You are on page 1of 34

Bab I

Pendahuluan
Penyakit trofoblastik gestasional (PTG) adalah suatu spektrum dari dua kondisi
premaligna yaitu; partial mola hidatidosa dan complete mola hidatidosa, hingga tiga kondisi
tumor ganas yaitu; invasive mola, koriokarsinoma gestasional, dan placental site
hrophoblastic tumor (PSTT) yang nantinya ketiga keadaan ini lebih dikenal dengan neoplasia
trofoblastik gestasional.1
Mola hidatidosa merupakan bentuk jinak dari penyakit trofoblas gestasional dan dapat
mengalami transformasi menjadi bentuk ganasnya yaitu koriokarsinoma. Koriokarsinoma
tidak selalu berasal dari mola hidatidosa namun tidak jarang berasal dari kehamilan normal,
prematur, abortus maupun kehamilan ektopik yang jaringan trofoblasnya mengalami konversi
menjadi tumor trofoblas ganas. Bila seorang wanita menderita koriokarsinoma dan
mempunyai riwayat kehamilan biasa dan mola sebelumnya, maka dengan pemerikasaan DNA
kita dapat menentukan apakah koriokarsinoma ini berasal dari mola atau kehamilan biasa.
Tumor trofoblastik di tempat implantasi plasenta merupakan

tumor trofoblas

gestasional yang berasal dari sel-sel trofoblas pada tempat implantasi plasenta dan memiliki
gambaran klinik yang berbeda dengan tumor trofoblas gestasional lain. Tetapi penelitian
sitogenetik, imunohistokimia menunjukkan perbedaan yang jelas dalam etiologi morfologi
dan perilaku klinis. Dari berbagai penelitian dan laporan klinisi menunjukkan pentingnya
klasifikasi histologis yang seragam untuk memastikan penanganan klinis yang sesuai. Namun
istilah penyakit trofoblas ganas (PTG) tetap memiliki kegunaan klinis karena prinsip
monitoring hCG dalam follow up dan kemoterapi dari penyakit metastatik yang serupa.
Di negara-negara yang sudah maju pengelolaan mola hidatidosa dan tumor trofoblas
gestasional tidak merupakan masalah karena sebagian besar telah terdiagnosis pada stadium
dini, sebaliknya dinegara-negara yang sedang berkembang pada umumnya diagnosis
terlambat maka penyulit-penyulit seperti perdarahan, tirotoksikosis, invasi dan metastasis
tumor masih menjadi salah satu penyebab kematian ibu.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi & Gambaran Umum
Penyakit trofoblas gestasional atau Gestational trophoblastic disease (GTD) adalah
suatu kelompok (spektrum) penyakit, yang pada umumnya dimulai dengan suatu kegagalan
kehamilan, terdiri dari MH (Mola Hidatidosa) yang jinak & TTG (Tumor Trofoblas Ganas)
yang ganas7. Menurut FIGO, 2006 istilah Gestational trophoblastic neoplasia (GTN) atau
Penyakit tropoblas ganas (PTG) menggantikan istilah istilah yang meliputi chorioadenoma
destruens, metastasizing mole, mola invasif dan koriokarsinoma.2
Molahidatidosa, berdasarkan morfologi, histopatologi dan kariotyping dibedakan
menjadi

molahidatidosa

komplet

dan

molahidatidosa

parsial.

Sejumlah

15-28%

molahidatidosa mengalami degenerasi keganasan menjadi PTG. Diagnosis PTG dapat


ditegakkan berdasarkan diagnosis klinik dengan atau tanpa histologi.Diagnosis PTG
ditetapkan dengan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan kadar -HCG. Banyak kriteria
diagnosis untuk menegakkan PTG. Pemeriksaan histologi seringkali tidak dimungkinkan
karena penderita pada umumnya berusia muda yang masih membutuhkan fungsi organ
reproduksi.
Staging klinik menurut Hammond menyatakan PTG terbagi 2 yaitu PTG tidak
bermetastasis dan PTG bermetastasis. PTG bermetastasis terbagi risiko rendah dan risiko
tinggi. Faktor risiko tinggi bila kadar HCG urin >100.000 u/ml atau kadar HCG serum
>40.000 u/ml, interval lebih dari 4 bulan, bermestastasis ke otak atau hati, kegagalan
kemoterapi sebelumnya, kehamilan sebelumnya adalah kehamilan aterm.
Sedangkan menurut The International Federation of Gynecology and Oncology (FIGO)
menetapkan beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mendiagnosis PTG yaitu:2
1. Menetapnya kadar Beta HCG pada empat kali penilaian dalam 3 minggu atau lebih
(misalnya hari 1,7, 14 dan 21)
2. Kadar Beta HGC meningkat >10% pada tiga pengukuran berturut-turut setiap
minggu atau lebih (misalnya hari 1,7 dan 14)
3. Tetap terdeteksinya kadar Beta HCG sampai 6 bulan atau lebih
4. Kriteria histologist untuk korioarsinoma

2.2. Epidemiologi
Insidensi dan faktor-faktor etiologi yang mempengaruhi perkembangan penyakit
trofoblas gestasional sulit dikarakteristik. Masalahnya terdapat pada kesulitan mengumpulkan
data epidemiologi yang terpercaya, akibat adanya beberapa faktor yaitu definisi kasus yang
tidak konsisten, ketidakmampuan menentukan populasi yang berisiko, tidak adanya
pengumpulan data yang terpusat, kekurangan kelompok kontrol terhadap kelompok yang
berisiko, dan kelangkaan penyakit.6
Penelitian epidemiologi melaporkan variasi yang luas mengenai insidensi mola
hodatidosa. Di Amerika Utara, Australia, Selandia Baru, dan Eropa menunjukkan insidensi
mola hidatidosa antara 0,57-1,1 per 1000 kehamilan, sedangkan penelitian di Asia Tenggara
dan Jepang menunjukkan insidensi yang lebih besar yaitu 2,0 per 1000 kehamilan. Investigasi
terhadap perbedaan insidensi antar etnik dan ras menunjukkan adanya peningkatan insidensi
mola hidatidosa pada Indian Amerika, Eskimo, Spanyol, dan Afrika Amerika. 6
Data mengenai insidensi khoriokarsinoma lebih terbatas. Keterbatasan data mengenai
insidensi khoriokarsinoma bukan hanya karena alasan seperti pada mola hidatidosa tetapi
juga karena kelangkaan penyakit dan kesulitan untuk membedakan secara klinis antara
khoriokarsinoma postmolar dengan mola invasif. Di Eropa dan Amerika Utara,
khoriokarsinoma mengenai 1 dari 40.000 kehamilan dan 1 dari 40 mola hidatidosa,
sedangkan di Asia Tenggara dan Jepang khoriokarsinoma mengenai 9,2 dan 3,3 per 40.000
kehamilan. Insidensi mola hidatidosa dan khoriokarsinoma menurun dalam 30 tahun
belakangan.6
Beberapa faktor risiko yang berpotensi sebagai etiologi mola hidatidosa parsial dan
komplit telah dievaluasi. Dua faktor risiko yang telah ditetapkan adalah usia maternal yang
ekstrim dan kehamilan mola sebelumnya. Usia maternal yang lanjut atau sangat muda
berkorelasi dengan peningkatan kejadian mola hidatidosa komplit. Dibandingkan dengan
wanita usia 21-35 tahun, risiko mola komplit 1,9 kali lebih tinggi pada wanita usia >35 tahun
dan <21 tahun serta 7,5 kali lebih tinggi pada wanita usia >40 tahun. Kehamilan mola
sebelumnya merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya kehamilan mola berikutnya.
Risiko pengulangan kehamilan mola setelah satu kali mola adalah 1%, atau sekitar 10-20
kali pada populasi umum.6
Kelompok familial biparental mola hidatidosa komplit berhubungan dengan mutasi gen
missense NLRP7 pada kromosom 19q. Risiko obstetrik lain yang telah dilaporkan adalah
riwayat abortus spontan, 2-3 kali meningkatan risiko terjadinya kehamilan mola
3

dibandingkan dengan wanita tanpa riwayat keguguran. Meskipun beberapa kemungkinan


faktor lingkungan yang mempengaruhi mola komplit sudah banyak diteliti, hubungan yang
konsisten adalah hubungan terbalik antara beta karoten dan lemak hewani dengan insidensi
kehamilan mola. Induksi ovulasi untuk fertilitas dapat pula berhubungan dengan peningkatan
kehamilan yang mengandung sebuah fetus normal, beberapa fetus dan kehamilan mola.6
Faktor risiko khoriokarsinoma meliputi mola hidatidosa komplit sebelumnya, etnik, dan
usia maternal lanjut. Khoriokarsinoma mengenai hampir 1000 kali mola komplit sebelumnya
dibandingkan dengan kejadian kehamilan lainnya. Risiko meningkat pada wanita Asia dan
Indian Amerika dan menurun pada Afrika Amerika. Sama halnya dengan kehamilan mola,
median usia wanita dengan khoriokarsinoma lebih tinggi daripada kehamilan normal.
Terdapat pula peningkatan risiko khoriokarsinoma pada wanita dengan penggunaan
kontrasepsi oral jangka panjang dan golongan darah A.6
2.3. Klasifikasi Dan Terminologi
Sebelum 1982 dipergunakan berbagai istilah dalam PTG sehingga menyulitkan
perbandingannya. Sebagai upaya menyeragamkan terminologi pada tahun 1983, WHO
mengusulkan suatu sistem yang diterima secara luas.
Terminologi WHO menyatakan bahwa diagnosis bentuk ganas dari PTG ditegakkan
berdasarkan parameter klinis atau biokimiawi dan bukan atas dasar pemeriksaan
histopatologi. Umumnya diagnosis histopatologi tidak diperlukan, karena tumor marker
untuk penyakit ini yakni hCG bila diperiksa dengan cara RIA mempunyai spesifitas dan
sensitivitas yang sangat tinggi.
A. Klasifikasi Histopatologi
Secara histopatologis pembakuan istilah yang dianjurkan WHO adalah sebagai
berikut:2
1. Mola Hidatidosa :
Terbagi menjadi mola hidatidosa komplit dan parsial Suatu terminologi
umum yang mencakup 2 penyakit yang berbeda, mola hidatidosa komplit dan
mola hidatidosa parsial, dengan gejala berupa degenerasi hidropik vili sebagian
atau seluruhnya vili dan proliferasi trofoblas.
a. Mola Hidatidosa Komplit

Suatu konseptus

abnormal tanpa embrio fetus, dengan

pembengkakan hidropik dari vili plasenta dan hiperplasia kedua lapisan


trofoblas. Pembengkakan vili mengakibatkan terbentuknya gelembung gelembung jaringan ikat yang telah kehilangan vaskularisasinya.
b. Mola Hidatidosa Parsial
Suatu konseptus abnormal dengan suatu embrio fetus yang biasanya
cepat mati, dengan suatu plasenta dimana sebagian vilinya membengkak
membentuk gelembung-gelembung dan dengan fokal-fokal hiperplasia
trofoblas, biasanya hanya sinsisiotrofoblas saja. Vili yang tidak terkena
tampak normal dan vaskularisasi vili menghilang setelah kematian fetus.
2. Mola Invasif :
Suatu tumor atau proses seperti tumor yang menyerbu ke dalam
miometrium dan bercirikan hiperplasia trofoblas dan tetap adanya struktur vili
plasenta. Berupa gambaran hyperplasia trofoblas dan gambaran yang
menyerupai jaringan plasenta
Biasanya timbul dari mola hidatidosa komplit tapi dapat juga dari mola
hidatidosa parsial. Jarang berkembang menjadi koriokarsinoma. Dapat
bermetastasis tapi tidak menunjukkan perkembangan dari suatu kanker dan
dapat mengalami regresi spontan.
Pada pemeriksaan imunohistokimia dapat diketahui bahwa mayoritas
adalah sel trofoblas intermediet. Mola invasif dibedakan dari koriokarsinoma
dari adanya gambaran vili.
3. Koriokarsinoma Gestasional :
Suatu karsinoma yang timbul dari epitel trofoblas yang menunjukkan
elemen sitotrofoblas dan sinsisiotrofoblas. Dapat timbul dari suatu konsepsi
yang berakhir dengan suatu kelahiran hidup, lahir mati, abortus, kehamilan
ektopik atau mola hidatidosa.

4. Placental Site Trophoblastic Tumor (PSST) :


Suatu tumor yang timbul dari trofoblas pada tempat implantasi plasenta
dan terdiri terutama dari sel-sel sitotrofoblas.

B. Klasifikasi Klinis
Walaupun diketahui bahwa mola invasif dan koriokarsinoma menunjukkan
perbedaan biologik dan prognostik yang penting, penatalaksanaan klinis dari
kelainan-kelainan ini sering harus dilakukan tanpa diagnosis histopatologik. Ini
berakibat timbulnya terminologi yang mencakup kedua keadaan ini. Namun
demikian, adalah penting bahwa terminologi ini sedekat mungkin menggambarkan
kelainan histopatologik dan bila mungkin perjalanan penyakitnya.
1.

Penyakit Trofoblas Gestasional (PTG)


Suatu kelompok (spektrum) penyakit, yang pada umumnya dimulai dengan
suatu kegagalan kehamilan, terdiri dari MH (Mola Hidatidosa) yang jinak &
TTG (Tumor Trofoblas Ganas) yang ganas.7
Suatu terminologi umum yang mencakup mola hidatidosa, mola invasif,
tumor trofoblas tempat plasenta (placental site trophoblastic tumour) dan
koriokarsinoma. Dengan demikian mencakup baik kelainan yang jinak maupun
ganas.

2.

Tumor Trofoblas Gestasional (TTG)


Suatu keadaan penyakit dimana terdapat bukti klinik adanya mola invasif
atau koriokarsinoma. Kategori ini selanjutnya dibagi menurut kehamilan
sebelumnya sebagai pasca mola, pasca abortus, pasca persalinan atau kehamilan
yang tidak diketahui.

3.

Metastatik Trofoblas Gestasional


Suatu keadaan penyakit dimana terdapat bukti adanya mola invasif atau
koriokarsinoma yang telah menyebar keluar dari korpus uteri.

PENYAKIT TROFOBLAST JINAK


MOLA HIDATIDOSA
Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan abnormal, dimana vili yang normal digantikan
oleh gelembung-gelembung akibat degenerasi hidropik vili korealis disertai proliferasi sel-sel
trofoblas dalam berbagai derajat.
Bila tidak ditemukan embrio atau janin, disebut mola hidatidosa komplit atau mola
hidatidosa klasik, sedangkan bila ditemukan unsur janin atau plasenta normal disamping
gelembung-gelembung mola, disebut mola hidatidosa parsialis.

Walaupun jarang, kadang-

kadang ditemukan mola hidatidosa pada kehamilan ganda dizigotik, dimana ditemukan
plasenta normal dengan janin dan sekelompok gelembung-gelembung mola.
Walaupun sebagian besar penderita mola hidatidosa dapat sembuh spontan, namun bila
diagnosis dan pengelolaannya terlambat, penderita dapat meninggal karena perdarahan,
infeksi maupun akibat tumor trofoblas gestasional pasca mola hidatidosa.
Ada kalanya pada sediaan abortus atau plasenta aterm, ditemukan beberapa bagian
yang mengalami degenerasi hidropik. Keadaan semacam ini tidak dimasukan ke dalam mola
hidatidosa, tetapi disebut sub molaire.
Baru setelah diadakan penelitian sitogenik pada tahun 1970-an oleh antara lain Kajii,
Vassilokos, Szulman dan lain-lain, dicapai kesepakatan bahwa mola hidatidosa itu terdiri dari
dua jenis, yaitu;
1. Mola Hidatidosa Komplit (MHK)
2. Mola Hidatidosa Parsialis (MHP)
Insidensi
Pada kebanyakan kasus, mola tidak berkembang menjadi keganasan, namun sekitar 23 kasus per 1000 wanita, mola dapat berubah menjadi ganas dan disebut koriokarsinoma.
Kemungkinan terjadinya mola berulang berkisar 1 dari 1000 wanita.

1. Mola Hidatidosa Komplit (MHK)


Merupakan kehamilan abnormal tanpa embrio yang seluruh vili korialisnya mengalami
degenerasi hidropik yang menyerupai anggur hingga sama sekali tidak ditemukan unsur
janin. Secara mikroskopik tampak edema stroma vili tanpa vaskularisasi disertai hyperplasia
dari kedua lapisan trofoblas.
Kadang kadang pembuahan terjadi oleh dua buah sperma 23 X dan 23 Y (dispermi)
sehingga terjadi 46 X atau 46 Y. Disini MHK bersifat heterozigot, tetapi tetap androgenetik
dan bisa terjadi, walaupun sangat jarang terjadi hamil kembar dizigotik yang terdiri dari satu
bayi normal dan satu lagi MHK.
Secara makroskopis MHK mempunyai gambaran yang khas, yaitu berbentuk kista atau
gelembung-gelembung dengan ukuran antara beberapa mm sampai 2-3cm, berdinding tipis,
kenyal, berwarna putih jernih, berisi cairan seperti cairan asites atau edema. Kalau ukurannya
kecil, tampak seperti kumpulan telur katak, tetapi kalau besar tampak seperti serangkaian
buah anggur yang bertangkai. Oleh karena itu MHK disebut juga kehamilan anggur. Tangkai
tersebut melekat pada endometerium. Umumnya seluruh endometerium dikenai, bila
tangkainya putus terjadilah perdarahan. Kadang-kadang gelembung-gelembung tersebut
diliputi oleh darah merah atau coklat tua yang sudah mengering. Sebelum ditemukan USG,
MHK dapat mencapai ukuran besar sekali dengan jumlah gelembung melebihi 2.000 cc.
A. Faktor Resiko
1. Faktor Umur :
Risiko MH paling rendah pada kelompok umur 20-35 tahun. Risiko MH naik
pada kehamilan remaja < 20 tahun, naik sangat tinggi pada kehamilan remaja <
15 tahun, kira-kira 20 x lebih besar. tinggi pada umur > 40tahun, naikan sangat
menyolok pada umur = 45 tahun,
2. Faktor Riwayat Kehamilan MH Sebelumnya :
Wanita MH sebelumnya, punya risiko lebih besar naiknya kejadian MH
berikutnya,
3. Faktor Kehamilan Ganda :
Mempunyai risiko yang meningkat untuk terjadinya MH,
4. Faktor Graviditas :
8

Risiko

kejadian

MH

makin

naik,

dengan

meningkatnya

graviditas.

(kontroversial),
5. Faktor Kebangsaan / Etnik :
Wanita kulit hitam meningkat, dibanding wanita lainnya. Euroasian turun dua
kali lipat dibanding wanita Cina, India atau Malaysia,
6. Faktor Genetika :
Frekuensi Balance Tranlocation, wanita dengan MH komplit lebih banyak
dibandingkan dengan yang didapatkan pada populasi normal,
7. Faktor Makanan dan Minuman :
Angka kejadian MH tinggi diantara wanita miskin, diet yang kurang protein,
kelainan genetik pada kromosom (kontroversi),
8. Faktor Sosial Ekonomi :
Resiko MH tinggi pada sosial ekonomi rendah (kontroversi),
9. Faktor Lain :
Faktor

hubungan

keluarga

consanguinity,

Faktor

merokok,

Faktor

toksoplasmosis.
B. Etiologi
Etiologi penyakit trofoblas sampai saat ini belum juga diketahui dengan pasti.
Oleh karena itu pengetahuan tentang faktor risiko menjadi penting. Namun ada
beberapa teori yang mencoba menerangkan terjadinya penyakit trofoblas yaitu teori
desidua, teori telur, teori infeksi dan teori hipofungsi ovarium.
1. Teori Desidua
Menurut teori ini terjadinya mola hidatidosa ialah akibat perubahanperubahan degeneratif sel-sel trofoblas dan stroma vili korialis. Dasar teori ini
adalah selalu ditemukan desidual endometritis, pada binatang percobaan dapat
terjadi mola hidatidosa bila pembuluh darah uterus dirusak sehingga terjadi
gangguan sirkulasi pada desidua.
2. Teori Telur
Menurut teori ini mola hidatidosa dapat terjadi bila terdapat kelainan pada
telur, baik sebelum diovulasikan maupun setelah dibuahi.
3. Teori Infeksi
Bagshawe, melaporkan bahwa ada sarjana yang dapat mengisolasi sejenis
virus pada mola hidatidosa. Virus ini kemudian ditransplantasikan pada selaput
9

korioalantoin mudigah ayam, ternyata kemudian terjadi perubahan-perubahan


khas menyerupai mola hidatidosa, baik secara makroskopik maupun
mikroskopik.

Selain

itu

mola

hidatidosa

diduga

disebabkan

oleh

toksoplasmosis, teori ini dikemukakan oleh Bleier. Teori ini didasarkan pada
penemuan toksoplasmosis Gondii dalam jumlah besar pada darah penderita
mola hidatidosa.
4. Teori Hipofungsi Ovarium
Teori ini dikemukakan oleh Hasegawa, berdasarkan penelitian beberapa
orang ahli yaitu Courrier dan Gros yang melakukan kastrasi pada seekor
kucing, 1517 hari setelah pembuahan. Ternyata kemudian pada plasentanya
ditemukan perubahan-perubahan yang menyerupai mola hidatidosa. Karzafina
melaporkan bahwa 60% penderita mola hidatidosa yang ditelitinya berumur
1821 tahun, disertai oleh hipofungsi ovarium. Smalbreak melaporkan bahwa
dari hasil penelitiannya ditemukan angka kejadian mola hidatidosa yang tinggi
pada perempuan

muda, dimana fungsi seksualnya masih imatur. Menurut

Hasegawa mola hidatidosa diduga disebabkan oleh teori defisiensi estrogen,


yang didukung oleh data-data penelitian yang melaporkan bahwa 60% penderita
mola hidatidosa berumur 1821 tahun dan disertai hipofungsi ovarium. Serta
insidens mola hidatidosa yang tinggi pada perempuan

muda dan pada

perempuan tua dimana fungsi ovarium telah menurun.


5. Faktor Lain
Selain teori-teori tersebut di atas, masih ada beberapa teori lain yang
menghubungkan dengan faktor-faktor yang diduga mempunyai peranan dalam
etiologi penyakit trofoblas. Faktor-faktor tersebut ialah faktor malnutrisi, faktor
golongan darah dan faktor sitogenetik.
a. Faktor Nutrisi
Penelitian-penelitian awal yang dilakukan pada tahun 1960 di
Meksiko dan Filipina menggambarkan bahwa frekuensi penyakit trofoblas
gestasional yang terjadi diantara kelompok sosial rendah di negara-negara
berkembang dapat dijelaskan dengan keadaan malnutrisi dan terutama
rendahnya asupan protein.
Dikatakan bahwa malnutrisi memegang peranan dalam terjadinya
mola hidatidosa. Terlihat di negara-negara miskin dimana banyak kasus
defisiensi protein, angka kejadian mola hidatidosa jauh lebih tinggi. Tetapi
10

penelitian-penelitian di Iran, Alaska, Jepang dan Malaysia mendapatkan


angka kejadian mola hidatidosa yang tinggi dengan makanan sehari-hari
mereka yang tinggi protein, atas dasar ini maka diragukan defisiensi protein
sebagai faktor yang berperan dalam timbulnya mola hidatidosa. Akhirakhir ini diduga bahwa penderita mola hidatidosa kurang mengkonsumsi
makanan yang merupakan sumber vitamin A dan lemak hewani. Dikatakan
bahwa terjadinya penyakit ini berbanding terbalik dengan konsumsi beta
karoten.

Juga dikatakan risiko untuk mendapat mola hidatidosa pada

perempuan dengan konsumsi beta karoten di atas rata-rata adalah 0,6 kali.
Andrijono dkk, dalam penelitiannya mendapatkan bahwa walaupun
secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna, terbukti
bahwa persentase defisiensi vitamin A pada penderita mola hidatidosa
(43,33%) lebih tinggi dibanding kelompok kontrol (23,33%). Juga
dikatakan bahwa risiko mola hidatidosa akan meningkat 6,29 kali jika
terjadi pada perempuan

kurang dari 24 tahun, hamil dan mengalami

defisiensi vitamin A yang berat.


b. Faktor Golongan Darah
Bagshawe mengemukakan bahwa perempuan dengan golongan darah
A, mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya koriokarsinoma
bila mempunyai suami golongan darah O, dibandingkan dengan perempuan
golongan darah A, tetapi dengan suami golongan darah A. Faktor golongan
darah Rhesus juga dianggap berperan, berdasarkan kenyataan bahwa angka
kejadian mola hidatidosa lebih tinggi pada orang Timur yang hampir
seluruhnya mempunyai faktor Rhesus positif.
c. Faktor Sitogenetik
Penelitian

tentang

sitogenetik

pada

mola

hidatidosa

mulai

berkembang pada pertengahan tahun enam puluhan, dipelopori oleh Carr,


Baggish dan Pattillo. Beberapa peneliti melakukan kariotipe pada mola
hidatidosa komplit dan mola hidatidosa parsial, mereka melaporkan bahwa
mola hidatidosa komplit umumnya (95%) mempunyai kromosom diploid
46 XX, hanya 5% yang mempunyai kariotipe 46 XY, hasil dari fertilisasi
sperma 23 X dengan telur kosong yang kemudian membelah diri /
homozigot / monospermik atau fertilisasi telur kosong oleh 2 spermatosoon
yang heterozigot / dispermik. Mola dispermik lebih sering berkembang
11

menjadi ganas. Pada mola hidatidosa parsial sering dijumpai kromosom


triploidi / trisomi yang terdiri dari dua set kromosom paternal dan satu set
kromosom maternal yang terjadi karena telur yang normal oleh dua buah
sperma.

Mola parsial jarang menjadi ganas.

Telah banyak penulis

melaporkan bahwa mola hidatidosa secara genetik umumnya berjenis


kelamin perempuan , dengan kata lain bahwa kromatin seks positif banyak
ditemukan pada mola hidatidosa dibandingkan dengan abortus. Moegni
dan kawan-kawan melaporkan semakin besar jumlah sel sitotrofoblas yang
mengandung kromatin seks, semakin besar pula kemungkinan menjadi
ganas.
C. Patogenesis
Banyak teori yang telah dilontarkan tentang patogenesis MHK ini, antara lain
teori hertig dan teori park.
1. Hertig et al menganggap bahwa pada MH terjadi insufisiensi peredaran darah
akibat matinya embrio pada minggu ke 3 5 (missed abortion), sehinggga
terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenhin vili dan terbentukah kista
kista yang makin lama makin besar, sampai akhirnya terbentuklah gelembung
mola, sedangkan proliferasi trofoblas merupakan akibat dari tekanan vili yang
oedemateus tadi.
2. Sebaliknya, Park mengatakan bahwa yang primer adalah adanya jaringan
trofoblas yang abnormal, baik berupa hiperplasi, displasi, maupun neoplasi.
Bentuk yang abnormal ini disertai pula dengan fungsi yang abnormal. Keadaan
ini menekan pembuluh darah, yang akhirnya menyebabkan kematian embrio.
3. Teori yang sekarang dianut adalah teori sitogenetik. Secara sitogenetik
umumnya kehamilan MHK terjadi karena sebuah ovum yang tidak berinti
(kosong) atau yang intinya tidak berfungsi, dibuahi oleh sperma yang
mengandung haploid 23 X, terjadilah hasil konsepsi dengan kromosom 23 X,
yang kemudian mengadakan duplikasi menjadi 46 XX. Jadi umumnya MHK
bersifat homozigot, wanita dan berasal dari bapak (androgenetik). Jadi tidak ada
unsur ibu sehingga disebut Diploid Androgenetik.

12

Teori Diploid Androgenetik (modifikasi dari buku Novaks Gynecology)

Ovum Kosong

23 X

Endoreduplikas

46 XX
Homozigot

23 X
46 XX

Ovum Kosong
23 X

Heterozigot
Ovum
D.
Kosong

23 X
46 XY
23 Y
46 YY
Nonviable

Seperti diketahui, kehamilan yang sempurna harus terdiri dari unsur ibu yang
akan membentuk bagian embrional (anak) dan unsur ayah yang diperlukan untuk
membentuk bagian ekstra embrional (plasenta, air ketuban, dll) secara seimbang.
Karena tidak ada unsur ibu, pada MHK tidak ada bagian embrional (janin). Yang ada
hanya bagian ekstra embrional yang patologis berupa vili korialis yang mengalami
degenerasi hidropik seperti anggur.
Mengapa ada ovum kosong? Hal ini bisa terjadi karena gangguan pada proses
meosis, yang seharusnya diploid 46 XX pecah menjadi 2 haploid 23 X, terjadi
peristiwa yang disebut nondysjunction, dimana hasil pemecahannya adalah 0 dan 46
XX. Pada MHK ovum inilah yang dibuahi. Gangguan proses meosis ini, antara lain
terjadi pada kelainan struktural kromosom, berupa balance translocation.
MHK dapat terjadi pula akibat pembuahan ovum kosong oleh 2 sperma
sekaligus (dispermi). Bisa oleh dua haploid 23X, atau satu haploid 23 X dan atau

13

haploid 23Y. Akibatnya bisa terjadi 46 XX atau 46 XY, karena pada pembuahan
dengan dispermi tidak terjadi endoreduplikasi. Kromosom 46 XX hasil reduplikasi
dan 46 XX hasil pembuahan dispermi, walaupun tampak sama, namun sesungguhnya
berbeda, karena yang pertama berasal dari satu sperma (homozigot) sedangkan yang
kedua berasal dari dua sperma (heterozigot). Ada yang menganggap bahwa 46XX
heterozigot mempunyai potensi keganasan lebih besar. Pembuahan dispermi dengan
dua haploid 23 Y (46 YY) dianggap tidak pernah bisa terjadi (nonviable).
D. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala kehamilan dini didapatkan pada mola hidatidosa.
Kecurigaaan biasanya terjadi pada minggu ke 14 - 16 dimana ukuran uterus lebih
besar dari kehamilan biasa, pembesaran uterus yang terkadang diikuti perdarahan,
dan bercak berwarna merah darah beserta keluarnya materi seperti anggur pada
pakaian dalam. Tanda dan gejala mola yaitu :
1. Adanya tanda-tanda kehamilan disertai dengan perdarahan pervaginam.
2. Hiperemesis gravidarum
3. Tanda toksemia / pre-eklampsia pada kehamilan trimester I
4. Kista lutein unilateral / bilateral
5. Umumya uterus lebih besar dari usia kehamilan
6. Tidak terdengar denyut jantung janin
7. Tidak dirasakan tanda-tanda adanya gerakan janin, tidak teraba bagian janin
(balottement), kecuali pada mola parsial
8. Kadar gonadotropin korion tinggi dalam darah dan urin
9.

Emboli paru.

10. Keluar jaringan mola seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu ada),
yang merupakan diagnosa pasti.
11. Mola hidatidosa parsial biasanya ditemukan pada saat evaluasi pasien yang
didiagnosis sebagai abortus inkomplit atau missed abortion.
12. Kadang-kadang disertai gejala lain yang tidak berhubungan dengan keluhan
obstetri, seperti tirotoksikosis, perdarahan gastrointestinal, dekompensasi kordis,
perdarahan intrakranial, perdarahan gastrointestinal, dan hemoptoe.
Hipertiroidisme pada mola hidatidosa dapat berkembang dengan cepat
menjadi tirotoksikosis. Berbeda dengan tirotoksikosis pada penyakit tiroid,
14

tirotoksikosis pada mola hidatidosa muncul lebih cepat dan gambaran klinisnya
berbeda. Mola yang disertai tirotoksikosis mempunyai prognosis yang lebih buruk,
baik dari segi kematian maupun kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya
penderita meninggal karena krisis tiroid.
Pemicu tirotoksikosis pada mola hidatidosa adalah tingginya kadar hCG.
Tirotoksikosis merupakan salah satu penyebab kematian penderita mola. Kariadi
menemukan bahwa kadar -hCG serum (RIA) > 300.000 ml pada penderita mola
sebelum jaringan molanya dievakuasi. Hal ini merupakan faktor risiko yang sangat
bermakna untuk terjadinya tirotoksikosis. Hipertiroid dapat diketahui secara klinis
terutama bila tidak terdapat fasilitas pemeriksaan T3 dan T4, yaitu dengan
menggunakan Indeks Wayne. Tirotoksikosis merupakan salah satu penyebab
kematian penderita mola. Kariadi menemukan bahwa kadar -hCG serum (RIA) >
300.000 ml pada penderita mola sebelum jaringan molanya dievakuasi. Hal ini
merupakan faktor risiko yang sangat bermakna untuk terjadinya tirotoksikosis.
Hipertiroid dapat diketahui secara klinis terutama bila tidak terdapat fasilitas
pemeriksaan T3 dan T4, yaitu dengan menggunakan Indeks Wayne.
E. Diagnosis
1. Anamnesis
Mola hidatidosa biasanya didiagnosis pada kehamilan trimester pertama.
Dari anamnesis, didapatkan gejala-gejala hamil muda dengan keluhan
perdarahan pervaginam yang sedikit atau banyak. Pasien juga dapat ditanyakan
apakah terdapat riwayat keluar gelembung mola yang dianalogikan seperti mata
ikan, riwayat hiperemesis, dan gejala-gejala tirotoksikosis.
2. Pemeriksaan Klinis
a. Palpasi Abdomen :
Teraba uterus membesar, tidak teraba bagian janin, gerakan janin dan
balotemen.
b. Auskultasi :
Tidak terdengar BJA
c. Periksa dalam Vagina :
Uterus membesar, bagian bawah uterus lembut dan tipis, serviks terbuka
dapat diketemukan gelembung MH, perdarahan, sering disertai adanya
Kista Teka Lutein Ovarium (KTLO).
15

3. Pemeriksaan radiologi
Foto Abdomen MH tidak tampak kerangka janin. Dilakukan setelah umur
kehamilan 16 minggu. Amniografi / histerografi cairan kontras lewat
transabdominal / transkutaneus atau transervikal kedalam rongga uterus, akan
menghasilkan amniogram atau histerogram yang khas pada kasus MH, yang
disebut sebagai sarang tawon / typical honeycomb pattern / honeycomb.
4. USG
a. Typical Molar Pattern / Classic Echogram Pattern :
Pola gema yang difus gambaran badai salju / kepingan salju / snowstorm
b. Atypical Molar Pattern / Atypical Echogram Pattern :
Adanya perdarahan diantara jaringan mola.
c. Janin :
MH KOMPLIT tidak didapatkan janin, MH PARSIAL Plasenta yang besar
dan luas, kantong amnion kosong atau terisi janin. Janin masih hidup
dengan gangguan pertumbuhan & kelainan kongenital, atau sudah mati
Kista Teka Lutein Ovarium (KTLO), biasanya besar, multilokuler, dan
sering bilateral.
5. Pemeriksaan HCG (Human Chorionic Gonadotropin) :
Kadar HCG yang tetap tinggi & naik cepat setelah hari ke 100 (dihitung
sejak gestasi / hari pertama haid terakhir ).
6. Patologi anatomi
a. Makroskopis :
Gambaran khas MH berupa kista / gelembung dengan berbagai macam
ukuran, Dindingnya tipis, kenyal, berwarna putih jernih, berisi cairan.
Tangkai melekat pada endometrium. Bila tangkainya terlepas, terjadi
perdarahan.
b. Mikroskopis :
Stroma villi mengalami degenerasi hidropik, yang tampak sebagai kista,
Proliferasi trofoblast ( baik sel Langhans / sitotrofoblast maupun
sinsisiotrofoblast ), sehingga terbentuk beberapa lapisan,Tidak ada atau
berkurangnya pembuluh darah pada villi.
F. Diagnosis Banding

16

1. Diagnosis banding uterus yang ukurannya lebih besar dari pada umur
kehamilan:
Hidramnion, Kehamilan Multipel,dan Uterus hamil disertai adanya Mioma
Uteri.
2. Diagnosis banding perdarahan uterus dan nyeri perut pada trimester I atau
trimester II kehamilan : Abortus Mengancam & Abortus Incomplet.
3. Diagnosis banding pemeriksaan sonde : Kehamilan biasa sebelum 20 minggu,
Kematian janin intra uterine , Solusio Plasenta & Missed Abortion.
4. Diagnosa banding pemeriksaan USG : Missed abortion, Massa dirongga
panggul, Massa plasenta yang besar pada kehamilan ganda, Kematian janin
dalam rahim.
G. Terapi
Terdiri dari 4 tahap, yaitu :
1. Perbaikan Keadaan Umum
2. Evakuasi Jaringan
3. Profilaksis
4. Follow up
1. Perbaikan Keadaan Umum
Sebelum dilakukan tindakan evakuasi jaringan mola, keadaan umum
penderita harus

distabilkan dahulu. Tergantung pada bentuk penyulitnya,

kepada penderita harus diberikan :


a. Tranfusi darah, untuk mengatasi syok hipovolemik
b. Anti hipertensi / konvulsi, seperti pada terapi Th / pre-eklamsi / eklamsia
c. Obat anti tiroid, bekerja sama dengan penyakit dalam
2. Evakuasi Jaringan
Karena MHK itu adalah suatu bentuk kehamilan yang patologis yang
disertai dengan penyulit, pada prinsipnya gelembung harus dievakuasi secepat
mungkin ada 2 cara yaitu :
a. Kuret vakum

17

Setelah sebagian besar jaringan dikeluarkan dengan vakum, sisanya


dibersihkan dengan kuret tajam. Tindakan kuret hanya dilakukan satu kali.
Kuretase berikutnya harus ada indikasi.
b. Histerektomi
Hanya dilakukan pada penderita umur 35 tahun ke atas dengan jumlah
anak hidup tiga atau lebih. Yang sering menyulitkan ialah bahwa status
eutiroid klinis tidak selalu tercapai secara sempurna setelah pemberian OAT
(obat anti tiroid) karena jaringan mola belum dikeluarkan, sehingga hCG
tetap tinggi dan tetap bertindak sebagai stimulator.
3. Profilaksis
Ada dua cara :
a. Histerektomi Totalis
b. Kemoterapi diberikan pada GRT yang menolak atau tidak bisa dilakukan
HT, atau wanita muda dengan hasil PA yang mencurigakan. Caranya :
MTX 20 mg/hari, IM, Asam folat 10 mg 3dd1 dan cursil 35mg 2dd1,
selama 5 hari berturut-turut. Profiklaksis dengan tablet MTX, dianggap
tidak bemanfaat. Asam folat adalah antidote dari MTX, cursil sebagai
hepatoprotektor.
Actinomycin D 1 flacon sehari, selama 5 hari berturut-turut. Tidak
perlu antidote ataupun hepatoprotektor.
4. Follow Up
Seperti diketahui, 15-20% dari penderita pasca MHK bisa mengalami
transformasi keganasan menjadi TTG. Menurut hertig, keganasan bisa dalam
waktu satu minggu sampai tiga tahun pasca evakuasi.
Tujuan dari follow up ada dua :
a. Untuk melihat apakah proses involusi berjalan secara normal. Baik
anatomis, laboratoris maupun fungsional, seperti involusi uterus, turunnya
kadar -hCG dan kembalinya fungsi haid.
b. Untuk menentukan adanya transformasi keganasan terutama pada tingkat
yang sangat dini.

18

Follow up bertujuan menentukan secara dini adanya transformasi


keganasan.
Dalam tiga bulan pertama pasca evakuasi, dimana dilakukan
pemeriksaan kadar -hCG.
Lamanya adalah satu tahun dengan jadwal 3 bulan pertama setiap 2
minggu, 3 bulan kedua setiap 1 bulan dan 6 bulan terakhir setiap 2
bulan.
Dengan syarat selama follow up tidak boleh hamil dan kontrasepsinya
adalah kondom atau bila haid sudah teratur dapat digunakan pil.
Bagaimanapun juga, prosedur follow

up yang

membutuhkan

pemeriksaan berkala dalam masa 1 atau 2 tahun mungkin tidak menjadi


masalah pada negara-negara yang telah maju tetapi sulit dilakukan pada
negara-negara berkembang.
H. Pengawasan Lanjut
Tujuan pengawasan lanjut yaitu untuk mengetahui sedini mungkin adanya
perubahan keganasan, Lamanya berkisar antara 6 bulan sampai 3 tahun.
1. Anamnesis
Kunjungan ulang : Perdarahan pervaginam yang tidak teratur, Perdarahan
dari tempat lainnya, Kelainan susunan saraf pusat dan Gejala kelainan paruparu.
2. Pemeriksaan Perut dan Panggul
Untuk mencari adanya subinvolusi uterus, kista teka lutein ovarium, dan
metastasis ke vagina. Adanya perdarahan, Dalam keadaan normal harus tidak
ada perdarahan 7 atau 8 hari setelah evakuasi MH. Uterus tetap besar / sub
involusi, atau bertambah besarnya uterus yang tidak normal. Dalam keadaan
normal uterus harus involusi sempurna pada akhir minggu ke 4 setelah evakuasi.
Adanya massa di panggul. Adanya benjolan berwarna ungu (purplish nodule")
di vagina.
3. Pemeriksaan HCG
Setelah evakuasi MH, terjadi penurunan cepat kadar HCG.
a. Pemeriksaan kadar HCG berulang (dengan radio - immunoassay HCG),tiap
minggu sampai kadar menjadi negative selama 3 minggu selanjutnya tiap

19

bulan selama 6 bulan. Pengamatan lanjutan dilakukan sampai kadar HCG


menjadi negative selama 6 bulan.
b. Jika HCG tidak turun dalam 3 minggu berturut - turut atau naik, dapat
diberi kemoterapi kecuali pasien tidak menghendaki, dalam hal ini
dilakukan histerektomi.
c. Pola penurunan HCG abnormal, yang menunjukkan dugaan kuat adanya
keganasan, yaitu:
Kadar HCG yang tetap tinggi ("PERSISTENT")
Penurunan kadar HCG mendatar ("PLATEAU")
Kadar HCG yang sudah pernah negatif mengalami kenaikan lagi
(SECONDARY RISE)
d. Penderita tidak boleh hamil selama dilakukan pemeriksaan HCG.
Pemberian pil kontrasepsi, untuk:
Mencegah kehamilan baru
Menekan pembentukan LH oleh hipofisis yang dapat mempengaruhi
pemeriksaan kadar HCG
I. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada mola hidatidosa adalah :
1. Perdarahan hebat
2. Anemia
3. Syok
4. Infeksi, sepsis
5. Perforasi uterus
6. Emboli udara
7. Koagulopati
8. Keganasan (Gestational trophoblastic neoplasia)
Sekitar 50% kasus berasal dari mola, 30% kasus berasal dari abortus, dan 20%
dari kehamilan atau kehamilan ektopik. Gejalanya dijumpai peningkatan hCG yang
persisten pasca mola, perdarahan yang terus-menerus pasca evakuasi (pada kasus
pasca evakuasi dengan perdarahan yang terus-menerus dan kadar hCG yang
menurun lambat, dilakukan kuretase vakum ulangan atau USG dan histeroskopi),

20

perdarahan rekurens pasca evakuasi. Bila sudah terdapat metastase akan


menunjukkan gejala organ spesifik tempat metastase tersebut.
J. Prognosis
Setelah dilakukan evakuasi jaringan mola secara lengkap, sebagian besar
penderita MHK akan sehat kembali, kecuali 15 20% yang mungkin akan
mengalami keganasan (TTG).
Umumnya yang menjadi ganas adalah mereka yang termasuk golongan resiko
tinggi, seperti :
1. Umur diatas 35 tahun
2. Besar uterus di atas 20 minggu
3. Kadar -hCG di atas 105 mIU/ml
4. Gambaran PA yang mencurigakan

2. Mola Hidatidosa Parsialis (MHP)


MHP harus dipisahkan dari MHK, karena keduanya terdapat perbedaan yang mendasar,
baik dilihat dari segi patogenesisnya (sitogenetik), klinis, prognosis, maupun gambaran PAnya.
Pada MHP hanya sebagian dari vili korialis yang mengalami degenerasi hidropik
sehingga

unsur janin selalu ada. Perkembangan janin akan tergantung kepada luasnya

plasenta yang mengalami degenerasi, tetapi janin biasanya tidak dapat bertahan lama dan
akan mati dalam rahim, walaupun dalam kepustakaan ada yang melaporkan tentang kasus
MHP yang janinnya hidup sampai aterm.
Secara epidemiologi klinis, MHP tidak sejelas MHK, kita tidak mengetahui dengan
tepat berapa insidensinya, apa yang menjadi faktor resikonya dan bagaimana penyebaran
penyakitnya.
A. Patogenesis
Secara sitogenetik MHP terjadi karena ovum normal dari ibu (23 X) dibuahi
secara dispermi. Bisa oleh dua haploid 23 X, satu haploid 23 X san satu haploid 23Y

21

atau dua haploid 2Y. Hasil konsepsi bisa berupa 69 XXX, 69 XXY, 69 XYY.
Kromosom 69 YYY tidak pernah ditemukan. Jadi MHP mempunyai satu haploid ibu
dan dua haploid ayah sehingga disebut Diandro Triploid. Karena disini ada unsur
ibu, ditemukan bayi. Tetapi komposisi unsur ibu dan unsur ayah tidak seimbang, satu
berbanding dua. Unsur ayah yang tidak normal itu menyebabkan pembentukan
plasenta yang tidak wajar, yang merupakan gabungan dari vili korialis yang normal
dan yang mengalami degenerasi hidropik. Oleh karena itu fungsinya pun tidak bisa
penuh sehingga janin tidak bisa bertahan sampai besar. Biasanya kematian terjadi
sangat dini.

Teori Diandro Triploid

Ovum Kosong

23 X

69 XXX
Homozigot

23 X
69 XXY

Ovum Kosong
23 X

Heterozigot
Ovum
E.
Kosong

23 X
69 XYY
23 Y
69 YYY
Nonviable

B. Gejala-Gejala
22

Berbeda dengan MHK, pada MHP sama sekali tidak ditemukan gejala maupun
tanda-tanda yang khas. Keluhannya pada permulaan sama seperti kehamilan biasa.
Kalau ada perdarahan sering dianggap seperti abortus biasa. Jarang sekali ditemukan
MHP dengan besar uterus yang melebihi tuanya kehamilan. Biasanya sama atau
lebih kecil. Dalam hal terakhir disebut Dying Mole.
Gambaran USG tidak selalu khas, tapi menurut Fine C. Et al., MHP dapat
didiagnosis bila ditemukan hal-hal sebagai berikut. Pada jaringan plasenta tampak
gambaran yang menyerupai kista-kista kecil disertaipeningkatan diameter transversa
dari kantong janin.
Kadar -hCG juga meninggi, tetapi biasanya tidak setinggi MHK. Hal ini
mungkin disebabkan pada MHP masih ditemukan vili korialis normal. Kadar yang
tidak terlalu tinggi ini tidak menyebabkan rangsangan pada ovarium. Pada MHP
jarang sekali ditemukan kista lutein. Di samping itu, MHP jarang sekali disertai
penyulit seperti PEB, tiroktosikosis atau emboli paru.

C. Diagnosis
Dengan tidak ditemukannya tanda-tanda yang khas, maka sulit untuk membuat
diagnosis kerja, kecuali pada kehamilan yang cukup besar, yang diagnosisnya dapat
ditentukan oleh hasil USG, dimana kita akan melihat gambaran vesikuler yang khas
di samping kantong janin, dengan atau tanpa janin.
Biasanya diagnosis dibuat secara tidak sengaja, setelah dilakukan tindakan dan
diperkuat dengan hasil pemeriksaan PA, dimana ditemukan gambaran khas sebagai
berikut.
1. Vili korialis dari berbagai ukuran dengan degenerasi hidropk, kavitasi, dan
hiperplasia trofoblas
2. Scalloping yang berlebihan dari vili
3. Inklusi stroma trofoblas yang menonjol
4. Ditemukan jaringan embrionik atau janin
D. Terapi

23

Karena diagnosis umumnya dibuat secara kebetulan pascakuret, biasanya


evakuasi dilakukan dengan kuret biasa. Selanjutnya tidak perlu tindakan apa-apa.
Histerektomi dan upaya profilaksis lainnya tidak dianjurkan.
E. Prognosis
Dibandingkan dengan MHK, prognosis MHP jauh lebih baik. Hal itu
disebabkan oleh tidak adanya penyulit dan derajat keganasannya rendah (4%).
Walupun demikian, dalam kepustakaan ditemukan laporan tentang kasus MHP yang
disertai metastase ke tempat lain. Penderita pasca-MHP harus difollow up sama
ketatnya seperti MHK.

PENYAKIT TROFOBLAST GANAS


(Tumor Trofoblastik Gestasional)
A. Definisi
Penyakit Trofoblas ganas adalah suatu tumor ganas yang berasal dari siti dan
sinsitiotrofoblas yang menginvasi miometrium dan merusak jaringan disekitarnya
serta pembuluh darah sehingga menyebabkan perdarahan. Penyakit ini dapat
didahului oleh proses fertilisasi (mola hidatidosa, kehamilan biasa, abortus dan
kehamilan ektopik) bahkan dapat merupakan produk langsung dari hasil konsepsi
( gestasional choriocarcinoma ) atau yang bukan didahului oleh suatu kehamilan ( non
gestasional choriocarsinoma ).
Tumor trofoblastik gestasional ,Istilah ini mengacu pada identitas patologis
berupa mola invasif, koriokarsinoma dan tumor trofoblas di plasenta. Kelainan ini
mungkin muncul setelah kehamilan mola atau kehamilan normal atau timbul setelah
abortus, termasuk kehamilan ektopik.

24

B. Insidensi
Penyakit ini sering terjadi pada usia 14 49 tahun dengan rata rata 31,2 tahun.
Resiko terjadinya PTG yang non metastase 75 % didahului oleh mola hidatidosa dan
sisanya oleh abortus, kehamilan ektopik atau kehamilan aterm.
Pada jenis invasif mola ( PTG villosum ) 12,5 % berasal dari mola komplit dan
1,5 % berasal dari mola parsial. Pada koriokarsinoma ( PTG non villosum ) 1,7 %
berasal dari mola komplit dan 0,2 % dari mola parsial, koriokarsinoma setelah
kehamilan normal lebih sering terjadi dibandingkan mola invasif.
C. Klasifikasi
Secara klinis terdapat 2 bentuk PTG yaitu :
1. PTG terdapat hanya dalam uterus ( invasive mola )
Merupakan suatu proses seperti tumor yang menginvasi miometrium dengan
hiperplasia trofoblas disertai struktur vili yang menetap.
2. PTG meluas keluar uterus koriokarsinoma ( gestasional koriokarsinoma)
Adalah karsinoma yang terjadi dari sel sel trofoblas dengan melibatkan
sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas. Hal ini biasa terjadi dari hasil konsepsi yang
berakhir dengan lahir hidup, lahir mati ( still birth ), abortus, kehamilan ektopik,
mola hidatidosa atau mungkin oleh sebab yang tidak diketahui.
Adanya perbedaan istilah dan klasifikasi ini menimbulkan berbagai kesulitan,
antara lain dalam membandingkan hasil pengelolaan. Keadaan seperti ini disebut oleh
Goldestein sebagai: World Wide controversies in Gestational Trophoblastic Neoplasm.
Untuk mengatasi masalah ini, WHO Scientific Group, mengusulkan klasifikasi
sebagai berikut :
1. Mola Invasif (MI)
2. Koriokarsinoma (Kg)
3. Placental Site Trophoblastic Tumour (PSTT)
4. Persistent Trophoblastic Disease (PTD)
D. Etiologi dan Patogenesis

25

Etiologi terjadinya penyakit trofoblas ganas (PTG) belum jelas diketahui,


namun bentuk keganasan tumor ini merupakan karsinoma epitel korion meskipun
pertumbuhan dan metastasenya menyerupai sarkoma.
Pada koriokarsinoma adalah trofoblas normal cenderung menjadi invasive dan
erosi pembuluh darah berlebihan. Metastase sering terjadi lebih dini dan biasanya
sering melalui pembuluh darah jarang melalui getah bening.
Tempat metastase yang paling sering adalah paru paru (75 %) dan kemudian
vagina (50 %). Pada beberapa kasus metastase dapat terjadi pada vulva, ovarium,
hepar, ginjal dan otak.
E. Gejala dan Tanda
Perdarahan yang tidak teratur setelah berakhirnya suatu kehamilan dan dimana
terdapat subinvolusio uteri juga perdarahan dapat terus menerus atau intermitten
dengan perdarahan mendadak dan terkadang massif.
Pada pemeriksaan ginekologis ditemukan uterus membesar dan lembek. Kista
teka lutein bilateral. Lesi metastase di vagina atau organ lain.
Perdarahan karena perforasi uterus atau lesi metastase ditandai dengan :
1. Nyeri perut
2. Batuk darah
3. Melena
4. Peninggian tekanan intrakranial berupa sakit kepala, kejang dan hemiplegia
Kadar -hCG paska mola tidak menurun, tapi meningkat lagi. Dengan
pemeriksaan radiologi foto thorak dapat ditemukan adanya lesi metastase. Pada
pemeriksaan histopatologi dapat ditemukan villus, namun demikian dengan tidak
memperlihatkan gambaran patologik tidak dapat menyingkirkan suatu keganasan.
F. Diagnosa
Diagnosa kemungkinan PTG bila didapatkan perdarahan pervaginam yang
menetap. Titer -hCG yang tetap atau meninggi setelah terminasi kehamilan, mola
atau abortus. Namun demikian masih memerlukan pemeriksaan USG terhadap kasus
PTG oleh karena masih kurang sensitif dan spesifik terhadap peninggian kadar hCG.
26

Pemeriksaan foto torak juga dapat menentukan diagnosa. Kadang kadang


metastase juga ditemukan pada vagina, serviks, paru - paru atau otak.
Dengan ditemukannya gambaran villus pada sediaan histopatologik maka
diagnosa pasti PTG dapat ditegakkan. Tetapi tindakan kuretase sering tidak dapat
memastikan adanya keganasan. Oleh karena itu jika lesi berada pada miometrium atau
proses pada paru paru terjadi primer, sudah pasti histopatologik akan negatif.
Lagipula tindakan kuretase dapat menimbulkan perdarahan yang banyak, perforasi
dinding uterus dan dapat memudahkan penyebaran sel sel trofoblas ganas.
Staging klinik menurut Hammond menyatakan PTG terbagi 2 yaitu PTG tidak
bermetastasis dan PTG bermetastasis. PTG bermetastasis terbagi risiko rendah dan
risiko tinggi. Faktor risiko tinggi bila kadar HCG urin >100.000 u/ml atau kadar HCG
serum >40.000 u/ml, interval lebih dari 4 bulan, bermestastasis ke otak atau hati,
kegagalan kemoterapi sebelumnya, kehamilan sebelumnya adalah kehamilan aterm.
Sedangkan menurut The International Federation of Gynecology and Oncology
(FIGO) menetapkan beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mendiagnosis PTG
yaitu:2
1. Menetapnya kadar Beta HCG pada empat kali penilaian dalam 3 minggu atau
lebih (misalnya hari 1,7, 14 dan 21)
2. Kadar Beta HGC meningkat >10% pada tiga pengukuran berturut-turut setiap
minggu atau lebih (misalnya hari 1,7 dan 14)
3. Tetap terdeteksinya kadar Beta HCG sampai 6 bulan atau lebih
4.

Kriteria histologist untuk korioarsinoma


Diagnosis PTG dapat ditegakkan berdasarkan diagnosis klinik dengan atau

tanpa histologi. Diagnosis PTG ditetapkan dengan pemeriksaan klinis dan


pemeriksaan kadar -HCG. Banyak kriteria diagnosis untuk menegakkan PTG.
Pemeriksaan histologi seringkali tidak dimungkinkan karena penderita pada umumnya
berusia muda yang masih membutuhkan fungsi organ reproduksi.
G. Stadium dan Skoring Prognosis
Pembagian staging FIGO 1982 bersifat sederhana, mengacu pada hasil
pemeriksaan klinis dan pencitraan, misalnya foto thorak.5

27

Tabel I : Staging klinis menurut FIGO


Stadium 1
Stadium II

Tumor trofoblastik gestasional terbatas pada korpus uteri


Tumor trofoblastik gestasional meluas ke adneksa atau vagina,

Stadium III

namun terbatas pada struktur genitalia.


Tumor trofoblastik gestasional bermetastasis ke paru, dengan
atau tanpa metastasis di genitalia interna.

Stadium IV

Bermetastasis ke tempat lain

Ada beberapa sistem yang digunakan untuk mengkategorikan penyakit trofoblas


ganas. Semua sistem mengkorelasikan antar gejala klinik pasien dan risiko kegagalan
pada kemoterapi. Sistem Skoring FIGO tahun 2000 merupakan modifikasi sistem
skoring WHO. Perhitungang faktor prognosis dengan skor 0-6 dianggap sebagai
pasien dengan resiko rendah, sedangkan dengan skor >7 maka dianggap sebagai
beresiko tinggi.5,6

Tabel II : Skoring faktor risiko menurut FIGO (WHO) dengan staging FIGO
Skor faktor risiko menurut
FIGO (WHO) dengan staging

FIGO
Usia

< 40

>=40

Kehamilan sebelumnya

Mola

Abortus

Aterm

<4

4-6

7-12

>12

< 103

103-104

>104-105

>105

3-4

> 5 cm

Interval dengan kehamilan


tersebut (bulan)
Kadar hCG sebelum terapi
(mIU/mL)
Ukuran tumor terbesar,
termasuk uterus

28

Lokasi metastasis, termasuk


uterus
Jumlah metastasis yang

Limpa,

Traktus

ginjal

gastrointestinal

1-4

5-8

Paru-paru

diidentifikasi
Kegagalan kemoterapi
sebelumnya

Otak, hepar
>8

Agen tunggal Agen multipel

H. Penanganan
Prinsip dasar penanganan penyakit trofoblas ganas adalah kemoterapi dan
operasi, indikasi kemoterapi :
1. Meningkatnya -hCG setelah evakuasi
2. Titer -hCG sangat tinggi setelah evakuasi
3. -hCG tidak turun selama 4 bulan setelah evakuasi
4. Meningginya -hCG setelah 6 bulan setelah evakuasi atau turun tetapi lambat
5. Metastase ke paru paru, vulva, vagina kecuali bila -hCG nya turun
6. Metastase kebagian organ lainnya ( hepar, otak )
7. Perdarahan pervaginam yang berat atau adanya perdarahan gastrointestinal
8. Gambaran histologi koriokarsinoma
Operatif, merupakan tindakan utama dalam penanggungan dini PTG, walaupun
tumor sudah lama, namun bila masih terlokalisir di uterus tindakan histerektomi baik
dilakukan. Pasien pasien dengan perdarahan pervaginam yang terus menerus atau
resisten terhadap kemoterapi akan dilakukan histerektomi.
I. Follow up
Standar follow up dari sebagia penulisan adalah sebagai berikut :
1. Pemeriksaan hCG serum / urine
Diperiksa setiap minggu sampai dinyatakan negatif selama 3 kali
pemeriksaan. Selanjutnya setiap bulan selama 12 bulan kemudian setiap 2 bulan
selama 12 bulan dan selanjutnya tiap 6 bulan. Setelah kemoterapi titer -hCG
akan turun pada batas yang tidak dapat dideteksi selama 2 bulan awal
pengobatan.
2. Pemeriksaan pelvic

29

Diperiksa setiap minggu, setelah evakuasi suatu kehamilan sampai batas


normal. Selanjutnya setiap 4 minggu mengevaluasi perubahan - perubahan besar
uterus dan munculnya kista teka lutein.
3. Thorak foto
Jika terapi sempurna telah selesai ternyata masih tampak sisa tumor di
paru paru diperlukan pemeriksaan radiologi selama 2 tahun, untuk melihat bukti
apakah sisa tumor hilang.
J. Pencegahan
Pada kasus resiko tinggi bila jumlah anak yang diinginkan sudah mencukupi
supaya dilakukan histerektomi. Memberikan kemoterapi terhadap kasus kasus
kehamilan ektopik untuk mencegah penyakit trofoblas.
Bila titer hCG paska mola tidak turun selama 3 minggu berturut turut atau
malah semakin naik dapat diberikan kemoterapi, kecuali anak sudah cukup dapat
dilakukan histerektomi.
K. Prognosis
Makin dini diagnosa dibuat dan makin dini pengobatan dimulai makin baik
prognosanya. Prognosa penyakit trofoblas ganas jenis villosum lebih baik daripada
jenis non villosum.
Prognosa memburuk dijumpai pada :
1. Masa laten antara mola dan timbulnya keganasan panjang
2. -hCG yang tinggi
3. Pengobatan tidak sempurna
4. Adanya anak sebar pada otak dan hepar
5. Daya tahan tubuh penderita menurun
6. Diagnosa terlmabat dibuat dengan akibat terapi terlambat diberikan.

1. Mola invasive
Mola invasif adalah keganasan pasaca mola hidatidosa (MH) yang ditandai
dengan vili korialis atau gelembung mola yang terletak diantara otot-otot miometrium.

30

Jenis TTG ini sudah lama dikenal dengan istilah koriokarsinoma destruens atau mola
destruens (Ewing ), sedangkan Tjokronegoro S menggunakan istilah koriokarsinoma
villosum.
Tetapi sekarang lebih dikenal dengan invasif mole atau mola invasive (MI),
karena dianggap bahwa secara patologi anatomi, tidak ada perbedaan antara MHK
dengan MI. Yang berbeda adalah daya penetrasinya. Pada Mola Invasif , vili korialis
dan sel trofoblasnya dapat menembus miometrium maupun parametrium.

2. Koriokarsinoma
Koriokarsinoma merupakan salah satu jenis dari Penyakit Trofoblastik
Gestasional (PTG) dimana ia merupakan suatu tumor ganas yang berasal dari jaringan
trofoblas yaitu dari sel-sel sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas yang menginvasi
miometrium, merusak jaringan di sekitarnya termasuk pembuluh darah sehingga
menyebabkan perdarahan. Koriokarsinoma bersifat agresif dan sering ditandai dengan
metastase hematogenous yang cepat terutama ke paru-paru.
Salah satu ciri khusus dari kanker ini adalah menghasilkan hormon human
chorionic gonadotropin (hCG) dalam kadar yang tinggi. Koriokarsinoma dapat
menyerang semua wanita yang pernah hamil termasuk wanita yang pernah mengalami
kehamilan mola. Tidak seperti mola hidatidosa, koriokarsinoma bisa menyerang
banyak organ dalam tubuh seperti hati, limpa, paru-paru, tulang belakang dan otak.

3. Placental Site Trophoblastic Tumor (PSTT)


Semula PSTT dianggap sebagai suatu kelainan yang jinak, karena tidak
bermetastasis dan tindakannya cukup dengan kuret dan histerektomi saja, oleh karena
itu PSTT tidak dimasukkan dalam TTG.
Baru pada tahun 1980 diketahui bahwa penyakit ini dapat bermetastasis dan
bahkan dapat menyebabkan kematian.Varian TTG terbaru ini dunamakan PSTT,
karena dianggap berasal dari tempat insersi plasenta, suatu kehamilan biasa.Tetapi
kemudian, Fisher melalui penelaahan gen, membuktikan bahwa PSTT juga dapat
berasal daru MH.
Diagnosis:
Karena tidak ada gambaran yang khas, baik klinis, laboratoris, maupun

31

pencitraan, diagnosisnya tidak dapat dibuat dari pre-tindakan.


Umumnya diketahui secara kebetulan dari hasil kuret, histerekopi, dan
histerektomi.

4. Persistent Trophoblastic Disease (PTD)


Secara sederhana dapat dikatakan PTD adalah jenis TTG yang diagnosisnya
tidak dibuat berdasarkan pemeriksaan PA, melainkan dari atas dasar klinis (HbEs),
laboratoris (peninggian -hCG), USG dan tanda-tanda metastasis lainnya.
Pada permulaan ini ingin menggambarkan kasus MH yang tidak berinvolusi
secara tuntas, setelah dilakukan lagi evakuasi ,baik secara klinis maupun laboratoris.
Jadi kelainan trofoblas itu masih ada, belum hilang, tetapi tidak lagi dalam
bentuk MH yang jinak, seperti sebelumnya, melainkan telah menjadi penyakit
trofoblas yang ganas. Menurut pakar setuju bahwa adanya keganasan itu dibuktikan
dengan masih adanaya aktivitas sel trofoblas yang dapat diukur dengan menghitung
kadar hormon yang dihasilkan, terutama -hCG.

Bab III
Kesimpulan
Penyakit trofoblastik gestasional (PTG) adalah suatu spektrum dari dua kondisi
premaligna yaitu; partial mola hidatidosa dan complete mola hidatidosa, hingga tiga kondisi
tumor ganas yaitu; invasive mola, koriokarsinoma gestasional, dan placental site
hrophoblastic tumor (PSTT) yang nantinya ketiga keadaan ini lebih dikenal dengan neoplasia
trofoblastik gestasional.
Jaringan trofoblastik gestasional terbentuk dari sel perifer blastokista beberapa hari
setelah konsepsi. Jaringan tersebut dibagi menjadi 2 lapisan yaitu; lapisan luar
sinsitiotrofoblas yang dibentuk oleh sel-sel besar multinucleated dan lapisan dalam dari sel

32

mononuclated yang membentuk sitotrofoblas. Sinsitiotrofoblas menginvasi endometrium


secara agresif membentuk suatu hubungan antara fetus dan ibu yang dikenal sebagai plasenta.
Normalnya pertumbuhan trofoblas diatur secara ketat oleh mekanisme yang belum bisa
ditentukan untuk mencegah perkembangan metastasis lebih lanjut. Penyakit trofoblastik
gestasional ganas muncul ketika mekanisme pengontrol ini gagal, menghasilkan invasi dari
jaringan trofoblas yang mencapai miometrium, yang mengizinkan penyebaran secara
hematogan dan pembentukan emboli tumor.
Pemeriksaan pada penyakit trofoblas gestasional meliputi pemeriksaan USG, kadar
hCG, dan diagnosis patologi. Penatalaksanaan dari penyakit trofoblas gestasional meliputi
terapi pembedahan, kemoterapi, dan terkadang membutuhkan radioterapi pada penyakit
trofoblastik neoplasia.

Daftar Pustaka
1. Kenny L, Seckl JM. Treatments for gestational trophoblastic disease. Diunduh dari :
http://medscape.com/viewarticle/718375 , 4 Januari 2016
2. Cunnigham F.G, Gant N.F, Leveno K.J, Gilstrap III L.C, Hauth J.C, Wenstrom KD.
Williams Obstetrics 23rd ed. 2010. USA : The McGraw-Hill Companies.
3. Bangun TP, Agus S, editor. Ilmu kandungan sarwono prawirohardjo. Edisi ke-2.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;2009.
4. Hernandez

E.

Gestational

trophoblastic

neoplasia.

Diunduh

dari

http://emedicine.medscape.com/article/279116-overview, 4 Januari 2016.


5. Berkowits RS, Goldstein DP. Gestational trophoblastic disease. Diunduh dari:
www.scribd.com, 4 Januari 2016.

33

6. Lurain JR. Gestational trophoblastic disease I: epidemiology, pathology, clinical


presentation and diagnosis of gestational trophoblastic disease, and management of
hydatidiform

mole.

Diunduh

dari

http://www.journalsconsultapp.elsevier-

eprints.com/uploads/articles/ajog1.pdf, 4 Januari 2016.


7. Martadisoebrata D. Penyakit Serta Kelainan Plasenta dan Selaput Janin. Dalam : Ilmu
Kebidanan. Editor Wiknjosastro H. Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Edisi ketiga,
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo ; 200 .
8. Mochtar R. Penyakit Trofoblas. Dalam : Sinopsis Obstetri. Editor Lutan D. Jilid I.
Edisi2.Jakarta : EGC ; 1998.p.238-45.
9. Kariadi SH. Identifikasi Penduga Potensial untuk Diagnosis Tiroktosikosis Pada
Penderita Mola Hidatidosa. Disertasi UNPAD 1992.
10. Cunningham FG, Mc Donald PC, Gant NF et al. Williams Obstetrics, 20th ed.
Philadelphia : Appleton and Lange, 1997 : 948.

34

You might also like