You are on page 1of 30

BAB I

PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang masih menjadi
permasalahan di dunia kesehatan hingga saat ini. World Health Organization
(WHO) melaporkan dalam Global Tuberculosis Report 2013, pada tahun 2012
diperkirakan ada 8,6 juta kasus insiden TB di dunia, setara dengan 122 kasus per
100.000 penduduk. Sebagian besar terjadi di Asia (58%) dan Afrika (27%),
proporsi lebih kecil terjadi di daerah Mediterania Timur (8%), Eropa (4%) dan
Amerika (3%). Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-4 di
dunia setelah India, Cina dan Afrika Selatan.1,2
Tuberkulosis tidak hanya menyumbang proporsi yang signifikan dalam
beban penyakit global, juga merupakan kontributor yang signifikan untuk
kematian ibu, merupakan salah satu penyakit dari tiga penyebab utama kematian
di kalangan wanita usia 15 - 45 tahun. Angka insiden TB pada kehamilan tidak
tersedia di banyak negara karena banyak faktor perancu. Namun demikian,
diperkirakan bahwa kejadian TB pada wanita hamil akan sama tingginya pada
populasi umum, dengan kejadian mungkin lebih tinggi di negara berkembang.3
Pada tahun 2011 Indonesia (dengan 0,38-0,54 juta kasus) menempati
urutan keempat setelah India, Cina, dan Afrika Selatan. Indonesia belum
mempunyai data prevalensi TB pada perempuan hamil. Di poliklinik tuberkulosis
Persatuan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) tahun 2006 dan 2007
terdapat 0,2% perempuan hamil yang mengidap TB. Angka tersebut sebanding
dengan prevalensi TB pada masyarakat umum. Untuk itu diasumsikan bahwa
penyebaran TB pada perempuan hamil minimal tidak berbeda dengan sebaran di
kalangan masyarakat. Oleh karena itu usaha penapisan seharusnya dapat
dilakukan pada populasi perempuan hamil mengingat resiko yang lebih tinggi
yang akan didapat oleh ibu dan janin.1,4
Pada perempuan hamil TB memberi pengaruh pada kehamilan dan janin
terkait dengan keterlambatan pengobatan. Lebih dari 90% perempuan hamil
dengan TB aktif muncul dari populasi perempuan hamil dengan infeksi
tuberkulosis yang tidak diobati. Mortalitas perinatal pada perempuan hamil yang

menderita TB enam kali lebih tinggi jika dibandingkan kontrol dengan insidens
prematuritas dan berat badan lahir rendah meningkat dua kali lipat. Diagnosis dan
pengobatan yang terlambat berhubungan dengan meningkatnya morbiditas ibu
empat kali lebih tinggi.4

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang menular dan dapat
menyerang berbagai organ dalam tubuh, dan terutama menyerang paru. Infeksi
ini disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis dalam kehamilan
merupakan tuberkulosis yang dijumpai dalam masa kehamilan.4
2.2 EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan di dunia demikian juga
tuberkulosis pada kehamilan. Menurut World Health Organization (WHO),
insidens TB pada tahun 2008 adalah 9,4 juta dan 3,6 juta di antaranya menginfeksi
wanita. TB merupakan salah satu penyebab terbesar kematian pada wanita, yaitu
sekitar 700.000 kematian setiap tahun, dan sepertiga dari kematian tersebut terjadi
pada wanita usia subur. Suatu penelitian lain yang dilakukan di UK pada tahun
2008, insidens TB pada kehamilan adalah 4,2 per 100.000 kehamilan.5,6
Prevalensi TB bervariasi di berbagai negara. Prevalensi TB dalam
kehamilan di Indonesia menurut survei nasional tahun 2004 adalah 119/100.000
penduduk dan dalam kehamilan prevalensi tuberkulosis bervariasi antara 0,371,6%.7
2.3 ETIOLOGI
Penyebab dari penyakit tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis,
yang mempunyai karakteristik mikrobiologi yaitu kuman berbentuk batang
dengan ukuran panjang 1-4/m dan tebal 0,3-0,6/m yang bersifat aerob, tidak
membentuk spora, non motil, parasit intraseluler yang merupakan salah satu dari
lima anggota M. tuberculosis complex, di mana yang lain adalah: M.Bovis,
M.Ulcerans, M.Africanum, dan M.Microti, akan tetapi M.tuberculosis adalah yang
bersifat patogen pada manusia.3,8,9
Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian
peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan

terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia
juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat bertahan hidup
pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun
dalam lemari es) hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari
sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit
tuberkulosis menjadi aktif lagi.8
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam
sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian
disenanginya karena banyak mengandung lipid.8
Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman
lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini
tekanan oksigen pada bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit
tuberkulosis.8
2.4 PATOFISIOLOGI
Tuberkulosis dapat menyerang hampir semua organ tubuh, tetapi yang
biasa diserang adalah paru (kurang lebih 80%). Pada pasien pengidap HIV, pola
dari infeksi TB ini agak berbeda, cenderung terjadi TB extrapulmonal.3,4
Disebut Tuberculosis karena penyakit ini membentuk benjolan-benjolan
(tubercles) disertai perkijuan dan perkapuran, khususnya di dalam jaringan paruparu. Hampir semua infeksi TB disebabkan oleh penularan melalui inhalasi dari
partikel-partikel yang infeksius yang dikeluarkan oleh pasien pengidap TB lewat
batuk, bersin, berbicara, atau menggunakan tissue yang mengandung kuman TB.
Partikel-partikel aerosolized tuberculosis dengan besar partikel antara 1-5 m
dapat dibawa ke udara bebas dan dapat menyebar ke tempat yang jauh dan dapat
menginfeksi orang-orang di sekitarnya.3,4,10
Setelah inhalasi dan sampai di paru, nukleus droplet akan memasuki
cabang-cabang bronkus dan berimplantasi pada bronkiolus respiratorik dan
alveolus, maka terjadi reaksi dari tubuh, terjadi proses fagositosis oleh makrofag
paru, terjadi reaksi granulomatous. Suatu basil tuberkel yang telah terinhalasi
akan dapat menentukan infeksi paru atau tidak, tergantung baik pada virulensi

bakteri maupun dari kemampuan mikrobisidal makrofag alveolar yang


memakannya. Jika basil mampu bertahan hidup dari pertahanan tubuh awal, maka
bakteri ini akan bermultiplikasi dalam makrofag alveolus. Basil tuberkel akan
tumbuh secara lambat, membagi diri dalam 25-32 jam dalam makrofag.
Mycobacterium tuberculosis tidak memiliki endotoksin maupun eksotoksin,
sehingga tidak terjadi respon imun immediate (awal) terhadap infeksi. Organisme
ini akan tumbuh dalam waktu 2-12 minggu, sampai mencapai jumlah tertentu
yang mampu untuk memicu respon imun yang dapat dideteksi dengan adanya
reaksi skin test tuberkulin. Basil TB ini tetap berada dalam kondisi dorman dalam
Ghons focus ini untuk waktu yang lama, dan suatu saat dapat berubah menjadi
reaktif.3,4,8
Pada pasien dengan imunitas selular yang utuh, kumpulan sel T yang telah
teraktifasi

dan makrofag

akan

membentuk

granuloma

yang

kemudian

menimbulkan pembentukan Ghons focus yang membatasi multiplikasi dan


penyebaran kuman tuberkulosis dalam organisme. Antibodi yang melawan M.
Tuberculosis akan terbentuk tapi tidak tampak protektif. Organisme cenderung
untuk terlokalisasi di tengah granuloma, yang seringkali akan nekrotik. Untuk
sebagian besar individu dengan fungsi imun yang normal, proliferasi M.
Tuberculosis berhenti begitu imunitas selular berkembang, meskipun demikian,
sejumlah kecil basilus hidup mungkin saja masih akan ada di dalam granuloma.3,4
Meskipun

kompleks

primer

kadang-kadang

dapat

terlihat

pada

pemeriksaan radiologi toraks, mayoritas infeksi tuberkulosis pulmo secara klinik


dan radiologi tidak tampak. Sebagian besar, hasil skin test tuberkulin positif
merupakan satu-satunya indikasi bahwa M. Tuberculosis telah berkembang.
Individu dengan infeksi tuberkulosis laten tapi bukan penyakit aktif tidak
infeksius, sehingga tidak dapat menularkan kuman. Diperkirakan kurang lebih
10% individu dengan infeksi tuberkulosis dan tidak mendapat terapi pencegahan
akan berkembang menjadi tuberkulosis aktif. Kemampuan host untuk merespon
organisme akan berkurang dengan adanya penyakit seperti silikosis, DM, dan
penyakit yang berhubungan dengan immunosupresi, misalnya infeksi HIV,

pemberian kortikosteroid dan obat-obat immunosupresan lain. Pada keadaan ini,


kecenderungan untuk berkembangnya penyakit tuberkulosis meningkat.3,4,8
2.5 CARA PENULARAN
Tuberkulosis menyebar melalui udara dengan droplet nukleus, sebuah
partikel berdiameter 1-5 m yang mengandung kompleks M. Tuberkulosis.
Droplet nuklei juga dihasilkan ketika pasien dengan tuberkulosis pulmonal atau
laringeal batuk, bersin, berbicara atrau bernyanyi.

Cara penularan lain yang

mungkin terjadi yaitu lewat mulut dengan mengkonsumsi susu yang tidak
dipasteurisasi dan bisa juga melalui implantasi langsung melalui kulit yang tidak
intak atau melalui konjungtiva.3
Tuberkulosis kongenital merupakan komplikasi di dalam uterus yang
jarang terjadi sementara itu resiko transmisi setelah kelahiran tinggi. Tuberkulosis
kongenital merupakan hasil penyebaran hematogen melalui vena umbilikal ke hati
janin atau melalui penelanan atau aspirasi cairan amnion yang terinfeksi. Fokus
primer terbentuk di hati dengan adanya keterlibatan nodus limfe periportal. Basil
tuberkel menginfeksi paru secara sekunder, berbeda pada dewasa yang 80%
infeksi primer terjadi di paru.1,4
Mikroorganisme juga dikeluarkan pada terapi aerosol, induksi sputum,
aerosolosasi selama proses bronkoskopi, dan melalui manipulasi lesi atau proses
pengolahan jaringan atau sekret di laboratorium.3,4
4 faktor yang menentukan kecenderungan transmisi M. Tuberkulosis:3,4,10
1) Jumlah mikroorganisme yang dikeluarkan ke udara
2) Konsentrasi mikroorganisme di udara yang ditentukan oleh volume ruangan
dan ventilasi.
3) Lamanya waktu seseorang terekspos dengan udara yang terkontaminasi
4) Status imun dari individu yang terekspos.
Sumber penularan penyakit tuberkulosis adalah penderita TB BTA positif.
Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk droplet nuclei (percikan dahak). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar
3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana

percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi
jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.
Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan
lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut.10
Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Orang
dapat terinfeksi bila droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Selama
kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut
dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran linfe,saluran napas, atau penyebaran langsung kebagian-bagian
tubuh lainnya. Resiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan
dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan resiko
penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB adalah daya tahan
tubuh yang rendah, diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS.3,10

Gambar 1 Faktor Resiko Kejadian TB10


2.6 EFEK KEHAMILAN TERHADAP TB
Peneliti dari zaman Hippocrates telah menyatakan kekhawatiran mereka
tentang efek tak diinginkan yang mungkin ada pada kehamilan dengan TB paru.
Terjadinya TB diyakini sebagai akibat dari peningkatan tekanan intraabdomen
yang terkait dengan kehamilan. Keyakinan ini dipegang secara luas sampai awal
abad keempat belas. Peneliti seperti Hedvall dan Schaefer menunjukkan tidak
adanya efek samping dari kehamilan terhadap progresitas TB. Namun, kehamilan
yang berurutan dapat memberikan efek negatif yaitu menimbulkan reaktivasi
tuberkulosis laten, namun kehamilan tidak mempengaruhi terapi TB. Faktor lain
yang turut berperan adalah status gizi ibu, adanya penyakit penyerta dan koinfeksi HIV. Penting untuk diketahui bahwa diagnosis tuberkulosis pada
kehamilan mungkin lebih sulit dilakukan, karena gejala awalnya mungkin
dianggap berasal dari kehamilan. Penurunan berat badan yang berhubungan
dengan penyakit juga mungkin tertutupi oleh kenaikan berat badan normal pada
kehamilan. 3,4
2.7 EFEK TB TERHADAP KEHAMILAN
Efek TB terhadap kehamilan dipengaruhi oleh berbagai faktor, umur
kehamilan saat didiagnosis TB, adanya penyebaran ekstrapulmoner, koinfeksi
HIV dan pengobatan yang diberikan. Prognosis paling buruk terjadi pada wanita
dengan diagnosis penyakit TB yang sudah lanjut pada masa nifas, begitu juga
pada wanita dengan koinfeksi HIV. Kegagalan pengobatan juga memperburuk
prognosis.3,4
Namun data mengenai efek TB terhadap maternal dan luaran neonatal
masih belum jelas. Beberapa penelitian mengatakan bahwa dengan pengobatan
yang tepat dalam jangka waktu yang benar, infeksi TB tidak memberikan efek
negatif terhadap kehamilan. Dari suatu penelitian prospektif di India, tidak ada
perbedaan pada komplikasi kehamilan pada wanita yang didiagnosis TB dan
diterapi dengan wanita hamil yang tidak terkena TB. Namun, terdapat suatu
pengecualian pada wanita hamil yang terlambat memulai terapi TB, terjadi

peningkatan mortalitas neonatus dan tingginya angka prematur. Dalam penelitian,


diagnosis dan terapi TB dimulai pada umur gestasi antara 13 dan 24 minggu
(67%). Hasil dari terapi seperti konversi sputum, stabilisasi penyakit dan angka
terjadinya relaps hampir sama dengan penderita TB yang tidak hamil, Namun
dalam penelitian ini, ibu hamil yang terinfeksi TB, tidak terinfeksi HIV. Pada
wanita hamil dengan HIV, efek dari TB lebih berkaitan dengan infeksi HIV
daripada keadaan kehamilannya.4
Berlawanan dengan penelitian di atas, sebuah review retrospektif di
Taiwan, ibu hamil yang didiagnosis TB mengalami peningkatan risiko terjadinya
kelainan pada kehamilan dibandingkan dengan ibu yang tidak terinfeksi TB. Pada
ibu hamil dengan TB mempunyai angka persentase berat lahir rendah dan
pertumbuhan janin terganggu, namun tidak ada perbedaan mengenai kelahiran
prematur pada dua kelompok tersebut. Meskipun demikian, diagnosis dan terapi
TB yang cepat merupakan suatu hal yang penting.3,4
Komplikasi obstetrik lainnya yang dilaporkan adalah abortus spontan,
uterus yang kecil, peningkatan berat badan hamil yang tidak optimal. Lainnya
adalah lahir prematur, berat badan lahir rendah, dan meningkatnya mortalitas
neonatus, seperti yang sudah disebutkan diatas. Diagnosis dan terapi yang cepat
merupakan suatu hal yang penting. TB masih menjadi penyebab morbiditas dan
mortalitas maternal yang signifikan, terutama dalam konteks ko-infeksi HIV.
Diagnosis yang telat merupakan faktor independen dimana akan meningkatkan
morbiditas sebanyak empat kali lipat, dan kelahiran prematur meningkat sebanyak
sembilan kali lipat.3,4,11
2.8 EFEK TB PADA NEONATUS
Transmisi TB ibu ke anak dapat terjadi di dalam uterus dengan penyebaran
hematogen melalui vena umbilikus dan aspirasi atau menelan cairan amnion yang
terinfeksi dan juga selama proses kelahiran melalui kontak dengan cairan amnion
yang terinfeksi atau sekresi genital. Infeksi post-partum dapat terjadi melalui
penyebaran di udara atau melalui cairan susu yang terinfeksi dari lesi tuberkulosis
aktif di payudara. Walaupun transmisi melalui ASI dapat diabaikan, bayi dari ibu

dengan TB aktif masih dapat terinfeksi melalui penyebaran lewat udara. Jika ibu
baru saja didiagnosa, belum di terapi, dan TB aktif, maka ibu harus dipisahkan
dari anaknya untuk mencegah penularan. Diagnosis TB pada neonatus bukan hal
yang mudah, kecurigaan klinis terhadap gejala non spesifik dan sulit dibedakan
dengan gejala kongenital lainnya merupakan hal penting. Pada TB kongenital,
gejala terlihat pada umur 2 dan 3 minggu. Diagnosis definitif yaitu dengan kultur
M.tuberkulosis dari jaringan atau cairan. Gambaran radiologi toraks yang
abnormal sering ditemukan, setengahnya memberikan gambaran pola miliar. Jika
terdiagnosa TB aktif, harus diberikan terapi penuh. Jika tidak terdiagnosis TB
aktif, maka diberikan profilaksis isoniazid.3,4
Tuberkulosis kongenital mungkin sulit dibedakan dengan infeksi neonatus
atau infeksi kongenital dengan gejala yang mirip pada umur 2 sampai 3 minggu.
Gejala-gejalanya adalah hepatosplenomegaly, repiratory distress, demam, dan
limfadenopati. Abnormalitas radiologi dapat terlihat namun secara umum terlihat
pada penyakit TB laten. Diagnosis tuberkulosis neonatus ditegakkan dengan
kriteria diagnosis Cantwell et al, yaitu adanya kompleks granuloma kaseseosa
pada biopsi hepar perkutaneus saat kelahiran, plasenta yang terinfeksi, atau
tuberkulosis traktus genital maternal, dan lesi saat minggu pertama kehidupan.
Kemungkinan transmisi setelah kelahiran harus disingkirkan dengan menelaah
semua riawayat kontak termasuk kontak dengan tenaga medis dan penjenguk.
Sebanyak setengah dari neonatus dengan tuberkulosis kongenital meninggal
dunia.3,4
2.9 KLASIFIKASI
Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena:10
1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang

menyerang

jaringan

(parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada
hilus.
2. Tuberkulosis Ekstra Paru

10

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya


pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Pasien dengan TB paru dan TB ekstra paru diklasifikasikan sebagai TB
paru
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, keadan ini
terutama ditujukan pada TB Paru:
1. Tuberkulosis Paru BTA Positif

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA


positif.

1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.

1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB


positif.

1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak


SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2. Tuberkulosis Paru BTA Negatif


Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:

Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.

Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT, bagi


pasien dengan HIV negatif.

Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu:


1. Kasus baru

11

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa
positif atau negatif
2.

Kasus yang sebelumnya diobati

Kasus kambuh (Relaps)


Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

Kasus setelah putus berobat (Default )


Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.

Kasus setelah gagal (Failure)


Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.

3. Kasus Pindahan (Transfer In)


Adalah pasien yang dipindahkan keregister lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
4.

Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti:

tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya

pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya

kembali diobati dengan BTA negatif

2.10 MANIFESTASI KLINIS


Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal
ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).7,8,12
1. Gejala Respiratorik
a. batuk kurang lebih 2 minggu

12

b. batuk darah
c. sesak napas
d. nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada
saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka
pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Gejala
utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk
dapat diikuti dengan gejala tambahan seperti dahak bercampur darah, sesak napas
atau rasa nyeri dada, badan lemas, penurunan nafsu makan, penurunan berat
badan, badan kurang enak malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik
dan demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala diatas dapat juga dijumpai pada
penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma dan kanker
paru.78,12
2. Gejala Sistemik
a. Demam
b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun

3. Gejala Tuberkulosis Ekstra Paru


Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan
tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat
gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas
dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.7,8,12
Pada pemeriksaan

fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari

organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya

13

tidak (sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di
daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah
apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara
napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan
paru, diafragma dan mediastinum.7,8,12
Untuk mendiagnosis kondisi tersebut, riwayat paparan terhadap individu
dengan batuk kronis atau berkunjung ke daerah endemik tuberkulosis harus
diperoleh. Riwayat gejala, mirip dengan gejala yang dialami oleh wanita tidak
hamil. Perhatian harus ditingkatkan mengingat gejala pada ibu hamil tidak
spesifik, yaitu keringat di malam hari, demam di malam hari, batuk darah,
penurunan berat badan yang progresif, dan batuk kronis selama lebih dari tiga
minggu. Tahap penting dalam membuat diagnosis pada kehamilan yaitu untuk
mengidentifikasi faktor resiko untuk infeksi TB dan gejala-gejala infeksi.7,8,12
2.11 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Tes Tine
Tes ini menggunakan beberapa jarum yang sudah dicelupkan pada bakteri
TB yang sudah dimurnikan, disebut dengan old tuberculin (OT). Kulit ditusuk
dengan jarum tersebut dan reaksi dianalisa 48-72 jam kemudian. Namun tes ini
tidak lagi popular kecuali untuk uji penyaring pada populasi yang besar. 4

2. Tes Mantoux
Injeksi intradermal derivat protein yang sudah dimurnikan sebanyak 0.1 mL
(5 tuberculin units), dan reaksi kulit dianalisis 48-72 jam akan timbul reaksi
berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi
persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen tuberkulin. Banyak sedikitnya
reaksi persenyawaan antibodi seluler dan antigen tuberkulin dipengaruhi oleh
antibodi humoral, pada ibu hamil makin besar pengaruh antibodi humoral, makin
kecil indurasi yang ditimbulkan.4
3. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis (BTA)

14

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai


keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak
yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa SewaktuPagi-Sewaktu (SPS):10
S (Sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot
dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
P (Pagi) : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas di Fasyankes.
S (Sewaktu) : dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.
4. Foto Thoraks
Pada pemeriksaan foto thoraks ditemukan gambaran infiltrasi, kavitas, dan
limfadenopati mediastinum. Pemeriksaan radiologik harus memakai pelindung
timah pada abdomen, sehingga bahaya radiasi dapat diminimalisasi. Pada
trimester I hindari pemeriksaan foto thoraks karena efek radiasi yang sedikit pun
masih berdampak negatif pada sel-sel muda janin.7

2.12

DIAGNOSIS TB PADA KEHAMILAN


Diagnosis TBC pada kehamilan sama dengan TBC tanpa kehamilan.

Diagnosis mungkin terlambat ditegakkan karena manifestasi klinis yang tidak


khas, tertutup oleh gejala-gejala pada kehamilan. Good et al melaporkan bahwa
dari 27 wanita hamil dengan pemeriksaan biakan sputum yang positif, didapatkan
74% gejala batuk, 41% penurunan berat badan, 30% demam, malaise dan lelah,
19% batuk darah dan 20% tanpa gejala. Oleh karena itu perlu dilakukan penapisan
pada perempuan hamil dengan risiko tinggi terkena TBC melalui pemeriksaan

15

antenatal. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah uji tuberkulin, sputum BTA dan
pemeriksaan biakan.5,7,8

Gambar 2 Alur diagnosis TB10


2.13 PENATALAKSANAAN
Sebelum kehamilan perlu diberi konseling mengenai pengaruh kehamilan
dan TBC, serta pengobatan. Adanya TB tidak merupakan indikasi untuk
melakukan abortus. Pengobatan TB dengan isoniazid, rifampicin, etambutol dan
pirazinamid tidak merupakan kontraindikasi pada kehamilan. Pengobatan TB
dengan aminoglikosida (streptomisin) merupakan kontraindikasi pada kehamilan
karena dapat menyebabkan ototoksik pada janin.7

16

Pengobatan TB dalam kehamilan menurut rekomendasi WHO adalah


dengan pemberian 4 regimen kombinasi isoniazid, rifampicin, etambutol, dan
pirazinamid selama 6 bulan. Cara pengobatan sama dengan tidak hamil. Dapat
juga diberikan 3 regimen kombinasi, isoniazid, rifampicin, etambutol selama 9
bulan. Angka kesembuhan 90% pada pengobatan selama 6 bulan directly
observed therapy (DOT) pada infeksi baru.7
Saat persalinan mungkin diperlukan oksigen yang adekuat dan cara
persalinan sesuai indikasi obstetrik. Pemakaian masker dan ruangan isolasi
diperlukan untuk mencegah penularan.7
Tabel 1 Langkah Penanganan TB pada Kehamilan7
Sebelum kehamilan

Konseling mengenai pengaruh kehamilan dan TB


serta pengobatan

Pemeriksaan penyaring tuberkulosis pada populasi


resiko tinggi

Selama kehamilan

Perbaikan keadaan umum (gizi, anemia)


Tuberkulosis bukan merupakan indikasi untuk
melakukan pengguguran kandungan

Pengobatan dengan regimen kombinasi dapat


segera dimulai begitu diagnosis ditegakkan

Antenatal care dilakukan seperti biasa, dianjurkan


pasien datang paling awal atau paling akhir untuk

Saat persalinan

mencegah penularan pada orang di sekitarnya


Persalinan dapat berlangsung seperti biasa.
Penderita diberi masker untuk menutupi hidung dan
mulutnya agar tidak terjadi penyebaran kuman
disekitarnya

Pemberian oksigen adekuat

Tindakan

pencegahan

infeksi

(kewaspadaan

universal)

Ekstraksi vakum/forseps bila ada indikasi obstetrik


17

Sebaiknya persalinan dilakukan di ruang isolasi,


cegah

Pasca persalinan

perdarahan

pascapersalinan

dengan

uterotonika
Observasi 6-8 jam kemudian penderita dapat
langsung dipulangkan. Bila tidak mungkin untuk
dipulangkan, penderita harus dirawat di ruang
isolasi.

Perawatan bayi harus dipisahkan dari ibunya


sampai tidak terlihat tanda proses aktif lagi
(dibuktikan dengan pemeriksaan sputum sebanyak
3 kali dengan hasil selalu negatif)

Pemberian ASI tidak merupakan kontraindikasi


meskipun ibu mendapatkan OAT

Profilaksis neonatus dengan isoniazid 10mg/kg/hari


dan vaksinasi BCG

Tatalaksana OAT yang diberikan dibagi atas 2 golongan:12

Obat Lini Pertama (first line).


Yang merupakan OAT lini pertama adalah Rifampisin (R), Isoniazid
(INH), Etambutol (EMB), dan Pirazinamid (PZA).

Obat Lini Kedua (second line) adalah Streptomisin (S), Kanamisin,


Etionamid,

Kapreomisin,

Fluoroquinolones,

Amoxycillin/Clavulanic

Acid, Para-Aminosalicylic Acid (PAS), Amikacin, Ethionamide and


Prothionamide, serta Cycloserine.
2.13.1 Penatalaksanaan
1. Kehamilan Trimester I
Kurangi aktivitas fisik (bedrest); Terpenuhinya kebutuhan nutrisi (tinggi
kalori tinggi protein); Pemberian vitamin dan Fe; Dukungan keluarga &
kontrol teratur.
Dianjurkan penderita datang sebagai pasien permulaan atau terakhir dan
segera diperiksa agar tidak terjadi penularan pada orang-orang
18

disekitarnya. Dahulu pasien tuberkulosis paru dengan kehamilan harus


dirawat dirumah sakit, tetapi sekarang dapat berobat jalan dengan
pertimbangan istirahat yang cukup, makanan bergizi, mencegah penularan
pada keluarga dll.
Pasien sejak sebelum kehamilan telah menderita TB paru Obat

diteruskan tetapi penggunaan rifampisin di stop.


Bila pada pemeriksaan antenatal ditemukan gejala klinis tuberkulosis
paru (batuk-batuk/batuk berdarah, demam, keringat malam, nafsu makan
menurun, nyeri dada,dll) maka sebaiknya diperiksakan PPD (Purified
Protein Derivate), bila hasilnya positif maka dilakukan pemeriksaan foto
dada dengan pelindung pada perut, bila tersangka tuberkulosis maka
dilakukan pemeriksaan sputum BTA 3 kali dan biakan BTA. Diagnosis
ditegakkan dengan adanya gejala klinis dan kelainan bakteriologis, tetapi
diagnosis dapat juga dengan gejala klinis ditambah kelainan radiologis

paru.
Lakukan pemeriksaan PPD bila PPD (+) lakukan pemeriksaan
radiologis dengan pelindung pada perut :
1. Bila radiologi (-) Berikan INH profilaksis 400 mg selama 1 tahun
2. Bila radiologi suspek TB periksa sputum sputum BTA (+)
INH 400 mg/hr selama 1 bulan, dilanjutkan 700 mg 2 kali
seminggu 5-8 bln
Etambutol 1000 mg/hr selama 1 bulan
Rifampisin sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan
trimester I

2. Masa kehamilan trimester II dan III


Pada penderita TB paru yang tidak aktif, selama kehamilan tidak perlu
dapat pengobatan. Sedangkan pada yang aktif, hendaknya jangan dicampurkan
dengan wanita hamil lainnya pada pemeriksaan antenatal dan ketika mendekati
persalinan sebaiknya dirawat di rumah sakit; dalam kamar isolasi. Gunanya untuk
mencegah penularan, untuk menjamin istirahat dan makanan yang cukup serta
pengobatan yang intensif dan teratur. Dianjurkan untuk menggunakan obat dua
macam atau lebih untuk mencegah timbulnya resistensi kuman. Untuk diagnosis
pasti dan pengobatan selalu bekerja sama

dengan ahli paru-paru.3-5

19

Penatalaksanaan sama dengan masa kehamilan trimester pertama tetapi pada


trimester II diperbolehkan menggunakan rifampisin sebagai terapi.
PPD (+) tanpa kelainan radiologis maupun gejala klinis
- INH 400 mg selama 1 tahun
TBC aktif (BTA +)
- Rifampisin 450-600 mg/hr selama 1 bulan, dilanjutkan 600 mg 2x
seminggu selama 5-8 bulan
- INH 400 mg/hr selama 1 bulan, dilanjutkan 700 mg 2x seminggu
selama 5-8 bulan
- Etambutol 1000 mg/hr selama 1 bulan
3. Masa Persalinan
Pasien yang sudah cukup mendapat pengobatan selama kehamilan
biasanya masuk kedalam persalinan dengan proses tuberkulosis yang sudah
tenang. Persalinan pada wanita yang tidak mendapat pengobatan dan tidak aktif
lagi, dapat berlangsung seperti biasa, akan tetapi pada mereka yang masih aktif,
penderita ditempatkan dikamar bersalin tertentu ( tidak banyak digunakan
penderita lain). Persalinan ditolong dengan kala II dipercepat misalnya dengan
tindakan ekstraksi vakum atau forsep, dan sedapat mungkin penderita tidak
mengedan, diberi masker untuk menutupi mulut dan hidungnya agar tidak terjadi
penyebaran kuman ke sekitarnya. Sedapat mungkin persalinan berlangsung
pervaginam. Sedangkan sectio caesarea hanya dilakukan atas indikasi obstetrik
dan tidak atas indikasi tuberkulosis paru.
4. Masa Nifas
Penelitian terdahulu menyatakan bahwa pengaruh kehamilan terhadap
tuberkulosis paru justru menonjol pada masa nifas. Hal tersebut mungkin karena
faktor hormonal, trauma waktu melahirkan, kesibukan ibu dengan bayinya dll.
Tetapi masa nifas saat ini tidak selalu berpengaruh asal persalinan berjalan lancar,
tanpa perdarahan banyak dan infeksi. Cegah terjadinya perdarahan pospartum
seperti pada pasien-pasien lain pada umumnya. Setelah penderita melahirkan,
penderita dirawat diruang observasi selama 6-8 jam, kemudian penderita dapat
dipulangkan langsung. Diberi obat uterotonika, dan obat TB paru diteruskan, serta
nasihat perawatan masa nifas yang harus mereka lakukan. Penderita yang tidak
mungkin dipulangkan, harus dirawat di ruang isolasi.

20

2.13.1 Efek Samping OAT pada Kehamilan:


1. Rifampisin
Merupakan obat lini pertama yang terutama bekerja pada sel yang sedang
tumbuh, tetapi juga memperlihatkan efek pada sel yang sedang tidak aktif (resting
cell). Bekerja dengan menghambat sintesa RNA M. tuberculosis sehingga
menekan proses awal pembentukan rantai dalam sintesa RNA. Bekerja di intra
dan ekstra sel. Pada konsentrasi 0,005 -0,2 mg/l akan menghambat pertumbuhan
M. tuberculosis secara in vitro. Obat ini juga menghambat beberapa
Mycobacterium atipikal, bakteri gram negatif dan gram positif. Secara in vitro,
rifampisin dapat meningkatkan aktivitas streptomisin dan isoniazid terhadap M.
tuberculosis dan juga mempunyai mekanisme post antibiotic effect terhadap
bakteri gram negatif. Obat ini menimbulkan warna orange sampai merah bata
pada urin, saliva, feses, sputum, air mata dan keringat. Volume distribusi 1 L/kg
BB, ikatan protein plasma 60-80%, waktu paruh 1-6 jam dan akan memanjang
bila terdapat gangguan fungsi hepar. Dapat melewati barier plasenta dan dapat
dijumpai konsentrasi rendah di ASI. Rifampisin melewati plasenta dengan kadar
yang sama dengan ibu. Pada akhir trismester ke-3 rasio konsentrasi pada tali pusat
dan ibu besarnya 0,12 - 0,33. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi adalah
sindrom respirasi, purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal.
Efek samping ringan sering terjadi pada saat pemberian berkala dan dapat sembuh
sendiri atau hanya memerlukan pengobatan simptomatik. Efek samping pada bayi
baru lahir juga didapatkan hemorrhagic disease of the newborn sehingga
dianjurkan pemberian profilaksis vitamin K.5
2.

Isoniazid (INH)
Menghambat biosintesis asam mikolat yang merupakan unsur penting

dinding sel Mycobacterium. Menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan


jumlah lemak yang terekstraksi oleh metanol dari Mycobacterium. Hanya kuman
yang peka yang menyerap obat ke dalam selnya dan proses ini merupakan proses
aktif. Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa

21

hari pertama pengobatan. Waktu paruh berkisar 1-3 jam. Mudah berdifusi ke
dalam sel dan semua cairan tubuh. Isoniazid tidak bersifat teratogenik janin,
meskipun konsentrasi yang melewati plasenta cukup besar. Efek samping berat
berupa hepatitis dapat timbul pada kurang lebih 0,5 % penderita. Bila terjadi
ikterus, hentikan pengobatan sampai ikterus hilang. Efek samping yang ringan
dapat berupa tanda keracunan pada saraf tepi, kesemutan, nyeri otot atau
gangguan kesadaran. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin
(dengan dosis 5-10 mg per hari atau dengan vitamin B kompleks). Efek samping
pada bayi baru lahir dilaporkan adanya perdarahan (hemmorrhagic disease of the
newborn) sehingga dianjurkan pemberian profilaksis vitamin K sebelum
kelahiran.5
3.

Etambutol (EMB)
Merupakan

inhibitor

arabinosyl

transferases

(I,II,III).

Arabinosyl

transferase terlibat dalam reaksi polimerisasi arabinoglycan, yang merupakan


unsur esensial dari dinding sel Mycobacterium. Afinitas terhadap arabinosyl
transferase III lebih kuat dibandingkan lainnya. Arabinosyl transferase digunakan
untuk menjadikan EMB-CAB operon. Hal ini menyebabkan metabolisme sel
terhambat dan sel mati. Gangguan sintesis arabinoglycan mengubah barier sel,
lipofilik meningkatkan aktivitas obat yang bersifat seperti rifampisin dan
ofloksasin. Dinding sel Mycobacterium spp sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan
dan kelangsungan hidup organisme di penjamu. Dinding sel Mycobacterium
terdiri dari mycolic acid, arabinoglycan dan peptidoglycan. Dinding sel
merupakan lapisan lipid bilayer dan asimetris. Hampir semua galur M.
tuberculosis dan M. kansasii sensitif terhadap etambutol. Etambutol tidak efektif
untuk kuman lain. Etambutol pada konsentrasi 1-5 g/ml akan menghambat
pertumbuhan M.tuberculosis secara in vitro. Etambutol ini tetap menekan
pertumbuhan M.tuberculosis yang telah resisten terhadap isoniazid dan
streptomisin. Etambutol dosis 15 mg/kg BB ini hanya aktif terhadap sel yang
bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik, sedangkan pada dosis 25 mg/kg BB
bersifat bakterisidal. Penggunaan etambutol tunggal, ditemukan sputum basil

22

tahan asam (BTA) negatif dalam 3 bulan, tetapi ditemukan resistensi 35% dari
kasus dan frekuensi relaps lebih tinggi. Efektivitas pada hewan coba sama dengan
isoniazid. Invivo, sukar menciptakan resistensi terhadap etambutol dan timbulnya
lambat. Resistensi bakteri terhadap etambutol terjadi akibat mutasi embB, embA
dan embC, kode untuk arabinosyl transferase. Resistensi ini timbul bila etambutol
diberikan tunggal. Pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol diserap di
saluran cerna. Makanan tidak mempengaruhi absorpsi obat. Kadar puncak plasma
dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah pemberian. Dosis tunggal 25 mg/kg BB
menghasilkan kadar plasma sekitar 2-5 g/ml dalam 2-4 jam, kurang dari 1 g
dalam 24 jam. Masa paruh eliminasinya 3-4 jam dan dapat memanjang sampai 8
jam pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Etambutol secara bebas melewati
plasenta dengan cord to maternal serum ratio adalah 0,75. Penelitian pada kelinci
terdapat efek monoftalmia sedangkan pada tikus terjadi penurunan kesuburan.
Rata-rata malformasi yang dilaporkan pada 638 bayi yang dilahirkan oleh ibu
yang mendapat etambutol selama kehamilan adalah 2,2%. Secara teori etambutol
menyebabkan kemungkinan toksisitas pada mata. Hal ini diyakinkan kembali
dengan penilaian pada 6 janin yang mengalami abortus pada minggu 5 - 12
kehamilan, tidak didapatkan gangguan pada sistem optik embrional.5
4.

Pirazinamid (PZA)
Adalah suatu produk, yang memerlukan konversi enzim pirazinamidase

(dihasilkan oleh mikobakterial tertentu) menjadi bentuk aktif asam pirazinoat,


masuk ke dalam sitoplasma M. tuberculosis secara difusi pasif, mengalami
konversi oleh enzim nikotinamidase/pirazinamidase menjadi bentuk aktif asam
pirazinoat (POA). PZA lebih aktif terhadap basil tuberkel semidorman karena
sistem pompa refluks yang lemah dibandingkan dengan basil sedang bertumbuh
cepat, di mana pompa refluks lebih aktif. Peradangan akut akan menurunkan pH
akibat produksi asam laktat oleh sel-sel inflamasi, hal ini menguntungkan
aktivitas PZA. Berkurangnya peradangan akan meningkatkan pH lingkungan basil
tuberkel yang berakibat pada peningkatan konsentrasi hambat minimal PZA.
Kuman dalam keadaan dorman tidak dapat dipengaruhi karena pada saat itu
ambilan PZA tidak terjadi. Banyak penelitian menyatakan daya sterilisasi obat ini
23

dalam makrofag, dengan konsentrasi 20g/ml menghambat basil tuberculosis


intraseluler. Efek bakteriostatik atau bakterisidal terhadap M. tuberculosis
tergantung dosis (konsentrasi PZA), serta lamanya paparan terhadap makrofag
yang terinfeksi M. tuberculosis. Pada berbagai studi dan laporan tidak ditemukan
efek teratogenik yang bermakna pada hewan dan malformasi janin pada pasien
yang telah diterapi. Penggunaan PZA pada wanita hamil telah direkomendasikan
oleh International Union Against Tuberculosis and Lung Disease secara rutin,
namun di Amerika dilarang karena tidak adanya data yang adekuat mengenai efek
teratogeniknya. Efek samping utama dari penggunaan obat ini adalah hepatitis,
juga dapat terjadi nyeri sendi dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan
arthritis gout yang kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan
penimbunan asam urat. Pemberian intermiten dapat mengurangi kejadian tersebut.
Efek samping lain adalah anoreksia, mual, muntah, disuri, demam dan reaksi
hipersensitivitas.5
5.

Streptomisin
Melewati plasenta dengan cepat sampai ke sirkulasi janin dan cairan

amnion serta mencapai kadar kurang dari 50% dibandingkan kadar ibu. Efek
samping yang dilaporkan dari berbagai studi pada hewan yaitu ototoksik. Tuli
kongenital telah dilaporkan terjadi pada bayi yang terpajan selama dalam
kandungan, walaupun tidak ada hubungan yang pasti tentang mekanisme
ototoksik dengan pajanan selama kehamilan. Pada negara berkembang dianjurkan
tidak menggunakan streptomisin selama kehamilan.5
6.

Kanamisin
Merupakan obat lini kedua dan merupakan variasi dari aminoglikosida,

mempunyai efek samping yang sama dengan streptomisin dan sebaiknya tidak
digunakan pada kehamilan kecuali pada MDR. Etionamid mempunyai penetrasi
yang baik ke semua jaringan termasuk cairan serebrospinal. Etionamid dinyatakan
potensial bersifat teratogenik dan sebaiknya dihindari penggunaan pada kehamilan
kecuali jika dibutuhkan pada kasus MDR-TB. Efek samping lainnya seperti

24

hepatitis, neuritis optic dan neuritis perifer. Dosis 0,5 - 1 gram/hari dalam dosis
terbagi.5
7.

Fluoroquinolones

(Ciprofloxacin,

Gatifloxacin,

Moxifloxicin

and

Norfloxacin).
Tidak terbukti meningkatkan kejadian kelahiran abnormal dalam
penggunaannya. Akan tetapi pada percobaan menggunakan binatang dengan
ciprofloxacin dilaporkan adanya risiko kerusakan dari articular cartilage dan
subsequent

juvenile

arthritis

dengan

penggunaan

jangka

pendek

serta

diperkirakan terjadi kerusakan dari sendi pada penggunaan jangka panjang. Oleh
karena itu harus benar-benar dipertimbangkan dalam penggunaannya.5
8.

Amoxycillin/Clavulanic Acid
Belum terbukti adanya efek teratogenik pada percobaan binatang.

Amoxycillin/clavulanic acid biasa dipakai pada kehamilan trimester akhir sebagai


profilaksis pada wanita dengan prolonged rupture of membranes tanpa adanya
laporan yang merugikan, akan tetapi tidak banyak laporan pada penggunaan
trimester pertama kehamilan. Amoxycillin/clavulanic acid memiliki peran kecil
pada pengobatan wanita hamil dengan MDR-TB dan tidak cukup tersedia
alternatifnya.5
9.

Kapreomisin
Merupakan obat lini kedua yang diberikan secara intramuskular.

Kapreomisin secara umum merupakan kontraindikasi untuk ibu hamil, hanya


digunakan dengan pertimbangan benar-benar terhadap risiko dan kegunaannya.
Biasanya obat ini digunakan untuk MDR-TB 3 kali seminggu. Obat ini dilaporkan
bersifat teratogenik pada percobaan menggunakan tikus yang hamil.5
10.

Cycloserine
Obat ini tidak terbukti bersifat teratogenik pada percobaan menggunakan

tikus, akan tetapi tidak cukup bukti dari studi pada manusia untuk konfirmasi
keamanan obat ini untuk wanita hamil. Oleh karena itu harus benar-benar
dipertimbangkan penggunaannya.5
11.

Para-Aminosalicylic Acid (PAS)


25

Dilaporkan belum cukup bukti keamanannya pada pemakaian untuk


kehamilan baik studi pada manusia maupun pada binatang. Hanya pernah ada satu
studi dari 123 pasien yang mendapatkan PAS, melaporkan adanya angka kejadian
abnormalitas pada anggota tubuh dan telinga yang lebih tinggi dibandingkan OAT
lain. Oleh karena itu harus benar-benar dipertimbangkan penggunaannya.5
12.

Amikacin
Obat yang tergolong aminoglycosides, yang mana semua obat golongan

ini berpotensi menimbulkan nephrotoksitas dan ototoksitas pada fetus dan


penggunaannya tidak direkomendasikan pada wanita hamil. Oleh karena itu
penggunaan obat ini pada kehamilan seharusnya merupakan pilihan akhir setelah
benar-benar mempertimbangkan untung ruginya 5
4.10 KOMPLIKASI
Komplikasi pada penderita tuberkulosis antara lain hemoptisis berat
(perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian
karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan napas, kolaps dari lobus akibat
retraksi bronkhial, bronkiektasis dan fibrosis pada paru, pneumotoraks spontan,
kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru, penyebaran infeksi ke organ lain
seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya, insufisiensi Kardio
Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency). Komplikasi obstetrik yang
dilaporkan adalah abortus spontan, uterus yang kecil, peningkatan berat badan
hamil yang tidak optimal. Lainnya adalah lahir prematur, berat badan lahir rendah,
dan meningkatnya mortalitas neonatus.3,4,11
Tuberkulosis kongenital merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada
infeksi tuberkulosis in utero yang merupakan akibat penyebaran hematogen
maternal. Tuberkulosis kongenital sulit didiagnosis karena gejalanya mirip infeksi
neonatal dan kongenital lainnya. Gejala biasanya muncul pada 2-3 minggu
pascapartus. Gejalanya berupa hepatosplenomegali, distress pernapasan, demam
dan foto thoraks biasanya abnormal.3,4

26

4.11 PROGNOSIS
Tuberkulosis tidak mempengaruhi kehamilan dan kehamilan tidak
mempengaruhi manifestasi klinis dan progresivitas penyakit bila diterapi dengan
regimen yang tepat dan adekuat. Pemberian regimen yang tepat dan adekuat ini
akan memperbaiki kualitas hidup ibu, mengurangi efek samping obat-obat
tuberkulosis terhadap janin dan mencegah infeksi yang terjadi pada bayi yang
baru lahir.3,4
Diagnosis yang telat merupakan faktor independen dimana akan
meningkatkan morbiditas sebanyak empat kali lipat, dan kelahiran premature
meningkat sebanyak sembilan kali lipat. Prognosis pada wanita hamil sama
dengan prognosis wanita yang tidak hamil. 3,4

27

BAB III
KESIMPULAN
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang menular dan dapat
menyerang berbagai organ dalam tubuh, dan terutama menyerang paru. Infeksi
ini disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis dalam kehamilan
merupakan tuberkulosis yang dijumpai dalam masa kehamilan.4
Tuberkulosis kongenital merupakan komplikasi di dalam uterus yang
jarang terjadi sementara itu resiko transmisi setelah kelahiran tinggi. Tuberkulosis
kongenital merupakan hasil penyebaran hematogen melalui vena umbilikal ke hati
janin atau melalui penelanan atau aspirasi cairan amnion yang terinfeksi. Fokus
primer terbentuk di hati dengan adanya keterlibatan nodus limfe periportal. Basil
tuberkel menginfeksi paru secara sekunder, berbeda pada dewasa yang 80%
infeksi primer terjadi di paru.1,4
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal
ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).7,8,12
Pengobatan TB dalam kehamilan menurut rekomendasi WHO adalah
dengan pemberian 4 regimen kombinasi isoniazid, rifampicin, etambutol, dan
pirazinamid selama 6 bulan. Cara pengobatan sama dengan tidak hamil. Dapat
juga diberikan 3 regimen kombinasi, isoniazid, rifampicin, etambutol selama 9
bulan. Angka kesembuhan 90% pada pengobatan selama 6 bulan directly
observed therapy (DOT) pada infeksi baru.7

28

DAFTAR PUSTAKA
1. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2013.
2. Global Tuberculosis Report 2013. World Health Organization.2013.
3. Loto, M.O, Awowole. Tuberculosis in Pregnancy. Journal of Pregnancy.
Nigeria. 2012.
4. Lukito F. Tuberkulosis pada Kehamilan. Jakarta. FK-Unika Atma Jaya. 2012.
5. Meiyanti. Penatalaksanaan Tuberkulosis pada Kehamilan. Jakarta. Universa
Medicina. 2007.
6. Mnyani. Tuberculosis in Pregnancy. South Africa. BJOG. 2011.
7. Saifuddin, AB, dkk. Ilmu Kebidanan. Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2010. Hal: 806-808.
8. Sudoyo, AW, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta. FKUI .
2007. Hal: 998-1003.
9. Norwitz, E, dkk. Maternal-Fetal Medicine. USA. Cambridge University Press.
2007. Hal: 212.
10. Pedoman Nasional

Pengendalian

Tuberkulosis.

Jakarta.

Kementerian

Kesehatan RI. 2012. Hal: 1-29.


11. Benson, dkk. Obstetrics & Gynecology. Singapore. The McGraw-Hill
Companies.2006.
12. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006.
13. Petunjuk Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis Fixed Dose Combination (OATFDC). Jakarta. Departemen Kesehatan RI.2004.
14. Najoan Nan Warouw. Manajemen TB dalam Kehamilan. Manado : FK
Universitas Sam Ratulangi. 2007

29

30

You might also like