You are on page 1of 35

Modul Pelatihan

Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Indonesia merupakan salah satu Negara yang sedang mencoba, untuk terus
berbenah diri guna menyambut persaingan pasar bebas. Namun, dalam usahanya
berbenah diri tersebut, Indonesia yang letak geografisnya diapit oleh dua benua
dan dua samudra ini, sering kali terhambat, bahkan kembali mengalami penurunan
akibat dampak langsung dari pasar bebas, ataupun bencana yang terjadi akibat
fenomena alami, maupun yang disebabkan oleh keteledoran perangkat
pemerintahan dan masyarakatnya sendiri.
Ditilik dari letak geografisnya, Indonesia merupakan Negara kepulauan
yang rentan terhadap potensi bencana alam geologi, seperti: gempa bumi, tanah
longsor, banjir, angin topan, dan sebagainya. Hal ini dipertegas dengan bencanabencana alam yang sering kita temui sehari-hari. Banjir bandang di Lamongan dan
di bandung atau di banyak daerah saat musim hujan, Gempa bumi di Padang dan
sekitarnya, merupakan gambaran kecil dari kerentanan Indonesia terhadap potensi
terjadinya bencana alam geologi.
Terdapat tiga fase dalam upaya penanggulangan bencana, yaitu: fase prabencana, fase saat bencana terjadi, dan fase pasca-bencana. Hal yang sangat
disayangkan adalah Indonesia lebih memberikan perhatian terhadap fase ketiga,
dan terlihat sedikit meremehkan fase-fase penanggulangan yang lainnya. Sebagai
contoh adalah bencana tsunami yang menimpa Aceh, bantuan terkait dengan
bencana ini mulai muncul, setelah berjatuhan banyak korban dan menimbulkan
kerugian yang besar.
Terjadinya bencana dewasa ini telah sangat lekat dengan masyarakat.
Bahkan, sejak tahun 1988 sampai pertengahan 2003 jumlah bencana di Indonesia
mencapai 647 bencana alam, meliputi: banjir, longsor, gempa bumi, dan angin
topan, dengan jumlah korban jiwa sebanyak 2022 dan jumlah kerugian mencapai
ratusan milyar. Jumlah tersebut belum termasuk bencana yang terjadi pertengahan
1

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

tahun 2003 sampai pertengahan 2004 yang mencapai ratusan bencana dan
mengakibatkan hampir 1000 korban jiwa.
Dalam tahun 2002, tercatat bencana besar yang terjadi adalah kebakaran
hutan di Pontianak, Jambi, Palembang, banjir di Jakarta, Jawa Tengah, Semarang,
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan beberapa lokasi lainnya. Selain itu,
banjir terjadi di Jawa Tengah bagian selatan, antara lain Banyumas, Cilacap,
Kebumen, dan Purworejo. Tanggal 30 Oktober 2003, ribuan rumah dan ratusan
hektar sawah di 12 desa di Kabupaten Banyumas dan Cilacap, Jawa Tengah, telah
dilanda banjir.
Di Banyumas dan Purworejo, banjir menggenangi ribuan hektar sawah,
dan sekitar 3.000 keluarga di Desa Nusadadi, Kecamatan Tambak, terkurung air
akibat luapan Sungai Ijo dan Sungai Kecepak. Sementara itu, banjir juga melanda
Desa Karangsembung dan Nusawangkal, Kecamatan Nusawungu, Kabupaten
Cilacap di mana air menggenangi 130 rumah dan 1.294 ha sawah. Sebanyak 360
ha dari 1.294 ha sawah yang tergenang berupa persemaian dengan kerugian
diperkirakan Rp 28.800.000.
Dan terjadi Banjir Bandang di Jawa Tengah, tanggal 1 November 2003,
sedikitnya 119 rumah, satu sekolah, dan jalan di Kabupaten Kebumen, mengalami
kerusakan akibat tanah longsor saat hujan mengguyur kawasan itu. Tanah longsor
yang menimpa rumah penduduk itu terjadi di empat desa, yakni: Desa
Kalibangkang (62 rumah rusak), Desa Watukelir (37), Desa Srati (11), dan Desa
Jintung (5). Kerugian yang dialami diperkirakan tidak kurang dari Rp265, 3 juta.
Masih banyak lagi bencana yang belum dilansir secara langsung oleh
berbagai pihak terkait. Sebagai catattan, gempa bumi di Yogyakarta dan Padang,
Banjir bandang yang melanda berbagai kawasan di Indonesia (Lamongan,
Sidoarjo, dan sebagainya), serta bencana alam yang lainnya.
Hal ini membuat perhatian pemerintah menjadi tidak fokus. Di satu sisi
harus berbenah diri, mulai dari meningkatkan perekonomian, pemberantasan
korupsi, mafia peradilan, upaya untuk tetap eksis di mata dunia terkait dengan
hubungan diplomatik antar Negara, juga masih diberatkan oleh bencana yang
sering memakan banyak korban dan kerugian. Dan pastinya, pemerintah tidak

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

dapat berpangku tangan melihat warganya terpuruk dalam bencana yang melanda
warganya ini, sesuai dengan amanah yang tertuang dalam UUD45.
Dalam Environmental Outlook WALHI 2003, diungkapkan bahwa kita
bangsa Indonesia tidak bisa lagi bangga dengan julukan Jamrud Khatulistiwa,
karena pada kenyataannya, negeri kita adalah negeri sejuta bencana. Hal yang
menjadi ironi bagi negeri ini adalah kondisi yang telah dipaparkan secara singkat
di atas, makin diperparah dengan kepadatan penduduk yang tidak merata, dan
banyaknya daerah terpencil yang jarang terjamah ataupun sukar dimasuki karena
infrastruktur yang kurang tertata dengan rapi, dan sebagainya. Akibatnya, ketika
bencana alam menimpa, yang mendapatkan pertolongan pertama adalah daerahdaerah yang letaknya strategis dan mudah untuk dijangkau oleh kendaraan,
meskipun sebenarnya di daerah tersebut hanya atau relatif lebih sedikit yang
membutuhkan pertolongan serius, jika dibandingkan dengan daerah yang masih
terpencil dan sukar dimasuki.
Terdapat tiga fase dalam langkah-langkah penanggulangan bencana, yaitu:
fase pra-bencana, fase saat bencana terjadi, dan fase pasca-bencana. Dewasa ini
telah banyak pengembangan berkaitan dengan tiga fase tersebut. Namun, hal yang
kembali patut kita sayangkan adalah masih banyak daerah-daerah terpencil yang
hanya memperoleh fase pasca-bencana, ataupun fase saat bencana terjadi, tanpa
melewati fase pra-bencana. Mengapa lebih memilih mengobati daripada
mencegah atau meminimalisir banyaknya korban yang berjatuhan? Hal ini patut
kita cermati lebih seksama lagi. Oleh karena itu, dirasa penting untuk memberikan
pelatihan terkait dengan penanggulangan bencana yang semakin akrab dan hampir
menjadi bagian dari kehidupan kita.
Kultur timur yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia, yaitu: empati dan
kebersamaan, selalu terlihat ketika bencana alam datang menimpa. Namun, hal
yang sangat disayangkan adalah terjadinya penyelewengan, ataupun pemberian
bantuan yang dirasa kurang tepat pada sasaran, bahkan terlihat berlebihan atau

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

tidak berguna pada suatu daerah tertentu yang mengalami dampak langsung dari
bencana alam yang sedang terjadi didaerahnya.
Hal yang lebih spesifik terkait dengan pemaparan di atas, adalah
banyaknya bantuan, yang terdiri dari: tenaga volunteer, bantuan logistik, pakaian,
serta sumbangan berupa uang ataupun bahan materiil untuk pembangunan, tidak
mampu disebarkan secara merata dan tepat sasaran. Koordinasi terlihat acakacakan dan semrawut. Karena berbagai hal inilah, dewasa ini mulai terlihat
sikap antipati dan cenderung bersikap tidak peduli (apatis) pada masyarakat, yang
sebelumnya selalu aktif dalam kegiatan sosial ini.
Individu memberi makna pada dunianya, tanpa diberi makna oleh
individu maka dunia tidak ada sebagai dunia. (Zainal A, 2002:6)
Karena

perbagai

permasalahan

maupun

keprihatinan

yang

telah

dipaparkan secara singkat di atas, penulis tergerak untuk memformulasikan suatu


program pelatihan yang nantinya mampu digunakan untuk membekali paduan
kompetensi kepada para sukarelawan, seperti: koordinasi sesama sukarelawan dan
dengan pemerintahan, membuka ruas jalan, kemampuan beradaptasi dan rasa
empati yang mendalam, dan sebagainya. Dan nantinya hal ini akan dapat
digunakan untuk mengantisipasi beralihnya rasa empati dan kebersamaan
masyarakat yang tidak sedang dirundung bencana (volunter), menjadi antipati dan
apatis. Melainkan lebih semangat lagi dalam membantu sesamanya, terlebih
didukung perasaan, bahwa diri seseorang sangatlah dibutuhkan kehadiran dan
bantuannya bagi orang lain yang sedang mengalami bencana.
Pelatihan tanggap bencana ini tampaknya telah menjadi suatu hal yang
dewasa ini makin sering terdengar. Diselenggarakan oleh instansi-instansi
pemerintahan, LSM, PMI, ataupun komunitas-komunitas pemerhati bangsa yang
lainnya. Namun demikian, pelatihan yang telah ada condong pada keahlian
dengan spesifikasi bidang tertentu saja. Memang hal ini sangatlah penting, namun
pada prakteknya dalam penanggulangan terhadap bencana yang dilakukan adalah
penggabungan dari multi disiplin ilmu yang komprehensif. Terkait dengan hal ini,
4

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

yang menjadi sorotan bersama adalah cara koordinasi para praktisi multi disiplin
ilmu, secara horizontal ataupun secara vertikal dengan pemerintah. Dan terlihat
terlalu mengutamakan kemampuan seseorang atau kelompok dalam upaya
memberikan bantuan ketika bencana terjadi, serta mengabaikan potensi penduduk
lokal tempat terjadinya bencana. Padahal dalam berbagai hal, penduduk lokal ini
lebih mampu untuk memprediksi daerah-daerah yang mengalami bencana dengan
tingkat kerusakan yang tinggi, serta akses membuka ruas jalan tercepat menuju ke
daerah tertimpa bencana.
Maka, penulis mencoba menawarkan pelatihan yang diberikan, tidak
hanya mencangkup pemberian skill pada para sukarelawan yang telah bersedia,
guna mampu memberikan penanganan pertama bagi para korban. Akan tetapi juga
harus memiliki keahlian dalam pemetaan ataupun persebaran luas bencana,
terlebih pemberian ketrampilan ini diutamakan merata pada tiap kecamatan di
seluruh Indonesia. Sehingga, ketika bencana alam datang pada waktu tertentu,
penanganan pertama dapat langsung dilakukan, dan koordinasi antara para
sukarelawan dapat terjalin dengan baik, dan akhirnya mampu meminimalisir
jumlah korban dan terhindarnya sikap antipati dan apatis masyarakat yang lain
terhadap kondisi sesamanya yang sedang mengalami musibah.
Sehubungan dengan hal tersebut, materi-materi yang diberikan dalam
pelatihan ini akan disesuaikan dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi,
serta kondisi lapangan dimana tempat pasca bencana terjadi. Pada umumnya,
materi yang diberikan dalam pelatihan ini berupa ceramah dan media
pembelajaran, dialog interaktif, games, role play, diskusi, outbound training, serta
pemberian penugasan pada tiap waktu sesi makan dan sebelum tidur.
1.2. Dasar
1.

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945;

2.

Undang-undang Dasar 1945 pasal 29 dan pasal 31 ;

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

3.

Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001 tentang Badan


Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun
2001.

4.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara ;

5.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 2003 tentang Hak Asasi Manusia


;

6.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


Daerah.

1.3. Nama
Nama kegiatan adalah Pelatihan Tanggap Bencana Terpadu disingkat
"Pelatihan TANAPA" Tingkat Nasional dan Tingkat daerah.

1.4. Fokus Pelatihan


Berangkat dari keinginan Penulis untuk memformulasikan suatu program
pelatihan yang nantinya mampu digunakan untuk mengantisipasi beralihnya rasa
empati dan kebersamaan masyarakat yang tidak sedang dirundung bencana
(volunter), menjadi antipati dan apatis. Melainkan lebih semangat lagi dalam
membantu sesamanya, terlebih didukung perasaan, bahwa diri seseorang
sangatlah dibutuhkan kehadiran dan bantuannya bagi orang lain yang sedang
mengalami bencana alam. Maka fokus pada pelatihan kali ini adalah:
1.

Pelatihan diberikan bagi para sukarelawan yang bersedia dan mempunyai


waktu dalam mengikuti masa pelatihan.

2.

Minimal

dalam

satu

kabupaten

mengirimkan

empat

perwakilan

sukarelawan, yang nantinya diwajibkan memberikan penyuluhan kepada


para simpatisan yang lain, diderah tempatnya tinggal. Hal ini dilakukan

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

dengan pertimbangan pemberian informasi dari seseorang yang lebih dekat


(bahasa, suku, dll) lebih mempermudah penyampaian materi.
3.

Kemampuan beradaptasi dan survive

4.

Dasar-dasar ataupun langkah utama dalam melakukan need assestment


terhadap para korban.

5.

Keahlian dalam membuka ruas jalan sebagai akses masuknya bala bantuan.

6.

Team Building

7.

Pemetaan persebaran luas bencana dan koordinasi bala bantuan yang ada.

1.6. Signifikansi dan Keunikan Pelatihan


Pelatihan ini menjadi penting guna menanggapi fenomena semakin banyak
beralihnya rasa empati dan kebersamaan masyarakat yang tidak sedang dirundung
bencana (volunter), yang menjadi antipati dan apatis, diakibatkan pemetaan
persebaran luas bencana, koordinasi bala bantuan, maupun penyelewangan yang
terjadi dalam upaya pemberian bantuan.
Memang telah banyak program pelatihan terkait dengan program tanggap
bencana ini. Keunikan pada program pelatihan tanggap bencana kali ini adalah
lebih memfokuskan pada persebaran jumlah sukarelawan atau para simpatisan,
dan kemampuan dalam memetakan persebaran luas bencana yang dapat dilakukan
oleh para praktisi yang berada di daerah sekitar terjadinya bencana secara tepat
dan akurat. Dan nantinya mampu meringankan beban saudara kita yang sangat
membutuhkan pertolongan, serta mengeliminasi bibit-bibit sikap antipasti dan
apatis para sukarelawan ataupun penyumbang.
Selain itu, pelatihan kali ini, lebih menekankan pada kemampuan para
simpatisan dalam beradaptasi, bekerja secara tim dengan koordinasi yang terarah.
Berkaitan dengan para sukarelawan, penulis berharap dukungan pemerintah pusat
dalam menyelenggarakan pelatihan ini, serta partisipasi pemerintah daerah guna
mengirimkan setidaknya empat perwakilan sukarelawan yang nantinya akan
memberikan penyuluhan pada sukarelawan lainnya di daerah tempatnya tinggal.

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

1.7. Tujuan Pelatihan


Penulis memformulasikan program ini, bertujuan untuk membantu proses
berbenah dirinya Bangsa dan Negeri ini, dalam hal meminimalisir korban yang
diakibatkan bencana alam. Maka penulis harus mampu memformulasikan
program pelatihan yang berkaitan dengan beberapa hal yang telah ditetapkan
penulis menjadi fokus kajian pelatihan, sebagai berikut:
1. Para peserta yang telah mengikuti pelatihan mampu memberikan
penyuluhan berkaitan dengan materi yang telah diperoleh selama proses
pelatihan dilangsungkan.
2. Para peserta mempunyai kemampuan beradaptasi dan survive terhadap
lingkungan pasca bencana terjadi.
3. Para peserta mampu menguasai dan mengimplementasikan dasar-dasar
ataupun langkah utama dalam melakukan need assestment terhadap para
korban.
4. Para peserta memiliki keahlian dalam membuka ruas jalan sebagai akses
masuknya bala bantuan.
5. Para peserta mampu bekerja dengan tim
6. Para peserta yang berada di daerah sekitar terjadinya bencana, mampu
memetakan persebaran luas bencana dan mengkoordinasi bala bantuan
yang ada dengan para penyumbang (donatur), maupun dengan
pemerintahan.
1.8. Manfaat Pelatihan
Dari hasil pelatihan ini, diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara
teoritis maupun praktis.
1. Manfaat secara teoritis, antara lain:
Memberikan sumbangan kajian berbagai disiplin ilmu dalam membantu
meringankan beban dan meminimalisir jatuhnya

korban yang

diakibatkan bencana alam.


Memperkaya kajian psikologi sosial dalam proses pasca bencana alam
dan saat memberikan bantuan kepada para korban.
8

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

2. Manfaat secara praktis, antara lain:


Tumbuhnya pada para sukarelawan sikap tanggungjawab, dapat
dipercaya dan mentalitas yang bisa diandalkan dalam kehidupan
berorganisasi, bermasyarakat serta bernegara.
Para sukarelawan memiliki kecerdasan hati (Heart Intellegence), yang
mampu mensinergikan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosi
(EI) dan kecerdasan spiritual (SI) dan kecerdasan fisik (PI).
Adanya komitmen dan upaya yang sistematis, terarah, terkoordinasi,
dan efektif dari instansi / lembaga terkait tingkat nasional/daerah dalam
upaya tanggap bencana.
Para sukarelawan yang telah mengikuti pelatihan mampu memberikan
penanganan bencana yang komprehensif.

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1. Pelatihan
2.1.1. Pengertian Pelatihan
Sikula dalam Sumantri (2000: 2) mengartikan pelatihan sebagai: proses
pendidikan jangka pendek yang menggunakan cara dan prosedur yang sistematis
dan terorganisir. Para peserta pelatihan akan mempelajari pengetahuan dan
keterampilan yang sifatnya praktis untuk tujuan tertentu. Veithzal Rivai (2004:
226) menegaskan bahwa pelatihan adalah proses sistematis mengubah tingkah
laku pekerja untuk mencapai tujuan organisasi. Pelatihan berkaitan dengan
keahlian dan kemampuan pekerja dalam melaksanakan pekerjaan saat ini.
Pelatihan memiliki orientasi saat ini dan membantu pegawai untuk mencapai
keahlian dan kemampuan tertentu agar berhasil melaksanakan pekerjaan.
Pengertian-pengertian di atas mengarahkan kepada penulis untuk
menyimpulkan bahwa yang dimaksud pelatihan dalam hal ini adalah proses
pendidikan yang di dalamnya ada proses pembelajaran dilaksanakan dalam jangka
pendek, bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan,
sehingga mampu meningkatkan kompetensi individu untuk menghadapi tugasnya
di dalam organisasi sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Dengan demikian
dapat simpulkan bahwa pelatihan sebagai suatu kegiatan untuk meningkatkan
kinerja saat ini dan kinerja mendatang (Veithzal Rifai: 2004: 226).
2.1.2. Dasar Pelatihan
Dalam penyelenggaraan pelatihan, agar dapat bermanfaat bagi peserta dan

10

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

dapat mencapai tujuan secara optimal, hendaknya penyelenggaraannya mengikuti


dasar-dasar umum pelatihan. Menurut Dale Yoder dalam bukunya Personal
Principles and Policies, menyebutkan sembilan dasar yang berlaku umum dalam
kegiatan pelatihan yaitu (1) Individual differences; (2) relation to job analysis; (3)
motivation (4) active participation, (5) selection of trainees, (6). Selection of
trainers; (7) trainers of training (8) training methods dan (9) principles of
learning (1962:235).
Adapun demikian terdapat lima persyaratan minimal yang perlu
diperhatikan pelatih dalam memilih metode pelatihan, yaitu: sesuai dengan
keadaan dan jumlah sasaran; cukup dalam jumlah dan mutu materi; tepat menuju
tujuan pada waktunya; amanat hendaknya mudah diterima, dipahami dan
diterapkan; dan biaya ringan (Depdikbud, 1983: 97). Dalam pemilihan metode
juga dapat mempertimbangkan beberapa faktor, sebagai berikut: tujuan
instruksional khusus yang hendak- dicapai dalam proses penyampaian pesan atau
bahan belajar, keadaan warga belajar yang akan menerima pesan, karakteristik
metode yang akan digunakan dan sumber atau fasilitas yang tersedia untuk
menunjang penggunaan metode tertentu yang hendak kita pilih (Direktorat
Dikmas, 1985 : 18).
Pelatihan yang berhasil adalah pelatihan yang menerapkan dasar-dasar
pelatihan di atas dalam formulasi pelatihan yang akan diberikan pada peserta
pelatihan.
2.1.3. Manajemen Pelatihan
Manajemen pelatihan memiliki dimensi tentang bagaimana hal
pengelolaan pelatihan. Pengelolaan ini dilakukan agar pelatihan bisa berjalan
dengan baik dan berhasil secara efektif dan efisien. Manajemen pelatihan secara
konsep bisa diartikan Proses perencanaan, pengorganisasian, penggerakkan dan
pengevaluasian terhadap kegiatan pelatihan dengan memanfaatkan aspek-aspek
pelatihan untuk mencapai tujuan pelatihan secara efektif dan efisien. Dalam
konteks yang lain, manajemen pelatihan atau pengelolaan pelatihan identik

11

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

dengan manajemen proyek atau pada istilah lain sama dengan mengelola proyek.
Oleh karena itu daur Managing training dapat digambarkan sebagai berikut:

ANALISIS

EVALUASI

UMPAN
BALIK &
REVISI

IMPLEMENTASI

DESAIN

PENGEMBANGAN

Daur Managing Training

Gambar di atas menjelaskan bahwa proses manajemen pelatihan dimulai


dengan analisis, yaitu analisis kebutuhan (need analysis) terhadap hal-hal yang
akan menjadi objek pelatihan, kemudian dilanjutkan dengan desain program
pelatihan, yaitu langkah mendesain program-program pelatihan. Tahapan
berikutnya adalah pelaksanaan dan penerapan, yaitu proses pelaksanaan dan
Penerapan program-program pelatihan. Kemudian diakhiri dengan evaluasi yaitu
tahap

untuk memberikan penilaian dan analisa pengembangan. Pada setiap

tahapan tersebut akan ada proses umpan balik, yang bertujuan untuk mengontrol
efektivitas pelaksanaan dan proses pelatihan.
Perencanaan pelatihan pada hakekatnya adalah proses menyusun rancangan
program pelatihan, yaitu proses menyiapkan berbagai hal mengenai persiapan
pelatihan.

Secara umum menurut Faustino Cardoso Gomes (2000:204)

mengemukakan ada tiga tahap pada pelatihan yaitu tahap penilaian kebutuhan,

12

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

tahap pelaksanaan pelatihan dan tahap evaluasi. Atau dengan istilah lain ada fase
perencanaan pelatihan, fase pelaksanaan pelatihan dan fase pasca pelatihan.
Secara umum ada tiga tahap pada pelatihan yaitu tahap penilaian kebutuhan, tahap
pelaksanaan pelatihan dan tahap evaluasi. Atau dengan istilah lain ada fase
perencanaan pelatihan, fase pelaksanaan pelatihan dan fase pasca pelatihan.
Langkah-langkah yang umum digunakan dalam program pelatihan, seperti
dikemukakan oleh Simamora (1997: 360), yang menyebutkan delapan langkah
pelatihan, yaitu:
(1) Tahap penilaian kebutuhan dan sumber daya untuk pelatihan;
(2) Mengidentifikasi sasaran-sasaran pelatihan;
(3) Menyusun kriteria;
(4) Pre tes terhadap para peserta
(5) Memilih teknik pelatihan dan prinsip-prinsip proses belajar;
(6) Melaksanakan pelatihan;
(7) Memantau pelatihan;
(8) Membandingkan hasil pelatihan terhadap kriteria yang telah ditentukan.
Penilaian kebutuhan (need assessment) pelatihan merupakan langkah yang
paling penting dalam pengembangan program pelatihan. Langkah penilaian
kebutuhan ini merupakan landasan yang sangat menentukan pada langkahlangkah berikutnya. Dalam penilaian kebutuhan dapat digunakan tiga tingkat
analisis yaitu analisis pada tingkat organisasi, analisis pada tingkat program atau
operasi dan analisis pada tingkat individu. Sedangkan teknik penilaian kebutuhan
dapat digunakan analisis kinerja, analisis kemampuan, analisis tugas maupun
survey kebutuhan (need survey).
Isi program (program content) merupakan perwujudan dari hasil
penilaian kebutuhan dan materi atau bahan guna mencapai tujuan pelatihan. Isi
program ini berisi keahlian (keterampilan), pengetahuan dan sikap yang
merupakan pengalaman belajar pada pelatihan yang diharapkan dapat
menciptakan perubahan tingkah laku. Pengalaman belajar dan atau materi pada
pelatihan harus relevan dengan kebutuhan peserta maupun lembaga tempat kerja.
Prinsip-prinsip belajar (learning principles) yang efektif adalah yang

13

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

memiliki kesesuaian antara metode dengan gaya belajar peserta pelatihan dan
tipe-tipe pekerjaan, yang membutuhkan. Pada dasarnya prinsip belajar yang layak
dipertimbangkan untuk diterapkan berkisar lima hal yaitu partisipasi, reputasi,
relevansi, pengalihan, dan umpan balik (Sondang P. Siagian, 1994 :190).
Pelaksanaan program (actual program) pelatihan pada prinsipnya sangat
situasional sifatnya. Artinya dengan penekanan pada perhitungan kebutuhan
organisasi dan peserta pelatihan, penggunaan prinsip-prinsip belajar dapat berbeda
intensitasnya, sehingga tercermin pada penggunaan pendekatan, metode dan
teknik tertentu dalam pelaksanaan proses pelatihan.
Dan langkah terakhir dari pengembangan program pelatihan adalah
evaluasi (evaluation) pelatihan. Pelaksanaan program pelatihan dikatakan berhasil
apabila dalam diri peserta pelatihan terjadi suatu proses transformasi pengalaman
belajar pada bidang pekerjaan dengan materi yang telah diterimanya. Sondang P.
Siagian menegaskan proses transformasi dinyatakan berlangsung dengan baik
apabila terjadi paling sedikit dua hal, yaitu: peningkatan kemampuan dalam
melaksanakan tugas dan perubahan perilaku yang tercermin pada sikap, serta
disiplin dan etos kerja (1994: 202).
2.1.4

Mekanisme Pelatihan
Mekanisme pelatihan di sini diartikan sebagai cara atau metode yang

digunakan dalam suatu kegiatan pelatihan. Dalam penyelenggaraan pelatihan,


tidak ada satupun metode dan teknik pelatihan yang paling baik. Semuanya
tergantung pada situasi kondisi kebutuhan.
Dalam memilih metode dan teknik suatu pelatihan ditentukan oleh
banyak hal. Seperti dikemukakan William B. Werther (1989 : 290) sebagai berikut
: that is no simple technique is always best; the best method depends on : cost
effectiveness; desired program content; learning principles; appropriateness of
the facilities; trainee preference and capabilities; and trainer preferences and
capabilities. Artinya tidak ada satu teknik pelatihan yang paling baik, metode
yang paling baik tergantung pada efektivitas biaya, isi program yang diinginkan,
prinsip-prinsip belajar, fasilitas yang layak, kemampuan dan preference peserta
serta kemampuan dan preference pelatih.

14

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

Metode pelatihan yang tepat adalah pelatihan yang dilaksanakan dengan


mengkombinasikan metode indoor dan outdoor activity, dengan dikemas
berdasarkan prinsip:
1. Andragogi;
Yakni proses belajar bagi orang dewasa. Dengan metode ini, peserta tidak
dijejali dengan teori-teori yang rumit, tetapi justru teori-teori tersebut
muncul secara tidak disadari.
2. Discovery Approach;
Yakni pendekatan penemuan. Disini narasumber bukan sekedar bertindak
sebagai penyaji materi, melainkan sebagai fasilitator yang atraktif dan
komunikatif. Pesertalah yang akan menemukan sendiri potensi dan
kesimpulannya.
3. Experiental learning;
Peserta mengalami sendiri proses belajar yang melibatkan auditory, visual,
dan

kinestetik

mendengarkan

melalui
musik,

games,
menonton

simulasi,
film,

tantangan,

dsb.

Walaupun

outbound,
bersifat

entertainment, peserta akan mendapatkan pengetahuan dan motivasi serta


langsung dihantarkan pada aplikasi dan hikmahnya dalam aktivitas
pekerjaan.
4. Role Play
Menjelaskan

suatu

permasalahan

dengan

mendemontrasikan

atau

mendramakan.
5. Study Lapangan
Peserta akan diterjunkan langsung kelapangan untuk mempraktekan skill
yang telah didapatkan selama pelatihan, mengamati, menganalisa dan
menyimpulkan.
2.1.5. Penerapan Hasil Pelatihan
Berdasarkan tinjauan teoritis, pembahasan tentang pelatihan dapat dilihat
15

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

dari berbagai sudut, pelatihan dilihat dari pengertian, tujuan, asas, efektivitas dan
manajemen pelatihan. Pembahasan tersebut masih dalam tataran teoritis, sehingga
baru diperoleh informasi-informasi yang bersifat umum. Informasi ini merupakan
dasar rujukan dan pijakan dalam membahas dan menganalisis permasalahan
pelatihan lebih jelas.
Apabila ditinjau dari segi evaluasinya pelatihan akan memiliki keberartian
yang lebih mendalam. Evaluasi ini akan memperlihatkan tingkat keberhasilan atau
kegagalan suatu program. Beberapa kriteria yang digunakan dalam evaluasi
pelatihan akan berfokus pada outcome (hasil akhir). Veitzal Rifai (2004) dan
Henry Simamora (2004), menunjukkan bahwa kriteria yang efektif

dalam

mengevaluasi pelatihan, yaitu: reaksi dari peserta, pengetahuan atau proses belajar
mengajar, perubahan perilaku akibat pelatihan dan hasil atau perbaikan yang dapat
diukur. Kriteria tersebut dalam konteks yang lebih luas dapat dikembangkan untuk
mengetahui dampak keberhasilan suatu program pelatihan yang sudah
dilaksanakan.
Merujuk

pada

pendapat

Veitzal

dan

Henry

Simamora,

dengan

memperhatikan kriteria efektivitas evaluasi maka dalam penelitian ini akan


diperluas pada Penerapan pelatihan. Selanjutnya kriteria efektivitas evaluasi di
atas dijadikan dimensi untuk mengukur tingkat Penerapan hasil pelatihan pada
suatu lembaga. Dimensi-dimensi tersebut adalah: dimensi pengetahuan, dimensi
sikap, dimensi perilaku dan dimensi hasil.
2.1.6. Tujuan Pelatihan
Menurut Moekijat (1991:55) tujuan umum dari pada pelatihan adalah:
a)

Untuk mengembangkan keahlian sehingga pekerjaan dapat diselesaikan


dengan lebih cepat dan lebih efektif.

b) Untuk

mengembangkan

diselesaikan secara rasional.

16

pengetahuan

sehingga

pekerjaan

dapat

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

c)

Untuk mengembangkan sikap, sehingga menimbulkan kerja sama dengan


teman-teman pegawai dan pimpinan.
Pada umumnya disepakati paling tidak terdapat tiga bidang kemampuan

yang diperlukan untuk melaksanakan proses manajemen Hersey dan Blanchart


(1992: 5), yaitu:
a. Kemampuan teknis (technical and skill), kemampuan menggunakan
pengetahuan, metode, teknik, dan peralatan yang diperlukan untuk
melaksanakan tugas tertentu yang diperoleh dari pengalaman, pendidikan
dan training.
b. Kemampuan sosial (human atau social skill), kemampuan dalam bekerja
dengan melalui orang lain, yang mencakup pemahaman tentang motivasi
dan penerapan kepemimpinan yang efektif.
c. Kemampuan konseptual (conceptual skill) yaitu: kemampuan untuk
memahami kompleksitas organisasi dan penyesuaian bidang gerak unit
kerja masing-masing ke dalam bidang operasi secara menyeluruh.
Kemampuan ini memungkinkan seseorang bertindak selaras dengan tujuan
organisasi secara menyeluruh dari pada hanya atas dasar obsesi ataupun
tujuan kebutuhan keluarga sendiri.
2.2.

Bencana Alam

2.2.1. Definisi Bencana Alam


Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia definisi bencana
adalah peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan
ekologi, kerugian kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan
pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari
pihak luar.
Sedangkan definisi bencana (disaster) menurut WHO adalah setiap
kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa
manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada
17

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang
terkena.
Bencana adalah situasi dan kondisi yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat. Tergantung pada cakupannya, bencana ini bisa merubah pola
kehidupan dari kondisi kehidupan masyarakat yang normal menjadi rusak,
menghilangkan harta benda dan jiwa manusia, merusak struktur sosial
masyarakat, serta menimbulkan lonjakan kebutuhan dasar (BAKORNAS PBP).
Bencana adalah gangguan serius dari berfungsinya satu masyarakat, yang
menyebabkan kerugian-kerugian besar terhadap jiwa (manusia), harta-benda, dan
lingkungannya, yang melebihi kemampuan dari masyarakat yang tertimpa
bencana untuk menanggulanginya dengan hanya menggunakan sumber-sumber
daya masyarakat itu sendiri. (Lokakarya Kepedulian Terhadap Kebencanaan
Geologi dan Lingkungan Pusat Penelitian dan Pengembangan Goelogi ITB, 2004)
Definisi konvensional dari frasa bencana alam ialah bencana yang
ditimbulkan oleh alam. Penderitanya manusia, korbannya berupa harta benda dan
nyawa. Sekarang, pengertian bencana alam tidak selalu seperti itu. Ada definisi
tambahan untuk bencana alam, yaitu bencana yang disebabkan oleh manusia.
Penderitanya (pada tahap pertama) justru alam, korbannya berupa kerusakan
ekosistem alam. Derita yang dialami oleh alam kemudian, pada gilirannya,
dialami pula oleh manusia.
Bencana alam adalah konsekwensi dari kombinasi aktivitas alami (suatu
peristiwa fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor) dan aktivitas
manusia. Karena ketidakberdayaan manusia, akibat kurang baiknya manajemen
keadaan darurat, sehingga menyebabkan kerugian dalam bidang keuangan dan
struktural, bahkan sampai kematian. Kerugian yang dihasilkan tergantung pada
kemampuan untuk mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan mereka.
Pemahaman ini berhubungan dengan pernyataan: "bencana muncul bila ancaman
bahaya bertemu dengan ketidakberdayaan". Dengan demikian, aktivitas alam yang
berbahaya tidak akan menjadi bencana alam di daerah tanpa ketidakberdayaan
manusia, misalnya gempa bumi di wilayah tak berpenghuni.

18

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

Konsekuensinya, pemakaian istilah "alam" juga ditentang karena


peristiwa tersebut bukan hanya bahaya atau malapetaka tanpa keterlibatan
manusia. Besarnya potensi kerugian juga tergantung pada bentuk bahayanya
sendiri, mulai dari kebakaran, yang mengancam bangunan individual, sampai
peristiwa tubrukan meteor besar yang berpotensi mengakhiri peradaban umat
manusia.
Namun demikian pada daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi
(hazard) serta memiliki kerentanan/kerawanan (vulnerability) yang juga tinggi
tidak akan memberi dampak yang hebat/luas jika manusia yang berada disana
memiliki ketahanan terhadap bencana (disaster resilience). Konsep ketahanan
bencana merupakan valuasi kemampuan sistem dan infrastruktur-infrastruktur
untuk mendeteksi, mencegah & menangani tantangan-tantangan serius yang hadir.
Dengan demikian meskipun daerah tersebut rawan bencana dengan jumlah
penduduk yang besar jika diimbangi dengan ketetahanan terhadap bencana yang
cukup.
2.2.2. Jenis Bencana
Klasifikasi bencana biasanya didasarkan atas:
1. Penyebab kejadian bencana (secara alami atau karena ulah manusia).
2. Cepat-lambatnya kejadian bencana (perlahan-lahan atau tiba-tiba).
Bencana alam dimana faktor geologi sangat dominan biasa disebut sebagai
bencana alam geologi, diantaranya:
1.
2.
3.
4.

Gempa bumi (earthquake) dan tsunami


Letusan gunung berapi (vulcano)
Longsoran (landslide)
Penurunan tanah (land subsidence)
Usep Solehudin (2005) mengelompokkan bencana menjadi dua jenis,

yaitu:
1. Bencana alam (natural disaster) yaitu kejadian-kejadian alami seperti
kejadian-kejadian alami seperti banjir, genangan, gempa bumi, gunung
meletus, badai, kekeringan, wabah, serangga dan lainnya.
2. Bencana ulah manusia (man made disaster) yaitu kejadian-kejadian karena
perbuatan manusia seperti tabrakan pesawat udara atau kendaraan,
19

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

kebakaran, huru-hara, sabotase, ledakan, gangguan listrik, ganguan


komunikasi, gangguan transportasi dan lainnya.

Sedangkan berdasarkan cakupan wilayah, bencana terdiri dari:


1. Bencana Lokal
Bencana ini biasanya memberikan dampak pada wilayah sekitarnya yang
berdekatan. Bencana terjadi pada sebuah gedung atau bangunan-bangunan
disekitarnya. Biasanya adalah karena akibat faktor manusia seperti
kebakaran, ledakan, terorisme, kebocoran bahan kimia dan lainnya.
2. Bencana Regional
Jenis bencana ini memberikan dampak atau pengaruh pada area geografis
yang cukup luas, dan biasanya disebabkan oleh faktor alam, seperti badai,
banjir, letusan gunung, tornado dan lainnya.
2.2.3. Fase-fase Bencana
Menurut Barbara Santamaria (1995), ada 3 fase dalam terjadinya suatu
bencana, yaitu fase preimpact, fase impact dan fase postimpact.
1. Fase preimpact merupakan warning phase, tahap awal dari bencana.
Informasi didapat dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya
pada fase inilah segala persiapan dilakukan baik oleh pemerintah,
lembaga, dan warga masyarakat.
2. Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saatsaat dimana manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup
(survive). Fase impact ini terus berlanjut hingga terjadi kerusakan dan
bantuan-bantuan darurat dilakukan.
3. Fase postimpact adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari
fase darurat, juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada
fungsi komunitas normal. Secara umum dalam fase postimpact ini para
korban akan mengalami tahap respon psikologis mulai penolakan, marah,
tawar-menawar, depresi hingga penerimaan.

20

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

2.3. Manajemen Bencana


Sesuai dengan pemaparan terkait dengan bencana di atas, maka
dibutuhkan suatu manajemen yang tepat, dinamis, terpadu, dan berkelanjutan
terkait dengan penanggulangan bencana. Adapun demikian, untuk lebih jelasnya
digambarkan sebagai berikut:

Mitigasi

Kesiapan Bencana

Bencana Terjadi

Penyelamatan dan Bencana

Rekonstruksi dan
Penataan Kembali
Rehabilitasi
Alur Manajemen Bencana
Keterangan:
1. Mitigasi adalah proses pengumpulan dan analisa data bencana sebagai
upaya untuk meminimalisir kerentanan dan bahaya terhadap negara.
2. Kesiapan Bencana adalah upaya memprediksi ataupun pemantauan
fenomena alam yang terjadi, guna persiapan tanda bahaya, berkaitan
dengan sistem evakuasi, serta sosialisasi kepada masyarakat.

21

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

BAB III
PELAKSANAAN KEGIATAN
3.1. Sasaran Pelatihan
3.1.1. Unsur Peserta
Pelatihan Tanggap Bencana Terpadu tingkat nasional diikuti oleh
perwakilan sukarelawan ataupun praktisi dari tiap Kabupaten di seluruh
Indonesia, yang nantinya akan menjadi fasilitator/pendamping pelatihan tanggap
bencana terpadu di daerah/wilayah masing-masing.
3.1.2. Persyaratan Peserta
Peserta Pelatihan Tanggap Bencana Terpadu tingkat nasional dimaksudkan
sebagai Fasilitator TANAPA di daerah/wilayah masing-masing dengan jumlah
peserta sebanyak empat orang yang merupakan perwakilan dari tiap Kabupaten
berdasarkan kriteria sebagai berikut:

3.2.

1.

Pemuda berusia 18-40 tahun

2.
3.

Pendidikan minimal SLTA atau sederajat


Sehat jasmani rohani dan bebas dari NAPZA

4.

Tidak sedang terlibat dengan kriminalitas

5.

Bersedia meluangkan waktu dan terjun di lapangan saat dibutuhkan.

6.

Memiliki pengalaman di bidang sosial

7.

Ditunjuk oleh Pemerintah Daerah sebanyak empat orang.

Narasumber / Pendamping / Instruktur / Fasilitator

3.2.1. Narasumber :
a. Pejabat Pemerintahan: BNPP, BASARNAS, dll.
b. Akademisi / Praktisi: PMI, Psikolog, Dokter.
c. Pembicara tamu lainnya: IFRC, IOM, UNEP, BAKOSURTANAL.
3.2.2. Pendamping
22

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

Pejabat Dinas Bidang Penanggulangan Bencana Daerah.

3.2.3. Tim Instruktur


PMI dan staff ahli dibidang penganggulangan bencana: IFRC, IOM,
UNEP, BAKOSURTANAL, BNPP.
3.2.4. Fasilitator :
Tim kreator Pelatihan tanggap bencana.
3.3.

Waktu dan Tempat


Pelatihan Tanggap Bencana Terpadu tingkat nasional dilaksanakan di

Jakarta selama tujuh hari dan akan dilaksanakan di seluruh Kabupaten/Kotamadya


secara bertahap, sesuai dengan jadwal yang terlampir.
3.4.

Metode Pembelajaran
Pelatihan Tanggap Bencana Terpadu tingkat nasional ini akan

dilaksanakan dengan mengkombinasikan metode indoor dan outdoor activity,


dengan dikemas berdasarkan prinsip:
1. Andragogi;
Yakni proses belajar bagi orang dewasa. Dengan metode ini, peserta tidak
dijejali dengan teori-teori yang rumit, tetapi justru teori-teori tersebut
muncul secara tidak disadari.
2. Discovery Approach;
Yakni pendekatan penemuan. Narasumber bukan sekedar bertindak
sebagai penyaji materi, melainkan sebagai fasilitator yang atraktif dan
komunikatif. Pesertalah yang akan menemukan sendiri potensi dan
kesimpulannya.
3. Experiental learning;
Peserta mengalami sendiri proses belajar yang melibatkan auditory, visual,
dan

kinestetik

melalui

games,

simulasi,

tantangan,

outbound,

mendengarkan musik, menonton film, dan sebagainya. Walaupun bersifat


entertainment, peserta akan mendapatkan pengetahuan dan motivasi serta
23

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

langsung dihantarkan pada aplikasi dan hikmahnya dalam aktivitas


pekerjaan.
4. Role Play
Menjelaskan

suatu

permasalahan

dengan

mendemontrasikan

atau

mendramakan.
5. Study Lapangan
Peserta akan diterjunkan langsung kelapangan untuk mempraktekan skill
yang telah didapatkan selama pelatihan, mengamati, menganalisa dan
menyimpulkan.
3.5.

Materi

3.5.1. Konsep Pemahaman Bencana dengan Konteksnya


1. Cara mengumpulkan data dan menganalisis data bencana (mitigasi)
2. Pentagon Capital (human, natural, financial, social, physical)
3. Pemetaan kapasitas lokal
4. Kondisi korban bencana yang dapat diselamatkan
3.5.2. Pengembangan Personal
1. Heart Intelligence Training
2. Character Building:
a. Personality (motivasi, empati dan persepsi)
b. Effective Communication Skill
c. Personality Building Exercise
3.5.3. Pengembangan Tim
1. Team Building (Outbound Experiential Learning)
2. Study Lapangan
3. Diksusi & Workshop
3.6.

Sarana Belajar
Sarana belajar dalam ruang (indoor) yang digunakan antara lain :
1. Makalah / buku panduan / Modul
2. Lembar kasus
3. Lembar Personality Style Assesment

24

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

4. Formulir / blanko / angket


5. Lembar evaluasi
6. Multimedia ( Laptop, LCD, Screen )
7. Sound System ( 1500 watt )
Perlengakapan peserta terdiri dari:
1. Kaos Olahraga
2. Tas
3. Seminar Kit
4. Sertifikat peserta

25

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

BAB IV
PENUTUP
4.1

Evaluasi
Untuk memperoleh gambaran mengenai tingkat keberhasilan pelatihan,

perlu diadakan evaluasi sebagai berikut:


1.

Pre Test
Yaitu tes awal yang dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan
peserta terhadap materi-materi yang akan disampaikan. Berupa angket.

2.

Evaluasi tingkat keterampilan dan partisipasi peserta melalui


praktek
Yaitu tes yang dilakukan untuk mengetahui tingkat keterampilan

dan

partisipasi peserta dalam diskusi, serta kerja kelompok. Berupa observasi.


3.

Post Test
Yaitu tes akhir yang dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan
peserta terhadap materi-materi pelatihan yang sudah diberikan. Berupa
simulasi dan observasi.

4.

Evaluasi Penyelenggaraan
Yaitu penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana
efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan kegiatan. Berupa angket.

4.2.

Pelaporan
Setelah kegiatan dilaksanakan, Penyelenggara berkewajiban menyusun

laporan pelaksanaan kegiatan untuk selanjutnya diserahkan kepada


penanggungjawab program. Sistematika pelaporan adalah sebagai berikut:
a. Persiapan
b. Pelaksanaan
c. Hasil

26

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

d. Kendala yang dihadapi


e. Rekomendasi penyempurnaan pelaksanaan

4.3.
Tindak Lanjut Program
1. Terlaksananya pembinaan lanjutan bagi daerah/kabupaten tempat peserta
tinggal
2. Pembinaan berkesinambungan kepada para sukarelawan.
3. Evaluasi perkembangan pelatihan yang diadakan di daerah tempat peserta
pelatihan tinggal oleh Tim Pelatihan Tanggap Bencana Terpadu Tingkat
Nasional.

27

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

TATA TERTIB

1.
Umum
a. Setiap peserta mendaftarkan diri kepada Penyelenggara setelah tiba di tempat
kegiatan dengan menyerahkan kelengkapan administrasi dan mengisi biodata.
b. Menempati kamar sesuai ketentuan yang telah ditentukan oleh penyelenggara.
c. Merapikan kamar, tempat tidur, dan kelengkapan lainnya.
d. Wajib mengikuti semua materi pelatihan sesuai jadwal, dan hadir 10 menit,
sebelum kegiatan berlangsung.
e. Peserta diwajibkan istirahat/ tidur pada jam 23.00 WIB dan bangun pagi pukul
04.30 WIB.
f. Peserta tidak dibenarkan menerima tamu kecuali dalam hal-hal yang sangat
mendesak, pada jam istirahat dan di tempat yang telah ditentukan. ( tidak di
perkenankan di dalam kamar )
g. Peserta tidak diperkenankan merokok dan mengaktifkan HP di dalam kelas
pada saat sesi / materi berlangsung.
h. Peserta tidak diijinkan keluar / meninggalkan arena pelatihan kecuali
dikarenakan sakit dan atas ijin penyelenggara.
i. Peserta turut memelihara kebersihan dan ketertiban.
j. Peserta diwajibkan melaksanakan ibadah sesuai dengan kewajiban agama dan
kepercayaannya masing-masing.
k. Para peserta wajib mengamankan barang bawaannya masing-masing, apabila
terjadi kehilangan menjadi tanggung jawab peserta.
l. Peserta yang tidak memenuhi tata tertib, peraturan, dan kebijakan yang telah
ditetapkan akan diberikan sanksi berupa pemulangan ke tempat asal peserta
dengan catatan biaya pemulangan ditanggung oleh peserta.
2.

Tata Cara Berpakaian:


a. Selama pelatihan berlangsung peserta diwajibkan berpakaian sesuai dengan
yang telah ditentukan;

28

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

b. Dalam kegiatan upacara pembukaan / penutupan dan kegiatan lapangan


peserta memakai :
- Seragam yang diberikan Penyelenggara
- Celana / rok berwarna hitam
- Sepatu dan kaos kaki
- Sabuk berwarna hitam
- Topi dari penyelenggara
c. Dalam kegiatan pelatihan dalam kelas peserta memakai pakaian resmi, tidak
diperkenankan memakai kaos / T-Shirt dan bersandal.
d. Dalam kegiatan olahraga, outbond, atau kegiatan lapangan peserta memakai
seragam lapangan yang telah diberikan penyelenggara.
3.
Tata tertib selama pelatihan :
a. Peserta wajib mengisi daftar hadir yang telah disiapkan sebelum sesi / materi
dimulai. Apabila narasumber / pemateri sudah masuk memberikan materi, peserta
yang terlambat dianggap tidak hadir dalam sesi materi tersebut.
b. Peserta memakai tanda pengenal / name tag yang telah disediakan
Penyelenggara.
c. Mentaati jadwal acara yang telah ditentukan.
d. Selama kegiatan pelatihan berlangsung di dalam kelas setiap peserta dilarang
meninggalkan ruangan kecuali seijin Instruktur / Penyelenggara dengan frekuensi
yang terbatas.
e. Selama kegiatan pelatihan para peserta membentuk kepengurusan kelompok
yang terdiri dari ketua beserta perangkatnya.
f. Tugas, fungsi dan wewenang ketua, serta perangkat kelompok dirumuskan
secara bersama.
4.
Hal-hal yang belum diatur dalam tata tertib ini, akan diatur lebih
lanjut sesuai dengan kebutuhannya.

LAMPIRAN
I Rincian Anggaran

29

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

Anggaran pelatihan direncanakan sebesar Rp 224.325.000,- (Dua ratus dua


puluh empat juta tiga ratus dua puluh lima ribu rupiah). Biaya tersebut digunakan
untuk biaya makalah/modul, alat tulis, uang lelah panitia, sewa penginapan, tas,
kaos olahraga, penggandaan laporan, sertificat, uang lelah instruktur, transportasi
dan akomodasi bagi instruktur. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:

1.
2.
3.

Uang lelah tenaga instruktur


Uang lelah tenaga panitia
Materi pelatihan (hand out, tas,

5 x 7 x 3000.000
6 x 7 x 500.000
180 x 350.000

105.000.000
21.000.000
63.000.000

11 x 7 x 300.000
11 x 75.000

23.100.000
825.000
3.400.000
8.000.000
224.325.000

buku pelatihan, alat tulis, kaos


4.
5.
6.
7.
8.

olahraga, dan sertifikat)


Penginapan instruktur dan panitia
Akomodasi
Penggandaan laporan
Perlengkapan pelatihan
Jumlah

II Jadwal Acara
Hari I
No.
Pukul
1.
06.30-07.30
2.
07.30-08.00
3.
08.00-09.00
30

Acara
Presensi
Pembukaan
Pre-Test

Penanggung Jawab
Panitia dan Pemerintah daerah
Panitia
Panitia

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

09.00-12.00
12.00-13.00
13.00-15.00
15.00-17.00
17.00-18.30
18.30-19.00
19.00-23.00

Sharing Experience
ISHOMA
Mitigasi
Mitigasi
ISHOMA
Pembagian Kelompok
Perkenalan dan penugasan

Panitia
Panitia
BNPP
Panitia dan IFRC
Panitia
Panitia
Panitia

kelompok

Hari II
No.
Pukul
1.
06.30-07.30
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Acara
Presensi dan Pengumpulan

Penanggung Jawab
Panitia

07.30-08.00
08.00-10.00
10.00-12.00
12.00-13.00
13.00-15.00
15.00-17.00
17.00-18.30
18.30-20.00

tugas kelompok
Review Mitigasi
Pentagon Capital
Studi kasus
ISHOMA
Studi Kasus
Penugasan Kelompok
ISHOMA
Pengumpulan dan Pembahasan

Panitia dan IFRC


UNEP
Panitia dan UNEP
Panitia
IFRC
Panitia, UNEP dan IFRC
Panitia
Panitia, UNEP dan IFRC

20.00-23.00

Tugas Kelompok
Penugasan kelompok

Panitia dan IOM

Hari III
No.
1.

Pukul
06.30-07.30

Acara
Presensi dan Pengumpulan

Penanggung Jawab
Panitia

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

07.30-08.00
08.00-10.00
10.00-12.00
12.00-13.00
13.00-15.00
15.00-17.00
17.00-18.30
18.30-20.00

tugas kelompok
Review Pentagon Capital
Pemetaan Kapasitas Lokal
Studi kasus
ISHOMA
Studi Kasus
Penugasan Kelompok
ISHOMA
Pengumpulan dan

Panitia dan UNEP


IOM dan BNPP
Panitia, IOM dan BNPP
Panitia
Panitia, IOM dan BNPP
Panitia, IOM dan BNPP
Panitia
Panitia, IOM dan BNPP

Pembahasan Tugas
10.

20.00-23.00

Kelompok
Pembubaran, dan
pembentukan kelompok

31

Panitia, Psikolog, dokter, PMI

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

baru, serta penugasan


kelompok

Hari IV
No.
1.

Pukul
06.30-07.30

Acara
Presensi dan Pengumpulan

Penanggung Jawab
Panitia

2.

07.30-08.00

tugas kelompok
Review pemetaan kapasitas

Panitia, IOM dan BNPP

3.

08.00-10.00

Lokal
Kondisi korban yang dapat

Panitia, Psikolog, dokter, PMI

10.00-12.00

diselamatkan
Penanganan pertama pasca

Panitia, Psikolog, dokter, PMI

12.00-13.00
13.00-15.00
15.00-17.00
17.00-18.30
18.30-20.00
20.00-23.00

bencana
ISHOMA
Studi Kasus
Simulasi
ISHOMA
Simulasi
Penugasan kelompok

Panitia
Panitia, Psikolog, dokter, PMI
Panitia, Psikolog, dokter, PMI
Panitia
Panitia, Psikolog, dokter, PMI
Panitia, Psikolog, dokter, PMI

4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Hari V
No.
1.
2.

Pukul
06.30-07.30

Acara
Presensi dan Pengumpulan

Penanggung Jawab
Panitia

07.30-08.00

tugas kelompok
Review kondisi korban yang

Panitia, Psikolog, dokter,

dapat diselamatkan dan

PMI

penanganan pertama pasca


08.00-10.00

bencana
Halangan dan tantangan

Panitia, IFRC, IOM, UNEP

4.

10.00-12.00

lapangan
Halangan dan tantangan

PMI, BNPP, BASARNAS

5.
6.
7.
8.

12.00-13.00
13.00-15.00
15.00-17.00
17.00-18.30

lapangan
ISHOMA
Studi Kasus
Simulasi
ISHOMA

Panitia
Panitia, IFRC, IOM, UNEP
Panitia, IFRC, IOM, UNEP
Panitia

3.

32

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

9.
10.
11.

18.30-20.00
20.00-22.00
22.00-23.00

Studi kasus
Simulasi
Pembubaran kelompok dan

PMI, BNPP, BASARNAS


PMI, BNPP, BASARNAS
Panitia

pembentukan kelompok baru,


serta penugasan kelompok

Hari VI
No.
Pukul
1.
06.30-07.30
2.
07.30-08.30

Acara
Presensi
Pengumpulan tugas

Penanggung Jawab
Panitia
Panitia

3.

08.30-10.00

kelompok
Pembahasan Tugas

Panitia

10.00-12.00
12.00-13.00
13.00-15.00
15.00-17.00
17.00-18.30
18.30-21.00
21.00-23.00

kelompok
Studi Kasus
ISHOMA
Studi Kasus
Simulasi
ISHOMA
Sharing Experience
Post-Test

PMI, BNPP, BASARNAS


Panitia
PMI, BNPP, BASARNAS
PMI, BNPP, BASARNAS
Panitia
Panitia
Panitia

Acara
Presensi
Simulasi
Skill Berkomunikasi
ISHOMA
Sharing Experience
Penutup

Penanggung Jawab
Panitia
Panitia
Panitia dan Psikolog
Panitia
Panitia
Panitia

4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Hari VII
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pukul
06.30-07.30
07.30-10.00
10.00-12.00
12.00-13.00
13.00-15.00
15.00-17.00

33

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

III

34

Modul Pelatihan
Tanggap Bencana
Johanes Catur Wahyu Putranto

35

You might also like