You are on page 1of 16

Referat Kepanitraan Klinik Anestesi

Terapi Cairan pada Trauma


Nanda Cendikia
112014228
23 Oktober 2015
Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jl. Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
Email : nandacendikia@gmail.com
PENDAHULUAN
Trauma berbicara tentang suatu keadaan, dimana seseorang sedang mengalami cedera.
Penyebab dari trauma sangat banyak, dan yang paling sering kita temui ialah kecelakaan lalu
lintas dan senjata api, dan amat disayangkan kebanyakan dari penderita trauma ini berasal dari
kelompok usia muda dan produktif.
Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera. Definisi ini memberikan
gambaran superfisial dari respon fisik terhadap cedera. Trauma juga mempunyai dampak psikis
dan sosial. Pada kenyataannya, trauma adalah kejadian yang bersifat holistik dan dapat
menyebabkan hilangnya produktivitas seseorang.1
Di negeri barat, trauma merupakan pembunuh utama pada usia 40 atau lebih muda, hal
ini tidak mencakup kanker dan penyakit kardiovaskuler pada rentang usia yang sama. Dari data
yang diperoleh, penyebab umum kematian tersitebut adalah perdarahan masif yang berujung
syok hemoragik. Tatalaksana yang masih diperdebatkan sampai dengan sekarang ialah pemilihan
cairan kristaloid atau koloid, seberapa banyak yang harus diberikan, dan kapan waktu pemberian
yang tepat.2 Oleh sebab itu tujuan dari pembuatan referat ini adalah untuk mengetahui dan
menambah wawasan tentang trauma dan dapat menegakkan diagnosis serta penatalaksanaannya.

FISIOLOGI CAIRAN TUBUH


Jumlah Air Tubuh
Total Body Water (TBW) dapat ditentukan melalui beberapa perhitungan yang
menerapkan teknik dilusi dengan menggunakan berbagai zat seperti deuterium, tritium dan
antipirin. Cara tersebut yaitu dengan pengukuran cairan kompartemen tubuh berdasarkan
perhitungan konsentrasi suatu zat tertentu yang terdistribusi dengan sendirinya di dalam
kompartemen. Sementara pengukuran volume tubuh yang tidak mengandung zat tertentu,
dilakukan dengan melakukan pengurangan, misalnya pada pengukuran ICF (intraseluler fluid)
dan ISFV (interstitial fluid volume).3
Jumlah cairan tubuh total kurang lebih 55-60% dari berat badan (BB) dan persentase ini
berhubungan dengan jumlah lemak tubuh, jenis kelamin dan umur. Pengaruh terbesar
berhubungan dengan jumlah lemak tubuh. Kandungan air di dalam sel lemak lebih rendah
dibandingkan kandungan air di dalam sel otot, sehingga persentase cairan total tubuh pada orang
gemuk (obes) lebih rendah dari mereka yang tidak gemuk. Pada bayi dan anak, persentase cairan
tubuh total lebih besar dibanding dengan orang dewasa dan akan menurun sesuai dengan
pertambahan usia. Pada bayi prematur jumlah cairan tubuh total sebesar 80% dari BB, sedangkan
pada bayi normal 70%-75% dari BB, pra-pubertas 65-70% dari BB, dan pada orang dewasa
sebesar 55-60% dari BB.3
Bila diperkirakan rata-rata orang dengan berat 70 kg, memiliki total cairan tubuh 60%
BB, atau 42 liter merupakan air, yang tetap bergantung pada umur, jenis kelamin dan derajat
obesitas, maka perhitungan cairan tubuh total menggunakan rumus :3
Jumlah total air tubuh (L) = BB (kg) x 60%
Perhitungan ini hanya berlaku untuk individu dalam keadaan keseimbangan cairan tubuh normal.
Untuk dewasa obes hasil perhitungan rumus dikurangi 10%, sedangkan untuk orang kurus
ditambahkan 10%.
Pada keadaan dehidrasi berat, cairan tubuh total berkurang sekitar 10%, maka pada keadaan
dehidrasi berat cairan tubuh total dihitung dengan rumus : 3
Jumlah total air tubuh (L) = 0,9 x BB (Kg) x 60%

Kompartemen Cairan Tubuh


Cairan tubuh terdapat dalam dua kompartemen besar, yaitu cairan intrasel (Intraceluler Fluid,
ICF) dan cairan ekstrasel (Ekstraceluler Fluid, ECF).3
a. Kompartemen Cairan Intrasel (ICF)
Cairan intrasel adalah cairan yang terdapat dalam sekitar 75 triliun sel tubuh. Volumenya lebih
kurang 40% BB (60% TBW).1,2 Kandungan air intrasel lebih banyak dibanding ekstrasel.
Persentase volume cairan intrasel pada anak lebih kecil dibandingkan orang dewasa karena
jumlah sel lebih sedikit dan ukuran sel lebih kecil. Cairan intrasel berperan pada proses
menghasilkan, menyimpan, dan penggunaan energi serta proses perbaikan sel. Selain itu, cairan
intrasel juga berperan dalam proses replikasi dan berbagai fungsi khusus antara lain sebagai
cadangan air untuk mempertahankan volume dan osmolalitas cairan ekstrasel.3
Kandungan elektrolit dalam cairan intrasel bervariasi. Kation utama adalah Kalium,
sedangkan anion utama adalah fosfat dan protein. Ion K +, Mg2+, dan PO+42+ merupakan solute
yang dominan untuk menimbulkan efek osmosis pada cairan intrasel. Ion K + juga penting dalam
biolistrik. Konsentrasi Ca2+ intrasel sangat rendah.3
b. Kompartemen Cairan Ekstrasel (ECF)
Cairan ekstrasel adalah cairan yang terdapat di luar sel tubuh. Cairan ekstrasel terdiri dari :
Cairan Interstitium atau cairan antar-sel yang berada diantara sel-sel, cairan intravaskuler yang
berada dalam pembuluh darah yang merupakan bagian air dari plasma darah dan cairan trans-sel
yang berada dalam rongga-rongga khusus, yaitu : cairan otak (liquor serebrospinal), bola mata,
sendi, peritoneum dan perikardium yang jumlahnya relatif sedikit. Cairan trans-seluler
seluruhnya berjumlah 1-2 liter.3
Jumlah seluruh cairan ekstrasel 20% BB (40% TBW) atau sekitar 14 liter pada orang dewasa
normal dengan BB 70 kg. Dua kompartemen terbesar dari cairan ekstrasel adalah cairan
interstitial, yang berjumlah lebih dari tiga perempat bagian cairan ekstrasel dan plasma, yang
berjumlah hampir seperempat cairan ekstrasel, atau sekitar 3 liter. Plasma adalah bagian darah
yang tak mengandung sel, plasma terus-menerus menukar zat dengan cairan interstisial melalui
pori-pori membran kapiler. Pori-pori ini bersifat sangat permeabel untuk hampir semua zat
terlarut dalam cairan ekstrasel, kecuali protein. Oleh karena itu, cairan ekstrasel secara konstan
terus tercampur, sehingga plasma dan cairan interstisial mempunyai komposisi yang hampir
sama kecuali protein, yang konsentrasinya lebih tinggi di dalam plasma.3

Volume Darah
Darah mengandung cairan ekstrasel (cairan dalam plasma) dan cairan intrasel (cairan
dalam sel darah merah). Akan tetapi, darah dianggap sebagai kompartemen cairan terpisah
karena darah terkandung dalam ruangannya sendiri, yaitu sistem sirkulasi. Volume darah
khususnya penting dalam dinamika sistem kardiovaskuler.3
Rata-rata darah orang dewasa adalah sekitar 7% BB atau sekitar 5 liter. Sekitar 60%
darah berupa plasma dan 40% berupa sel darah merah, namun persentase ini dapat bervariasi
pada masing-masing orang, bergantung pada jenis kelamin, berat badan dan faktor lainnya.3
Hematokrit (Packed Red Cell Volume) adalah fraksi darah yang terdiri atas sel darah
merah, yang ditentukan melalui sentrifugasi darah dalam tabung hematokrit sampai sel-sel ini
menjadi benar-benar mampat di bagian bawah tabung. Pada pria, nilai hematokrit yang terukur
normalnya 0,40, dan pada wanita kira-kira 0,36. Penurunan nilai hematokrit terdapat pada
anemia, sedangkan peningkatannya terjadi pada kasus polisitemia.3

ETIOLOGI dan MANIFESTASI KLINIS


Syok adalah keadaan dimana terjadi insufisiensi sirkulasi yang mengakibatkan penurunan perfusi
organ dan oksigenasi jaringan. Perdarahan merupakan penyebab syok tersering pada pasien yang
terluka. Etiologi pada trauma akut dibagi menjadi 2, yaitu syok hemoragik dan syok nonhemoragik.2
Syok Hemoragik
Perdarahan (hemorrhage) adalah kehilangan volume peredaran darah akut, menurunkan
kompartemen cairan intravascular, sehingga mengurangi aliran balik vena ke jantung. Penurunan
aliran balik vena berdampak pada penurunan pengisian jantung, yang pada akhirnya
menyebabkan penurunan resultan volume akhir diastolik. Karena volume akhir diastolic
menentukan preload, yang pada gilirannya berhubungan dengan kekuatan kontraktilitas miokard
(Starlings Law), hasil akhirnya adalah mengurangi kontraksi miokard yang mengarah ke stroke
volume yang lebih kecil dan akhirnya menyebabkan penurunan curah jantung.2
Volume darah orang dewasa normal adalah kira-kira 7% dari berat badan. Dengan
demikian laki-laki yang beratnya 70kg, mempunyai volume darah yang beredar sekitar 5 liter.
Bila penderita gemuk maka volume darahnya diperkirakan berdasarkan berat badan idealnya,
karena bila kalkulasi didasarkan pada berat badan sebenarnya, hasilnya mungkin jauh diatas
volume yang sesungguhnya. Volume darah anak dihitung 8%-9% dari berat badan (80-90 ml/kg).
Perdarahan adalah penyebab syok yang paling umum setelah trauma, dan hampir semua
penderita dengan trauma multipel ada komponen hipovolemia. Harus diingat bahwa walaupun

syok yang terjadi bukan karena perdarahan, namun akan memberi respon sedikit atau singkat
terhadap resusitasi cairan. Karena itu, bila terdapat tanda-tanda syok, maka syok itu dianggap
disebabkan oleh hipovolemia.
Syok Non-Hemoragik
(1) Tension Pneumothoraks
Suatu pneumotoraks yang progresif dan cepat sehingga membahayakan jiwa penderita
dan dalam waktu yang tidak lama. Merupakan keadaan gawat darurat bedah yang memerlukan
diagnosis dan penanganan segera. Tension pneumothoraks terjadi bila ada udara yang masuk ke
rongga pleura tetapi karena suatu mekanisme bentil (katup-ayun / flap-valve) mencegah aliran
keluarnya. Tekanan intraplerural meningkat dan menyebabkan paru-paru kolaps total dan terjadi
penggeseran dari mediastinum ke sisi seberangnya diikuti terganggunya aliran darah balik ke
jantung (venous return) dan penurunan output jantung.4
Adanya gangguan pernafasan yang akut, emfisema subkutan, menghilangnya suara nafas pada
auskultasi, hipersonor pada perkusi dan pergeseran trakea mendukung diagnosis dari tension
pneumothoraks dan menuntut dilakukannya dekompresi toraks dengan segera tanpa menunggu
konfirmasi foto ronsen untuk diagnosisnya.
(2) Syok Kardiogenik
Penyebab primer syok kardiogenik adalah kegagalan fungsi jantung sebagai pompa
sehingga curah jantung menurun.1 sebanyak 80% syok ini disebabkan oleh gangguan fungsi
ventrikel kiri akibat infark miokard dengan elevasi segmen ST pada elektrokardiografi (EKG).
Selain karena disfungsi miokard, adanya penurunan kontraktilitas jantung, obstruksi aliran
ventrikel ke luar jantung, kelainan pengisian ventrikel, disaritmia, dan defek septum juga turut
menggagalkan fungsi jantung. Mortalitas akibat syok karidogenik adalah sebesar 50%.1
Disfungsi miokardial dapat terjadi dari trauma tumpul jantung, tamponade jantung,
emboli udara, atau yang agak jarang infark miokard yang berhubungan dengan cedera penderita.
Trauma Tumpul
Bila mekanisme cedera pada toraks merupakan deselerasi, harus dicurigai cedera
tumpul jantung (blunt). Semua penderita dengan trauma tumpul toraks memerlukan EKG
terus-menerus utnuk mengetahui pola cedera dan disaritmia. Isoenzim-CPK dan
pemeriksaan isotop spesifik jarang dipakai dalam menegakan diagnosis atau mengelola
penderita di bagian gawat-darurat. Cedera tumpul jantung mungkin merupakan suatu
indikasi pemasangan tekanan vena sentral (CVP) secara dini agar dapat memandu
resusitasi cairan dalam situasi ini.
Temponade Jantung

Temponade jantung merupakan suatu keadaan dimana pericardium terisi oleh


darah. Temponade jantung dapat disebabkan oleh luka tembus jantung (tersering) dan
oleh trauma tumpul. Keluhan dan gejala; trauma tajam di daerah pericardium atau yang
diperkirakan menembus jantung, Trias Beck (peninggian tekanan vena jugularis,
hipotensi, Bunyi jantung menjauh), pekak jantung meluas, tanda kussmaul dikarenakan
peningkatan tekanan vena saat inspirasi biasa, gambaran EKG low voltage seluruh
sadapan, pada perikardiosentesis keluar darah.
Adanya darah dalam rongga perikardium (tamponade jantung) dapat dikenali
dengan pemeriksaan FAST (Foccused Assessment Sonography in Trauma), untuk
diagnosis penyebab syok. Takikardia, bunyi jantung yang teredam, pelebaran dan
penonjolan vena-vena dileher dengan hipotensi yang tidak dapat diatasi dengan terapi
cairan menandakan tamponade jantung. Tidak adanya penemuan klasik diatas tidak
menyingkirkan diagnosis ini. Tension pneumotorax dapat menyerupai tamponade
jantung, namun bedanya tidak ada bunyi nafas dan pada perkusi hipersonor di bagian
hemitoraks yang terkena.4
Kontusio Jantung
Terjadinya kontusio pada jantung yang menyebabkan luka/memar pada otot
jantung. Umumnya karena kecelakaan mobil, tertabrak oleh mobil, tindakan resusitasi
jantung-paru (RJP), dan jatuh dari ketinggian (umumnya lebih dari ketinggian 20 kaki).
Kontusio jantung yang berat dapat menunjukan gejala menyerupai serangan jantung
seperti : rasa nyeri tulang iga atau tulang dada, takikardia, aritmia, kepala terasa ringan,
hipotensi, mual atau muntah, sesak nafas / nafas pendek, dan lemah.4
(3) Syok Neurogenik
Gambaran klasik pada syok neurogenik adalah hipotensi tanpa takikardi atau
vasokonstriksi kulit. Tekanan nadi yang mengecil tidak terlihat, penderita dengan cedera spinal
seringkali mengalami trauma di daerah tubuh lainnya. Karena itu, penderita dengan dugaan syok
neurogenik sedari awal harus diterapi seperti pasien hipovolemia. Cedera intrakranial yang
berdiri sendiri tidak menyebabkan syok. Adanya syok pada seorang penderita dengan cedera
kepala harus dicari penyebab syok yang lain. Cedera spinal mungkin mengakibatkan hipotensi
karena hilangnya tonus simpatis kapiler, hal ini memperberat efek fisiologis dari hipovolemia.
Sebaliknya hipovolemia akan memperberat efek-efek fisiologis denervasi simpatis. Kegagalan
dalam memulihkan perfusi organ dengan resusitasi cairan menandakan perdarahan masih
berlanjut atau syok neurogenik. Memantau tekanan vena sentral mungkin membantu dalam
masalah yang kadang-kadang rumit.
(4) Syok Septik
Syok karena infeksi yang timbul segera setelah trauma jarang terjadi. Namun, jikalau
kedatangan penderita di fasilitas gawat-darurat tertunda untuk beberapa jam, masalah ini munkin

terjadi. Syok septik dapat terjadi pada penderita dengan cedera perut yang tembus serta
kontaminasi rongga peritoneal dengan isi usus.
Penderita septik yang hipotensif dan afebril secara klinis sukar dibedakan dengan
penderita syok hipovolemik, karena kedua kelompok ini dapat menunjukan takikardia,
vasokonstriksi kulit, produksi urin menurun, tekanan sistolik yang menurun, dan tekanan nadi
yang mengecil. Penderita dengan syok septik yang dini mungkin mempunyai peredaran volume
yang normal, takikardia yang sedang, kulit berwarna merah jambu hangat, tekanan sistolik
mendekati normal dan tekanan nadi yang lebar.
(6) Supine Hypotensive Syndrome (SHS)
Disebut juga sebagai sindrom kompresi aortakaval (aortacaval compression syndrome),
juga disebut sebagai Sindrom hipotensi maternal (maternal hypotension syndrome). Hal ini
terjadi ketika vena kava inferior tertekan oleh berat uterus, janin, plasenta, dan cairan amnion
pada seorang wanita hamil yang sedang berbaring dalam posisi supinasi. Umumnya terjadi pada
trimester 2 pada usia gestasi 36-38 minggu. Pada wanita hamil dengan usia gestasi ini berbaring
degan posisi supinasi (supine), beban berat (kenaikan berat badan akibat adanya kehamilan dan
berat uterus yang membesar) akan mengkompresi vena kava inferior, dimana fungsi dari vena ini
adalah sebagai jalur darah yang terdeoksigenasi dari separuh tubuh kembali ke jantung melalui
vena tersebut. Akibat adanya kompresi pada vena kava inferior, aliran darah yang akan kembali
ke jantung dan juga cardiac output sehingga sebanyak 30% efektivitas sirkulasi darah berkurang.
Dibutuhkan 3-7 menit sampai menunjukan gejala. Gejala SHS dapat menyerupai gejala syok, hal
ini karena ketika aliran darah dari vena kava inferior terhambat, maka tekanan darah akan
menurun dan akan berakibat pada kontraksi arteri-arteri uterina dan mengalirkan darah kembali
ke organ-organ besar.
Hal ini dapat menyebabkan distres pada janin, dimana hal ini muncul dalam bentuk
hipoksia janin, jika sudah parah akan menyebabkan kematian janin. Gejala-gejalanya meliputi:
pusing, berkeringat, mual, hiptotensi, edema pada ekstremitas bawah, adanya tanda fetal distress
berkurangnya pulsasi femoral, pucat, tanda-tanda syok (kulit lembab, dingin, basah), sinkope
atau hampir sinkope, takikardia, dan bradikardia pada fase akhir.4
PEMERIKSAAN FISIK
Adapula pada keadaan trauma, yang perlu diperiksa pada fisik penderita ialah tanda-tanda
vital yang meliputi; tekanan darah, frekuensi nafas (periksa adakah terdapat ronkhi atau mengi
atau keadaan patologis lainnya), suhu tubuh, dan denyut nadi (diperhatikan adakah aritmia atau
mur-mur atau keadaan patologis lainnya). Selain itu perlu juga diperiksa keadaan lain seperti
adakah udem pada ekstremitas, apakah akralnya dingin atau tidak, juga diperiksa apakah jalan
nafas dari penderita mengalami obstruksi atau tidak, juga perdarahan terutama pada kasus-kasus
trauma penetrasi. Pada penderita perlu diperiksa status neurologisnya seperti memeriksa status

kesadaran dengan Glasgow Scale, juga pemeriksaan neurologis singkat lainnya seperti pupil,
fungsi motorik, serta sensorik.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada kasus truama, ada beberapa pemeriksaan yang perlu dilakukan seperti
elektrokardiografi (EKG), pemeriksaan darah lengkap, analisis gas darah, roentgen,
ultrasonografi, dan juga enzim kardiak pada kasus-kasus yang berkaitan dengan kondisi jantung.
Pada kasus yang umumnya disertai dengan perdarahan, yang perlu diperiksa adalah seperti di
dalam tabel berikut:
Tabel 1. Lokasi-lokasi umum pada perdarahan internal dan peralatan diagnostiknya.2
Lokasi
Dada (hemothorax)
Abdomen (hemoperitoneum)
Pelvis (retroperitoneum)
Tulang-tulang panjang (femur)

Peralatan Diagnostik
Foto Thorax
Fast/DPL/CT
Foto Pelvis
Gejala klinis Roentgen

DIAGNOSIS dan TATALAKSANA


Syok Non-Hemoragik
Kelompok ini memang kurang umum dibandingkan shock yang diakibatkan karena trauma
perdarhan. Namun demikian, mereka membentuk sebuah kelompok penting karena mereka
memerlukan strategi pengobatan yang berbeda dan umumnya memerlukan penganan yang cepat
dengan terapi yang tepat. Sama halnya dengan shock hemoragik, akan berakiba fatal jika
diabaikan atau salah dalam penanganan. Karena kelompok penyebab shock non hemoragik ini
sulit diingat saat berada dalam situasi emergensi maka dibuatlah singkatan sebagai berikut:
T(est) C.N.S.S
T : Tension pneumothorax,
C : Cardiac tamponade, cardiac contusion, air embolus, acute myocardial infarction, or valvular
ruptur
N : Neurogenic shock (spinal cord injuries)
S : Septick shock (delayed presentation)
S : Supine hypotension syndrome
Berikut tabel yang menjelaskan penyebab umum dari syok non-hemoragik, dan managemen
emergenisnya:

Tabel 2. Common Nonhemorrhagic Case of Shock, Their Diagnosis and Emergency


Management2
Causes
T Tension Pneumothorax

Diagnoses
Respiratory Distress
Tracheal deviation to
contralateral side
Breath sounds (ipsilateral)
Hypotension
Distended neck veins
C Cardiac Tamponade
Distressed patient
Hypotension
Distended neck veins
Muffled heart sound
Pulsus paradoxus
Central venous pressure
Echo : pericardial fluid
ECG : electrical alternans
C Cardiac Contusion
Compatible injury (blunt chest
trauma)
Poor response to fluids
Central venous pressure
ECG : arrhytmias
Cardiac enzimes
N Neurogenic Shock
Weakness
Sensory level
Relative bradycardia
Warm extremities
S Septick Shock
Delayed clinical presentation
Warm extremitites (early phase)
Pyrexia
Positive blood culture
S Suppine Hypotensive Advanced pregnancy
Syndrome
Supine position
Poor response to fluid
resucitation

Treatment
Immidiate needle
thoracocenthesis
Chest tube insertion

Pericardiocentesis (if immidiate


surgery is not available)
Urgent thoracotomy or
sternotomy

Judicious therapy
Early invasive monitoring
Inotropic support (e.g :
Dobutamine)
Judicious therapy
Early invasive monitoring
Inotropic support (e.g :
Ephinephrine)
Control of infective source
Appropriate IV antimicrobial
therapy
Supportive management (ICU)
Position patient in 15o left
lateral tilt

Syok Hemoragik
Resusitasi pada pasien syok hemoragi, dimulai dengan mengamankan jalan napas,
memberikan oksigen tambahan, dan memastikan ventilasi yang memadai. Perdarahan eksternal
harus segera dikendalikan oleh kompresi langsung pada lokasi perdarahan. Pedoman praktek saat
ini menyarankan bahwa volume intravaskular harus dikembalikan ke normal secepat mungkin
dengan infus cepat cairan isotonik, yang paling umum cairan Ringer laktat. Restorasi volume
yang lebih diutamakan daripada koreksi anemia, karena transfusi sel darah merah tidak dapat

memenuhi kebutuhan volume intravascular melainkan diperlukan untuk mengembalikan


kapasitas pembawa oksigen untuk dialirkan ke organ-organ penting.
Pada penanganan syok akibat trauma diberlakukan Pendekatan SHOTS, yakni:2
S - Stop
H - Hemorrhage
O Optimize intravascular volume
T - Tranfuse
S Search for (i) internal bleeding and (ii) non-hemorrahgic causes of shock; surgery for
hemostasis.
- Stop the hemorrhage (menghentikan perdarahan) : tindakan menghentikan perdarahan dengan
menekan lokasi perdarahan eksternal.
- Optimize intavaskular volume (mengoptimalkan volume intravaskular) : dengan cepat
memasukan cairan intavena isotonic (yang hangat) untuk mengkoreksi defisit cairan. Protokol
ATLS (Advanced Trauma Life Support) merekomendasikan pada dewasa sebesar 2 L bolus
cairan dan sebesar 20mL/kgBB pada anak-anak, dan menggunakan larutan Ringer Laktat.
- Transfuse (tranfusi) : mentrasnfusi darah untuk mengembalikan kapasitas pengangkut oksigen
(oxygen carrying restoration) jika perlu.
- Search (cari) : mencari penyebab non-hemoragik lainnya yang dapat menyebabkan syok dan
juga lokasi perdarahan internal lainnya.
Vascular Access and Flow Rates
Untuk memenuhi tingkat infus yang cepat dibutuhkan pemulihan volume intravaskular
yang lebih dibandingkan dengan kerugian yang sedang berlangsung, perhatian khusus harus
diberikan kepada vascular akses. Laju aliran sebanding dengan gradien tekanan di sistem dan
berbanding terbalik dengan resistensi dari sirkuit. Akibatnya, laju aliran harus ditingkatkan
dengan cara meningkatkan tekanan aliran cairan (misalnya, meningkatkan ketinggian kantong
infus di atas pasien atau menggunakan preasurebag) atau dengan mengurangi resistensi dari
sirkuit.2
Oleh karena itu, kaliber pipa adalah faktor yang paling penting menentukan laju aliran
maksimum. Lebih khusus, bagian tersempit dari sirkuit, biasanya kanula intravena, menjadi
factor dalam menentukan flow rate dari cairan infus.
Secara umum, akses intravena perifer adalah rute teraman, tercepat, dan paling banyak
tersedia di sebagian besar tangan. Namun pada pasien yang sudah sangat hipovolemik akses vena

sentral mungkin lebih mudah, karena sudah trerjadi vasokonstriksi pada intravena perifer.
Tingkat keterampilan dan pengalaman dokter merupakan faktor penting dalam proses
pengambilan keputusan.2
Tabel 3. Recommended Sites of Intravenous Access.2
Peripheral veins
Central veins

Cut-down sites
Intraosseuous sites

Forearm and antecubital veins


Internal jugular veins
Subclavian veins
Femoral veins
Greatest sphnous vein (ankle)
Medial basilica veins (antecubital fossa)
Proximal tibia (children less than 6 yr of age)

Tabel 4. Cannula size vs Infusion Rate.2


Flow rate (mL/min)
Cannula size
8,5FG
14G
16G
18G
20G

Crustalloid
1000
125
85
60
40

Colloid
600
90
65
35
17

CRYSTALLOIDS dan COLLOIDS: CAIRAN ISOTONIC


Setelah perdarahan dapat dikendalikan, volume intravaskular harus dikembalikan secepat
mungkin untuk mengembalikan sirkulasi efektif dan iskemia jaringan. Kegagalan untuk
mengoptimalkan resusitasi pasien pada tahap ini akan berdampak pada onset kegagalan multiple
organ dengan penigkatan morbiditas dan mortalitas.
Syarat dari cairan resusitasi yang ideal harus dapat memulihkan dan mempertahankan
volume intravaskular; mengembalikan pemberian oksigen; meminimalkan edema post resusitasi;
kurangnya efek samping yang tidak diinginkan seperti gangguan koagulasi, gangguan metabolik
(PH dan elektrolit), disfungsi organ (jantung, paru, ginjal, dan sistem vena sentral), penularan
penyakit, respon sitokin (respons inflamasi sistemik), dan reaksi alergi; siap tersedia tanpa
ketentuan penyimpanan atau administrasi persyaratan tertentu; dan biaya yang efektif.
Jelas, tidak ada cairan tunggal yang dapat memenuhi semua persyaratan ini saat ini. Salah satu
cairan mungkin unggul dari yang lain dalam suatu keadaan, tapi dapat juga lebih rendah di
keadaan lain. Banyak kontroversi telah muncul dalam memilih cairan untuk digunakan dalam
resusitasi cairan yg disebabkan oleh trauma.2

Crystalloids
Kristaloid adalah sebuah cairan dengan partikel ionik atau nonionik kecil yang lewat
dengan bebas melintasi membran kapiler dan tidak memberikan kontribusi terhadap tekanan
onkotik plasma. Kristaloid digunakan untuk resusitasi biasanya isotonik dengan plasma (cairan
hipertonik dibutuhkan setelahnya). Konsep konvensional menyatakan bahwa kristaloid isotonik
cepat merata di seluruh kompartemen cairan ekstraselular, oleh karena itu hanya 20% sampai
30% cairan kirstaloid ini yang tersisa di intravaskular. Hasil fenomena ini menyimpulkan bahwa
sekitar tiga kali volume darah yang hilang harus diberikan untuk mengembalikan volume
intravaskular normal (dikenal sebagai "3to1" rule). Meskipun crystalloiods efektif dalam
meresusitasi kompartemen ekstravaskular, namun pada pemberian yang berlebihan dapat
mengakibatkan edema jaringan. Selanjutnya, karena besarnya volume kristaloid yang diperlukan,
berpotensi untuk menyebabkan hipotermia dan dilusi koagulopati.2
Ekspansi cairan dari ruang intravaskuler ke interstital berlangsung selama 30-60 menit
sesudah infus dan akan keluar dalam 24-48 jam sebagai urine. Secara umum kristaloid digunakan
untuk meningkatkan volume ekstrasel dengan atau tanpa peningkatan volume intrasel. Kristaloid
harus dipertimbangkan sebagai resusitasi cairan yang diberikan pertama kali pada pasien dengan
shock hemorrhagic dan septic, pasien dengan luka bakar, pasien dengan cedera kepala untuk
mempertahankan tekanan perfusi cerebral, dan pada pasien yang sedang menjalani
plasmapheresis dan reseksi hepar. Bila 3-4 L kristaloid telah diberikan namun respon
hemodinamiknya masih belum cukup maka koloid dapat diberikan.5,6
Pemberian cairan disesuaikan dengan jenis cairan tubuh yang hilang. Bila kehilangan
cairan secara primer adalah air, makan cairan penggantinya adalah cairan hipotonis, disebut juga
sebagai cairan pemeliharaan. Bila kehilangan cairan meliputi air dan elektrolit, maka pemberian
cairan pengganti berupa cairan elektrolit yang isotonis, disebut juga sebagai cairan pengganti.
Cairan yang biasa digunakan adalah Ringer lactat. Meski RL sedikit hipotonis,
mengandung 100mL air bebas per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium sampai 130
mEq/L, namun RL menimbulkan efek yang sedikit pada komposisi cairan ekstraselular dan
merupakan cairan yang paling fisiologis bila dibutuhkan dalam volume yang banyak. Laktat
yang terdapat pada RL akan diubah oleh hati menjadi bikarbonat. Bila diberikan dengan volume
yang banyak, NS akan menyebabkan asidosis hiperkloremik karena NS mengandung natrium
dan khlor yang tinggi (154 mEq/L): konsentrasi plasma bikarbonat menurun seiring dengan
peningkatan konsentrasi khlor. NS lebih dipilih pada keadaan alkalosis metabolik hipokloremik
dan untuk mencairkan packed-red blood cells sebelum transfusi. Dekstrosa 5% dalam air (D 5W)
digunakan sebagai pengganti pada kekurangan air dan sebagai cairan pemeliharaan pada pasien
dengan pembatasan natrium. Cairan hipertonik 3% Saline diberikan sebagai terapi simptomatik
hiponatremia yang berat. Cairan saline 3-7.5% diberikan sebagai resusitasi pada pasien dengan
shock hipovolemik.5,6

Tabel 5. Composition of Isotonic Crystalloid Solutions.2


Solutions
Tonicity (m0sm.L)
Na+ (mEq/L)
Cl- (mEq/L)
K+ (mEq/L)
Lactate (mEq/L)
Acetate (mEq/L)
Ca2+ (mEq/L)
Mg2+ (mEq/L)
Gluconate (mEq/L)

Ringers lactate
273
130
109
4
28
0
3
0
0

Normal saline
308
154
154
0
0
0
0
0
0

Colloids
Aktivitas osmotik pada zat dengan berat molekul yang tinggi pada cairan koloid
cenderung untuk mempertahankan cairan ini pada komponen intravaskular. Meski waktu paruh
cairan kristaloid di intravaskular adalah 20-30 menit, tetapi waktu paruh cairan koloid di
intravaskular dapat mencapai 3 sampai 6 jam. Harga dan komplikasi yang sering terjadi pada
pemakai koloid membuatnya jarang digunakan. Indikasi umum yang diterima untuk pemakaian
cairan koloid yaitu: (1) resusitasi cairan pada pasien dengan kekurangan cairan intravaskular
yang berat (contoh: shock hemorrhagic) sebelum adanya transfusi darah yang tersedia, dan (2)
resusitasi cairan pada keadaan hipoalbuminemia yang berat atau pada kondisi yang
menyebabkan hilangnya protein dalam jumlah yang besar seperti pada kasus luka bakar. Pada
pasien luka bakar, pemberian cairan koloid dapat juga dipertimbangkan bila luas luka bakar
melebihi 30% dari permukaan tubuh atau bila telah diberikan 3-4L cairan kristaloid lebih dari
18-24 jam setelah terjadinya luka bakar.5,6
Banyak klinisi juga memberikan cairan koloid bersamaan dengan cairan kristaloid ketika
dibutuhkan cairan pengganti sebanyak 3-4L sebelum dilakukan transfusi. Perlu diperhatikan
bahwa cairan ini tersedia dalam normal saline (Cl-145-154 mEq/L) dan dapat menyebabkan
asidosis metabolik hiperkloremik.
Beberapa cairan koloid yang ada merupakan berasal baik dari protein plasma maupun
polimer sintetik glukosa dan dimasukkan dalam cairan elektrolit isotonis. Cairan koloid yang
berasal dari darah berupa albumin (cairan 5% dan 25%) dan fraksi plasma protein (5%).
Keduanya dipanaskan pada suhu 600C minimal selama 10 jam untuk mengurangi resiko
penyebaran hepatitis dan penyakit virus menular lainnya. Fraksi plasma protein mengandung dan -globulin sebagai tambahan dari albumin dan sering menimbulkan reaksi hipotensif. Reaksi
ini berupa reaksi alergi biasa dan kemungkinan berkaitan dengan pengaktifan prekallikrein.

Cairan koloid sintetik berupa dextrose starches dan gelatin. Gelatin berkaitan dengan reaksi
alergi yang dimediasi oleh histamin. Cairan Dextran yang ada berupa dextran 70 (Macrodex) dan
dextran 40 (Rheomacrodex), yang memiliki berat molekul 70.000 dan 40.000. Meski dextran 70
merupakan cairan yang lebih baik dibanding dextran 40, namun dextran 40 juga memperbaiki
arus darah dalam mikrosirkulasi dengan cara mengurangi viskositas darah. Efek antiplatelet juga
dapat terjadi pada pemberian dextran. Pemberian cairan melebihi 20 mL/kg per hari dapat
mempengaruhi darah, dapat memperpanjang waktu perdarahan (dextran 40), dan berhubungan
dengan gagal ginjal. Dextran juga dapat dianggap sebagai antigen yang menyebabkan reaksi
anafilaktik atau anafilaktoid yang berat. Dextran 1 (promit) dapat diberikan sebelum pemberian
dextran 40 atau dextran 70 untuk mencegah reaksi anafilaktik; dextran 1 berperan sebagai hapten
dan mengikat segala antibodi dextran yang terdapat pada sirkulasi. Hetastarch (hydroxyethyl
starch) terdapat pada cairan 6% dengan berat molekul 450.000. molekul kecil dibuang melalui
ginjal, dimana molekul yang lebih besar dihancurkan terlebih dahulu oleh amilase. Hetastarch
sangat efektif sebagai plasma expander dan tidak begitu mahal dibanding albumin. Terlebih
hetastarch tidak bersifat antigen dan reaksi anafilaktoid sangat jarang terjadi. Koagulasi dan
waktu pembekuan tidak begitu terpengaruh dengan pemberian cairan di atas 0.5-1.0 L.
Pemberian hetastarch pada pasien dengan transplantasi ginjal masih kontoversi. Hal yang sama
juga terjadi pada pasien yang menjalani bypass cardio-pulmonal. Pentastarch, cairan dengan
berat molekul yang lebih rendah, memiliki efek samping yang jarang dan kemungkinan
menggantikan penggunaan hetastarch.5,6
Tabel 6. Jenis-jenis cairan koloid.5

Transfusi Darah

Pemberian darah tergantung respon penderita terhadap pemberian cairan seperti diterangkan
sebelumnya. Tujuan utama transfusi darah adalah memperbaiki oxygen-carrying-capacity.
Perbaikan volume dapat dicapai dengan pemberian larutan kristaloid, yang sekaligus akan
memperbaiki volume interstisial dan intraseluler. 2,3 Terdapat 4 kategori untuk darah:2,3
Transfusi darah sebaiknya diberikan packed red cell, dan dapat mengoptimalkan penggunaan dan
pemanfaatan bank darah. Packed Red Blood Cell ideal untuk pasien yang memerlukan sel darah
merah tetapi tidak penggantian volume.
Sebelum transfusi, masing-masing unit harus diperiksa secara hati-hati dicek dengan kartu dari
bank darah dan identitas dari penerima donor darah. Tabung transfusi berisi 170-J.m untuk
menyaring gumpalan atau kotoran. Dengan ukuran sama dan saringan berbeda digunakan untuk
mengurangi leukocyte isi untuk mencegah febrile reaksi transfusi febrile pada pasien yang
sensitif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Jong WD, Sjamsuhidayat R. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2: Jakarta: EGC, 2004.h. 121-4.
2. Boffard KD, Joseph C. Perioperative fluid threapy. Dalam : Fluid therapy in trauma. New
York: Informa Healthcare, 2007. h. 221-32.
3. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi kesembilan. Jakarta: EGC. 1997:
375-393.
4. American College of Surgeon. Advanced trauma life support for doctors. Dalam : Syok.
Indonesia : Ikatan Dokter Bedah Indonesia, 2004. h. 73-91.
5. Sunatrio S. Resusitasi cairan. Jakarta: Media Aesculapius, 2000.h.1-58.
6. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. 5th ed. Philadelphia:
Lippincot williams and wilkins; 2006.h. 74-97.

You might also like