-7 menit sampai menunjukan gejala. Gejala SHS dapat menyerupai gejala syok, hal
ini karena ketika aliran darah dari vena kava inferior terhambat, maka tekanan darah akan
menurun dan akan berakibat pada kontraksi arteri-arteri uterina dan mengalirkan darah kembali
ke organ-organ besar.
Hal ini dapat menyebabkan distres pada janin, dimana hal ini muncul dalam bentuk
hipoksia janin, jika sudah parah akan menyebabkan kematian janin. Gejala-gejalanya meliputi:
pusing, berkeringat, mual, hiptotensi, edema pada ekstremitas bawah, adanya tanda fetal distress
berkurangnya pulsasi femoral, pucat, tanda-tanda syok (kulit lembab, dingin, basah), sinkope
atau hampir sinkope, takikardia, dan bradikardia pada fase akhir.4
PEMERIKSAAN FISIK
Adapula pada keadaan trauma, yang perlu diperiksa pada fisik penderita ialah tanda-tanda
vital yang meliputi; tekanan darah, frekuensi nafas (periksa adakah terdapat ronkhi atau mengi
atau keadaan patologis lainnya), suhu tubuh, dan denyut nadi (diperhatikan adakah aritmia atau
mur-mur atau keadaan patologis lainnya). Selain itu perlu juga diperiksa keadaan lain seperti
adakah udem pada ekstremitas, apakah akralnya dingin atau tidak, juga diperiksa apakah jalan
nafas dari penderita mengalami obstruksi atau tidak, juga perdarahan terutama pada kasus-kasus
trauma penetrasi. Pada penderita perlu diperiksa status neurologisnya seperti memeriksa status
kesadaran dengan Glasgow Scale, juga pemeriksaan neurologis singkat lainnya seperti pupil,
fungsi motorik, serta sensorik.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada kasus truama, ada beberapa pemeriksaan yang perlu dilakukan seperti
elektrokardiografi (EKG), pemeriksaan darah lengkap, analisis gas darah, roentgen,
ultrasonografi, dan juga enzim kardiak pada kasus-kasus yang berkaitan dengan kondisi jantung.
Pada kasus yang umumnya disertai dengan perdarahan, yang perlu diperiksa adalah seperti di
dalam tabel berikut:
Tabel 1. Lokasi-lokasi umum pada perdarahan internal dan peralatan diagnostiknya.2
Lokasi
Dada (hemothorax)
Abdomen (hemoperitoneum)
Pelvis (retroperitoneum)
Tulang-tulang panjang (femur)
Peralatan Diagnostik
Foto Thorax
Fast/DPL/CT
Foto Pelvis
Gejala klinis Roentgen
Diagnoses
Respiratory Distress
Tracheal deviation to
contralateral side
Breath sounds (ipsilateral)
Hypotension
Distended neck veins
C Cardiac Tamponade
Distressed patient
Hypotension
Distended neck veins
Muffled heart sound
Pulsus paradoxus
Central venous pressure
Echo : pericardial fluid
ECG : electrical alternans
C Cardiac Contusion
Compatible injury (blunt chest
trauma)
Poor response to fluids
Central venous pressure
ECG : arrhytmias
Cardiac enzimes
N Neurogenic Shock
Weakness
Sensory level
Relative bradycardia
Warm extremities
S Septick Shock
Delayed clinical presentation
Warm extremitites (early phase)
Pyrexia
Positive blood culture
S Suppine Hypotensive Advanced pregnancy
Syndrome
Supine position
Poor response to fluid
resucitation
Treatment
Immidiate needle
thoracocenthesis
Chest tube insertion
Judicious therapy
Early invasive monitoring
Inotropic support (e.g :
Dobutamine)
Judicious therapy
Early invasive monitoring
Inotropic support (e.g :
Ephinephrine)
Control of infective source
Appropriate IV antimicrobial
therapy
Supportive management (ICU)
Position patient in 15o left
lateral tilt
Syok Hemoragik
Resusitasi pada pasien syok hemoragi, dimulai dengan mengamankan jalan napas,
memberikan oksigen tambahan, dan memastikan ventilasi yang memadai. Perdarahan eksternal
harus segera dikendalikan oleh kompresi langsung pada lokasi perdarahan. Pedoman praktek saat
ini menyarankan bahwa volume intravaskular harus dikembalikan ke normal secepat mungkin
dengan infus cepat cairan isotonik, yang paling umum cairan Ringer laktat. Restorasi volume
yang lebih diutamakan daripada koreksi anemia, karena transfusi sel darah merah tidak dapat
sentral mungkin lebih mudah, karena sudah trerjadi vasokonstriksi pada intravena perifer.
Tingkat keterampilan dan pengalaman dokter merupakan faktor penting dalam proses
pengambilan keputusan.2
Tabel 3. Recommended Sites of Intravenous Access.2
Peripheral veins
Central veins
Cut-down sites
Intraosseuous sites
Crustalloid
1000
125
85
60
40
Colloid
600
90
65
35
17
Crystalloids
Kristaloid adalah sebuah cairan dengan partikel ionik atau nonionik kecil yang lewat
dengan bebas melintasi membran kapiler dan tidak memberikan kontribusi terhadap tekanan
onkotik plasma. Kristaloid digunakan untuk resusitasi biasanya isotonik dengan plasma (cairan
hipertonik dibutuhkan setelahnya). Konsep konvensional menyatakan bahwa kristaloid isotonik
cepat merata di seluruh kompartemen cairan ekstraselular, oleh karena itu hanya 20% sampai
30% cairan kirstaloid ini yang tersisa di intravaskular. Hasil fenomena ini menyimpulkan bahwa
sekitar tiga kali volume darah yang hilang harus diberikan untuk mengembalikan volume
intravaskular normal (dikenal sebagai "3to1" rule). Meskipun crystalloiods efektif dalam
meresusitasi kompartemen ekstravaskular, namun pada pemberian yang berlebihan dapat
mengakibatkan edema jaringan. Selanjutnya, karena besarnya volume kristaloid yang diperlukan,
berpotensi untuk menyebabkan hipotermia dan dilusi koagulopati.2
Ekspansi cairan dari ruang intravaskuler ke interstital berlangsung selama 30-60 menit
sesudah infus dan akan keluar dalam 24-48 jam sebagai urine. Secara umum kristaloid digunakan
untuk meningkatkan volume ekstrasel dengan atau tanpa peningkatan volume intrasel. Kristaloid
harus dipertimbangkan sebagai resusitasi cairan yang diberikan pertama kali pada pasien dengan
shock hemorrhagic dan septic, pasien dengan luka bakar, pasien dengan cedera kepala untuk
mempertahankan tekanan perfusi cerebral, dan pada pasien yang sedang menjalani
plasmapheresis dan reseksi hepar. Bila 3-4 L kristaloid telah diberikan namun respon
hemodinamiknya masih belum cukup maka koloid dapat diberikan.5,6
Pemberian cairan disesuaikan dengan jenis cairan tubuh yang hilang. Bila kehilangan
cairan secara primer adalah air, makan cairan penggantinya adalah cairan hipotonis, disebut juga
sebagai cairan pemeliharaan. Bila kehilangan cairan meliputi air dan elektrolit, maka pemberian
cairan pengganti berupa cairan elektrolit yang isotonis, disebut juga sebagai cairan pengganti.
Cairan yang biasa digunakan adalah Ringer lactat. Meski RL sedikit hipotonis,
mengandung 100mL air bebas per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium sampai 130
mEq/L, namun RL menimbulkan efek yang sedikit pada komposisi cairan ekstraselular dan
merupakan cairan yang paling fisiologis bila dibutuhkan dalam volume yang banyak. Laktat
yang terdapat pada RL akan diubah oleh hati menjadi bikarbonat. Bila diberikan dengan volume
yang banyak, NS akan menyebabkan asidosis hiperkloremik karena NS mengandung natrium
dan khlor yang tinggi (154 mEq/L): konsentrasi plasma bikarbonat menurun seiring dengan
peningkatan konsentrasi khlor. NS lebih dipilih pada keadaan alkalosis metabolik hipokloremik
dan untuk mencairkan packed-red blood cells sebelum transfusi. Dekstrosa 5% dalam air (D 5W)
digunakan sebagai pengganti pada kekurangan air dan sebagai cairan pemeliharaan pada pasien
dengan pembatasan natrium. Cairan hipertonik 3% Saline diberikan sebagai terapi simptomatik
hiponatremia yang berat. Cairan saline 3-7.5% diberikan sebagai resusitasi pada pasien dengan
shock hipovolemik.5,6
Ringers lactate
273
130
109
4
28
0
3
0
0
Normal saline
308
154
154
0
0
0
0
0
0
Colloids
Aktivitas osmotik pada zat dengan berat molekul yang tinggi pada cairan koloid
cenderung untuk mempertahankan cairan ini pada komponen intravaskular. Meski waktu paruh
cairan kristaloid di intravaskular adalah 20-30 menit, tetapi waktu paruh cairan koloid di
intravaskular dapat mencapai 3 sampai 6 jam. Harga dan komplikasi yang sering terjadi pada
pemakai koloid membuatnya jarang digunakan. Indikasi umum yang diterima untuk pemakaian
cairan koloid yaitu: (1) resusitasi cairan pada pasien dengan kekurangan cairan intravaskular
yang berat (contoh: shock hemorrhagic) sebelum adanya transfusi darah yang tersedia, dan (2)
resusitasi cairan pada keadaan hipoalbuminemia yang berat atau pada kondisi yang
menyebabkan hilangnya protein dalam jumlah yang besar seperti pada kasus luka bakar. Pada
pasien luka bakar, pemberian cairan koloid dapat juga dipertimbangkan bila luas luka bakar
melebihi 30% dari permukaan tubuh atau bila telah diberikan 3-4L cairan kristaloid lebih dari
18-24 jam setelah terjadinya luka bakar.5,6
Banyak klinisi juga memberikan cairan koloid bersamaan dengan cairan kristaloid ketika
dibutuhkan cairan pengganti sebanyak 3-4L sebelum dilakukan transfusi. Perlu diperhatikan
bahwa cairan ini tersedia dalam normal saline (Cl-145-154 mEq/L) dan dapat menyebabkan
asidosis metabolik hiperkloremik.
Beberapa cairan koloid yang ada merupakan berasal baik dari protein plasma maupun
polimer sintetik glukosa dan dimasukkan dalam cairan elektrolit isotonis. Cairan koloid yang
berasal dari darah berupa albumin (cairan 5% dan 25%) dan fraksi plasma protein (5%).
Keduanya dipanaskan pada suhu 600C minimal selama 10 jam untuk mengurangi resiko
penyebaran hepatitis dan penyakit virus menular lainnya. Fraksi plasma protein mengandung dan -globulin sebagai tambahan dari albumin dan sering menimbulkan reaksi hipotensif. Reaksi
ini berupa reaksi alergi biasa dan kemungkinan berkaitan dengan pengaktifan prekallikrein.
Cairan koloid sintetik berupa dextrose starches dan gelatin. Gelatin berkaitan dengan reaksi
alergi yang dimediasi oleh histamin. Cairan Dextran yang ada berupa dextran 70 (Macrodex) dan
dextran 40 (Rheomacrodex), yang memiliki berat molekul 70.000 dan 40.000. Meski dextran 70
merupakan cairan yang lebih baik dibanding dextran 40, namun dextran 40 juga memperbaiki
arus darah dalam mikrosirkulasi dengan cara mengurangi viskositas darah. Efek antiplatelet juga
dapat terjadi pada pemberian dextran. Pemberian cairan melebihi 20 mL/kg per hari dapat
mempengaruhi darah, dapat memperpanjang waktu perdarahan (dextran 40), dan berhubungan
dengan gagal ginjal. Dextran juga dapat dianggap sebagai antigen yang menyebabkan reaksi
anafilaktik atau anafilaktoid yang berat. Dextran 1 (promit) dapat diberikan sebelum pemberian
dextran 40 atau dextran 70 untuk mencegah reaksi anafilaktik; dextran 1 berperan sebagai hapten
dan mengikat segala antibodi dextran yang terdapat pada sirkulasi. Hetastarch (hydroxyethyl
starch) terdapat pada cairan 6% dengan berat molekul 450.000. molekul kecil dibuang melalui
ginjal, dimana molekul yang lebih besar dihancurkan terlebih dahulu oleh amilase. Hetastarch
sangat efektif sebagai plasma expander dan tidak begitu mahal dibanding albumin. Terlebih
hetastarch tidak bersifat antigen dan reaksi anafilaktoid sangat jarang terjadi. Koagulasi dan
waktu pembekuan tidak begitu terpengaruh dengan pemberian cairan di atas 0.5-1.0 L.
Pemberian hetastarch pada pasien dengan transplantasi ginjal masih kontoversi. Hal yang sama
juga terjadi pada pasien yang menjalani bypass cardio-pulmonal. Pentastarch, cairan dengan
berat molekul yang lebih rendah, memiliki efek samping yang jarang dan kemungkinan
menggantikan penggunaan hetastarch.5,6
Tabel 6. Jenis-jenis cairan koloid.5
Transfusi Darah
Pemberian darah tergantung respon penderita terhadap pemberian cairan seperti diterangkan
sebelumnya. Tujuan utama transfusi darah adalah memperbaiki oxygen-carrying-capacity.
Perbaikan volume dapat dicapai dengan pemberian larutan kristaloid, yang sekaligus akan
memperbaiki volume interstisial dan intraseluler. 2,3 Terdapat 4 kategori untuk darah:2,3
Transfusi darah sebaiknya diberikan packed red cell, dan dapat mengoptimalkan penggunaan dan
pemanfaatan bank darah. Packed Red Blood Cell ideal untuk pasien yang memerlukan sel darah
merah tetapi tidak penggantian volume.
Sebelum transfusi, masing-masing unit harus diperiksa secara hati-hati dicek dengan kartu dari
bank darah dan identitas dari penerima donor darah. Tabung transfusi berisi 170-J.m untuk
menyaring gumpalan atau kotoran. Dengan ukuran sama dan saringan berbeda digunakan untuk
mengurangi leukocyte isi untuk mencegah febrile reaksi transfusi febrile pada pasien yang
sensitif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jong WD, Sjamsuhidayat R. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2: Jakarta: EGC, 2004.h. 121-4.
2. Boffard KD, Joseph C. Perioperative fluid threapy. Dalam : Fluid therapy in trauma. New
York: Informa Healthcare, 2007. h. 221-32.
3. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi kesembilan. Jakarta: EGC. 1997:
375-393.
4. American College of Surgeon. Advanced trauma life support for doctors. Dalam : Syok.
Indonesia : Ikatan Dokter Bedah Indonesia, 2004. h. 73-91.
5. Sunatrio S. Resusitasi cairan. Jakarta: Media Aesculapius, 2000.h.1-58.
6. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. 5th ed. Philadelphia:
Lippincot williams and wilkins; 2006.h. 74-97.