You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN
Periode postpatum atau pascapersalinan, sering juga disebut trimester
keempat kehamilan.Periode ini dikenal dengan masa nifas (puerperium).
Puerperium berasal dari bahasa Latin, yaitu puer yang artinya bayi dan
parous yang artinya melahirkan atau masa sesudah melahirkan. Masa ini
dimulai dari kelahiran plasenta sampai 6 minggu. 1Pada masa ini, terjadi
proses pengembalian organ-organ reproduksi seperti keadaan sebelum
kehamilan. Perubahan fisiologis yang terjadi sangat jelas, dimana prosesproses pada kehamilan berjalan terbalik. Berbagai macam sistem organ
memiliki waktu yang berbeda untuk proses ini, namun sebagian besar
mengalami pemulihan dalam kurun waktu 6 minggu.2
Periode pascapersalinan dibagi menjadi tiga periode puerperium yaitu
sebagai berikut.1,2
immediate

puerperium

yaitu

24

jam

pertama

setelah

melahirkan.Masa ini dimulai segera setelah plasenta lahir sampai


dengan 24 jam. Pada masa ini sering terdapat banyak masalah,
misalnya pendarahan karena atonia uteri.Oleh karena itu, harus

dipantau kontraksi uterus, pengeluaran lokia, tekanan darah, dan suhu.


early puerperium yaitu setelah 24 jam hingga 1 minggu.Pada fase ini
harus dipastikan involusi uteri dalam keadaan normal, tidak ada
perdarahan, lokia tidak berbau busuk, tidak demam, ibu cukup
mendapatkan makanan dan cairan, serta ibu dapat menyusui dengan

baik.
late puerperium yaitu setelah 1 minggu sampai dengan 6 minggu
pascapersalinan. Pada periode ini perawatan tetap dilakukan dan
pemeriksaan sehari-hari serta konseling KB.
Kehamilan dan kelahiran dianggap sebagai suatu kejadian fisiologis

yang pada sebagian besar wanita berakhir dengan normal dan tanpa
komplikasi. Pada akhir masa puerperium, pemulihan persalinan secara umum
dianggap telah lengkap. Pandangan ini mungkin terlalu optimis. Bagi banyak

wanita, pemulihan adalah sesuatu yang pasti terjadi dan menjadi seorang ibu
adalah proses fisiologis yang normal. Namun, beberapa studi terbaru
mengungkapkan bahwa masalah-masalah kesehatan jangka panjang yang
terjadi setelah melahirkan adalah masalah yang banyak ditemui dan dapat
berlangsung dalam waktu lama1.
Pengetahuan menyeluruh tentang perubahan fisiologis dan psikologis
pada masa puerperium adalah sangat penting jika bidan menilai status
kesehatan ibu secara akurat dan memastikan bahwa pemulihan sesuai dengan
standar yang diharapkan. Hal yang sama pentingnya adalah menyadari
potensi morbiditas pascapartum dalam jangka panjang dan faktor-faktor yang
berhubungan dengannnya seperti obstetrik, anestesi dan faktor sosial.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Masa Nifas
Masa Nifas ialah masa 2 jam setelah plasenta lahir (akhir kala IV)
sampai 42 hari.1
Masa Nifas adalah masa dari kelahiran plasenta dan selaput janin
(menandakan akhir periode intrapartum) hingga kembalinya traktus
reproduksi wanita pada kondisi tidak hamil.2

Periode pascapartum adalah masa pulih kembali alat-alat kandungan


kembali seperti sbelum hamil.3
Dapat disimpulkan bahwa masa nifas adalah masa setelah lahirnya
hasil konsepsi sampai pulihnya organ reproduksi seperti sebelum hamil.
2.2 Pembagian Masa Nifas
Nifas dibagi dalam 3 periode :
1. Puerperium dini, yaitu kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri
dan berjalan-jalan. Dalam agama Islam dianggap telah bersih dan boleh
bekerja setelah 40 hari.
2. Puerperium intermedial, yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genitalis
yang lamanya 6 8 minggu.
3. Remote puerperium, waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat
sempurna terutama bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai
komplikasi.4
2.3 Perubahan Fisiologi Ibu Nifas
Perubhan pada Ibu nifas dibagi menjadi 4, yaitu :
2.3.1 Sistem Reproduksi
Perubahan alat-alat genital baik interna maupun eksterna kembali
seperti semula seperti sebelum hamil disebut involusi. Adapun perubahanperubahan yang terjadi pada sistem reproduksi ibu nifas adalah sebagai
berikut:
a. Uterus
1) Involusi Uterus
Meskipun istilah involusi telah digunakan untuk menunjukkan
perubahan yang retrogresif yang terjadi di semua organ dan struktur
saluran reproduksi, istilah ini lebih spesifik menunjukkan adanya
perubahan retrogresif pada uterus yang menyebabkan berkurangnya
ukuran uterus. Involusi uterus dapat diartikan juga sebagai pengerutan
uterus yang merupakan suatu proses dimana uterus kembali ke kondisi
sebelum hamil. Proses involusi uterus adalah sebagai berikut:
a)

Iskemia Miometrium Hal ini disebabkan oleh kontraksi dan


retraksi yang terus menerus dari uterus setelah pengeluaran

plasenta sehingga membuat uterus menjadi relatif anemi dan


menyebabkan serat otot atrofi.
b)

Atrofi jaringan Atrofi jaringan terjadi sebagai reaksi


penghentian hormon estrogen saat pelepasan plasenta.

c)

Autolysis Merupakan proses penghancuran diri sendiri (zat


protein) yang terjadi di dalam otot uterus. Sisa dari penghancuran
ini diabsorbsi dan kemudian dibuang dalam urine. Sebagai bukti
dapat dikemukakan bahwa kadar nitrogen sangat tinggi. Enzim
proteolitik akan memendekkan jaringan otot yang telah mengendur
hingga panjangnya 10 kali panjang sebelum hamil dan lebarnya 5
kali lebar sebelum hamil yang terjadi selama kehamilan. Hal ini
disebabkan karena penurunan hormon estrogen dan progesteron.

d)

Efek Oksitosin Oksitosin menyebabkan terjadinya kontraksi


dan retraksi otot uterus sehingga akan menekan pembuluh darah
yang mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke uterus. Proses
ini membantu untuk mengurangi situs atau tempat implantasi
plasenta serta mengurangi perdarahan.
Uterus pada bekas implantasi plasenta merupakan luka yang

kasar dan menonjol ke dalam kavum uteri. Segera setelah plasenta


lahir, dengan cepat luka mengecil, pada akhir minggu ke-2 hanya
sebesar 3-4 cm dan pada akhir nifas 1-2 cm. Penyembuhan luka bekas
plasenta khas sekali.
Pada permulaan nifas bekas plasenta mengandung banyak
pembuluh darah besar yang tersumbat oleh thrombus. Luka bekas
plasenta tidak meninggalkan parut. Hal ini disebabkan karena diikuti
pertumbuhan endometrium baru di bawah permukaan luka.
Regenerasi endometrium terjadi di tempat implantasi plasenta
selama sekitar 6 minggu. Pertumbuhan kelenjar endometrium ini
berlangsung di dalam decidua basalis. Pertumbuhan kelenjar ini
mengikis pembuluh darah yang membeku pada tempat implantasi

plasenta hingga terkelupas dan tak dipakai lagi pada pembuangan


lokia.
Akibat involusi uteri, lapisan luar desidua yang mengelilingi
situs plasenta akan menjadi nekrotik. Desidua yang mati akan keluar
bersama dengan sisa cairan. Percampuran antara darah dan desidua
inilah yang dinamakan lokia.
Lokia adalah ekskresi cairan rahim selama masa nifas dan
mempunyai reaksi basa/alkalis yang membuat organisme berkembang
lebih cepat dari pada kondisi asam yang ada pada vagina normal.
Lokia mempunyai bau yang amis (anyir) meskipun tidak terlalu
menyengat dan volumenya berbeda-beda pada setiap wanita. Lokia
mengalami perubahan karena proses involusi. Pengeluaran lokia dapat
dibagi menjadi lokia rubra, sanguilenta, serosa dan alba. Perbedaan
masing-masing lokia dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 1. Jenis-jenis Lokia
Lokia
Rubra

Waktu
1-3 hari

Warna
Merah kehitaman

Ciri-ciri
Terdiri dari sel desidua,
verniks caseosa, rambut
lanugo, sisa mekoneum dan

Sanguilenta

3-7 hari

Putih bercampur

Serosa

merah
7-14 hari Kekuningan/
kecoklatan

sisa darah
Sisa darah bercampur lender
Lebih sedikit darah dan lebih
banyak serum, juga terdiri
dari leukosit dan robekan

Alba

>14 hari

Putih

laserasi plasenta
Mengandung leukosit,
selaput lendir serviks dan
serabut jaringan yang mati.

Umumnya jumlah lokia lebih sedikit bila wanita postpartum


dalam posisi berbaring daripada berdiri. Hal ini terjadi akibat
pembuangan bersatu di vagina bagian atas saat wanita dalam posisi

berbaring dan kemudian akan mengalir keluar saat berdiri. Total


jumlah rata-rata pengeluaran lokia sekitar 240 hingga 270 ml.
Banyaknya lokia dan kecepatan involusi tidak dipengaruhi oleh
pemberian preparat ergot (ergotrate, Methergine), yang hanya
memiliki

efek

jangka

pendek. Akan

tetapi

menyusui

akan

mempercepat proses involusi.


Segera setelah melahirkan, serviks menjadi lembek, kendor,
terkulai dan berbentuk seperti corong. Hal ini disebabkan korpus uteri
berkontraksi,

sedangkan

serviks

tidak

berkontraksi,

sehingga

perbatasan antara korpus dan serviks uteri membentuk cincin. Serviks


mungkin memar dan edema, terutama jika ada tahanan anterior saat
persalinan, Warna serviks merah kehitam-hitaman karena penuh
pembuluh darah. Segera setelah bayi dilahirkan, tangan pemeriksa
masih dapat dimasukan 23 jari dan setelah 1 minggu hanya 1 jari saja
yang dapat masuk.
Oleh karena hiperplasi dan retraksi serviks, robekan serviks
dapat sembuh. Namun demikian, selesai involusi, ostium eksternum
tidak sama waktu sebelum hamil. Pada umumnya ostium eksternum
lebih besar, tetap ada retak-retak dan robekan-robekan pada
pinggirnya, terutama pada pinggir sampingnya. Oleh karena robekan
ini terbentuk bibir depan dan bibir belakang dari serviks.
Setelah bayi lahir, ligamen dan diafragma pelvis fasia yang
meregang sewaktu kehamilan dan saat melahirkan, kembali seperti
sedia kala. Perubahan ligamen yang dapat terjadi pasca melahirkan
antara

lain:

ligamentum

rotundum

menjadi

kendor

yang

mengakibatkan letak uterus menjadi retrofleksi; ligamen, fasia,


jaringan penunjang alat genetalia menjadi agak kendor.
Ukuran uterus pada masa nifas akan mengecil seperti sebelum
hamil. Perubahan-perubahan normal pada uterus selama postpartum
adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Ukuran uterus pada masa nifas

Involusi Uteri

Tinggi Fundus Uteri

Berat Uterus

Diameter

Plasenta lahir
7 hari

Setinggi pusat
Pertengahan pusat dan

1000 gram
500 gram

Uterus
12,5 cm
7,5 cm

(minggu 1)
14 hari

simpisis
Tidak teraba

350 gram

5 cm

(minggu 2)
6 minggu

Normal

60 gram

2,5 cm

Penurunan ukuran uterus yang cepat ini direfleksikan dengan


perubahan lokasi uterus, yaitu uterus turun dari abdomen dan kembali
menjadi organ panggul. Segera setelah pelahiran, tinggi fundus uteri
(TFU) terletak sekitar dua per tiga hingga tiga per empat bagian atas
antara simfisis pubis dan umbilikus. Letak TFU kemudian naik, sejajar
dengan umbilikus dalam beberapa jam. TFU tetap terletak kira-kira
sejajar (atau satu ruas jari di bawah) umbilikus selama satu atau dua
hari dan secara bertahap turun ke dalam panggul sehingga tidak dapat
dipalpasi lagi di atas simfisis pubis setelah hari kesepuluh
pascapartum.
Walaupun terdapat variasi lokasi umbilikus terhadap simfisis
pubis pada setiap individu dan variasi ukuran ruas jari di antara
pemeriksa dengan pemeriksa lain sehingga membuat adanya rentang
normal

dalam

penurunan

dan

lokasi

TFU

harian,

terdapat

keseragaman untuk memfasilitasi generalisasi penurunan uterus, yang


diilustrasikan pada gambar 1.5

Gambar 1. Tinggi fundus uteri pada masa nifas


Penurunan ukuran uterus selama masa puerperium digambarkan
dengan pemeriksaan MRI serial.

Gambar 2. Pemeriksaan MRI serial, tampak perubahan uterus


(A) 30 jam setelah melahirkan
(B) 1 minggu (C) 2 minggu (D) 6 minggu (E) 6 bulan

b. Perubahan Pada Vulva, Vagina dan Perineum


Selama proses persalinan vulva dan vagina mengalami penekanan
serta peregangan, setelah beberapa hari persalinan kedua organ ini kembali
dalam keadaan kendor. Rugae timbul kembali pada minggu ke tiga. Himen
tampak sebagai tonjolan kecil dan dalam proses pembentukan berubah
menjadi karankulae mitiformis yang khas bagi wanita multipara. Ukuran
vagina akan selalu lebih besar dibandingkan keadaan saat sebelum
persalinan pertama.
Perubahan pada perineum pasca melahirkan terjadi pada saat
perineum mengalami robekan. Robekan jalan lahir dapat terjadi secara
spontan ataupun dilakukan episiotomi dengan indikasi tertentu. Meskipun
demikian, latihan otot perineum dapat mengembalikan tonus tersebut dan
dapat mengencangkan vagina hingga tingkat tertentu. Hal ini dapat
dilakukan pada akhir puerperium dengan latihan harian.6
2.3.2

Sistem Perkemihan
Pada masa hamil, perubahan hormonal yaitu kadar steroid tinggi yang

berperan meningkatkan fungsi ginjal. Begitu sebaliknya, pada pasca


melahirkan kadar steroid menurun sehingga menyebabkan penurunan fungsi
ginjal. Fungsi ginjal kembali normal dalam waktu satu bulan setelah wanita
melahirkan. Urin dalam jumlah yang besar akan dihasilkan dalam waktu 1236 jam sesudah melahirkan.
Ibu post partum dianjurkan segera buang air kecil, agar tidak
mengganggu proses involusi uteri dan ibu merasa nyaman. Namun demikian,
pasca melahirkan ibu merasa sulit buang air kecil.
Hal yang menyebabkan kesulitan buang air kecil pada ibu post
partum, antara lain:
a. Adanya udema trigonium yang menimbulkan obstruksi sehingga terjadi
retensi urin.
b. Diaforesis yaitu mekanisme tubuh untuk mengurangi cairan yang teretansi
dalam tubuh, terjadi selama 2 hari setelah melahirkan.

c. Depresi dari sfingter uretra oleh karena penekanan kepala janin dan
spasme oleh iritasi muskulus sfingter ani selama persalinan, sehingga
menyebabkan miksi.
Setelah plasenta dilahirkan, kadar hormon estrogen akan menurun,
hilangnya peningkatan tekanan vena pada tingkat bawah, dan hilangnya
peningkatan volume darah akibat kehamilan, hal ini merupakan mekanisme
tubuh untuk mengatasi kelebihan cairan. Keadaan ini disebut dengan diuresis
pasca partum. Ureter yang berdilatasi akan kembali normal dalam tempo 6
minggu.
Kehilangan cairan melalui keringat dan peningkatan jumlah urin
menyebabkan penurunan berat badan sekitar 2,5 kg selama masa pasca
partum. Pengeluaran kelebihan cairan yang tertimbun selama hamil kadangkadang disebut kebalikan metabolisme air pada masa hamil (reversal of the
water metabolisme of pregnancy).
Resiko inkontinensia urine pada pasien dengan persalinan pervaginam
sekitar 70% lebih tinggi dibandingkan resiko serupa pada persalinan dengan
Sectio

Caesar. Sepuluh

persen

pasien

pasca

persalinan

menderita

inkontinensia (biasanya stres inkontinensia) yang kadang-kadang menetap


sampai beberapa minggu pasca persalinan.
Secara fisiologis, kontinensia urin dipertahankan dengan tiga cara:
Tonus otot vesica urinaria (musculus detrusor), yang mengendalikan
tekanan intra vesical.
Tekanan intra uretral yang diberikan oleh musculus pubococcygeus dan
campuran serabut-serabut yang saling menyilang pada sepertiga bagian
tengah uretra.
Pengendalian sphincter yang merupakan sudut urethrovesical pada cervix
vesicae. Sudut ini yang menutup meatus internus yang dikendalikan oleh
otot-otot dasar pelvis.
Ketiga faktor tersebut tadi secara bersama-sama mencegah keluarnya
urin secara involunter pada saat tekanan intra abdominal meningkat karena
tertawa, bersin, atau batuk.

10

Otot-otot ini beserta dengan saraf yang menginervasi otot-otot tadi


(nervus pudendus dan cabang-cabang fleksus sakralis) sangat peka terhadap
stres dan trauma selama melahirkan pada saat otot-otot dan saraf-saraf tadi
teregang dan mengalami desakan. Trauma pada saraf tadi akan mengurangi
kekuatan otot-otot yang diinervasi yang telah mengalami regangan berlebihan
dan telah melemah.
Walaupun pada kebanyakan wanita yang sehat yang melakukan latihan
secara teratur, tonus otot tadi akan segera membaik. Pasien primigravida yang
memulai persalinan dengan seluruh ototnya mempunyai tonus yang bagus,
akan sangat kecil kemungkinan terganggunya karena terjadi inkotinensia
stres. Tetapi pada persalinan berikutnya otot tadi akan mengalami stres yang
berulang, dan insidensi inkontinensia stres akan meningkat dengan
meningkatnya paritas. Insidensi tadi juga meningkat pada wanita yang lebih
tua (sebagian karena perubahan hormonal) dan wanita yang mengalami
persalinan lama dan kelahiran dengan alat bantu.
Bila wanita pasca persalinan tidak dapat berkemih dalam waktu 4 jam
pasca persalinan mungkin ada masalah dan sebaiknya segera dipasang dower
kateter selama 24 jam. Bila kemudian keluhan tak dapat berkemih dalam
waktu 4 jam, lakukan kateterisasi dan bila jumlah residu > 200 ml maka
kemungkinan ada gangguan proses urinasinya. Maka kateter tetap terpasang
dan dibuka 4 jam kemudian , bila volume urine < 200 ml, kateter dibuka dan
pasien diharapkan dapat berkemih seperti biasa.
Untuk mempercepat penyembuhan keadaan ini dapat dilakukan latihan
pada otot dasar panggul. Latihan-latihan tersebut antara lain berenang, senam,
mempertahankan kesehatan, aerobik dan sebagainya.7
2.3.3

Sistem Pencernaan
Sistem gastrointestinal selama kehamilan dipengaruhi oleh beberapa

hal, diantaranya tingginya kadar progesteron yang dapat mengganggu


keseimbangan cairan tubuh, meningkatkan kolestrol darah, dan melambatkan
kontraksi otot-otot polos. Pasca melahirkan, kadar progesteron juga mulai

11

menurun. Namun demikian, faal usus memerlukan waktu 3-4 hari untuk
kembali normal.
Beberapa hal yang berkaitan dengan perubahan pada sistem
pencernaan, antara lain:
a. Nafsu Makan
Pasca melahirkan, biasanya ibu merasa lapar sehingga diperbolehkan
untuk mengkonsumsi makanan. Pemulihan nafsu makan diperlukan waktu
34 hari sebelum faal usus kembali normal. Meskipun kadar progesteron
menurun setelah melahirkan, asupan makanan juga mengalami penurunan
selama satu atau dua hari.
Wanita mungkin kelaparan dan mulai makan satu atau dua jam
setelah melahirkan. Kecuali ada komplikasi kelahiran, tidak ada alasan
untuk menunda pemberian makan pada wanita pasca partum yang sehat
lebih lama dari waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pengkajian awal.
b. Motilitas
Secara khas, penurunan tonus dan motilitas otot traktus cerna
menetap selama waktu yang singkat setelah bayi lahir. Kelebihan analgesia
dan anastesia bisa memperlambat pengembalian tonus dan motilitas ke
keadaan normal.
c. Pengosongan Usus
Pasca melahirkan, ibu sering mengalami konstipasi. Hal ini
disebabkan tonus otot usus menurun selama proses persalinan dan awal
masa pascapartum, diare sebelum persalinan, enema sebelum melahirkan,
kurang makan, dehidrasi, hemoroid ataupun laserasi jalan lahir. Sistem
pencernaan pada masa nifas membutuhkan waktu untuk kembali normal.
Beberapa cara agar ibu dapat buang air besar kembali teratur, antara lain:
1) Pemberian diet / makanan yang mengandung serat.
2) Pemberian cairan yang cukup.
3) Pengetahuan tentang pola eliminasi pasca melahirkan.
4) Pengetahuan tentang perawatan luka jalan lahir.

12

5) Bila usaha di atas tidak berhasil dapat pemberian huknah atau obat
yang lain.
d. Konstipasi
Konstipasi mungkin menjadi masalah pada puerperium awal karena
kurangnya makanan padat selama persalinan dan karena wanita menahan
defekasi. Wanita mungkin menahan defekasi karena perineumnya
mengalami perlukaan atau karena ia kurang pengetahuan dan takut akan
merobek atau merusak jahitan jika ia melakukan defekasi. Jika penderita
hari ketiga belum juga buang air besar, maka diberi obat pencahar, baik
peroral ataupun supositoria.
2.3.4

Sistem Muskuloskeletal
Perubahan sistem muskuloskeletal terjadi pada saat umur kehamilan

semakin bertambah. Adaptasi muskuloskelatal ini mencakup: peningkatan


berat badan, bergesernya pusat akibat pembesaran rahim, relaksasi dan
mobilitas. Namun demikian, pada saat post partum sistem muskuloskeletal
akan berangsur-angsur pulih kembali. Ambulasi dini dilakukan segera setelah
melahirkan, untuk membantu mencegah komplikasi dan mempercepat
involusi uteri.
Adaptasi sistem muskuloskeletal pada masa nifas, meliputi:
a. Dinding perut dan peritoneum
Dinding perut akan longgar pasca persalinan. Keadaan ini akan pulih
kembali dalam 6 minggu. Pada wanita yang asthenis terjadi diastasis dari
otot-otot rektus abdominis, sehingga sebagian dari dinding perut di garis
tengah hanya terdiri dari peritoneum, fasia tipis dan kulit.
b. Kulit abdomen
Selama masa kehamilan, kulit abdomen akan melebar, melonggar
dan mengendur hingga berbulan-bulan. Otot-otot dari dinding abdomen
dapat kembali normal kembali dalam beberapa minggu pasca melahirkan
dengan latihan post natal.
c. Striae

13

Striae adalah suatu perubahan warna seperti jaringan parut pada


dinding abdomen. Striae pada dinding abdomen tidak dapat menghilang
sempurna melainkan membentuk garis lurus yang samar. Tingkat diastasis
muskulus rektus abdominis pada ibu post partum dapat dikaji melalui
keadaan umum, aktivitas, paritas dan jarak kehamilan, sehingga dapat
membantu menentukan lama pengembalian tonus otot menjadi normal.
d. Perubahan ligamen
Setelah janin lahir, ligamen-ligamen, diafragma pelvis dan fasia yang
meregang sewaktu kehamilan dan partus berangsur-angsur menciut
kembali seperti sediakala. Tidak jarang ligamentum rotundum menjadi
kendor yang mengakibatkan letak uterus menjadi retrofleksi.
e. Simpisis pubis
Pemisahan simpisis pubis jarang terjadi. Namun demikian, hal ini
dapat menyebabkan morbiditas maternal. Gejala dari pemisahan simpisis
pubis antara lain: nyeri tekan pada pubis disertai peningkatan nyeri saat
bergerak di tempat tidur ataupun waktu berjalan. Pemisahan simpisis dapat
dipalpasi. Gejala ini dapat menghilang setelah beberapa minggu atau bulan
pasca melahirkan, bahkan ada yang menetap.
Adapun gejala-gejala sistem muskuloskeletal yang biasa timbul pada
masa pasca partum antara lain:
a. Nyeri punggung bawah
Nyeri punggung merupakan gejala pasca partum jangka panjang yang
sering terjadi. Hal ini disebabkan adanya ketegangan postural pada sistem
muskuloskeletal akibat posisi saat persalinan.
Penanganan: Selama kehamilan, wanita yang mengeluh nyeri punggung
sebaiknya dirujuk pada fisioterapi untuk mendapatkan perawatan. Anjuran
perawatan punggung, posisi istirahat, dan aktifitas hidup sehari-hari
penting diberikan. Pereda nyeri elektroterapeutik dikontraindikasikan
selama kehamilan, namun mandi dengan air hangat dapat menberikan rasa
nyaman pada pasien.

14

b. Sakit kepala dan nyeri leher


Pada minggu pertama dan tiga bulan setelah melahirkan, sakit kepala dan
migrain bisa terjadi. Gejala ini dapat mempengaruhi aktifitas dan
ketidaknyamanan pada ibu post partum. Sakit kepala dan nyeri leher yang
jangka panjang dapat timbul akibat setelah pemberian anestasi umum.
c. Nyeri pelvis posterior
Nyeri pelvis posterior ditunjukan untuk rasa nyeri dan disfungsi area sendi
sakroiliaka. Gejala ini timbul sebelum nyeri punggung bawah dan
disfungsi simfisis pubis yang ditandai nyeri di atas sendi sakroiliaka pada
bagian otot penumpu berat badan serta timbul pada saat membalikan tubuh
di tempat tidur. Nyeri ini dapat menyebar ke bokong dan paha posterior.
Penanganan: pemakaian ikat (sabuk) sakroiliaka penyokong dapat
membantu untuk mengistirahatkan pelvis. Mengatur posisi yang nyaman
saat istirahat maupun bekerja, serta mengurangi aktifitas dan posisi yang
dapat memacu rasa nyeri.
d. Disfungsi simfisis pubis
Merupakan istilah yang menggambarkan gangguan fungsi sendi simfisis
pubis dan nyeri yang dirasakan di sekitar area sendi. Fungsi sendi simfisis
pubis adalah menyempurnakan cincin tulang pelvis dan memindahkan
berat badan melalui pada posisi tegak. Bila sendi ini tidak menjalankan
fungsi semestinya, akan terdapat fungsi/stabilitas pelvis yang abnormal,
diperburuk

dengan

terjadinya

perubahan

mekanis,

yang

dapat

mempengaruhi gaya berjalan suatu gerakan lembut pada sendi simfisis


pubis untuk menumpu berat badan dan disertai rasa nyeri yang hebat.
Penanganan: tirah baring selama mungkin; pemberian pereda nyeri;
perawatan ibu dan bayi yang lengkap; rujuk ke ahli fisioterapi untuk
latihan abdomen yang tepat; latihan meningkatkan sirkulasi; mobilisasi
secara bertahap; pemberian bantuan yang sesuai.
e. Diastasis rekti
Diastasis rekti adalah pemisahan otot rektus abdominis lebih dari 2,5 cm
pada tepat setinggi umbilikus sebagai akibat pengaruh hormon terhadap

15

linea alba serta akibat perenggangan mekanis dinding abdomen. Kasus ini
sering terjadi pada multi paritas, bayi besar, poli hidramnion, kelemahan
otot abdomen dan postur yang salah. Selain itu, juga disebabkan gangguan
kolagen yang lebih ke arah keturunan, sehingga ibu dan anak mengalami
diastasis.
Penanganan: melakukan pemeriksaan rektus untuk mengkaji lebar celah
antara otot rektus; memasang penyangga tubigrip (berlapis dua jika perlu),
dari area xifoid sternum sampai di bawah panggul; latihan transversus dan
pelvis dasar sesering mungkin, pada semua posisi, kecuali posisi
telungkup-lutut; memastikan tidak melakukan latihan sit-up atau curl-up;
mengatur ulang kegiatan seharihari, menindaklanjuti pengkajian oleh ahli
fisioterapi selama diperlukan.
f. Osteoporosis akibat kehamilan
Osteoporosis timbul pada trimester ketiga atau pasca natal. Gejala ini
ditandai dengan nyeri, fraktur tulang belakang dan panggul, serta adanya
hendaya (tidak dapat berjalan), ketidakmampuan mengangkat atau
menyusui bayi pasca natal, berkurangnya tinggi badan, postur tubuh yang
buruk.
g. Disfungsi Dasar Panggul
Disfungsi dasar panggul, meliputi :
1) Inkontinensia urin
Inkontinensia urin adalah keluhan rembesan urin yang tidak disadari.
Masalah berkemih yang paling umum dalam kehamilan dan pasca
partum adalah inkontinensia stress.
Terapi : selama masa antenatal, ibu harus diberi pendidikan mengenai
dan dianjurkan untuk mempraktikan latihan otot dasar panggul dan
transversus sesering mungkin, memfiksasi otot ini serta otot
transversus selama melakukan aktivitas yang berat. Selama masa
pasca natal, ibu harus dianjurkan untuk mempraktikan latihan dasar
panggul dan transversus segera setelah persalinan. Bagi ibu yang tetap

16

menderita gejala ini disarankan untuk dirujuk ke ahli fisioterapi yang


akan mengkaji keefektifan otot dasar panggul dan memberi saran
tentang program retraining yang meliputi biofeedback dan stimulasi.
2) Inkontinensia alvi.
Inkontinensia alvi disebabkan oleh robeknya atau merenggangnya
sfingter anal atau kerusakan yang nyata pada suplai saraf dasar
panggul selama persalinan (Snooks et al, 1985).
Penanganan : rujuk ke ahli fisioterapi untuk mendapatkan perawatan
khusus.
3) Prolaps
Prolaps genetalia dikaitkan dengan persalinan per vagina yang dapat
menyebabkan peregangan dan kerusakan pada fasia dan persarafan
pelvis. Prolaps uterus adalah penurunan uterus. Sistokel adalah
prolaps kandung kemih dalam vagina, sedangkan rektokel adalah
prolaps rektum kedalam vagina (Thakar & Stanton, 2002).
Gejala yang dirasakan wanita yang menderita prolaps uterus antara
lain: merasakan ada sesuatu yang turun ke bawah (saat berdiri), nyeri
punggung dan sensasi tarikan yang kuat.
Penanganan: prolaps ringan dapat diatasi dengan latihan dasar
panggul.6,7
2.3.5

Perubahan Pada Payudara


Payudara disiapkan untuk proses laktasi selama kehamilan.
Payudara dapat membengkak karena sistem vaskularisasi dan limfatik
disekitar payudara dan mengakibatkan perasaan tegang dan sakit.8

17

Gambar 3. Payudara pada ibu postpartum


a. Kolostrum
Setelah melahirkan, payudara mulai mensekresi kolostrum yaitu suatu
cairan berwarna kuning tua yang mengandung mineral, asam amino dan
lebih banyak protein terutama globulin dan sedikit lemak dan glukosa.
Cairan ini biasanya keluar dua jam setelah melahirkan. Sekresi berlanjut
selama 5 hari, dengan berubah secara perlahan menjadi air susu matang
selama 4 minggu berikutnya. Kolostrum mengandung antibodi dan
imunoglobulin A yang dapat memberikan perlindungan bagi neonatus
terhadap paxgbn\togen enterik. Faktor pertahanan tubuh lainnya yang
ditemukan di kolostrum dan susu mencakup komplemen, makrofag,
limfosit, laktoferin, laktoperoksidase, dan lisozim.9
Colostrum disekresikan dalam beberapa hari pertama setelah
melahirkan. Karakteristik colostrum adalah sebagai berikut.
- Cairan berwarna kuning
- Mengandung tinggi protein dan garam anorganik dibanding ASI
- Rendah lemak dan karbohidrat dibanding ASI
- Mengandung antibodi dalam kadar yang tinggi, yang dapat
-

melindungi bayi dari infeksi


Mengandung nutrisi yang lebih rendah dibanding ASI
Berperan sebagai laxative untuk bayi yang baru lahir

b. ASI
Air susu ibu merupakan suspensi lemak dan protein dalam larutan
karbohidrat-mineral. Ibu yang menyusui dapat mengeluarkan 600 ml susu
perhari, dan berat badan ibu sewaktu hamil tidak memengaruhi kuantitas
atau kualitasnya. ASI mengandung asam amino esensial yang berasal
darah dan asam amino non-esensial sebagian berasal dari darah atau
disintesis di kelenjar mammae. Sebagian besar protein susu mengandung
-laktalbumin, -laktaglobulin, dan kasein. Asam lemak disintesis di

18

alveoli dari glukosa dan disekresikan melalui apokrin. Semua vitamin


kecuali vitamin K ditemukan pada ASI dalam jumlah yang berbeda.
Kandungan vitamin D pada ASI rendah sekitar 22 IU/mL sehingga
diperlukan suplementasi bagi neonatus..
Whey atau serum susu pada ASI memiliki kandungan Interleukin-6 yang
besar dan berhubungan dengan produksi IgA lokal oleh payudara. Pada
ASI juga ditemukan prolaktin dan epidermal growth factor (EGF). EGF
tidak dihancurkan oleh enzim proteolitik lambung sehingga dapat
diabsorbsi unntuk mendukung pertumbuhan dan pematangan mukosa usus
neonatus.8
c. Laktasi
Pada saat hamil, payudara membesar karena pengaruh berbagai
hormon seperti estrogen, progesteron, Human Placental Lactogen dan
prolaktin. Selama kehamilan ASI biasanya belum keluar karena masih
dihambat oleh estrogen yang tinggi. Pada hari kedua atau ketiga pasca
persalinan, kadar estrogen turun dengan drastis sehingga mulai terjadi
sekresi ASI.10
Ada dua refleks yang sangat penting dalam proses laktasi, aitu refleks
prolaktin dan refleks oksitosin. Kedua reflek ini bersumber dari
perangsangan puting susu akibat isapan bayi10 :
- Refleks Prolaktin
Didalam papilla mammae banyak terdapat ujung saraf peraba. Bila
ini dirangsang, maka akan timbul rangsangan menuju hipotalamus
selanjutnya ke hipofisis anterior, sehingga kelenjar ini
memgeluarkan prolaktin. Hormon prolaktin memegang peranan
utama dalam produksi ASI pada alveolus. Dengan demikian
semakin sering rangsangan penyusuan maka akan semakin banyak
pula produksi ASI.
- Refleks Oksitosin
Rangsangan yang berasal dari papilla mammae diteruskan sampai
ke hipofisis posterior akibatnya terjadi pengeluaran oksitosin.
Hormon ini berfungsi memacu konttraksi otot polos yang ada di
dinding alveolus dan dinding saluran, sehingga ASI dipompa
keluar.

19

Gambar 4. Refleks oksitosin dan prolaktin pada laktasi

BAB III
PENUTUP

20

Kesimpulan
Masa nifas adalah masa setelah lahirnya hasil konsepsi sampai
pulihnya organ reproduksi seperti sebelum hamil. Pada masa ini banyak
terjadi perubahan yang dialami oleh wanita post partum. Pada sistem
reproduksi terjadi Involusi uterus, involusi tempat plasenta, perubahan
ligamen, perubahan pada serviks, keluarnya lokia, perubahan pada vulva,
vagina dan perineum. Terjadi juga perubahan pada sistem perkemihan seperti
kesulitan buang air kecil dan inkontinensia urin. Pada sistem pencernaan
terjadi

perubahan

nafsu

makan,

motilitas

organ-organ

pencernaan,

pengosongan usus, dan konstipasi. Sistem muskuloskeletal pun mengalami


perubahan seperti pada dinding perut dan peritoneum, kulit abdomen,
timbulnya striae, perubahan ligamen dan simpisis pubis
Perubahan-perubahan tersebut ada yang bersifat fisiologis dan
patologis. Oleh karena itu, tenaga kesehatan terutama bidan harus memahami
perubahan-perubahan tersebut agar dapat memberikan penjelasan dan
intervensi yang tepat kepada pasien.

DAFTAR PUSTAKA

21

1.

Manuaba, Ida Bagus Gde. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan Dan
Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : Buku Kedokteran
EGC.

2.

Varney, Helen, Dkk. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.

3.

Mochtar R, Masa Nifas, dalam Sinopsis Obstetri, edisi ke-3, Jakarta : EGC,
2011 : 87-9

4.

Bagian Obstetri Dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas


Padjadjaran Bandung. 1983. Oebstetri Fisiologi. Bandung : Percetakan /
Penerbitan Eleman.

5.

Cunningham F, Leveno K, Bloom S.2012. Masa Nifas, dalam William

6.

Obstetrics, edisi ke-23 volume 1, New York : McGraw-Hill.


Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Masa Nifas, dalam William Obstetrics,
edisi ke-23 volume 1, New York : McGraw-Hill,2013 : 674-89

7.

Verralls, Sylvia. 1997. Anatomi dan Fisiologi Terapan Dalam Kebidanan.


Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

8.

Prawirohardjo Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka.


Hal.356-7.

9.

Evans AT. 2007. Chapter I Obstetric Care, 4 Puerperium. In: Manual of


Obstetrics. Seventh Edition. Texas: Lippincott Williams & Wilkins.

10.

Hanretty, Kevin P. 2004. Chapter 15 Puerperium Normal and Abnormal.


In: Obstetrics Illustrated. Sixth Edition. China: Churchill Livingstone. pp.
336-53.

22

You might also like