You are on page 1of 15

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Anatomi dan Histologi Apendiks


Apendiks merupakan suatu evaginasi dari sekum yang ditandai dengan

sebuah lumen kecil, sempit, dan tidak teratur. Struktur tersebut disebabkan oleh
folikel limfoid yang banyak pada apendiks (Junqueira dan Carneiro, 2007).
Apendiks memiliki panjang sekitar 3-15 cm dan diameter 0,5-1 cm. Pada
bagian proksimal, lumen apendiks sempit dan melebar di bagian distal. Pada bayi,
apendiks berbentuk kerucut, di mana bagian pangkal melebar dan semakin
menyempit ke arah ujung. Hal ini merupakan salah satu faktor insidensi
apendisitis yang rendah pada umur tersebut (Pieter, 2005).
Sekitar 65% apendiks terletak di intraperitoneal. Kedudukan ini
menyebabkan apendiks dapat bergerak sesuai dengan panjang mesoapendiks yang
menggantungnya. Apendiks juga dapat terletak di retroperitoneal, yaitu di
belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens.
Letak apendiks dapat menentukan manifestasi klinis apendisitis (Pieter, 2005).
Appendiks tampak pertama kali saat minggu ke-8 perkembangan
embriologi yaitu bagian ujung protuberans sekum. Pada saat antenatal dan
postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi apendiks,
kemudian berpindah dari medial menuju katup ileosekal (Pieter, 2005).
Apendiks memiliki 4 lapisan yaitu, mukosa, submukosa, muskularis
eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler), dan serosa. Apendiks dapat tidak
terlihat karena membran Jackson yang (lapisan peritoneum) menyebar dari bagian
lateral abdomen ke ileum terminal, menutup sekum dan apendiks. Lapisan
mukosa terdiri dari satu lapis epitel bertingkat dan crypta lieberkuhn. Dinding
dalam (inner circular layer) berhubungan dengan sekum dan dinding luar (outer
longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia coli pada pertemuan
sekum dan apendiks. Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari
apendiks. diantara mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Lapisan

Universitas Sumatera Utara

submukosa terdiri dari jaringan ikat longgar dan jaringan elastik yang membentuk
jaringan saraf, pembuluh darah dan limfe (Pieter, 2005).
Persarafan parasimpatis apendiks berasal dari cabang n. vagus yang
mengikuti a. mesenterika superior dan a. apendikularis, sedangkan persarafan
simpatis berasal dari n. torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis
bermula di sekitar umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari a. apendikularis
yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren (Pieter, 2005).

2.2.

Fisiologi Apendiks
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara apendiks

tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis (Pieter, 2005).


Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated
Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks,
ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.
Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi system imun
tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan
jumlahnya di saluran cerna dan diseluruh tubuh (Pieter, 2005).
Jaringan limfoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu
setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa
dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah umur 60 tahun, tidak ada
jaringan limfoid lagi di apendiks dan terjadi penghancuran lumen apendiks
komplit. Immunoglobulin sekretorius dihasilkan sebagai bagian dari jaringan
limfoid yang berhubungan dengan usus untuk melindungi lingkungan anterior.
Apendiks bermanfaat tetapi tidak diperlukan (Schwartz, 2000).

Universitas Sumatera Utara

2.3.

Apendisitis
2.3.1.

Definisi
Apendiks adalah ujung seperti jari-jari yang kecil panjangnya

kira-kira 10cm (4 inci), melekat pada sekum tepat dibawah katup ilosekal
(Smeltzer dan Bare, 2002).
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering (Mansjoer dkk., 2000).
Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut
pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, dan bedah abdomen darurat
(Smeltzer dan Bare, 2002).

2.3.2.

Etiologi
Pada penelitian, ligasi (obstruksi) apendiks menyebabkan

peningkatan mencolok tekanan intralumen, yang dengan cepat melebihi


tekanan darah sistolik. Pada awalnya kongesti darah vena menjelek
menjadi trombosis, nekrosis dan perforata. Secara klinis, obstruksi lumen
merupakan penyebab utama apendisitis. Obstruksi ini disebabkan oleh
pengerasan bahan tinja (fekolit). Fekalit merupakan penyebab tersering
dari obstruksi apendiks. Bahan yang mengeras ini bisa mengapur, terlihat
dalam foto rontgen sebagai apendikolit (15-20%). Obstruksi akibat dari
edema mukosa dapat disertai dengan infeksi virus atau bakteri (Yersinia,
Salmonella, Shigella) sistemik. Mukus yang tidak normal terkesan sebagai
penyebab meningkatnya insidens apendisitis pada anak dengan kistik
fibrosis. Tumor karsinoid, benda asing, dan ascaris jarang menjadi
penyebab apendisitis (Hartman, 2000).
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis
adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica.
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.
Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan

Universitas Sumatera Utara

kuman flora kolon biasa. Semuanya akan mempermudah terjadinya


apendisits akut (Pieter, 2005).

2.3.3.

Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen

apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur


pada fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma (Mansjoer
dkk., 2000).
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada
bagian proksimal. Selanjutnya, terjadi peningkatan sekresi normal dari
mukosa apendiks yang distensi secara terus menerus karena multiplikasi
cepat dari bakteri. Obstruksi iga menyebabkan mukus yang diproduksi
mukosa terbendung. semakin lama, mukus tersebut semakin banyak.
Namun, elastisitas dinding apendiks terbatas sehingga meningkatkan
tekanan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml
(Schwartz, 2000).
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks
mengalami hipoksia, hambatan aliran limfe, ulserasi mukosa, dan invasi
bakteri. Infeksi memperberat pembengkakan apendiks (edema). Trombosis
pada pembuluh darah

intramural (dinding apendiks) menyebabkan

iskemik. Pada saat ini, terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh
nyeri epigastrium (Mansjoer dkk., 2000).
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus
meningkat. Hal tersebut menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah,
dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang meluas dan
mengenai peritoneum setempat menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut (Mansjoer dkk.,
2000).
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding
apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan

Universitas Sumatera Utara

apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan
terjadi apendisitis perforata (Mansjoer dkk., 2000).
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus
yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa
lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut
dapat menjadi abses atau menghilang (Mansjoer dkk., 2000).
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis
yang dimulai di mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks
dalam waktu 24-48 jam pertama. Ini merupakan usaha pertahanan tubuh
yang membatasi proses radang melalui penutupan apendiks dengan
omentum, usus halus, atau adneksa. Akibatnya, terbentuk massa
periapendikular. Di dalamnya, dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses
yang dapat mengalami perforata. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis
akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang, dan
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat (Pieter, 2005).
Pada anak-anak, perforata mudah terjadi karena omentum lebih
pendek, apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis, dan daya
tahan tubuh yang masih kurang. Pada orang tua, perforata mudah terjadi
karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer dkk., 2000).
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna,
tetapi membentuk jaringan parut dan menyebabkan perlengketan dengan
jaringan sekitar. Perlengketan ini menimbulkan keluhan berulang diperut
kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan
dinyatakan mengalami eksaserbasi akut (Pieter, 2005).

2.3.4.

Manifestasi klinis
Pada permulaan timbulnya penyakit, belum ada keluhan

abdomen yang menetap. Keluhan apendisitis akut biasanya bermula dari


nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan
muntah. Dalam 2-12 jam, nyeri beralih ke kuadran kanan, menetap, dan
diperberat saat berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia,

Universitas Sumatera Utara

malaise, demam yang tidak terlalu tinggi, konstipasi, kadang-kadang diare,


mual dan muntah. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan
bawah akan semakin progresif (Mansjoer dkk., 2000).
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari
oleh radang mendadak apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Umumnya nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke
titik McBurney. Di sini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya
sehingga merupakan somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri
epigastrium tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah

terjadinya

perforata.

Bila

terdapat

perangsangan

peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk
(Pieter, 2005).
Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, karena
letaknya terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak
begitu jelas dan tidak ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah
perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot
psoas mayor yang menegang dari dorsal (Pieter, 2005).
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat
menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga
peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya
(Pieter, 2005).
Penjelekan sejak mulainya gejala sampai perforata biasanya
terjadi setelah 36-48 jam. Jika diagnosis terlambat setelah 36-48 jam,
angka perforata menjadi 65% (Hartman, 2000).
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis
sehingga tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala
apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya

Universitas Sumatera Utara

rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa
nyerinya dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan
anak akan menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi,
sering apendisitis diketahui setelah perforata. Pada bayi, 80-90 %
apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforata (Pieter, 2005).

Manifestasi klinis apendisitis akut (Pieter, 2005) :


tanda awal

nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilikus disertai mual dan


anoreksi
nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan

peritoneum lokal di titik McBurney


o

nyeri tekan

nyeri lepas

defans muskuler

nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung


o

nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)

nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan


(Blumberg)

nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam,


berjalan, batuk, mengedan

2.3.5.

Diagnosis
Menurut Kartono (1995), massa apendiks dengan proses radang

aktif ditandai dengan:


1.

Keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi;

2.

Pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas


terdapat tanda-tanda peritonitis;

3.

Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat


pergeseran ke kiri.

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan, massa apendiks dengan proses radang yang telah


reda ditandai dengan:
1.

Pasien berumur 5 tahun atau lebih.

2.

Keadaan umum telah membaik, sakit, dan suhu tubuh tidak tinggi lagi.

3.

Pemeriksaan lokal abdomen tenang, tanpa tanda-tanda peritonitis, dan


massa dengan berbatas jelas dengan nyeri tekan ringan.

4.

Laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.

Riwayat klasik apendisitis akut, yang diikuti massa yang nyeri


di regio iliaka kanan dan demam, mengarahkan diagnosis pada massa atau
abses apendikuler. Diagnosis didukung dengan pemeriksaan fisik maupun
penunjang. Kesalahan diagnosis lebih sering pada perempuan dibanding
laki-laki. Hal ini terjadi karena perempuan, terutama yang masih muda,
sering mengalami gangguan yang mirip apendisitis akut. Keluhan dapat
berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis
atau penyakit. Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis yang
meragukan dilanjutkan dengan observasi penderita di rumah sakit, dengan
pengamatan setiap 1-2 jam (Pieter, 2005).

2.3.6.

Pemeriksaan

2.3.6.1.

Pemeriksaan Fisik
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila

suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforata. Bisa terdapat


perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1C. Pada inspeksi perut tidak
ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita
dengan komplikasi perforata. Appendisitis infiltrat atau adanya abses
apendikuler terlihat dengan adanya penonjolan di perut kanan bawah
(Pieter, 2005).
Apendisitis yang tidak terobati berlanjut dengan perforata dalam
48-72 jam; karenanya, lamanya gejalanya sangat penting dalam

Universitas Sumatera Utara

mengintepretasi tanda fisik dalam menentukan strategi pengobatan (Pieter,


2005).
Pemeriksaan fisik harus dimulai dengan inspeksi tingkah laku
anak dan keadaan perutnya. Anak dengan apendisitis sering bergerak
perlahan dan terbatas, membungkuk kedepan, dan sering dengan sedikit
pincang. Anak tersebut akan memegang kuadran kanan bawah dengan
tangan dan enggan untuk naik ke meja periksa. Apendisitis dini perut rata.
Perubahan warna dan bekas luka memar harus dipikirkan trauma perut.
Perut kembung menunjukkan suatu komplikasi seperti perforata atau
obstruksi. Auskultasi bisa menunjukkan suara usus normal atau hiperaktif
pada apendisitis dini diganti dengan suara usus hipoaktif ketika menjelek
menjadi perforata (Hartman, 2000).
Palpasi abdomen harus dilakukan dengan lembut setelah
pelaporan dan dibantu dengan selingan pembicaraan atau bantuan
orangtua. Kuadran kanan bawah (titik Mcburney) harus dipalpasi terakhir
setelah pemeriksa telah mempunyai kesempatan mempertimbangkan
respons terhadap pemeriksaan kuadran yang seharusnya tidak nyeri. Titik
Mcburney adalah perpotongan lateral dan duapertiga dari garis ysng
menghubungkan spina iliaka superior anterior kanan dan umbilikus. Tanda
fisik yang paling penting pada apendisitis adalah nyeri tekan menetap pada
saat palpasi dan kekakuan lapisan otot rektus. Jika anak takut atau agitasi
saat pemeriksaan sebelumnya, maka otot perut mungkin tegang
keseluruhan, membuat interpretasi temuan ini tidak dimungkinkan
(Hartman, 2000).
Pemeriksaan nyeri lepas harus dikerjakan dengan hati-hati
supaya bermakna. Palpasi perut yang dalam dan kemudian dilepaskan
dengan tiba-tiba akan menyebabkan nyeri dan rasa takut pada semua anak
dan hal ini tidak dianjurkan. Perkusi jari dengan lembut pada semua
kuadran merupakan pemeriksaan yang lebih baik dari iritasi peritoneum
berulang pada semua kelompok umur tetapi terutama pada anak yang takut
(Hartman, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Peristalsis usus sering normal, peristalsis dapat hilang karena


ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata.
Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa
dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika (Pieter,
2005).
Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka
kunci diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.
Colok dubur pada anak tidak dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji
obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui
letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan m. psoas lewat
hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila apendiks yang meradang menempel di
m. psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator
digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Dengan
gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada
apendisitis pelvika akan menimbulkan nyeri (Pieter, 2005).

2.3.6.2.

Pemeriksaan Penunjang

2.3.6.2.1. Pemeriksaan Laboratorium


Pada darah lengkap didapatkan leukosit ringan umumnya pada
apendisitis sederhana. Lebih dari 13.000/mm3 umumnya pada apendisitis
perforata. Tidak adanya leukositosis tidak menyingkirkan apendisitis.
Hitung jenis leukosit terdapat pergeseran kekiri. Pada pemeriksaan urin,
sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan eritrosit lebih dari normal
bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika (Kartono,
1995).

2.3.6.2.2. Pemeriksaan Radiologi


Pemeriksaan pencitraan yang mungkin membantu dalam
mengevaluasi anak dengan kecurigaan apendisitis adalah foto polos perut
atau dada, ultrasonogram, enema barium, dan kadang-kadang CT scan.

Universitas Sumatera Utara

Temuan apendisitis pada foto perut meliputi apendikolit yang mengalami


kalsifikasi, usus halus yang distensi atau obstruksi, dan efek massa
jaringan lunak (Hartman, 2000)
Menurut Darmawan Kartono, 1995 foto polos abdomen
dikerjakan apabila hasil anamnesa atau pemeriksaan fisik meragukan.
Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah. Gambaran perselubungan
mungkin terlihat ileal atau caecal ileus (gambaran garis permukaan airudara disekum atau ileum).

Foto polos pada apendisitis perforata:


1.

gambaran perselubungan lebih jelas dan dapat tidak terbatas di


kuadran kanan bawah

2.

penebalan dinding usus disekitar letak apendiks, sperti sekum dan


ileum.

3.

Garis lemak pra peritoneal menghilang

4.

Skoliosis ke kanan

5.

Tanda-tanda obstruksi usus seperti garis-garis permukaan cairancairan akibat paralisis usus-usus lokal di daerah proses infeksi.

CT scan telah menjadi modalitas pilihan untuk mendiagnosis


usus buntu pada anak-anak. CT scan telah terbukti memiliki akurasi 97%
dalam mendiagnosis apendisitis. Keuntungan lainnya adalah kemampuan
untuk mengevaluasi seluruh perut dan menemukan abses dan phlegmon,
kurangnya ketergantungan pada keterampilan operator, dan keakraban
dokter dengan membaca CT scan. Kerugian meliputi paparan radiasi
tersebut, kebutuhan akan kontras oral dan intravena dan kerugian yang
terkait, dan kebutuhan pasien untuk diam, yang sering sulit untuk anakanak kecil. Karena keuntungan CT scan, 62% dari dokter bedah anak yang
disurvei di Amerika Utara lebih suka untuk evaluasi usus buntu. CT scan
paling disukai, dengan 51-58% pasien dengan apendisitis diduga menjalani
CT scan. Namun, walaupun sekarang penggunaan luas CT scan untuk

Universitas Sumatera Utara

evaluasi apendisitis dengan sensitivitas dan spesifisitas unggul, tingkat


usus buntu negatif pada anak-anak belum menunjukkan penurunan
signifikan secara statistik (Katz, 2009).
Temuan pada barium enema adalah temuan pengaruh massa
pada sekum karena proses radang dan lumen apendiks tidak terisi atau
terisi sebagian (Hartman, 2000).

2.3.7. Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer dkk. (2000), penatalaksanaan apendisitis terdiri dari:
a.

Sebelum operasi
1.

Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi

2.

Pemasangan kateter untuk kontrol produksi urin

3.

Rehidrasi

4.

Antibiotik dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan


secara intravena

5.

Obat obatan penurun panas, phenergan sebagai anti mengigil,


largaktil untuk membuka pembuluh pembuluh darah perifer
diberikan setelah rehidrasi tercapai

6.

b.

Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi

Operasi
1.

Apendiktomi

2.

Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforata bebas,


maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika

3.

Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massa mungkin


mengecil, atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka
waktu beberapa hari. Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan
operasi elektif sesudah 6 minggu sampai 3 bulan

Universitas Sumatera Utara

c.

Pasca Operasi
1.

Observasi Tanda-tanda

vital untuk

mengetahui terjadinya

perdarahan di dalam, syok, hipertermia atau gangguan pernafasan.


2.

Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi


cairan lambung dapat dicegah

3.

Baringkan pasien dalam posisi semi fowler

4.

Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan,


selam pasien dipuasakan

5.

Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforata, puasa


dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal.

6.

Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4 5 jam lalu naikkan


menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring
dan hari berikutnya diberikan makanan lunak

7.

Satu hari pascar operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di


tempat tidur selama 2x30 menit

8.

Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar

9.

Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang

Apendiktomi harus dilakukan dalam beberapa jam setelah diagnosis


ditegakkan (Pieter, 2005).
Jika apendiks telah perforata, terutama dengan peritonitis menyeluruh,
resusitasi cairan yang cukup dan antibiotik spektrum luas mungkin diperlukan
beberapa jam sebelum apendiktomi. Pengisapan nasogastrik harus digunakan jika
ada muntah yang berat atau perut kembung. Antibiotik harus mencakup organisme
yang sering ditemukan (Bacteroides, Escherichia coli, Klebsiella, dan
pseudomonas spesies). Regimen yang sering digunakan secara intravena adalah
ampisilin (100 mg/kg/24 jam), gentamisin (5 mg/kg/24 jam), dan klindamisin (40
mg/kg/24 jam), atau metrobnidazole (Flagyl) (30 mg/kg/24 jam). Apendiktomi
dilakukan dengan atau tanpa drainase cairan peritoneum, dan antibiotik diteruskan
sampai 7-10 hari (Hartman, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau


mikroperforata ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus.
Pada massa periapendikular yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi
penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika perforata diikuti peritonitis
purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikular yang masih bebas
disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi
lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja.
Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal,
penderita boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan
kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin.
Bila terjadi perforata, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan
kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan
massa, serta bertambahnya angka leukosit (Pieter, 2005).
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak
kecil, wanita hamil, dan penderita umur lanjut, jika secara konservatif tidak
membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya (Pieter,
2005).

2.3.8. Komplikasi
Komplikasi apendisitis terjadi pada 25-30% anak dengan apendisitis,
terutama komplikasi yang dengan perforata (Hartman, 2000).
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), komplikasi potensial setelah
apendiktomi antara lain:
1. Peritonitis
Observasi terhadap nyeri tekan abdomen, demam, muntah, kekakuan abdomen,
dan takikardia. Lakukan penghisapan nasogastrik konstan. Perbaiki dehidrasi
sesuai program. Berikan preparat antibiotik sesuai program.
2. Abses pelvis atau lumbal
Evaluasi adanya anoreksi, menggigil, demam, dan diaforesis. Observasi adanya
diare, yang dapat menunjukkan abses pelvis, siapkan pasien untuk pemeriksaan
rektal. Siapkan pasien untuk prosedur drainase operatif.

Universitas Sumatera Utara

3. Abses Subfrenik (abses dibawah diafragma)


Kaji pasien terhadap adanya menggigil, demam, diaforesis. Siapkan untuk
pemeriksaan sinar-x. Siapkan drainase bedah terhadap abses.
4. Ileus
Kaji bising usus. Lakukan intubasi dan pengisapan nasogastrik. Ganti cairan
dan elektrolit dengan rute intravena sesuai program. Siapkan untuk
pembedahan, bila diagnosis ileus mekanis ditegakkan.

2.3.9. Prognosis
Prognosis baik bila dilakukan diagnosis dini sebelum ruptur, dan diberi
antibiotik yang lebih baik. Apendisitis akut tanpa perforata memiliki mortalitas
sekitar 0,1%, dan mencapai 15% pada orang tua dengan perforata. Umumnya,
mortalitas berhubungan dengan sepsis, emboli paru, ataupun aspirasi (Schwartz,
2000).

Universitas Sumatera Utara

You might also like