Professional Documents
Culture Documents
OLEH
NOVI WARDATUNNAFIS
NIM. 13.1.037
potongan bambu, dilipatan daun dan genangan air bersih alami lainnya (Aedes
Albopictus). Nyamuk betina lebih menyukai menghisap darah korbannya pada siang hari
terutama pada waktu pagi hari dan senja hari (Soedarto, 1990).
3. Host
Jika seseorang mendapat infeksi dengue untuk pertama kalinya maka ia akan
mendapatkan imunisasi yang spesifik tetapi tidak sempurna, sehingga ia masih mungkin
untuk terinfeksi virus dengue yang sama tipenya maupun virus dengue tipe lainnya.
Dengue Haemoragic Fever (DHF) akan terjadi jika seseorang yang pernah mendapatkan
infeksi virus dengue tipe tertentu mendapatkan infeksi ulangan untuk kedua kalinya atau
lebih dengan pula terjadi pada bayi yang mendapat infeksi virus dengue untuk pertama
kalinya jika ia telah mendapat imunitas terhadap dengue dari ibunya melalui plasenta.
(Soedarto, 1990).
C. Patofisiologi
Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan dan gejala
karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh badan, hiperemi
di tenggorokan, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin muncul pada sistem
retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam
pada DHF disebabkan karena kongesti pembuluh darah dibawah kulit.
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan DD
dan DBD ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena pelepasan zat
anafilaktosin, histamin dan serotonin serta aktivasi sistem kalikrein yang berakibat
ekstravasasi cairan intravaskuler. Hal ini berakibat berkurangnya volume plasma, terjadinya
hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan.
Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler dibuktikan dengan ditemukannya
cairan dalam rongga serosa, yaitu dalam rongga peritoneum, pleura dan perikard. Renjatan
hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan plasma, bila tidak segera teratasi akan
terjadi anoxia jaringan, asidosis metabolik dan kematian. Sebab lain kematian pada DBD
adalah perdarahan hebat. Perdarahan umumnya dihubungkan dengan trombositopenia,
gangguan fungsi trombosit dan kelainan fungsi trombosit.
Panas 2 7 hari , gejala umum tidak khas, uji taniquet hasilnya positif.
2. Derajat II
Sama dengan derajat I di tambah dengan gejala-gejala pendarahan spontan seperti
petekia, ekimosa, epimosa, epistaksis, haematemesis, melena, perdarahan gusi telinga dan
sebagainya.
3. Derajat III
Penderita syok ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan
cepat (> 120 / menit) tekanan nadi sempit (< 20 mmHg) tekanan darah menurun (120 / 80
mmHg) sampai tekanan sistolik dibawah 80 mmHg.
4. Derajat IV
Nadi tidak teraba,tekanan darah tidak terukur (denyut jantung > 140 mmHg) anggota
gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak biru.
WHO (2008) mengklasifikasikan DHF menurut derajat penyakitnya menjadi 4 golongan,
yaitu :
1. Derajat I
Demam dengan test rumple leed positif.
2. Derajat II
Sama dengan derajat I, ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan seperti petekie,
ekimosis, hematemesis, melena, perdarahan gusi.
3. Derajat III
Ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat(> 120
x/menit), tekanan nadi menurun/ hipotensi disertai dengan kulit dingin lembab dan pasien
menjadi gelisah
4. Derajat IV
Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak teratur anggota gerak
teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak biru.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam
dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah
trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai
gambaran limfosit plasma biru. Parameter laboratori yang dapat diperiksa:
IgM
IgG
Interpretasi
+
Infeksi primer
+
+
Infeksi sekunder
+
Riwayat terpapar/ dugaan infeksi sekunder
Bukan infeksi Flavivirus, ulang 3-5 hari bila curiga.
Uji HI: 1: 2560 Infeksi sekunder Flavivirus
G. Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk DD dan DBD, prinsip utama adalah terapi suportif.
Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari
1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam
penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika
asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan
melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi (Depkes RI, 2005).
Tatalaksana DBD dibagi atas 3 fase berdasarkan perjalanan penyakitnya (Hardiono,
2005):
1. Fase Demam terapi simptomatik dan suportif.
a. Parasetamol
10
mg/kgBB.dosis
setiap
4-6
jam
(aspirin
dan
ibuprofen
Rawat di bangsal khusus atau sudut tersendiri sehingga pasien mudah diawasi.
Catat tanda vital, asupan dan keluaran cairan dalam lembar khusus.
Bayi.
Obesitas.
Perdarahan masif.
Penurunan kesadaran.
c. Tatalaksana cairan
Indikasi pemberian cairan intravena:
-
Syok.
Kristaloid (jenis cairan pilihan diantaranya: ringer laktat dan ringer asetat
terutama pada fase syok)
Jumlah Cairan:
Selama fase kritis pasien harus menerima sejumlah cairan rumatan ditambah
defisit 5-8% atau setara dehidrasi sedang.
Pasien dengan berat badan (BB) lebih dari 40kg, total cairan intravena setara
dengan 2 kali rumatan.
Tetesan:
BB 15-40 kg 5 ml/kgBB/jam
Pada kasus DBD derajat IV, untuk resusitasi diberikan cairan RL 10 ml/kgBB
dengan tetesan lepas secepat mungkin (10-15 menit) kalau perlu dengan
tekanan positif, sampai tekanan darah dan nadi dapat diukur, kemudian
turunkan sampai 10 ml/kgBB/jam.
d. Pemantauan
Pemantauan terhadap syok dilakukan dengan ketat selama 1-2 jam setelah
resusitasi. Apabila pemberian cairan tidak dapat dikurangi menjadi 10 ml/kg/jam,
oleh karena tanda vital tidak stabil (tekanan nadi sempit, nadi teraba cepat dan
lemah), syok belum teratasi, maka segera diberikan cairan koloidal 10 ml/
kgBB/jam.
Pada kasus-kasus dengan syok persisten, yang tidak bisa diatasi dengan
pemberian cairan kristaloid maupun koloidal, maka perlu dicurigai adanya
perdarahan internal. Untuk keadaan ini diberikan transfusi darah segar.
Pada kasus-kasus DBD derajat IV (DSS) yang pada waktu masuk rumah sakit
nilai awal hematokritnya rendah, dipikirkan kemungkinan perdarahan internal,
sehingga pemantauan nilai Ht harus lebih sering.
Hematokrit
Jumlah urine
Kehilangan darah bermakna, yaitu > 10% volume darah total. (Total
volume darah = 80 ml/kg). Berikan darah sesuai kebutuhan. Apabila
packed red cell (PRC) tidak tersedia, dapat diberikan sediaan darah
segar.
3. Fase penyembuhan
Setelah
masa
kritis
terlampaui
maka
pasien
akan
masuk
dalam
fase
maintenance/penyembuhan, pada saat ini akan ada ancaman timbul keadaan overload
cairan. Sehingga pemberian cairan intravena harus diberikan dalam jumlah minimal
hanya untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi intra vaskuler, sebab apabila jumlah cairan
b.
c.
d.
e.
Diuresis cukup
4. Indikasi Pulang
a. 24 jam tidak pernah demam tanpa antipiretik
b. Secara klinis tampak perbaikan
c. Nafsu makan baik
d. Nilai Ht stabil
e. Tiga hari sesudah syok teratasi
f. Tidak ada sesak nafas atau takipnea
g. Trombosit 50.000/l.
H. Pengkajian
Pengkajian merupakan suatu pendekatan yang sistematis untuk mengumpulkan data atau
informasi dan menganalisa sehingga dapat diketahui kebutuhan penderita tersebut.
1. Data Biografi
Identitas : Umur, Alamat (daerah endemis, lingkungan rumah / sekolah ada yang terkena
DB)
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama (keluhan yang dirasakan pasien saat pengkajian) : panas, muntah,
epistaksis, pendarahan gusi.
b. Riwayat kesehatan sekarang (riwayat penyakit yang diderita pasien saat masuk rumah
sakit) : kapan mulai panas
c. Riwayat kesehatan yang lalu (riwayat penyakit yang sama atau penyakit lain yang
pernah diderita oleh pasien)
d. Riwayat kesehatan keluarga (riwayat penyakit yang sama atau penyakit lain yang
pernah diderita oleh anggota keluarga yang lain baik bersifat genetik atau tidak)
Sistem kardiovaskuler : takikardi, nadi lemah dan cepat/tak teraba, kapilary refill
lambat, akral hangat/dingin, epistaksis, sianosis perifer, nyeri dada
Sistem gastrointestinal :
perdarahan hanya berupa uji torniquet positif dan atau mudah memar, trombositopeni
dan hemokonsentrasi.
b. Derajat II : Manifestasi klinik pada derajat derajat I disertai perdarahan spontan
dibawah kulit seperti ptekhie, hematoma dan perdarahan dari tempat lain.
c. Derajat III : Manifestasi klinik pada penderita derajat II ditambah dengan terdapat
kegagalan sistem sirkulasi, nadi cepat dan lemah atau hipotensi, disertai kulit dingin
dan sembab atau gelisah.
d. Derajat IV : Manifestasi klinik pada penderita derajat III ditambah dengan renjatan
yang berat ditandai tekanan darah tidak terukur dan nadi tidak teraba.
I. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan Dengue Shock
Syndrome (NANDA, 2012) meliputi :
1. Hipertermi b.d proses infeksi virus dengue (viremia)
2. Kekurangan volume cairan b.d perpindahan cairan dari intravaskuler ke ekstravaskuler
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake in adekuat
4. Resiko syok hipovolemik b.d permeabilitas membran meningkat
5. Resiko cedera (perdarahan) b.d trombisitopenia
J. Fokus Intervensi
1. Penatalaksanaan demam
a. Treatmen Demam
b. Regulasi suhu
c. Monitoring tanda-tanda vital
2. Pemenuhan kebutuhan nutrisi dan cairan
a. Managemen nutrisi
b. Monitoring nutrisi
c. Managemen cairan
d. Monitoring cairan
3. Pencegahan dan penatalaksanaan syok
4. Manajemen lingkungan
5. Memberikan informasi trntang prosedur perawatan, prognosis, kebutuhan pengobatan dan
potensial komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. (2005). Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan kesehatan.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik.
WHO Indonesia. (2008). Pedoman pelayanan kesehatan anak di rumah sakit rujukan tingkat
pertama di kabupaten/kota. Alih bahasa: Tim Adaptasi Indonesia. Jakarta: Depkes RI.
Hardiono, dkk. (2005). Standar pelayanan medis kesehatan anak. Ed.I. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI.
NANDA International. (2012). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012 - 2014.
(M. Ester, Ed., M. Sumarwati, D. Widiarti, & E. Tiar, Trans.) Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif & Suprohaita. (2000). Kapita Slekta Kedokteran Jilid II. Fakultas Kedokteran
UI : Media Aescullapius : Jakarta.
Soedarto. (1994). Pedoman Diagnosis dan Terapi. F.K. Universitas Airlangga :Surabaya.
Sutaryo. (2004). Dengue. Medika Fak.Kedokteran UGM : Yogyakarta.