You are on page 1of 16

Refarat

Acute Respiratory Distress Syndrome

Oleh:
Meutia Handiny (1407101030331)

Pembimbing:
dr. Suhardi, Sp.BTKV

BAGIAN/SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BLUD RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2015

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini.
Shalawat beserta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah membawa kita dari zaman jahiliyah ke zaman islamiyah, juga kepada sahabat
dan keluarga beliau.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Suhardi, Sp.BTKV yang
telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam penyusunan
Refarat yang berjudul Acute Repiratory Disstress Syndrome dan para dokter di
bagian/ SMF Ilmu Bedah yang telah memberikan arahan serta bimbingan hingga
terselesaikannya laporan kasus ini.
Tidak ada kata sempurna dalam pembuatan sebuah laporan kasus.
Keterbatasan dalam penulisan maupun kajian yang dibahas merupakan beberapa
penyebabnya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan terhadap
laporan kasus ini demi perbaikan di masa yang akan datang.

Banda Aceh, Desember 2015

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
ARDS adalah suatu keadaan gagal nafas yang ditandai dengan hipoksemia
berat, komplains paru yang buruk dan infitrat difus pada pemeriksaan radiology;
dimana odem paru karena dekompensasio kordis dapat disingkirkan (walaupun pada
kenyataannya sangat sulit menyingkirkan keadaan ini). ARDS dikenal sebagai
manifestasi atau bagian dari suatu inflamasi sistemik seperti SIRS. Karena definisi
ARDS sesungguhnya tidak spesifik. Adanya infiltrate yang bilateral pada paru dapat
pula disebabkan oleh berbagai hal seperti pneumonia, kontusio paru, trauma dada,
aspirasi , kelainan autoimun, inhalasi, perdarahan intrapulmonum, dan kondisi non
pulmonum. Penyebab yang bermacam-macam ini sama seperti terapinya yang juga
beraneka ragam. Kelainan paru yang ada dapat merupakan gambaran klinik yang
paling menonjol, tetapi dapat juga secara klinis lebih jelas disfungsi organ diluar paru.
Saat ini disepakati bahwa ARDS merupakan keadaan akhir yang paling parah dari
spektrum Acut Lung Injury sebagai suatu dampak dari pertukaran gas yang buruk.
Dalam hal ini perlu dicari penyakit yang mendasarinya baik langsung maupun tak
langsung. Secara garis besar pengobatan ditujukan pada 2 hal yaitu targeted treatment
(bila

memungkinkan)

dan

kedua

adalah

nontargeted

treatment

(biasanya

memungkinkan). Baru-baru ini dikemukakan bahwa pengobatan yang terbaik bagi


penderita ARDS adalah terapi suportif diantaranya meliputi antikoagulan karena
sampai saat ini tidak ada pengobatan yang dapat mengembalikan permiabilitas
membrane kapiler alveolar yang rusak.
Banyak sekali mediator yang telah dapat diidentifikasi seperti produk bakteri:
endotoksin bakteri gram-negatif, dinding sel bakteri gram-positif, asam lipoteichoic,
dan peptidoglikans. Mediator ini berinteraksi dengan toll-like receptors (TLR) yang
berbeda pada permukaan sel. Endotoksin menempel pada TLR4, produk bakteri grampositif pada TLR2. Oksigen reaktif yang akan mengaktifasi faktor transkripsi dan
kinase intraseluler sehinga meningkatkan ekspresi gen sitokin proinflamatori dan
sitokinnya. Termasuk didalamnya grup protein 1 dengan mobilitas tinggi dan juga
sitokin yang beraksi lambat ( muncul sekitar 12 jam kemudian setelah paparan
bakteri) yang akan menyebabkan inflamasi pada paru, aktifasi netrofil, makrofag,
epitel, endotel, dan platelet serta komplemen. Aktifasi dari nuclear factor-kappa B

(NF-kB) dan cyclic adenosine monophosphate merupakan respon dari salah satu
elemen protein pengikat (binding protein) akibat interaksinya dengan TLR. . Aktifasi
dari NF-kB ini merupakan area yang sedang diteliti dan banyak molekul yang sedang
dikembangkan untuk mengurangi translokasi NF-kB kedalam inti sel sehingga dapat
mencegah pelepasan mediator sitokin. . Metode ini diharapkan juga dapat membantu
penderita sakit kronis, seperti rheumatoid arthritis. Beberapa tahun terakhir ini ada
ahli yang membagi ARDS menjadi bentuk pulmonum dan extra pulmonum ( yang
dapat dilihat adanya kejadian diluar paru ). Walaupun kedua bentuk ini berbeda secara
morfologi dan radiologi, serta berbeda dalam hal pengaturan ventilator, tetapi tetap
saja tidak jelas apakah pembagian ini akan dapat memperbaiki hasil akhir dari suatu
ARDS.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi:
ARDS merupakan sindrom yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas
membran alveolar-kapiler terhadap air, larutan dan protein plasma, disertai kerusakan
alveolar difus, dan akumulasi cairan yang mengandung protein dalam parenkim paru.
Dasar definisi dipakai konsensus Komite Konferensi ARDS Amerika-Eropa tahun
1994 tdd:
1. Gagal napas (respiratory failure/distress) dengan onset akut
2. Rasio tekanan oksigen pembuluh arteri berbanding dengan fraksi oksigen yang
diinspirasi (PaO2/FIO2) <200 mmHg-hipoksemia berat.
3. Radiografi torak: infiltrat alveolar bilateral yang sesuai dengan edema paru
4. Tekanan baji kapiler pulmoner <18 mmHg, tanpa tanda klinis adanya hipertensi
atrial kiri atau tanpa adanya gagal jantung kiri.2,18
ARDS adalah sindrom dengan beberapa faktor risiko yang memicu timbulnya
akut insufisiensi pernapasan. Mekanisme patogenik bervariasi tergantung pada faktor
pemicu, tapi seperti yang ditunjukkan pada temuan otopsi, ada sejumlah fitur umum
paru patologis, seperti peningkatan permeabilitas yang tercermin edema alveolar
karena kerusakan sel epitel dan endotel, dan infiltrasi neutrofil pada fase awal ARDS.
Kriteria ARDS menurut konferensi Berlin 2011 ada beberapa modifikasi
(oksigenasi, waktu onset akut, X-ray thoraks, dan kriteria tekanan baji) ARDS di
klasifikasikan menjadi ringan, sedang dan berat berdasarkan rasio PaO2/FiO2. Yang
penting nilai rasio PaO2/FiO2 dianggap hanya dengan CPAP atau nilai PEEP minimal
5 cm H2O.
Definisi ARDS menurut konferensi Berlin 2011:
1. Waktu
Dalam waktu 1 minggu terdiagnosis klinis atau gejala pernafasan baru atau
memburuk
2. Gambaran thoraks
Radio opak bilateral, tak sepenuhnya seperti efusi, lobus/paru kolaps, atau nodul

3. Asal edema
Gagal nafas yang tidak berhubungan dengan gagal jantung atau cairan yang
berlebihan. Dibutuhkan penilaian yang obyektif (misalnya echocardiography) untuk
menyingkirkan edema hidrostatik jika tidak ada faktor resiko.
4. Oksigenasi
Ringan : 200 mmHg < PaO2/FIO2 300 mmHg with PEEP or CPAP 5 cmH2O
Sedang : 100 mmHg < PaO2/FIO2 200 mmHg with PEEP 5 cmH2O
Berat

: PaO2/FIO2 100 mmHg with PEEP 5 cmH2O

2.2 Etiologi:
Sebagian dari etiologi ARDS tidak diketahui dengan jelas . Walaupun saat ini
beberapa teori telah dikemukakan oleh para ahli tetapi mekanisme yang sesungguhnya
masih belum jelas. Secara umum ada 2 mekanisme yang mendasari kejadian ARDS
yaitu stimuli langsung seperti inhalasi zat beracun, aspirasi dari cairan lambung, dan
trauma toraks. tenggelam, dan infeksi paru difus seperti Pneumonitis Carinii.
Mekanisme yang kedua ini lebih sering dijumpai, tetapi mekanismenya justru lebih
sedikit diketahui seperti pada adanya kerusakan yang sistemik seperti pada sepsis,
trauma, luka bakar, transfusi beragam, pemakaian cardiopulmonary bypass yang
berkepanjangan, pankreatitis dan peritonitis. Semua keadaan ini akan menyebabkan
pelepasan berbagai mediator seperti TNF , NO, dan PMN yang akan merusak
parenkim paru.
Baru-baru ini suatu penelitian menggaris bawahi bahwa penderita yang sering
kontak dengan tembakau dan alcohol mendapat kemudahan menderita ARDS.
Penyakit dasar kelainan paru seperti emfisema, asma, bronchitis kronis dapat
bertingak baik sebagai penyebab maupun sebagai prediktor negatif terhadap
morbiditas dan mortalitas ARDS.
Penyebab spesifik ARDS masih belum pasti, banyak faktor penyebab yang
dapat berperan pada gangguan ini menyebabkan ARDS tidak disebut sebagai penyakit
tetapi sebagai sindrom. Sepsis merupakan faktor risiko yang paling tinggi,
mikroorganisme dan produknya (terutama endotoksin) bersifat sangat toksik terhadap
parenkim paru dan merupakan faktor risiko terbesar kejadian ARDS, insiden sepsis

menyebabkan ARDS berkisar antara 30-50%.


Faktor predisposisi ARDS antara lain hipertensi endokranial, produk
hematology, sepsis akibat kateter vena/arteri dan obat, pneumonia, kontusio paru,
pankreatitis, translokasi endotoksis, urosepsis, emboli dari cairan amnion atau
fraktur

tulang

panjang

merupakan

faktor

predidposisi

untuk

terjadinya ARDSFaktor resiko lain yang dapat mengakibatkan ARDS


adalah cedera paru langsung (paling sering aspirasi lambung)
merupakan penyebab non sistemik dari ARDS. Selain itu beberapa
faktor resiko lain seperti bakteriemia, trauma, fraktur, terbakar,
pneumonia, overdosis obat, TBC milier, luka berat, transfusi
berulang, dan juga Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
2.3 Patogenesis
Epitelium alveolar dan endotelium mikrovaskular mengalami kerusakan pada
ARDS. Kerusakan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas barier alveolar dan
kapiler sehingga cairan masuk ke dalam ruang alveolar. Terdapat tiga fase kerusakan
alveolus:
1. Fase eksudatif: ditandai dengan edema intertisial dan alveolar, nekrosis sel
pneumosit tipe I dan denudasi/terlepasnya membran basalis, pembengkakan sel
endotel dengan pelebaran intercellular junction, terbentuknya membran hialin pada
duktus alveolar dan ruang udara, dan inflamasi neutrofil. Juga ditemukan hipertensi
pulmoner dan berkurangnya compliance paru.
2. Fase proliferatif: paling cepat timbul setelah 3 hari sejak onset, ditandai proliferatif
sel epitel pneumosit tipe II,
3. Fase fibrosis: kolagen meningkat dan paru menjadi padat karena fibrosis.
Derajat kerusakan epithelium alveolar ini menentukan prognosis. Epitelium
alveolar normal terdiri dari 2 tipe sel, yaitu sel pneumosit tipe I dan sel pneumosit tipe
II. Permukaan alveolar 90% terdiri dari sel pneumosit tipe I berupa sel pipih yang
mudah mengalami kerusakan. Fungsi utama sel pneumosit tipe I adalah pertukaran
gas yang berlangsung secara difusi pasif. Sel pneumosit tipe II meliputi 10%
permukaan alveolar terdiri atas sel kuboid yang mempunyai aktivitas metabolik

intraselular, transport ion, memproduksi surfaktan dan lebih resisten terhadap


kerusakan. Kerusakan epitelium alveolar yang berat menyebabkan kesulitan dalam
mekanisme perbaikan paru dan menyebabkan fibrosis. Kerusakan pada fase akut
terjadi pengelupasan sel epitel bronkial dan alveolar, diikuti dengan pembentukan
membran hialin yang kaya protein pada membran basal epitel yang gundul. Neutrofil
memasuki endotel kapiler yang rusak dan jaringan interstitial dipenuhi cairan yang
kaya akan protein. Keberadaan mediator anti inflamasi, interleukin-1-receptor
antagonists, soluble tumor necrosis factor receptor, auto antibodi yang melawan
Interleukin/IL-8 dan IL-10 menjaga keseimbangan alveolar.
2.4 Patofisiologi
Perubahan patofisiologi yang terjadi pada ARDS adalah edema paru
interstistial dan penurunan kapasitas residu fungsional (KRF) karena atelektasis
kongestif difus. Keadaan normal, filtrasi cairan ditentukan oleh hukum Starling yang
menyatakan filtrasi melewati endotel dan ruang intertisial adalah selisih tekanan
osmotik protein dan hidrostatik :

Q = K (Pc-Pt) D (c-t)
Q : kecepatan filtrasi melewati membran kapiler
Pt : tekanan hidrostatik interstitial
K : koefisien filtrasi
c : tekanan onkotik kapiler
D : koefisien refleksi
t : tekanan onkotik interstitial
Pc : tekanan hidrostatik kapiler

Perubahan tiap aspek dari hukum Starling akan menyebabkan terjadinya


edema paru. Tekanan hidrostatik kapiler (Pc) meningkat akibat kegagalan fungsi
ventrikel kiri akan menyebabkan peningkatan filtrasi cairan dari kapiler ke interstitial.
Cairan kapiler tersebut akan mengencerkan protein intertsitial sehingga tekanan
osmotik interstitial menurun dan mengurangi pengaliran cairan ke dalam vena.
Kerusakan endotel kapiler atau epitel alveoli atau keduanya pada ARDS
menyebabkan peningkatan permeabilitas membran alveoli-kapiler (terutama sel
pneumosit tipe I) sehingga cairan kapiler merembes dan berkumpul didalam jaringan
interstitial, jika telah melebihi kapasitasnya akan masuk ke dalam rongga alveoli
(alveolar flooding) sehingga alveoli menjadi kolaps (mikroatelektasis) dan
compliance paru akan lebih menurun. Merembesnya cairan yang banyak mengandung
protein dan sel darah merah akan mengakibatkan perubahan tekanan osmotik. Cairan
bercampur dengan cairan alveoli dan merusak surfaktan sehingga paru menjadi kaku,
keadaan ini akan memperberat atelektasis yang telah terjadi.
Mikroatelektasis

akan

menyebabkan

shunting

intrapulmoner,

ketidakseimbangan (mismatch) ventilasi-perfusi (VA/Q) dan menurunnya KRF, semua


ini akan menyebabkan terjadinya hipoksemia berat dan progresivitas yang ditandai
dengan pernapasan cepat dan dalam. Shunting intrapulmoner menyebabkan curah
jantung akan menurun 40%. Hipoksemia diikuti asidemia, mulanya karena
pengumpulan asam laktat selanjutnya merupakan pencerminan gabungan dari unsur
metabolik maupun respiratorik akibat gangguan pertukaran gas. Penderita yang
sembuh dapat menunjukan kelainan faal paru berupa penurunan volume paru,
kecepatan aliran udara dan khususnya menurunkan kapasitas difusi
2.5 Diagnosis Klinis:
Onset akut umumnya berlangsung 3-5 hari sejak adanya diagnosa kondisi
yang menjadi faktor risiko ARDS. Tanda pertama adalah takipnea, retraksi intercostal,
adanya ronkhi basah kasar yang jelas. Dapat ditemui hipotensi, febris. Pada auskultasi
ditemukan ronkhi basah kasar. Gambaran hipoksia/sianosis yang tak respon dengan
pemberian oksigen. Sebagian kasus disertai disfungsi/gagal organ ganda yang
umumnya juga mengenai ginjal, hati, saluran cerna, otak dan sistem kardiovaskular.
2.6 Penatalaksanaan

Walaupun tidak ada terapi yang spesifik untuk menghentikan proses inflamasi,
penanganan ARDS difokuskan pada 3 hal penting yaitu:
a) mencegah lesi paru secara iatrogenik
b) mengurangi cairan didalam paru
c) mempertahankan oksigenasi jaringan
Terapi Umum
Sedapat mungkin hilangkan penyebab dengan cara misalnya drainase pus,
antibiotika, fiksasi bila ada fraktur tulang panjang
Sedasi dengan kombinasi opiat benzodiasepin, oleh karena penderita akan
memerlukan bantuan ventilasi mekanik dalam jangka lama. Berikan dosis minimal
yang masih memberikan efek sedasi yang adekuat.
Memperbaiki hemodinamik untuk meningkatkan oksigenasi dengan memberikan
cairan, obat2 vasodilator/konstriktor, inotropik, atau diuretikum. Keadaan ini dapat
dicapai dengan cara meningkatkan curah jantung bila saturasi darah vena rendah, atau
dengan dengan menurunkan curah jantung pada keadaan high out put state, sehingga
pulmonary transit time akan memanjang. Strategi harus dilaksanakan dengan hati2
sehingga tidak mengganggu sirkulasi secara keseluruhan.
Terapi Ventilasi
Respirasi
Ventilasi mekanik dengan intubasi endotrakheal merupakan terapi yang mendasar
pada penderita ARDS bila ditemukan laju nafas > 30x/min atau terjadi peningkatan
kebutuhan FiO2 > 60% (dengan menggunakan masker wajah) untuk mempertahankan
PO2 sekitar 70 mmHg atau lebih dalam beberapa jam.
Lebih spesifik lagi dapat diberikan ventilasi dengan rasio I:E terbalik disertai
dengan PEEP untuk membantu mengembalikan cairan yang membanjiri alveolus dan
memperbaiki atelektasis sehingga memperbaiki ventilasi dan perfusi (V/Q) .

Tergantung tingkat keparahannya, maka penderita dapat diberi non invasive

ventilation seperti CPAP, BIPAP atau Positive Pressure Ventilation. Walaupun


demikian metode ini tidak direkomendasikan bagi penderita dengan penurunan
kesadaran atau dijumpai adanya peningkatan kerja otot pernafasan disertai

peningkatan laju nafas dan PCO2 darah arteri.


Saat ini telah terbukti bahwa pemberian volume tidal 10 to 15 ml/kg dapat
mengakibatkan kerusakan bagian paru yang masih normal sehinga terjadi robekan
alveolaus, deplesi surfaktan dan lesi alveolar-capillary interface . Untuk menghindari
hal ini maka dipergunakan volume tidal 6-7ml/kg dengan tekanan puncak inspirasi <
35 cmH2O, plateu inspiratory pressure yaitu < 30cmH2O dan pemberian positive end
expiratory pressure (PEEP) antara 8 sampai 14 cm H2O untuk mencegah atelektase
dan kolaps dari alveolus.

Secara luas dianut batasan pemakaian volume tidal yang rendah yaitu 6-7

ml/kgBB.
Sedangkan untuk penggunaan PEEPdan FiO2 tidak ada ketentuan mengenai batas
maksimal. Secara umum dapat diterima bahwa PEEP yang lebih tinggi boleh dipakai
supaya tercapai SaO2 yang diinginkan yaitu (> 90-95%) dengan FiO2 < 0.60. Akan
tetapi penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa PEEP yang tinggi tidak
memberikan hasil akhir yang menguntungkan.
Untuk memperkecil risiko barotrauma dapat dipakai mode Pressure Controlle
Pemeriksaan AGD (Analisa Gas Darah) dipakai sebagai parameter keberhasilan
dan panduan terapi. Walaupun demikian hasillnya tidak harus mencapai nilai normal.
Contohnya adalah kadar CO2 diperboleh kan sedilit melebihi 50 cmH20 atau disebut
sebagai permissive hypercapnia; dan ternyata masih dapat memberikan hasil akhir
yang lebih baik. Demikian juga saturasi O2 cukup bila mencapai 92%.
Restriksi cairan/diuresis yang cukup akan mengurangi peningkatan tekanan
hidrostatik didalam kapiler paru maupun cairan paru (lung water). Akan tetapi harus
diingat bahwa dehidrasi yang berlebihan akan menurunkan perfusi jaringan dan
mencetuskan gagal ginjal.
Prone position akan memperbaiki V/Q karena akan mengalihkan cairan darah
sehingga tidak terjadi atelektasis. Walaupun demikian tehnik ini tidak mempengaruhi
angka mortalitas. Walaupun demikian pada subgrup pasien yang diseleksi berdasarkan

tingkat keparahan penyakit menunjukkan bahwa mortalitas dalam sepuluh hari


pertama pada kelompok dengan prone position lebih rendah dibandingkankan dengan
kelompok yang berbaring seperti biasa .
Inhalasi nitric oxide/prostasiklin akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah di
paru sehingga secara nyata memperbaiki hipertensi pulmonum dan oksigenasi arteri.
Tidak terdapat pengaruh terhadap tekanan darah sistemik, akan tetapi efek samping
subproduk dari NO berupa peroksinitrit dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan
paru. Oleh karena itu pengunaannya sangat ketat yaitu pada keadaan ekstrem dimana
terjadi hipoksemia akut, gagal jantung kanan serta refrakter terhadap tindakan suportif
yang biasa.
Targeted Drug Treatment
Terapi ini difokuskan pada regresi lesi patologi dan mengurangi jumlah cairan dalam
paru. Sayangnya tidak ada bukti objetif akan keberhasilan metode ini.
Surfactan sintetik secara aerosol (Exosurf) ternyata bermanfaat untuk ARDS pada
neonatus, tetapi tidak pada ARDS . Pada suatu penelitian dengan cara pemberian
langsung pada traktus trakeobronkial ternyata efektif.
Kortikosteroid dosis tinggi dimaksudkan unutk mengurangi reaksi inflamasi pada
jaringan paru , tapi sayangnya hasilnya tidak memuaskan, sehingga tidak
direkomendasikan pada ARDS terutama pada fase awal. Beberapa sumber
menyarankan pemberian metil prednisolon secara pulsed untuk mencegah fase
fibrosis yang destruktif.
Oleh karena metabolit oksigen mempunyai peran yang penting pada patogenesis
ARDS melalui aktifasi neutrofil, maka pemberian antioksidan mungkin akan banyak
banyak manfaatnya sebagai terapi yang spesifikk pada ARDS
Pemberian N-acetylcysteine banyak memberikan harapan dan masih terus
dilakukan penelitian2
Ketoconazol diharapkan dapat menghambat pelepasan TNF oleh makrofag, tetapi
masih diperlukan penelitian dalam jumlah sample yang lebih besar
Diuretikum lebih ditujukan untuk meminimalkan atau mencegah kelebihan cairan,
dan hanya diberikan bila eksresi cairan oleh ginjal terganggu, oleh karena itu cara
paling baik untuk mencegah kelebihan cairan adalah dengan mempertahankan
pengeluaran cairan yang adekuat.Dengan demikian penggunaan diuretikum tidak

rutin, karena tidak sesuai dengan patogenesis ARDS.


Transfusi darah diperlukan untuk menjaga kadar Hb lebih dari 10gr%, tetapi
mengingat kemungkinan terjadinya TRALI maka tranfusi hanya diberikan bila ada
oksigenasi jaringan yang inadekuat.
Extracorporeal Oxygenation
Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) adalah suatu sistem
prolonged cardiopulmonary bypass yang banyak berhasil mengobati bayi baru lahir
yang mengalami gagal nafas akibat aspirasi mekonium, hernia diapragmatika dan
infeksi virus yang berat. Penggunaan EMCO untuk ARDS hasilnya masih
controversial. Hasil yang baik diperoleh pada penderita ARDS karena trauma pada
stadium dini yaitu kurang dari 5 hari.
2.7 Mortalitas
Mortalitas pasien sepsis bervariasi sesuai tingkat keparahan kekurangan
oksigen. Walaupun tingkat keparahan oksigenasi merupakan faktor penyebab
kematian, tetapi pada umumnya pasien meninggal dikarenakan gagal multi organ atau
penyakit yang mendasari progresivitasnya. Beberapa faktor penentu dalam prognosis
ARDS adalah umur, keparahan penyakit, dan kondisi predisposisi dari ARDS.
Contohnya, trauma yang menginduksi ARDS memiliki prognosis lebih baik dari
kondisi yang lain. Faktor resiko klinis penyebab mortalitas ARDS termasuk
oksigenasi yang buruk dan pengembangan paru yang buruk walaupun tidak terbukti
bahwa hanya pengembangan paru yang mempunyai pengaruh yang signifikan pada
oksigenasi. Prediksi lain pada kasus mortalitas ARDS termasuk disfungsi pendarahan
pulmonal, pengembangan paru, oksigenasi, ataupun syok.6
Hipoksemia arteri berat (PaO2/FiO2 <100) dan peningkatan dalam fraksi dead
space paru (> 0,60) berhubungan dengan mortalitas yang lebih tinggi, seperti shock,
disfungsi hati, gagal ginjal akut, usia lebih dari 60 tahun, dan tingkat keparahan
penyakit.
2.8 Prognosis
Prognosis tergantung dari penyebab, adanya disfungsi organ lain, usia dan
penyakit kronik penderita. Mortalitas ARDS mencapai 30%-40%, bila ditambah

dengan MODS dari organ lain maka angka kematian mencapai > 60%, Keadaan ini
belum banyak perbaikan dalam 20 tahun terakhir ini. Pada penderita yang sembuh,
walaupun asimtomatik tetapi kelainan test fungsi paru masih dapat ditemukan.
Dalam penelitian lain selama 1 tahun pada penderita yang sembuh dari ARDS
ternyata beberapa penderita bahkan masih mempunyai gejala sisa fisik dan psikis
secara bermakna akibat fibrosis dan dapat berkembang menjadi menjadi penyakit paru
obstruktif, sedangkan sebagian lainnya fungsi parunya kembali normal dalam 6-12
bulan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hess DR, Kacmarek RM. Adult respiratory distress syndrome. In: Navrozov M,
Hefta T, eds. Essentials of mechanical ventilation. New York: McGraw-Hill;
1996.p.83-7.
2. Jia X. The effects of mechanical ventilation on the development of acute respiratory
distress syndrome. Submitted to the Department of Electrical Engineering and
Computer Science in partial fulfillment of the requirements for the degree of Master
of Engineering in Computer Science and Engineering at the Massachusetts Institute of
Technology. Massachusetts on May 29th , 2007.
3. Piantadosi CA, Schwartz DA. The acute respiratory distress syndrome. Ann Intern
Med 2004; 141:460-70.
4. Parsons PE. Acute respiratory distress syndrome. In: Hanley ME, Welsh CH, eds.
Current diagnosis and treatment in pulmonary medicine. New York: Lange Medical
Books/McGraw-Hill; 2003.p.161-6.
5. Lee WL, Slutsky AS. Hypoxemic respiratory failure, including acute respiratory
distress syndrome. In: Mason RJ, Murray JF, Broaddus VC, Nadel JA, eds. Textbook
of respiratory medicine. 4th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005.p.2352-78.
6. Oh TE. Adult respiratory distress syndrome. In: Oh TE, ed. Intensive Care Manual.
3rd ed. Brisbane: Butterworths Pty Ltd; 1990.p.174-7.
7. Grippi MA. Acute respiratory distress syndrome. In: Fishman AP, Elias JA,
Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM, eds. Manual of pulmonary diseases
and disorders. 3rd ed. New York: McGraw-Hill; 2002.p.1023-33.
8. Ware LB, Mathay MA. The acute respiratory distress syndrome. NEJM 2000; 342:
1334-46.
9. Muhardi, Mulyono I, Kristanto S. Aspek fisiologi ventilasi mekanis. Dalam:
Muhaimin M, ed. Penatalaksanaan Pasien di Intensive Care Unit. Jakarta: Sagung
Seto; 2001.p.29-36.
10. Oh TE. Mechanical ventilatory support. In: Oh TE, ed. Intensive Care Manual. 3rd
ed. Brisbane: Butterworths Pty Ltd; 1990.p.155-61.

11. Levitzky MG. Mechanics of breathing. In: Wonsiewicz M, Hanley P, McCurdy P,


eds. Pulmonary Physiology. 5th ed. New York: McGraw- Hill; 1999.p.13-54.
12. Levitzky MG. Alveolar ventilation. In: Wonsiewicz M, Hanley P, McCurdy P, eds.
Pulmonary Physiology. 5th ed. New York: McGraw-Hill;1999.p.55-84.

You might also like