You are on page 1of 10

Miastenia Gravis

Definisi
Miastenia gravis disebabkan oleh defek transmisi neuromuskuler dikarenakan serangan
pada reseptor asetilkolin yang diperantarai antibodi di daerah neuromuscular junction. Keadaan
ini ditandai oleh kelemahan otot yang meningkat dan diperingan dengan pemakaian penghambat
kolinesterase.1 Miastenia gravis autoimun mencakup semua gangguan yang diperantarai oleh
sistem imun yang mempengaruhi daerah endplate dari postsynaptic neuromuscular junction.
Hampir semua gangguan ini melibatkan hilangnya self-tolerance imunologis, walaupun MG
yang didapat dari saat neonati adalah gangguan self-limited yang disebabkan oleh transfer pasif
antibodi ibu ke fetusnya. Gejala-gejala miastenia gravis kongenital berasal dari mutasi genetik
yang menyebabkan transmisi neuromuskuler yang abnormal. MG dikatakan MG okuler saat
kelemahan terasa hanya pada kelopak mata dan otot-otot okuler, dan dikatakan MG generalisata
saat kelemahan dirasakan melebihi otot-otot okuler ini. MG Seropositif (SP) didefinisikan
sebagai penyakit dengan antibodi yang bersirkulasi disekitar reseptor asetilkolin (AChR),
sedangkan pasien MG seronegatif (SN) kekurangan antibodi ini.2

Epidemiologi
Miastenia gravis (MG) yang didapat cenderung merupakan penyakit yang jarang ditemui,
dengan angka prevalensi yang terus meningkat hingga mencapai 20 dari 100,000 orang pada
populasi AS. Penyakit autoimun ini ditandai dengan adanya kelemahan otot yang berat, terasa
semakin parah saat beraktivitas dan membaik saat istirahat. Pada dua dari tiga pasien MG,
keterlibatan dari otot ekstrinsik bola mata menyebabkan gejala awal yang biasanya berlanjut ke
otot-otot bulbi dan ekstremitas yang menyebabkan MG generalisata. Pada sekitar 10% pasien
MG, gejala-gejala keterlibatannya terbatas pada keterlibatan otot ekstrinsik bola mata yang
akhirnya menyebabkan kondisi MG okuler. Jenis kelamin dan usia dapat berhubungan dengan
kejadian MG. Rasio perempuan dan laki-laki dibawah 40 tahun adalah 3:1. Namun, rasio
terjadinya MG cenderung merata diantara usia 40-50 tahun dan pada usia pubertas. Bagi yang
diatas usia 50 tahun, MG biasanya terjadi pada laki-laki. MG pada anak-anak jarang terjadi di
1

daerah Eropa maupun Amerika Utara; dimana hanya tercatat 10-15% kasus MG pada anak-anak.
Sebaliknya, pada negara-negara Asia, ditemukan hampir 50% pasien MG dibawah usia 15 tahun
yang manifestasinya hanya terbatas pada daerah okuler.3
Etiologi
MG autoimun disebabkan oleh kejadian yang diperantararai antibodi yaitu serangan
imunologi sel T pada membran

dari postsynaptic neuromuscular junction. Transmisi

neuromuskuler yang abnormal dan kelemahan secara klinis pada MG merupakan hasil dari efek
antibodi yang berikatan di berbagai epitop pada kerangka wilayah di daerah endplate dari otot.
Pada sebagian besar kasus, antibodi mengikat ke daerah imunogenik utama dari subunit- dari
AChR, meskipun terdapat kelemahan klinis dan temuan elektropsikologi yang cukup mirip
dengan pasien MG, pada pasien dengan antibodi MuSK. MuSK menginisiasi agregasi AChRs
pada endplate otot selama perkembangan, namun fungsi MuSK pada otot rangka yang matang
dan patofisiologi MG terkait dengan antibodi MuSK saat ini belum diketahui.2
Pada MG SP, pengikatan antibodi terhadap AChR menstimulasi serangan autoimun pada daerah
endplate otot. Kerusakan yang terjadi pada membran pascasinaps, menyebabkan simplifikasi dari
permukaan AChR normal yang diikuti oleh penurunan jumlah dan kepadatan AChR. Penurunan
fungsional dari AChR menurunkan kemungkinan keberhasilan transmisi meuromuskuler yang
mengikuti pengeluaran asetilkolin oleh bagian terminal pada saraf motorik, sehingga
menyebabkan kelemahan secara klinis dan pada otot lurik.2
MG dan gangguan autoimun lainnya diakibatkan oleh hilangnya toleransi pada antigen yang
berasal dari tubuh penderita sendiri (self-antigen).Toleransi T-limfosit untuk self-antigen diawali
pada timus, dan kelainan pada timus, sering ditemui pada MG. Hiperplasia timus ditemukan pada
sekitar 65% pasien MG, dan timoma biasanya ditemukan pada 10% pasien dengan MG. Pasien
MG dengan timoma memiliki kelemahan otot secara menyeluruh dengan lebih parah, titer
antibodi AchR yang lebih tinggi, dan kelainan elektrofisiologi yang lebih berat. Dengan
demikian, sangat jarang ditemukan timanoma pada pasien MG SN dan MG okular. Kebanyakan
tumor timus adalah jinak, gampang dibedakan dan terbungkus dalam kapsul. Pasien dengan MG
2

harus menjalani CT-scan dada untuk menyingkirkan kemungkinan adanya timoma. Sementara
itu, pembedahan timoma diperlukan untuk menjaga struktur mediastinum.2

Gejala
Kelelahan dan kelemahan merupakan ciri yang khas pada MG. Kelemahan otot yang
paling banyak terjadi yaitu pada kelopak mata dan otot ekstraokuler, sehingga seringkali
mengakibatkan diplopia. MG sendiri paling sering menyerang otot okuler, bulbar, trunkal, otot
otot pada anggota tubuh bagian proksimal dan kadang sampai otot pernapasan. Saraf otak kranial
motorik yang sering terkena juga ialah otot wajah dan otot-otot penelan. MG ditandai dengan
adanya fluktuasi. Gejala umumnya terasa minimal pada pagi hari namun bertambah berat seiiring
berjalannya hari. Intensitas penyakit dapat berfluktuasi mulai dari dalam hitungan minggu hingga
berbulan-bulan. Dapat pula terjadi eksaserbasi ("krisis miastenia") dan remisi.
Secara terminologi klinis, penyakit ini diklasifikasikan sebagai miastenia pada mata dan
miastenia secara umum (generalisata).4,5

Tanda
Kelemahan pada saraf kranialis menyebabkan kelemahan pada okuler juga bulbar, dan
sering asimetris. Kelemahan meningkat seiiring berjalannya hari dan tergantung pada aktivitas
otot. Kelemahan otot ini, dapat menyebabkan diplopia, disartria dan disfagia. Beberapa penderita
MG sampai hurus menggunakan suara hidung jika berbicara dalam jangka yang panjang.
Namun, ada juga beberapa pasien yang terhindar dari kelemahan otot okulobulbar. Kelemahan
yang dirasakan cenderung di batang tubuh dan ekstremitas proksimal. Kelemahan yang ringan
dapat meningkat dengan adanya kontraksi atau ekstremitas yang di bentangkan secara
berlebihan.4

Data Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, urin, dan cairan serebrospinal memberikan hasil yang normal.
Kelainan

elektrodiagnostik

yang

khas

adalah
3

penurunan

progresif

dari

amplitudo

potensial aksi otot yang ditimbulkan oleh stimulasi saraf berulang pada 3 atau 5 Hz. Pada MG
generalisata, penurunan potensial aksi ini dapat ditemukan pada sekitar 90% pasien, jika
setidaknya 3 sistem saraf-otot yang digunakan (median-tenar, ulnaris-hipotenar, aksesoritrapezius). Pada suatu studi mikroelektroda otot interkostal, amplitudo potensi endplate dari
miniatur berkurang hingga mencapai 20% dari nilai normal. Hal ini disebabkan oleh penurunan
jumlah AChR tersedia untuk agonis yang diaplikasikan oleh mikroiontoforesis. Dalam singlefiber elektromiografi (EMG), sebuah elektroda kecil mengukur interval antara potensi bangkitan
dari serat-serat otot pada unit motor yang sama. Interval ini biasanya bervariasi; suatu fenomena
yang disebut jitter, dimana dan batas-batas normal jitter sudah ditetapkan. Pada penderita MG,
jitter meningkat, dan impuls mungkin tidak muncul pada waktu yang diharapkan; keadaan ini
disebut blocking. Jumlah blocking meningkat pada otot yang miastenik. Semua kelainan
elektrofisiologi ini merupakan ciri khas dari MG, namun blocking dan jitter juga terlihat pada
gangguan-gangguan pelepasan ACh. Hasil EMG biasanya normal, kadang-kadang menunjukkan
pola miopati, dan hampir tidak pernah menunjukkan tanda-tanda denervasi kecuali pada
beberapa keadaan lainnya. Adapun, kecepatan konduksi saraf juga terlihat normal.1
Antibodi untuk AChR ditemukan pada 85% sampai 90% pasien dari segala usia dengan MG
generalisata jika otot manusia digunakan sebagai antigen penguji. Tidak terdapat hasil positif
palsu kecuali untuk pasien-pasien dengan sindrom Lambert-Eaton atau timoma tanpa gejala
klinis atau MG terprovokasi, atau remisi; ini dapat dianggap bentuk yang tidak biasa dari MG.
Antibodi mungkin tidak dapat terdeteksi pada pasien yang terbatas pada penyakit okular, pada
saat fase remisi (atau setelah timektomi), atau bahkan pada beberapa pasien dengan gejala berat.
Titer tidak dapat menilai beratnya gejala; pasien pada fase remisi dapat memiliki titer yang
tinggi. Antibodi untuk protein miofibriler (titin, miosin, aktin, aktomiosin) ditemukan pada 85%
pasien dengan timoma dan mungkin dapat menjadi bukti pertama dari timoma dalam beberapa
kasus.1
Bentuk-bentuk yang berbeda dari MG kongenital dapat diidentifikasi hanya di beberapa klinik
khusus yang siap untuk melakukan analisis mikroelektroda dan ultrastruktural dari
biopsi otot interkostal untuk melihat potensi miniatur endplate, menentukan jumlah AChR, dan
mengidentikasi antibodi-antibodi yang terikat.1
4

Kelainan serologi lainnya ditangani dengan frekuensi yang berbeda-beda, namun dalam
beberapa penelitian, faktor antinuklear, faktor reumatoid, dan antibodi tiroid lebih sering
ditemui dibandingkan dengan populasi kontrol. Bukti pemeriksaan laboratorium (dan klinis)
dari adanya hipertiroidisme ditemukan pada sekitar 5% penderita MG. Pemeriksaan x-foto toraks
memberikan bukti adanya timoma pada sekitar 15% penderita MG, terutama pada mereka yang
lebih tua dari 40 tahun. Computed tomography (CT) mediastinum memperlihatkan gambaran
timoma secara utuh kecuali timoma yang mikroskopis. Pemeriksaan MRI tidak terbukti lebih
efektif dibandingkan CT-scan.1
Diagnosis
Diagnosis MG dapat ditegakkan dari anamnesis dan tanda serta gejala khas yang
ditemukan pada pemeriksaan fisik. Terjadi perbaikan keadaan klinis secara drastis saat diberikan
injeksi neostigmin bromida (Neostigmin) atau edrophonium klorida membuat pemberian obatobatan ini penting pada penderita MG. Kembalinya kekuatan otot secara menyeluruh terjadi
setelah injeksi neostigmin atau edrofonium; jika tidak ada respon, maka diagnosis MG dapat
dipertanyakan. Respon farmakologis kadang-kadang sulit terbukti; Namun, jika terlihat
gambaran klinis yang mendukung, maka tes harus diulang, bisa dengan dosis yang berbeda atau
kecepatan penyuntikkan. Menunda pemakaian antikolinesterasi dalam kurun waktu 1 malam
dapat membantu diagnosis MG. Tanggapan positif palsu untuk edrophonium adalah baik, namun
ditemukan dengan lesi struktural, seperti tumor batang otak. (MG juga dapat hidup
berdampingan dengan penyakit lain, seperti Graves ophthalmopathy atauLambert-Eaton.1
Diagnosis MG didukung oleh temuan dari titer antibodi tinggi untuk AChR, tetapi titer normal
tidak mengecualikan diagnosis. Somnier menemukan bahwa tes ini memiliki spesifisitas lebih
dari

99,9%;

sensitivitas

88%

karena

terdapat

beberapa

tes

yang

negatif.1

Tanggapan terhadap rangsangan berulang dan hasil dari EMG single-fiber juga membantu
diagnosis MG. Jika terdapat timoma, maka mungkin dapat ditegakkan diagnosis MG. Pada
waktu yang lampau, dokter sering menggunakan peningkatan sensitifitas terhadap curare sebagai
pemeriksaan untuk membuktikan bahwa stimulasi sindrom MG sebenarnya psikasthenia atau
5

sesuatu yang lain; Namun, tes itu nyaman dan, jika dilakukan tanpa tindakan pencegahan yang
tepat, maka dapat berbahaya. Sejak munculnya tes antibodi, tes curare memiliki hampir
lenyap.1
Pada uji neostigmin, 1,5 sampai 2 mg dan atropin sulfat 0,4 mg, disuntikkan secara
intramuskuler. Perbaikan secara objektif akan kekuatan otot tercatat dalam interval 20 menit
sampai 2 jam. Edrophonium diberikan secara intravena dengan dosis 1-10 mg. Dosis awal adalah
sampai 2 mg diikuti 15 detik dengan tambahan 3 mg dan pada15 detik berikutnya dengan dosis 5
mg sampai maksimal 10 mg. Pebaikkan diamati dalam waktu 30 detik dan berlangsung selama
beberapa menit. Karena respon yang dramatis, edrofonium lebih disukai untuk evaluasi okular
dan kelemahan otot kranial lainnya, dan neostigmin umumnya dicadangkan untuk evaluasi
tungkai atau kelemahan pernapasan, yang mungkin memerlukan waktu yang lebih lama.
Suntikan plasebo kadang-kadang berguna dalam mengevaluasi kelemahan anggota gerak, tapi
plasebo tidak diperlukan dalam mengevaluasi kelemahan otot tengkorak karena kelainan yang
tidak dapat disimulasikan. Untuk semua tujuan praktik, sesuai dengan respon yang positif
dikatakan adalah MG.1

Penanganan
Dokter harus memilih urutan dan kombinasi dari lima jenis terapi: terapi obat
antikolinesterase dan plasmaferesis merupakan pengobatan simptomatik, sedangkan tidakan
timektomi, pemakaian steroid, dan obat imunosupresif lainnya terlibat secara langsung dalam
menghambat perjalanan penyakit MG. Telah disepakati bahwa terapi obat antikolinesterasi harus
diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan. Dari ketiga obat yang tersedia, neostigmin,
piridostigmin bromida, dan ambenonium (Mitelase) -piridostigmin adalah yang paling sering
digunaka, namun belum secara resmi dinilai dan dibandingkan dengan obat-obatan lainnya. Efek
samping muskarinik yaitu berupa kram perut dan diare dirasakan sama pada penggunaan terapi
obat tigatersebut. Dosis awal piridostigmin adalah 60 mg diberikan secara oral setiap 4 jam saat
pasien terjaga. Tergantung pada respon klinis, dosis dapat ditingkatkan, namun tidak diharapkan
andanya manfaat tambahan pada pemberian lebih dari 120 mg setiap 2 jam. Jika pasien
mengalami kesulitan makan, obat dapat diberikan sekitar 30 menit sebelum makan. Jika pasien
6

mengalami kesulitan bangun pagi, piridostigmin (Mestinon Timespans) tablet 180-mg


pyridostigmine dapat diminum sebelum tidur. Gejala muskarinik dapat ditangani dengan olahan
yang mengandung atropin (0,4 mg) dengan masing-masing mengandung piridostigmin. Dosis
yang berlebihan dari atropin dapat menyebabkan psikosis, tetapi jumlah yang digunakan dalam
rejimen ini belum pernah berefek seperti ini. Obat lain dapat diminum jika adanya gejala diare
yang nampak. Belum ada bukti bahwa salah satu dari ketiga obat ini lebih efektif kerjanya
daripada yang lain. Selebihnya, belum juga terdapat bukti bahwa kombinasi dari dua obat
lebih baik daripada penggunaan satu obat saja. Meskipun terapi obat kolinergik kadang-kadang
memberikan hasil yang mengesankan, ada keterbatasannya yang harus diperhatikan dengan
seksama. Pada miastenia okular, ptosis mungkin dapt ditangani, namun pada diplopia, hampir
selalu tidak ada perubahan. Di MG generalisata, keadaan pasien dapat membaik secara
keseluruhan, namun tetapi beberapa gejala biasanya menetap. Obat kolinergik tidak dapat
mengembalikan ke fungsi yang normal, dan risiko krisis akan tetap ada jika penyakit ini tidak
disembuhkan. Oleh karena itu, biasanya, digunakan perawatan lain untuk mengobati MG
generalisata.1
Timektomi awalnya diindikasikan untuk pasien dengan kecacatan yang berat karena operasi ini
memiliki angka kematian yang tinggi. Sekitar 80% dari pasien tanpa timoma menjadi
asimtomatik

atau

berlanjut

hingga

remisi

lengkap

setelah

timektomi.

Demikian,

timektomi sekarang direkomendasikan untuk sebagian besar pasien dengan MG generalisata.


Keputusan yang dibuat untuk anak-anak atau pasien yang lebih tua dari 65 harus secara
individualis. Meskipun timektomi cenderung aman, timektomi adalah operasi besar dan biasanya
tidak dianjurkan untuk pasien dengan miasthenia okular kecuali ada timoma. Efek yang baik dari
timektomi biasanya baru nampak dalam waktu berbulan-bulan atau bahkan sampai bertahuntahun. Hal ini tidak pernah menjadi penyakit yang darurat.1
Terapi prednison digunakan oleh beberapa pihak berwenang untuk mempersiapkan pasien untuk
timektomi, juga digunakan plasmapheresis atau terapi intravena immunoglobulin (IVIG). Terapi
IVIG biasanya diberikan dalam lima dosis per hari dengan total 2g / kg berat badan. Efek

samping IVIG termasuk sakit kepala, meningitis aseptik, dan gejala seperti flu yang kemudian
reda dalam 1 atau 2 hari.1
Jika pasien masih mengalami kecacatan setelah timektomi, kebanyakan dokter menggunakan
prednison, 60 sampai 100 mg setiap hari, untuk mencapai respon dalam beberapa hari atau
minggu. Respon yang sama-sama memuaskan dapat dilihat dengan dosis yang lebih rendah,
tetapi membutuhkan waktu lebih lama; misalnya, jika dosisnya adalah 25 sampai 40 mg,
manfaatnya dapat dilihat dalam 2 sampai 3 bulan. Setelah perbaikan dicapai, dosis harus
dikurangi secara bertahap untuk 20 sampai 35 mg setiap hari. Ini telah menjadi terapi yang
banyak dipilih untuk pengobatan pasien yang cacat, namun belum ada penelitian yang lebih
lanjut tentang ini. Jika pasien tidak membaik dalam waktu sekitar 6 bulan, maka dimulai
pengobatan dengan azathioprine (Imuran) atau cyclophosphamide dengan dosis hingga 2,5 mg /
kg sehari untuk orang dewasa. Dosis harus ditingkatkan secara bertahap dan mungkin harus
makan terlebih dahulu untuk menghindari mual.1
Prednison, 20 sampai 35 mg diminum secara bergantian per hari, juga dianjurkan oleh beberapa
dokter untuk pasien dengan MG okuler, namun risikonya berat dibandingkan keuntungan yang
dapat diberikan. Bagi yang memiliki pekerjaan yang sensitive seperti aktor, polisi, orang lain
yang bekerja di ketinggian (buruh bangunan), terapi prednison mungkin dapat dianjurkan. MG
okuler tidaklah menjadi ancaman bagi kehidupan. Penggunaan piridostigmin dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya ptosis. Timektomi telah menjadi prosedur yang aman dan mungkin
dipertimbangkan untuk MG okuler yang benar-benar melumpuhkan. Pasien dengan timoma
cenderung memiliki MG lebih parah yang cenderung membaik setelah timektomi.1
Prognosis
MG okuler:
MG okuler merupakan kondisi yang tidak mengancam jiwa. Hanya 10-20% dari kasus-kasus
MG okuler berkembang menjadi MG generalisata meski kelemahan pada otot okuler telah
menetap lebih dari 2 tahun. Pengobatan yang dibutuhkan untuk keadaan ini adalah dengan
steroid dan terapi imunosupresi.4

MG generalisata:
Prognosis dari MG generalisata membaik setelah terapi imunosupresi, timektomi dan
penggunaan obat-obatan intensif lainnya. Grob et al (1990) melaporkan penurunan angka
kematian sampai 7%. Adapun sebuah studi oleh Mantegazza et al (1990) menunjukkan remisi
hanya terdapat pada 35% kasus yang diikuti lebih dari 5 tahun.4

Daftar Pustaka
1. Rowland LP. Merritt's Neurology 10th Edition. Myasthenia Gravis. Penn AS, Rowland
LP. Houston: Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 2000.p.545-8
2. Juel VC and Massey JM. Myasthenia Gravis Review. Orphanet Journal of Rare Diseases;
2007,2:1-3
3. Annapurni JT, Dabi A, Solieman N, Kurukumbi M, Kalyanam J. Myasthenia Gravis: A
Review. Hindawi Publishing Corporation Autoimmune Diseases; 2012,10:1,8
4. Feldman EL, Wolfgang G, Russell JW, Zifko UA. Atlas of Neuromuscular Diseases.
Myasthenia Gravis. Austria: SpringerWienNewYork; 2005.p.337-44
5. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat;
2011.h.348

10

You might also like