Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
sebuah lumen kecil, sempit, dan tidak teratur. Struktur tersebut disebabkan oleh
folikel limfoid yang banyak pada apendiks (Junqueira dan Carneiro, 2007).
Apendiks memiliki panjang sekitar 3-15 cm dan diameter 0,5-1 cm. Pada
bagian proksimal, lumen apendiks sempit dan melebar di bagian distal. Pada bayi,
apendiks berbentuk kerucut, di mana bagian pangkal melebar dan semakin
menyempit ke arah ujung. Hal ini merupakan salah satu faktor insidensi
apendisitis yang rendah pada umur tersebut (Pieter, 2005).
Sekitar 65% apendiks terletak di intraperitoneal. Kedudukan ini
menyebabkan apendiks dapat bergerak sesuai dengan panjang mesoapendiks yang
menggantungnya. Apendiks juga dapat terletak di retroperitoneal, yaitu di
belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens.
Letak apendiks dapat menentukan manifestasi klinis apendisitis (Pieter, 2005).
Appendiks tampak pertama kali saat minggu ke-8 perkembangan
embriologi yaitu bagian ujung protuberans sekum. Pada saat antenatal dan
postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi apendiks,
kemudian berpindah dari medial menuju katup ileosekal (Pieter, 2005).
Apendiks memiliki 4 lapisan yaitu, mukosa, submukosa, muskularis
eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler), dan serosa. Apendiks dapat tidak
terlihat karena membran Jackson yang (lapisan peritoneum) menyebar dari bagian
lateral abdomen ke ileum terminal, menutup sekum dan apendiks. Lapisan
mukosa terdiri dari satu lapis epitel bertingkat dan crypta lieberkuhn. Dinding
dalam (inner circular layer) berhubungan dengan sekum dan dinding luar (outer
longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia coli pada pertemuan
sekum dan apendiks. Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari
apendiks. diantara mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Lapisan
submukosa terdiri dari jaringan ikat longgar dan jaringan elastik yang membentuk
jaringan saraf, pembuluh darah dan limfe (Pieter, 2005).
Persarafan parasimpatis apendiks berasal dari cabang n. vagus yang
mengikuti a. mesenterika superior dan a. apendikularis, sedangkan persarafan
simpatis berasal dari n. torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis
bermula di sekitar umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari a. apendikularis
yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren (Pieter, 2005).
2.2.
Fisiologi Apendiks
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara apendiks
2.3.
Apendisitis
2.3.1.
Definisi
Apendiks adalah ujung seperti jari-jari yang kecil panjangnya
kira-kira 10cm (4 inci), melekat pada sekum tepat dibawah katup ilosekal
(Smeltzer dan Bare, 2002).
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering (Mansjoer dkk., 2000).
Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut
pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, dan bedah abdomen darurat
(Smeltzer dan Bare, 2002).
2.3.2.
Etiologi
Pada penelitian, ligasi (obstruksi) apendiks menyebabkan
2.3.3.
Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
iskemik. Pada saat ini, terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh
nyeri epigastrium (Mansjoer dkk., 2000).
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus
meningkat. Hal tersebut menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah,
dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang meluas dan
mengenai peritoneum setempat menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut (Mansjoer dkk.,
2000).
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding
apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan
apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan
terjadi apendisitis perforata (Mansjoer dkk., 2000).
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus
yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa
lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut
dapat menjadi abses atau menghilang (Mansjoer dkk., 2000).
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis
yang dimulai di mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks
dalam waktu 24-48 jam pertama. Ini merupakan usaha pertahanan tubuh
yang membatasi proses radang melalui penutupan apendiks dengan
omentum, usus halus, atau adneksa. Akibatnya, terbentuk massa
periapendikular. Di dalamnya, dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses
yang dapat mengalami perforata. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis
akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang, dan
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat (Pieter, 2005).
Pada anak-anak, perforata mudah terjadi karena omentum lebih
pendek, apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis, dan daya
tahan tubuh yang masih kurang. Pada orang tua, perforata mudah terjadi
karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer dkk., 2000).
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna,
tetapi membentuk jaringan parut dan menyebabkan perlengketan dengan
jaringan sekitar. Perlengketan ini menimbulkan keluhan berulang diperut
kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan
dinyatakan mengalami eksaserbasi akut (Pieter, 2005).
2.3.4.
Manifestasi klinis
Pada permulaan timbulnya penyakit, belum ada keluhan
terjadinya
perforata.
Bila
terdapat
perangsangan
peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk
(Pieter, 2005).
Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, karena
letaknya terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak
begitu jelas dan tidak ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah
perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot
psoas mayor yang menegang dari dorsal (Pieter, 2005).
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat
menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga
peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya
(Pieter, 2005).
Penjelekan sejak mulainya gejala sampai perforata biasanya
terjadi setelah 36-48 jam. Jika diagnosis terlambat setelah 36-48 jam,
angka perforata menjadi 65% (Hartman, 2000).
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis
sehingga tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala
apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya
rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa
nyerinya dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan
anak akan menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi,
sering apendisitis diketahui setelah perforata. Pada bayi, 80-90 %
apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforata (Pieter, 2005).
nyeri tekan
nyeri lepas
defans muskuler
2.3.5.
Diagnosis
Menurut Kartono (1995), massa apendiks dengan proses radang
Keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi;
2.
3.
2.
Keadaan umum telah membaik, sakit, dan suhu tubuh tidak tinggi lagi.
3.
4.
2.3.6.
Pemeriksaan
2.3.6.1.
Pemeriksaan Fisik
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila
2.3.6.2.
Pemeriksaan Penunjang
2.
3.
4.
Skoliosis ke kanan
5.
Tanda-tanda obstruksi usus seperti garis-garis permukaan cairancairan akibat paralisis usus-usus lokal di daerah proses infeksi.
2.3.7. Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer dkk. (2000), penatalaksanaan apendisitis terdiri dari:
a.
Sebelum operasi
1.
2.
3.
Rehidrasi
4.
5.
6.
b.
Operasi
1.
Apendiktomi
2.
3.
c.
Pasca Operasi
1.
Observasi Tanda-tanda
vital untuk
mengetahui terjadinya
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar
9.
2.3.8. Komplikasi
Komplikasi apendisitis terjadi pada 25-30% anak dengan apendisitis,
terutama komplikasi yang dengan perforata (Hartman, 2000).
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), komplikasi potensial setelah
apendiktomi antara lain:
1. Peritonitis
Observasi terhadap nyeri tekan abdomen, demam, muntah, kekakuan abdomen,
dan takikardia. Lakukan penghisapan nasogastrik konstan. Perbaiki dehidrasi
sesuai program. Berikan preparat antibiotik sesuai program.
2. Abses pelvis atau lumbal
Evaluasi adanya anoreksi, menggigil, demam, dan diaforesis. Observasi adanya
diare, yang dapat menunjukkan abses pelvis, siapkan pasien untuk pemeriksaan
rektal. Siapkan pasien untuk prosedur drainase operatif.
2.3.9. Prognosis
Prognosis baik bila dilakukan diagnosis dini sebelum ruptur, dan diberi
antibiotik yang lebih baik. Apendisitis akut tanpa perforata memiliki mortalitas
sekitar 0,1%, dan mencapai 15% pada orang tua dengan perforata. Umumnya,
mortalitas berhubungan dengan sepsis, emboli paru, ataupun aspirasi (Schwartz,
2000).