You are on page 1of 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis
a. Pengertian
Tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium Tuberculosis ), sebagian besar kuman TB menyerang paru paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. (Joko Suryo, 2010 : 49)
Tuberculosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri tahan asam atau
M. tuberculosis serta dapat bertahan dalam tubuh manusia selama bertahun
tahun.Penyakit ini ditularkan melalui droplet yang mengandung basil tersebut (airbone
disease) yang bergantung pada berapa banyak tuberkel yang diinhalasi dan pertahanan
tubuh dari individu yang terinfeksi (resisten penjamu). (departemen farmakologi fakultas
kedokteran universitas sriwijaya, 2008 :648)
b. Penyebab
Adapun penyebab tuberculosis (TB) adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman
bebentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/m dan tebal 0,3-0,6/ m.
Karakteristik Mycobacterium tuberculosis :

Sebagian besar struktur organisme ini terdiri atas asam lemak (lipid) yang membuat
mikobakterium lebih tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap gangguan kimia dan

fisik,
Mikobakterium ini tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat
tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat
dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan

tuberkulosis aktif kembali.


Sifat lain kuman adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi
jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan bagian apikal paru-

paru lebih tinggi dari pada bagian lainnya, sehingga bagian apikal ini merupakan

tempat predileksi penyakit tuberkulosis.


Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalsi basil yang mengandung droplet
nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB dengan batuk berdarah atau berdahak
yang mengandung basil tahan asam (BTA).
(Price & Wilson, 2005; Suzanne C. Smeltzer, Brenda G. Bare, 2001: 83-85).

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian tuberculosis


Adapun faktor yang memengaruhi kejadian tuberkulosis diantaranya :
a. Faktor intrinsik
1)

Umur.
Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di
Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu
15-50 tahun.

2)

Jenis Kelamin.
TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena lakilaki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan
terjangkitnya TB paru.

3)

Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang
diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan
penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan
mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu tingkat
pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya.

4)

Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu.
Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah

terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan


kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya
gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru.
5)

Kebiasaan Merokok
Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB
Paru.

6) Status Gizi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai
resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan orang yang status
gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap
kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap penyakit. Status gizi,
ini merupakan faktor yang penting dalam timbulnya penyakit tuberculosis.
7) Pengetahuan
Pengetahuan seseorang akan TB Paru akan berakibat pada sikap orang tersebut untuk
bagaimana manjaga dirinya tidak terkena TB Paru. Dari sikap tersebut akan
mempengaruhi perilaku seseorang untuk dapat terhindar dari TB Paru.
8) Perilaku
(Corwin, 2009)

d. Tanda dan gejala


a. Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza.Tetapi kadang-kadang panas badan
mencapai 40-410C.Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian
dapat timbul kemabali.Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam influenza ini,
sehingga passion tidak pernah terbebas dari seranagn influenza.Keadaan ini sangat
mempengaruhi kekebalan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman
tuberculosis yang masuk.
b. Batuk/Batuk Darah
Gejala ini banyak ditemukan.Batuk terjadi karena adanya iritasi pada brokus, batuk
ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya
bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah

penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau


berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (nonproduktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan
sputum).Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh
darah yang pecah.Kebanyakan batuk darah pada tuberculosis terjadi pada kavitas,
tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
c. Sesak napas
Pola penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak napas
akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi
setengah bagian paru.
d. Nyeri dada
Gejala ini agak jarang ditemukan.Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah
samapai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.Terjadi gesekan kedua pleura
sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.
e. Malaise
Penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise erring ditemukan
berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit
kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dll. Gejala malaise ini makin lama makin
berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
e. Pemeriksaan
Adapun pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnose Tb yaitu dibagi
menjadi 2 :
1.
2.

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang

Berikut merupakan penjelasan terperinci mengenai pemeriksaan tersebut.


Pemeriksaan fisik pada klien TB paru meliputi pemeriksaan fisik umum per system dari
observasi dan keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1 (breathing), B2 (blood), B3
(brain), B4 (bladder), B5 (bowel), B6 (bone) serta pemeriksaan yang focus pada B2 dan
pemeriksaan menyeluruh system pernapasan.
a. Keadaan Umum dan Pemeriksaan Tanda-Tanda Vital
Keadaan umum pada klien dengan TB paru dapat dilakukan secara selitis pandang dengan
menilai keadaan fisik tiap bagian tubuh. Seorang perawat harus mengetahui konsep

anatomi fisiologi umu sehingga dengan dengan cepat dapat menilai keadaan umum ,
kesadaran, dan pengukuran GCS bila kesadaran klien menurun.
Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan TB paru biasanya didapatkan
peningkatan suhu tubuh secra signifikan, frekuensi napas meningkat apabial disertai sasak
napas, denyut nadi meningkat dan tekanan darah.
b. B1 (breathing)
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru merupakan pemeriksaan fokus yang terdiri

dari inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi


Inspeksi
Bentuk dada dan gerakan pernapasan
Sekilas pandang klien dengan TB paru baisanya tampak kurus sehingga terlihat adanya
penurunan proporsi diameter bentuk dada antero-posterior dibandingkan proporsi
lateral.Apabila ada penyulit dari TB paru seperti adanya efusi pleura yang massif, maka
terlihat adanya ketidaksimetrisan rongga dada, pelebaran intercostals space (ICS) pada sisi
yang sakit. TB paru yang disertai atelaktasis paru membuat bentuk dada menjadi tidak
simetris, yang membuat penderitanya mengalami penyempitan intercosta space (ICS)
pada sisi yang sakit.
Pada klien dengan TB paru minimal dan tanpa komplikasi, biasanya gerakan pernapasan
tidak mengalami perubahan. Meskipun demikian, jika terdapat kompilkasi yang
melibatkan kerusakan luas pada parenkim paru biasanya klien akan terlihat mengalami
sesak napas, peningkatan frekuensi napas, dan penggunaan otot bantu pernapasan.
Batuk dan sputum
Saat melakukan pengkajian batuk pada klien dengan TB paru, biasanya didapatkan batuk
produktif yang disertai adanya yang disertai adanya peningkatan produksi secret dan
sekresi sputum yang purulen.Periksa jumlah produksi sputum, terutama apabial TB paru
disertai adanya bronkhiektasis yang membuat klien mengalami peningkatan produksi

sputum.
Palpasi
Palpasi trachea
Adanay pergesaran trachea menandakan adanya gangguan penyakit pada lobus atas paru.
Pada TB paru yang disertai adanya efusi pleura massif dan pneumothoraks akan
mendorong posisi trachea kearah berlawanan kesisi sakit.
Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernapasan

TB paru tanpa komplikasi pada saat dilakukan palpasi, gerakan dada saat pernapasan
biasanya normal dan seimbang antara bagian kanan dan kiri.Adanya penurunan gerakan
dinding pernapasan biasanya dietmukan pada klien TB paru dengan kerusakan parenkim
paru yang luas.
Getaran suara (fremitus vocal)
Getaran yang terasa ketika perawat meletakkan tangannya di dada klien saat klien
berbicara adalah bunyi yang dibangkitkan oleh penjalaran dalam laring arah distal
sepanjang pohon bronchial untuk membuat dinding dada dalam gerakan resonan, terutama
pada bunyi konsonan.Kapasitas merasakan bunyi dada disebut taktil fremitus.Adanya
penurunan taktil fremitus pada klien dengan TB paru biasanya ditemukan pada klien yang
disertai komplikasi efusi pleura massif, sehingga hantaran suara menurun karena transmisi
getaran suara harus melewati cairan yang berakumolasi di rongga pleura.

Perkusi
Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya akan didapatkan bunyi
resonan atau sonor pada seluruh lapang paru. Pada klien dengan TB paru yang disertai
komplikasi seperti efusi pleura akan didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang
sakit sesaui banyaknya akumulasi cairan di rongga pleura. Apabila disertai
pneumothoraks, maka didapatkan bunyi hiperresonan terutama jika pneumothoraks ventil

yang mendorong posisi paru kesisi yang sehat.


Auskultasi
Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan (ronkhi) pada posisi yang
sakit.Penting bagi perawat memeriksa untuk mendokumentasikan hasil askultasi didaerah
mana didapatkan adanya ronhki.Bunyi yang terdengar melaui stetoskop ketiak klien
berbicara disebut dengan resonan vocal. Klien dengan TB paru yang disertai komplikasi
seperti efusi pleura dan pneumothoraks akan didapatkan penurunan resonan vocal pada

sisi yang sakit.


c. B2 (blood)
Pada klien dengan TB paru pengkajian yang didapat meliputi :
- Inspeksi
: inspeksi tentang adanya parut dan keluhan kelemahan fisik
- Palpasi
: denyut nadi perifer melemah
- Perkusi
: batas jantung mengalami pergeseran pada TB paru dengan efusi pleura
-

massif mendorong ke sisi sehat.


Auskultasi : tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung tambahan biasanya tidak
didapatkan.

d. B3 (brain)
Kesadaran biasanya compos mentes, ditemukan adanya sianosis perifer apabila gangguan
perfusi jaringan berat.Pada pengkajian objektif, klien tampak dengan wajah meringis,
merintih meregang dan mengeliat.Saat dilakukan pengkajian pada mata, biasanya
didapatkan adanya konjungtiva anemis pada TB paru dengan hemoptoe massif dan
kronis, dan sclera ikterik pada TB paru dengan gangguan fungsi hati.
e.

B4 (bladder)
Pengukuran volume akut urine berhubungan denga intake cairan.Oleh karena itu, perawat
perlu memonitor adanay oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari
syok.Klien diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang berwarna jingga pekat dan
berbau yang menandakan fungsi ginjal masih normal sebagai ekskresi sebagai meminum

OAT terutama Rimfampisin.


f. B5 (bowel)
Klien biasanya mengalami mual, muntah penurunan nafsu makan, dan penurunan berat
badan.
g. B6 (bone)
Aktivitas sehari-hari berkuarang banyak pada klien dengan TB paru. Gejala yang muncul
antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup menetap dan jadwal olahraga
menjadi tidak teratur.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnose TB yaitu :
a) Aksi Tes Tuberkulin Intradermal ( Mantoux).
Tes mantoux adalah dengan menyuntikan tuberculin (PPD) sebanyak 0,1 ml mengandung
5 unit (TU) tuberculin secara intrakutan pada sepertiga atas permukaan volar atau dorsal
lengan bawah setelah kulit dibesihkan dengan lalkohol. Untuk memperoleh reaksi kulit
yang maksimal diperlukna waktu antara 48 sampai 72 jam sesudah penyuntikan dan reaksi
harus dibaca dalam peiode tersebut. Interpretasi tes kulit menunjukan adanay beberapa
tipe reaksi :
Indurasi 5 mm diklasifikasikan positif dalam kelompok berikut ;
-

Orang dengan HIV positif.

Baru-baru ini kontak dengan orang yang menderita TB.

Orang dengan perubahan fibrotic pada radigrafi dada yang sesuai dengan
gambaran TB lama yang sudah sembuh.

Pasien yang menjalani tranplanstasi organ dan pasien yang mengalami penekanan
imunitas ( menerima setara dengan 15 mg/hari prednisone selama 1 bulan).

Indurasi 10 mm diklasifikasikan positif dalam kelompok berikut :


-

Baru tuba ( 5 tahun ) dari Negara yang berprevalensi tinggi.

Pemakai obat-obat yang disuntikkan.

Penduduk dan pekerja yang berkumpul pada lingkungan yang berisiko tinggi.
Penjara, rumah-rumah perawatan, panti jompo, fasilitas yang disiapkan untuk
pasien dengan AIDS, dan penampungan untuk tuna wisma/

Pengawai laboratorium mikrobakteriologi.

Orang dengan keadaan klinis pada daerah mereka yang berisioko tinggi.

Anak di bawa usia 4 tahun atau anak-anak dan remaja yang terpajan orang dewasa
kelompok risiko tinggi.

Indurasi 15 mm diklasifikasikan positif dalam kelompok berikut :


-

Orang dengan factor risiko TB.

Target program-program tes kulit seharusnya hanya dilakukan di anatara kelompok


risiko tinggi.

(Price,2005:855)
b) Pemeriksaan Bakteriologik (Sputum)
Pemeriksaan dapat memperkirakan jumlah basil tahan asam (BTA) yang terdapat pada
sediaan. Sediaan yang positif memberikan petunjuk awal untuk menekakan diagnose,
tetapi suatu sediaan yang negative tidak menyingkirkan kemungkinan adanya infeksi
penyakit. Pemeriksaan biakan harus dilakukan pada semua biakan.Mikrobakteri akan
tumbuh lambat dan membutuhkan suatu sediaan kompleks. Koloni matur akan berwarna
krem atau kekuningan, seperti kulit dan bentuknya seperti kembang kol. Jumlah sekecil 10
bakteri/ml media konsentrasi yang telah diolah dapat dideteksi oleh media biakan
ini(Price,2005:857).
Adapun klasifikasi TBC setelah dilakukannya pemeriksaan BTA yaitu :
1. TBC paru BTA positif
Kriteria :
a. Sekurang kurangnya 2 dari 3 pemeriksaan dahak SPS memberikan hasil positif

b. Satu specimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberculosis
c. Satu specimen dahak SPS hasilnya positif dan biakan kuman tuberculosis positif
d. Satu atau lebih specimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negative dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT
2. TBC paru BTA negative
Kasus yang tidak memenuhi definisi dari pada tuberculosis paru pada BTA positif.
Kriteria diagnostic tuberculosis paru BTA negative harus meliputi :
a. Paling tidak specimen dahak SPS hasilnya negative
b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberculosis
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotic non OAT
d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan
Catatan : pengambilan specimen dilakukan yaitu dalam 3 periode, Sewaktu-PagiSewaktu ( SPS ).
(Departemen Kesehatan RI, 2008)
c) Vaksinasi BCG
Vaksinasi dengan BCG biasanya menimbulkan sensitivitas terhadapa tes tuberculin.
Derajat sensitivitas biasanya bervariasi, bergantubg pada strain BCG yang dipakai dan
populasi yang divaksinasi(Price,2005: 856).
d) Pemeriksaan Radiologi
Rongten dada biasanya menunjukan lesi pada losus atas atau superior lobus bawah/ dapat
juga terlihat adanya pembentukan kavitas dan gambaran penyakit yang menyebar yang
biasanya bilateral(Price, 2005 : 856).
e) Pemeriksaan lain-lain
Ziehl Neelsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan darah)
positif untuk basil asam cepat.

Histologi atau kultur jaringan ( termasuk pembersihan gaster ; urine dan cairan
serebrospinal, biopsi kulit ) positif untuk mycobakterium tuberkulosis.
Biopsi jarum pada jaringan paru, positif untuk granula TB ; adanya sel raksasa
menunjukan nekrosis.
Elektrosit dapat tidak normal tergantung lokasi dan bertanya infeksi ; ex.
Hyponaremia, karena retensi air tidak normal, didapat pada TB paru luas. GDA dapat
tidak normal tergantung lokasi, berat dan kerusakan sisa pada paru.
Pemeriksaan fungsi pada paru, penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang mati,
peningkatan rasio udara resido dan kapasitas paru total dan penurunan saturasi oksigen
sekunder terhadap infiltrasi parenkhim / fibrosis, kehilangan jaringan paru dan
penyakit pleural (TB paru kronis luas)
(Doegoes,2000: 241-242)

f. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pada penderita TB paru selain mengobati, juga untuk mencegah
kematian, kekambuhan, resistensi terhadap OAT, serta memutuskan mata rantai
penularan.Untuk penatalaksanaan pengobatan tuberculosis paru, berikut ini adalah beberapa
hal yang penting untuk diketahui.
Mekanisme kerja obat anti tuberkulosis (OAT) :
a) Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat.

Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin(R) dan Streptomisin (S)

Intraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin dan Isoniazid (INH).

b) Aktivitas sterilisasi, terhadap the persisters (bakteri semidormant).

Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin dan Isoniazid.

Intraseluler, untuk slowly growing bacilli digunakan Rifampisin dan Isoniazid. Untuk
very slowly growing bacilli, digunakan Pirazinamid (Z).

c) Aktivitas bakteriostatis, obat obatan yang mempunyai aktivitas bakteriostatis terhadap


bakteri tahan asam.

Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Etambutol (E), asam para amino
salisilik (PAS) dan sikloserine.

Intraseluler, kemungkinan masih dapat dimusnahkan oleh Isoniazid dalam keadaan


telah terjadi resistensi sekunder.

Pengobatan tuberculosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2 3 bulan) dan fase
lanjutan (4 7 bulan).Panduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan obat
tambahan.Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah
Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Streptomisin, dan Etambutol (Depkes RI, 2004).Untuk
keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu berdasarkan lokasi TB,
berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologi, apusan sputum, dan riwayat
pengobatan sebelumnya.Di samping itu, perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan
TB yang dikenal sebagai Directly Observed Treatment Short Course (DOTSC).
DOTSC yang direkomendasikan oleh WHO terdiri atas lima komponen, yaitu :
1) Adanya komitmen politis berupa dukungan para pengambil keputusan dalam
penanggulangan TB
2) Diagnosis TB melalui pemeriksaan sputum secara mikroskopik langsung, sedangkan
pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis dan kultur dapat
dilaksanakan di unit pelayanan yang memiliki sarana tersebut
3) Pengobatan TB dengan panduan OAT jangka pendek di bawa pengawasan langsung oleh
Pengawas Menelan Obat (PMO), khususnya dalam dua bulan pertama di mana penderita
harus minum obat setiap hari
4) Kesinambungan ketersediaan panduan OAT jangka pendek yang cukup
5) Pencatatan dan pelaporan yang baku.
Rekomendasi Dosis
Obat anti-TB
Esensial

Aksi

Potensi

(mg/kgBB)
per Minggu
per Hari
3x
2x
5
10
15

Isoniazid (INH)

Bakterisidal

Tinggi

Rifampisin (R)

Bakterisidal

Tinggi

10

10

10

Pirazinamid (Z)

Bakterisidal

Rendah

25

35

50

Streptomisin (S)

Bakterisidal

Rendah

15

15

15

Etambutol (E)

Bakteriostatik

Rendah

15

30

45

2.2 Vitamin D3 (Cholecalciferol)


Vitamin D3 atau disebut juga cholecalciferol merupakan salah satu bentuk vitamin D,
sehingga pada dasarnya manfaat vitamin D3 sama dengan manfaat vitamin D. Bentuk
vitamin D3 memiliki kelebihan dibandingkan varian lainnya (vitamin D2 atau
ergocalciferol) karena cara kerjanya yang lebih efektif, sehingga dosis yang dibutuhkan
lebih sedikit.
Secara alami cholecalciferol disintesa pada permukaan kulit dari senyawa 7dehydrocholesterol melalui paparan sinar ultraviolet B dari cahaya matahari. Proses ini
mencapai kesetimbangan dalam beberapa menit, bergantung pada beberapa faktor seperti
kondisi cahaya matahari, usia kulit, dan warna kulit. Cholecalciferol kemudian mengalami
proses hidroksilasi pada hati, membentuk calcifediol. Calcifediol yang terkandung dalam
darah biasanya digunakan untuk menentukan jumlah vitamin D3 yang diproduksi pada kulit,
atau jumlah vitamin D2 dan D3 yang terserap dalam tubuh. Calcifediol kemudian
mengalami proses hidroksilasi pada ginjal membentuk calcitriol, yang merupakan bentuk
hormon aktif dari vitamin D3.
Dalam skala industri, Vitamin D3 diproduksi untuk digunakan sebagai suplemen, baik
dalam bentuk krim maupun suplemen makanan. Vitamin D3 diproduksi dengan
memaparkan sinar ultraviolet pada senyawa 7-dehydrocholesterol yang diekstrak dari
lanolin yang ditemukan pada bulu domba. Dibandingkan dengan vitamin D2 yang
diproduksi dari paparan ultraviolet pada sejenis jamur, vitamin D3 lebih aman karena
memiliki efek samping yang lebih sedikit.
Dengan efek samping yang minimal, vitamin D3 sangat disarankan untuk mengobati
penyakit kulit. Manfaat vitamin D3 terutama adalah untuk pengobatan psoriasis. Psoriasis
merupakan penyakit kulit dengan gejala kulit gatal dan bersisik. Penyembuhan psoriasis
dilakukan dengan aplikasi topikal krim vitamin D, atau dengan mengonsumsi suplemen
vitamin D. Vitamin D3 memiliki sifat anti-inflamasi yang sangat kuat, sehingga krim atau

lotion yang mengandung vitamin D3 sangat efektif dalam mengobati luka bakar, luka kulit,
dan kerusakan. Selain itu, efek antioksidan yang terkandung dalam vitamin D bermanfaat
untuk mencegah kerusakan kulit dan penuaan dini pada kulit, terutama jika dikonsumsi
melalui suplemen atau diet.
Sumber terbaik vitamin D adalah sinar matahari, yang akan merangsang tubuh
memproduksi vitamin D. Sinar ultraviolet yang terkandung pada sinar matahari dapat
mengubah vitamin D inaktif pada tubuh menjadi aktif, termasuk mengubah cholecalciferol
menjadi calcitriol yang merupakan bentuk hormon aktif dari vitamin D3. Untuk
memperoleh manfaat vitamin D3 secara maksimal, sangat disarankan untuk mandi sinar
matahari. Produksi vitamin D3 melalui paparan sinar matahari tidak memiliki resiko
kelebihan asupan vitamin D3 (hipervitaminosis D3), karena pada satu titik produksi
konsentrasi cholecalciferol pada kulit akan mencapai kesetimbangan, sehingga jika terdapat
kelebihan produksi cholecalciferol akan terurai dengan sendirinya. Namun karena paparan
sinar matahari berlebihan dapat meningkatkan risiko kanker kulit, maka mandi sinar
matahari ini sebaiknya dilakukan dalam waktu terbatas, antara 10 hingga 15 menit per hari.
2.3 Interferon
Interferon adalah protein yang diproduksi secara alami oleh sel di dalam tubuh untuk
melindungi tubuh dari serangan berbagai penyakit, contohnya pada sel-sel darah putih, selsel pembunuh alami, fibroblast-fibroblast, dan sel-sel epithelial.
Tubuh secara alamiah dapat membentuk tiga macam interferon, yaitu interferon alpha, beta,
dan gamma. Dilihat dari struktur tiga dimensinya, interferon alpha dan beta memiliki
kemiripan (homology) yang tinggi dan sering dinamakan interferon I. Sementara itu,
interferon gamma memiliki struktur yang berbeda dan biasanya juga disebut interferon II.
Interferon diproduksi oleh tubuh bila mendapat serangan dari berbagai agen penyakit.
Namun, umumnya jumlah yang diproduksi tidak mencukupi untuk melawan agen penyakit
yang berkembang biak sangat cepat. Karena itu, suplai interferon dari luar diperlukan.
Karena itu interferon kemudian dijadikan sebagai jenis terapi yang termasuk ke dalam jenis

imunoterapi (immunotherapy). Inilah yang menjadi ide awal penggunaan interferon sebagai
obat.
Interferon awalnya dikembangkan untuk terapi kanker. Tapi, saat ini, selain untuk terapi
kanker, interferon digunakan untuk terapi berbagai penyakit, termasuk hepatitis B dan
hepatitis C. Untuk beberapa penyakit yang belum ditemukan obatnya, interferon juga menjadi
alternatif utama walaupun tingkat penyembuhannya tidak begitu tinggi. Untuk terapi
hepatitis , misalnya, efektivitasnya tidak lebih dari 30 persen.
Interferon-interferon yang tersedia secara komersial adalah interferon manusia yang dibuat
menggunakan teknologi recombinant DNA. Mekanisme aksi dari interferon adalah sangat
kompleks dan belum dimengerti dengan baik. Interferon-interferon memodulasi respon sistem
imun pada virus-virus, bakteri-bakteri, kanker, dan senyawa-senyawa asing lain yang
menyerang tubuh.
Meskipun interferon adalah sangat serupa, namun pengaruhnya terhadap tubuh bisa sangat
berbeda. Oleh karenanya, interferon yang berbeda digunakan untuk kondisi yang berbeda
pula. Sebagai contoh Interferon alpha digunakan untuk merawat penyakit kanker dan infeksiinfeksi virus; interferon beta digunakan untuk merawat multiple sclerosis; dan interferon
gamma digunakan untuk merawat penyakit granulomatous kronis.
Produk di pasar dapat berupa interfern tunggal atau di kombinasikan dengan senyawa lain,
berikut contohnya :

Interferon alfa-2a (Roferon-A) disetujui oleh FDA untuk merawat hairy cell leukemia,
AIDS-related Kaposis sarcoma, dan chronic myelogenous leukemia.

Interferon alfa-2b disetujui untuk perawatan dari hairy cell leukemia, malignant
melanoma, condylomata acuminata, AIDS-related Kaposis sarcoma, hepatitis C kronis,
dan hepatitis B kronis.

Ribavirin dikombinasikan dengan interferon alfa-2b, interferon alfacon-1 (Infergen),


pegylated interferon alfa-2b, atau pegylated interferon alpha-2a, semua disetujui untuk
perawatan dari hepatitis C kronis.

Interferon beta-1b (Betaseron) dan interferon beta-1a (Avonex) disetujui untuk perawatan
dari multiple sclerosis.

Interferon alfa-n3 (Alferon-N) disetujui untuk perawatan dari kutil-kutil genital dan
perianal yang disebabkan oleh human papillomavirus (HPV).

Interferon

gamma-1B

(Actimmune)

disetujui

untuk

perawatan

dari

penyakit

granulomatous kronis, dan osteopetrosis yang parah dan berbahaya.


Singkatnya sebagai berikut :
Nama generik
Interferon alpha 2a
Interferon alpha 2b
Human leukocyte Interferon-alpha (HuIFN-alpha-Le)
Interferon beta 1a, liquid form
Interferon beta 1a, lyophilized
Interferon beta 1a, biogeneric (Iran)
Interferon beta 1b
Interferon beta 1b, biosimilar (Iran)
PEGylated interferon alpha 2a
PEGylated interferon alpha 2a (Egypt)
PEGylated interferon alpha 2b
PEGylated interferon alpha 2b plus ribavirin (Canada)

Nama dagang
Roferon A
Intron A/Reliferon/Uniferon
Multiferon
Rebif
Avonex
Cinnovex
Betaseron / Betaferon
ZIFERON
Pegasys
Reiferon Retard
PegIntron
Pegetron

Masalahnya walaupun interferon berfungsi ganda, yaitu melindungi tubuh dari serangan
penyakit dan sekaligus membunuh agen penyebab penyakit, obat ini masih mempunyai
beberapa kelemahan. Pertama adalah adanya efek samping. Penggunaan interferon akan
menimbulkan efek samping berupa gejala demam, termasuk panas dan sakit kepala.

Penggunaan interferon dalam waktu yang lama akan menyebabkan turunnya daya lihat
dan bahkan rontoknya rambut. Kelemahan kedua adalah masa terapi lama bahkan sampai
lebih dari satu tahun. Ini akan menyusahkan pasien karena konsumsi interferon biasanya
melalui infus.
Dan, yang paling menjadi masalah adalah harga interferon yang mahal. Walaupun
berbeda di antara negara-negara, secara umum biaya ini masih termasuk mahal. Contoh,
terapi interferon penyakit hepatitis C selama setahun di Jepang diperlukan biaya USD
7.000. Di negara-negara Eropa tidak jauh berbeda, berkisar USD 4.800 per tahun.

2.4 Radiografi Thorax


Radiografi toraks sederhana adalah pembuatan gambar radiografi toraks dengan
menggunakan sinar-X energirendah (KV) dan merekamnya kedalam film dengan tujuan
untuk menegakkan diagnosis penyakit atau kelainan pada toraks . Untuk menegakkan
diagnosis radiografi umumnya dikenal langkah-langkah metodologik untuk memudahkan
pencapaian tujuan agar dapat dicapai nilai diagnosis yang maksimal. Langkah-langkah
tersebut dimulai dengan mengenal radiografi anatomi toraks normal, kemudian mengenal
radiografi anatomi toraks patologi, mengumpulkan data klinik yang lain, selanjutnya
melakukann alisis radiografi, dan kemudian menegakkan diagnosis radiografi. Karena itu
di dalam menegakan diagnosis radiografi harus didasari bukan hanya pengetahuan ilmu
kedokteran dasar baik anatomi, fisiologi, biokimia, dan histology saja, tetapi juga
diperlukan pengetahuan epidemiologic terhadap penyakit-penyakit tertentu. Hal ini akan
sangat membantu menegakkan diagnosis radiografi dengan presisi yang tinggi
dibandingkan jika hanya membaca gambaran radiografi apa adanya. Di sini penulis
membedakan antara membaca dan menganalisa gambar radiografi. Seringkali orang
memandang keliru diagnosis radiografi. Diagnosis radiografi umumnya adalah diagnosis
morfologik terutama radiografi toraks. Di dalam ilmu kedokteran dikenal ada bermacammacam diagnosis diantaranya adalah diagnosis klinik, diagnosis histopatologik, diagnosis
mikrobiologik atau bakteriologik, diagnosis serologik, dan ada juga diagnosis kerja.
Demikian pula diagnosis radiologic hanya terbatas pada morfologik, dan pada radiografi

tertentu juga fungsional. Jadi jika didapat gambar radiografi tuberkulosis primer bukan
berarti Mantoux test harus positip, bakteri tahan asam harus ditemukan di dalam sputum
dan sebagainya, karena dasar diagnosis yang ditegakkan adalah temuan empiric didukung
dengan proses patofisiologik yang sudah dibakukan bahwa gambaran radiografi toraks
tuberkulosis primer adalah demikian itu.
(http://fk.uns.ac.id/static/resensibuku/radiologi_sederhan.pdf)

2.5 Peranan Status Gizi Pada Penderita TB


Status gizi menentukan kesehatan normal tubuh serta semua fungsi sistem pada tubuh
termasuk sistem imun yang bertanggungjawab sebagai pertahanan tubuh dalam berbagai
penyakit infeksi (Dodor, 2008). Salah satu faktor yang mempengaruhi terjangkitnya
penyakit TB adalah status gizi. Status gizi yang buruk akan meningkatkan resiko terhadap
penyakit TB paru. Sebaliknya, penyakit TB paru dapat mempengaruhi status gizi
penderita karena proses perjalanan penyakitnya yang mempengaruhi daya tahan tubuh.
Selain itu, penderita TB yang mengalami kekurangan gizi akan mengakibatkan produksi
antibodi dan limfosit terhambat, sehingga proses penyembuhan akan terhambat pula
(Triwanti, 2005).
Pasien TB sering ditemukan mengalami kehilangan berat badan yang hebat, suatu gejala
yang menjelaskan mengenai penurunan imun seseorang (immuno-suppresive) dan
merupakan penentu utama dari berat dan prognosa penyakit tersebut (Vasantha, 2008).
Mariono (2003) dalam Usman (2008), malnutrisi menyebabkan berat badan berkurang,
kekuatan otot pernapasan berkurang, menurunnya kapasitas ventilasi dan berkuranganya
pertahanan paru sehingga memperburuk kondisi pasien. Kekurangan nutrisi pada
umumnya berkaitan dengan terganggunya respon imun, khususnya fungsi fagosit,
produksi sitokin, respon sekresi antibody, dan sistem komplemen. Ringkasnya
kekurangan nutrisi menyebabkan immudodefisiensi secara umum untuk berbagai
penyakit infeksi termasuk tuberkulosis (Usman, 2008).

Kebanyakan penderita TB adalah kelompok usia produkif (15-55 tahun) secara tidak
langsung penyakit dan status gizi yang buruk akan mempengaruhi produktivitas. Untuk
itu diperlukan dukungan nutrisi yang adekuat sehingga akan mempercepat perbaikan
status gizi dan menignkatkan sistem imun yang dapat mempercepat proses penyembuhan
disamping pemberian obat yang teratur sesuai metode pengobatan TB (Usman, 2008).
Menurut Linder (1991) dalam Usman (2008), gizi secara umum terdiri dari karbohidrat,
lemak, protein, vitamin, dan mineral. Dalam keadan normal gizi dapat tercukupi dari
makanan sehari-hari tetapi dalam kondisi kemiskinan dan penyakit kronis, tidak semua
komponen gizi dapat terpenuhi terutama protein. Kebutuhan protein dalam keadaan
normal 0,8-1 gr/kgBB/hari, dan pada keadaan sakit kebutuhan protein mencapai 1,5-3
gr/kgBB/hari.
Chan (1996) dalam Usman (2008), peranan protein pada pengobatan TB selain
memenuhi kebutuhan gizi, meningkatkan regenerasi jaringan yang rusak juga
mempercepat sterilisasi dari kuman TB.
Linder (1991) dalam Usman (2008), menyatakan dengan memberikan diit Tinggi Kalori
Tinggi Protein (TKTP) dan obat TB pada penderita TB yang di rawat di rumah sakit
didapatkan perbaikan secara klinis berupa peningkatan berat badan, peningkatan kadar
Hb, dan penurunan SGOT, SGPT.
Vasantha (2008), menunjukkan bahwa kenaikan berat badan pengobatan dikaitkan
dengan usia (<45 tahun), di pusat pemerintah, tidak ada riwayat pemakaian obat
sebelumnya. Pada akhir masa intensif pengobatan DOTS, ditemukan perubahan berat
badan pada pasien TB secara signifikan berhubungan status pernikahan, pendapatan per
bulan, tingkat pendidikan, kepercayaan dalam memilih jenis makanan tertentu pada saat
sakit dan porsi makan dalam keluarga. Pada pasien TB laki-laki didapati peningkatan
BMI sedikit lebih tinggi dibandingkan pasien wanita saat pengobatan dimulai (Dodor,
2008). Sedangkan menurut Khan (2006), pasien yang memiliki berat badan rendah pada
saat diagnosis, kenaikan berat badan 5% atau kurang yang terjadi setelah pengobatan dua
bulan (fase intensif) berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya kekambuhan.

Interferon adalah hormon berbentuk sitokina berupa protein berjenis glikoprotein yang disekresi
oleh sel vertebrata karena akibat rangsangan biologis, seperti virus, bakteri, protozoa,
mycoplasma, mitogen, dan senyawa lainnya.[1] Sejarah penemuan interferon dimulai pada tahun
1954 ketika Nagano dan Kojima menemukannya pada virus di kelinci.[1] Tiga tahun kemudian
Isaacs dan Lindenmann berhasil mengisolasi molekul yang serupa dari sel ayam dan molekul
tersebut disebut interferon.[1]

Daftar isi

1 Jenis

2 Fungsi

3 Terapi Interferon

4 Referensi

Jenis
Terdapat tiga kelas interferon yaitu, alfa, beta, dan gamma.[2]

Interferon- dihasilkan oleh leukosit dan berperan sebagai molekul anti-viral.[2]


Penggunaan interferon- untuk perawatan penderita hepatitis B dan hepatitis C dapat
menginduksi hipotiroidisme atau hipertiroidisme, tiroiditis[3] maupun disfungsi kelenjar
tiroid.[4] IFN- memiliki efek anti-proliferatif dan anti-fibrosis pada sel mesenkimal.[5]

Interferon- dihasilkan oleh fibroblas dan dapat bekerja pada hampir semua sel di dalam
tubuh manusia.[2]

Interferon- dihasilkan oleh limfosit sel T pembantu dan hanya bekerja pada sel-sel
tertentu, seperti makrofaga, sel endotelial, fibroblas, sel T sitotoksik, dan limfosit B.[2]
Sifat

IFN Alfa ()

IFN Beta ()

IFN Gamma ()

Nama lain

Leukosit IFN atau Tipe I

Fibroblas IFN atau Tipe I

Imun IFN atau


tipe II

Gen

>20

Stabilitas pH

Stabil

Stabil

Labil

Induser
(pengimbas)

Viruses (RNA>DNA),
dsRNA

Viruses (RNA>DNA),
dsRNA

Antigen, Mitogen

Sumber utama

Leukosit, Epitelium

Fibroblas

Limfosit

Fungsi
Interferon, terutama alfa dan beta memiliki peranan penting dalam pertahanan terhadap infeksi
virus. Senyawa interferon adalah bagian dari sistem imun non-spesifik dan senyawa tersebut
akan terinduksi pada tahap awal infeksi virus, sebelum sistem imun spesifik merespon infeksi
tersebut. Pada saat rangsangan atau stimulus biologis terjadi, sel yang memproduksi interferon
akan mengeluarkannya ke lingkungan sehingga interferon dapat berikatan dengan reseptor sel
target dan menginduksi transkripsi dari 20-30 gen pada sel target. Hal ini menghasilkan keadaaan
anti-virus pada sel target. Aktivasi protein interferon terkadang dapat menimbulkan kematian sel
yang dapat mencegah infeksi lebih lanjut pada sel.[6]

Terapi Interferon
Interferon- dan - telah digunakan untuk penyembuhan berbagai infeksi virus, salah satunya
adalah beberapa hepatitis C dan B tertentu yang bersifat kronis serta akut dapat menggunakan
interferon-. Sementara itu, interferon- yang berperan dalam aktivasi makrofag, digunakan
dalam penyembuhan kusta lepromatosa, toksoplasmosis, dan leisymaniasis. Efek anti-proliferasi
yang dimiliki interferon juga menyebabkan senyawa ini dapat digunakan untuk mengatasi tumor
seperti melanoma dan Sarkoma Kaposi. [6]

Penggunaan interferon pengobatan memang dibatasi karena adanya efek samping berupa
demam, malaise, kelelahan, dan nyeri otot. Selain itu, interferon juga bersifat toksik atau beracun
terhadap hati, ginjal, sumsum tulang, dan jantung.[7]

Referensi
1.

^ a b c (Inggris) P. KONTSEK, E. KONTSEKOV (1997). "FORTY YEARS OF


INTERFERON". Acta virologica 41: 349353. Diakses 15 Juni 2010.

2.

^ a b c d (Inggris) Larry W. Moreland (2004). Rheumatology and immunology


therapy: A to Z essentials. Springer. ISBN 978-3-540-20625-5.Page.473-476

3.

^ (Inggris) "Autoimmunity and thyroid function in patients with chronic active


hepatitis treated with recombinant interferon alpha-2a.". Istituti di Scienze Endocrine,
Medicina Interna-Malattie Infettive-Immunopatologia; Preziati D, La Rosa L, Covini G,
Marcelli R, Rescalli S, Persani L, Del Ninno E, Meroni PL, Colombo M, Beck-Peccoz P.
Diakses 2010-08-01.

4.

^ (Inggris) "Autoimmune thyroid dysfunction induced by interferon-alpha


treatment for chronic hepatitis C: screening and monitoring recommendations.".
Department of Internal Medicine, Maine Medical Center; Ward DL, Bing-You RG.
Diakses 2010-08-01.

5.

^ (Inggris)"TREATMENT OF LIVER FIBROSIS: FROM BENCH TO


BEDSIDE". Department of Medicine I, University of Erlangen-Nuerberg; D. Schuppan.
Diakses 2010-12-10.

6.

^ a b INTERFERON. University of South Carolina School of Medicine.

7.

^ VIROLOGY - CHAPTER TWELVE: VIRUS-HOST INTERACTIONS . Gene


Mayer.

Jahja Teguh Widjaja ; Suria Sumantri ; Ida Parwati ; Yelliantti ;


Universitas Kristen Maranatha Lembaga Peneltian dan Pengabdian Kepada
Institusi
Masyarakat
Tahun Terbit
2010
Kode Panggil

Subyek
Sari

Meskipun penyakit tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi yang menular,

tidak semua orang yang terpapar dengan bakteri M. tuberculosis akan


menjadi sakit. Faktor utama yang menentukan kerentanan seseorang apakah
akan menjadi sakit atau tidak adalah sistim imunitas selulernya. Agar respon
imunitas seluler ini dapat bekerja dengan baik selain diperlukan IFN-
sebagai mediator atau aktivator utama juga diperlukan Reseptor IFN- di
permukaan sel-sel mononuklear peredaran darah perifer yang berfungsi
dengan baik. Polimorfisme pada gen reseptor IFN- berhubungan erat
dengan kerentanan individu terhadap infeksi TB. Penelitian ini
dimaksudkan untuk menganalisa karakter polimorfisme pada reseptor IFN-
yang terdapat pada populasi masyarakat Indonesia dengan mengambil
sampel darah tepi penderita TB di RS Immanuel Bandung. Penelitian ini
menggunakan metode Observasional Analitik dengan rancangan potong
silang (Cross Sectional) yang membandingkan nilai kadar IFN- , fungsi
reseptor IFN- , dan polimorfisme gen reseptor IFN- pada permukaan selsel mononuklear darah perifer penderita Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan
orang kontak sehat. Subjek yang dipilih sebagai kontak sehat adalah
pasangan hidup penderita yang telah tinggal bersama minimal satu tahun.
Penelitian dilakukan di RS Immanuel Bandung, pada bulan Januari ?
Desember 2010. Pemilihan subyek penelitian dilakukan berdasarkan teknik
Consecutive Sampling atau Purposive Sampling. Berdasarkan cara ini setiap
pasien yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan sebagai subyek
sampai jumlah yang diperlukan terpenuhi. Perhitungan jumlah sampel
dengan Hypothesis tests for two population proportions (two-sided test)
mendapatkan 30 subyek untuk tiap kelompok sehingga total menjadi 60
subyek. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya adanya penurunan nilai
fungsi reseptor interferon gamma pada pasien TB dibandingkan dengan
kontak sehat. DItemukan adanya polimorfisme pada promotor gen reseptor
interferon gamma. Selain itu, penggunaan HRM berpotensi menjadi alat
deteksi dan diagnostic kerentanan seseorang mengalami penyakit
tuberculosis.
Lokasi
Daftar Pustaka
Bidang Ilmu : Rekayasa | Akses Terahir : 2013-12-29 | | Hits : 145/
Copyright
2011.
All
Right
Kementerian

Negara

Riset

dan

Teknologi

Reserved
Republik

Indonesia

Asisten Deputi Data dan Informasi Iptek


DAFTAR PUSTAKA
Bare & Suzanne, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 1, (Edisi 8).Jakarta :
EGC

Effendi, Nasrul. 1998. Dasar Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat Ed. 2.Jakarta : EGC
Guyton&Hall.2006.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Jakarta:EGC
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29778/4/Chapter%20II.pdf.Tuberculosis.
Diakses pada tanggal 24 Desember 2013
Joanne & Gloria. 2004. Nursing Intervension Classification Fourth Edition, USA : Mosby
Elsevier
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua. Jakarta : Media
Aesculapius.
Muttaqin, Arif. 2010. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan.Jakarta : Salemba Medika
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Vol 1.
Jakarta: EGC
Somantri, Irman. 2007. Keperawatan Medical Bedah: Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan
Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba medika
Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2008.
Kumpulan Kuliah Farmakologi Ed. 2.Jakarta : EGC
Suryo, Joko. 2010. Herbal Penyembuh Gangguan Sistem Pernapasan. Yogjakarta : B First
Y. Laban, dr. Yoannes. 2008. TBC Penyakit dan Cara Pencegahannya. Yogjakarta: Kanisius
Yasmin Asih, S. Kep , Ni luh Gede. 2003. Keperawatan Medical Bedah : Klien dengan
Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta : EGC

You might also like