Professional Documents
Culture Documents
HERPES GENITALIS
PEMBIMBING:
dr. Retno Sawitri, Sp.KK
dr. Shinta J.B T R, Sp.KK
DISUSUN OLEH:
Aninda Rebecca Leonora, S.Ked
030.10.032
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat karunia
yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat herpes genitalis
tanpa hambatan dan rintangan yang berarti.
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik ilmu
penyakit kulit dan kelamin di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi. Penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Retno Sawitri, Sp.KK dan dr.
Shinta J.B T R, Sp.KK selaku pembimbing yang telah memberikan tugas dan membimbing
penulis dalam menyusun referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna perbaikan referat ini. Akhir kata,
semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pendidikan, khususnya dalam pembelajaran ilmu
penyakit kulit dan kelamin.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
11
14
16
18
2.9 PROGNOSIS...................................................................................................
20
20
21
21
23
24
DAFTAR GAMBAR
10
12
12
13
14
16
17
17
18
BAB I
PENDAHULUAN
Herpes genitalis merupakan salah satu penyakit menular seksual yang sering ditemui
dan telah berhasil mempengaruhi kehidupan jutaan pasien beserta pasangannya. Kebanyakan
individu mengalami gangguan psikologi dan psikososial sebagai akibat dari nyeri yang
timbul serta gejala lain yang menyertai ketika terjadi infeksi aktif. Oleh karena penyakit
herpes genital tidak dapat disembuhkan serta bersifat kambuh-kambuhan, maka terapi
sekarang difokuskan untuk meringankan gejala yang timbul, menjarangkan kekambuhan,
serta menekan angka penularan sehingga diharapkan kualitas hidup dari pasien menjadi lebih
baik setelah dilakukan penanganan dengan tepat.
Herpes genitalis merupakan penyakit menular seksual dengan prevalensi yang tinggi
di berbagai negara dan penyebab terbanyak penyakit ulkus genitalis. Infeksi herpes genitalis
adalah infeksi genitalia yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV) terutama HSV
tipe II. Dapat juga disebabkan oleh HSV tipe I pada 10-40% kasus. Sebagian besar terjadi
setelah kontak seksual secara orogenital.
Infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks tipe I atau tipe II yang
ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa
pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun
rekurens. Penyakit yang disebabkan oleh virus herpes simpleks dikenal dengan sebutan fever
blister, cold sore, herpes febrilis, herpes labialis, atau herpes progenitalis (genitalis).(1)
Herpes simpleks berkenaan dengan sekelompok virus yang menulari manusia. Serupa
dengan herpes zoster, herpes simpleks menyebabkan luka-luka yang sangat sakit pada kulit.
Gejala pertama biasanya gatal-gatal dan kesemutan/perasaan geli, diikuti dengan lepuh yang
membuka dan menjadi sangat sakit. Infeksi ini dapat dorman (tidak aktif) dalam sel saraf
selama beberapa waktu namun tiba-tiba infeksi menjadi aktif kembali. Herpes dapat aktif
tanpa gejala.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita dengan
frekuensi yang tidak berbeda, infeksi primer oleh virus herpes simpleks (HSV) tipe I
biasanya dimulai pada anak-anak, sedangkan infeksi HSV tipe II biasanya terjadi pada
dekade II atau III, dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual.(1)
Insidens infeksi primer HSV-1 yang menyebabkan herpes labialis paling banyak
terjadi pada masa kanak-kanak, dimana 30-60% anak-anak biasanya terekspos oleh
virus ini. Jumlah kejadian infeksi HSV-1 meningkat seiring dengan bertambahnya usia
dan mayoritas ditemukan pada orang dewasa berusia 30 tahun atau lebih dengan HSV-2
seropositif.(2) Infeksi HSV-2 berhubungan dengan perilaku seksual. Antibodi terhadap
HSV-2 sangat jarang ditemukan sebelum terjadi aktivitas seksual dan meningkat secara
terus menerus setelahnya.
Pada tahun 2005-2008, prevalensi infeksi HSV-2 pada populasi usia 14-49 tahun
di Amerika Serikat sebesar 16%, angka tersebut stabil sejak tahun 2001-2004 yaitu
sebesar 17%; dengan prevalensi yang lebih tinggi pada wanita yaitu 21%, sedangkan
pada pria 12%. Kira-kira 45 juta penduduk Amerika Serikat terinfeksi HSV-2; jika
digabung
dengan
yang
terinfeksi
HSV-1
mungkin
mencapai
60
juta
orang.(3)Berdasarkan survei kesehatan nasional yang dilakukan oleh CDC (Centers for
Disease Control and Prevention) pada tahun 2010 menyatakan bahwa insidens infeksi
HSV-2 pada warga Amerika Serikat masih tinggi, dimana 1 dari 6 warga Amerika
Serikat terinfeksi HSV-2 dan prevalensinya tinggi pada perempuan dan ras AfrikaAmerika (16,2%) antara usia 14-49 tahun.(4)Di Eropa Barat, prevalensi HSV-2 secara
umum lebih lebih rendah daripada di Amerika Serikat, yaitu berkisar antara 10-15%
pada hampir semua negara.(3)Di Indonesia, penelitian yang dilakukan di RSUD Dr.
Soetomo pada tahun 2005-2007 ditemukan hasil yang kurang lebih sama, yaitu insidens
herpes genitalis lebih banyak ditemukan pada perempuan dibanding laki-laki dengan
rasio 1.96:1, usia terbanyak penderita bervariasi antara 25-34 tahun, terutama sesudah
menikah.
2.2 ETIOLOGI
HSV tipe I dan II merupakan virus herpes homonis yang merupakan virus DNA.
Virus herpes simpleks hanya menginfeksi manusia. Terdapat dua tipe virus herpes
simpleks, yaitu HSV-1, yang biasanya menyebabkan infeksi herpes nongenital
(orofacial); dan HSV-2, yang biasanya menyebabkan infeksi herpes genital pada lakilaki dan perempuan(5), akan tetapi kedua tipe virus tersebut dapat menginfeksi baik
pada area orofacial maupun genital dan dapat menyebabkan infeksi akut dan
rekuren.(2)Pembagian tipe I dan II berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada media
kultur, antigenic marker, dan lokasi klinis (tempat predileksi).(1) Terdapat perbedaan
antara kedua tipe HSV secara biologis, contohnya tingkat rekurensi infeksi HSV-2 pada
genital lebih sering daripada HSV-1. Sebaliknya, infeksi nongenital yang disebabkan
HSV-1 tingkat rekurensinya lebih tinggi daripada HSV-2. Infeksi HSV genital terjadi
enam kali lebih sering daripada infeksi HSV pada orolabial.(5)
Penularan herpes genitalis diperlukan kontak langsung dengan jaringan atau
sekret dari penderita infeksi HSV. Kebanyakan infeksi pada alat genital didapatkan dari
partner dengan infeksi subklinis. Pasangan yang aktif secara seksual dan sama-sama
terinfeksi HSV tidak akan mengalami reinfeksi satu sama lain. Autoinokulasi dapat
menyebabkan herpetic whitlow atau keratokonjungtivitis, terutama saat infeksi primer,
namun jarang pada infeksi herpes rekuren. Belum ada bukti penelitian bahwa HSV
dapat menular melalui fomites, penggunaan pakaian atau handuk secara bersama
ataupun dari lingkungan. Penularan perinatal kepada bayi baru lahir dapat terjadi,
terutama jika infeksi baru terjadi pada kehamilan trimester akhir.(3)
HSV memiliki kemampuan untuk menyerang dan melakukan replikasi di dalam
jaringan saraf, kemudian virus tersebut memasuki masa laten di dalam jaringan saraf,
terutama di ganglia trigeminal untuk HSV-1, dan pada ganglia sacralis untuk HSV-2.
Akhirnya, virus laten tersebut melakukan reaktivasi dan bereplikasi sehingga
menyebabkan penyakit pada kulit.(5)
2.3.1
2.3.2
2.3.3
2.3.4
Subclinical Infection
Sebagian besar infeksi HSV bersifat subklinis, termasuk tipe primary,
nonprimary initial, atau recurrent herpes. Pada herpes genitalis fase ini berarti
pada penderita tidak ditemukan gejala klinis, tetapi HSV dapat ditemukan
dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis.
2.4 PATOGENESIS
HSV-1 dan HSV-2 termasuk famili Herpesviridae dan subfamili Alphaherpesviridae.
Virus ini adalah virus DNA beruntai ganda ditandai dengan sifat biologis sebagai
berikut:
Reaktivasi: reaktivasi dan replikasi HSV laten, selalu di daerah yang dipersarafi
oleh ganglia dimana tempat virus latensi, dapat disebabkan oleh berbagai
rangsangan (misalnya demam, trauma, stress emosional, sinar matahari,
menstruasi), sehingga berakibat infeksi berulang yang jelas atau samar-samar
dan kemunculan kembali HSV. Pada orang imunokompeten yang berada pada
resiko yang sama tertular HSV-1 dan HSV-2 baik secara oral maupun genital,
HSV-1 reaktivasi lebih sering oral daripada genital. Demikian pula HSV-2
mengaktifkan kembali 8-10 kali lebih umum di daerah genital daripada di
daerah
orolabial.
Reaktivasi
lebih
umum
dan
parah
pada
individu
imunocompromised.
Penyebaran infeksi herpes simpleks dapat terjadi pada orang dengan gangguan
imunitas sel T, seperti di penerima transplantasi organ pada individu dengan AIDS.
HSV tersebar di seluruh dunia. Manusia adalah satu-satunya reservoir alami, dan tidak
ada vektor yang terlibat selama transmisi. Endemisitas mudah bertahan dalam manusia
karena adanya infeksi laten, reaktivasi periodik, dan virus yang muncul tanpa gejala.
10
Selama infeksi primer, replikasi dimulai di dalam sel berinti pada dermis dan
epidermis. Setiap sel yang terinfeksi pasti dibunuh dan jumlah sel yang terlibat dalam
proses infeksi menentukan apakah secara klinis akan berkembang membentuk lesi, atau
yang lebih sering malah menjadi subklinis. Dalam dua keadaan tersebut, ujung saraf
sensoris akan terinfeksi, kemudian virus pindah melalui akson ke ganglia sakralis dan
disana akan dimulai periode laten. HSV hanya dapat dikultur dari ganglion selama
periode infeksi primer. Virus menyebar ke daerah lain secara sentrifugal dimana vesikel
terbentuk akibat migrasi dari HSV-2 ke saraf sensoris lainnya dan via autoinokulasi.
Viremia terjadi pada 25% pasien dengan infeksi primer.(6)
Kemudian HSV-2 akan mempertahankan dirinya ke dalam periode laten di dalam
ganglion dimana aktivasi sistem kekebalan tubuh sangat terbatas. Virus tersebut
kemudian akan keluar dari neuron sensoris ke daerah genital sehingga menyebabkan
terjadinya periode subklinis ataupun berkembang menjadi lesi herpes genital. Sistem
imun penderita, terutama limfosit CD8+, sangat penting dalam proses terbentuknya lesi
genital.(6) Terbentuknya lesi pada genital (simtomatik) menunjukkan adanya viral
shedding, yaitu saat dimana virus menjadi aktif dan keluar dari ganglion saraf menuju
ke permukaan kulit dan menimbulkan lesi. Sebuah penelitian di Amerika meneliti
tentang besarnya angka viral shedding yang diukur dengan quantitive real-time
fluorescence polymerase chain reaction untuk HSV DNA dari swab genital, pada
herpes genitalis yang simtomatik dan asimtomatik. Hasilnya, pada herpes genitalis
simtomatik lebih sering ditemukan viral shedding daripada yang asimtomatik.(7)
2.5 MANIFESTASI KLINIS(3)
Masa inkubasi herpes genitalis biasanya berkisar antara 3-5 hari untuk infeksi primer
yang simtomatik, kadang 10 hari, jarang mencapai 3 minggu.
GEJALA KLINIS
2.5.1
11
Lesi pada mukosa atau permukaan yang lembab (misalnya introitus vagina,
labia minor, uretra, rektum) mengalami ulserasi lebih awal, sering disertai
dengan nyeri yang berat dan tidak berubah menjadi krusta. Nyeri dan bengkak
pada daerah inguinal juga sering ditemukan, biasanya bilateral. Infeksi yang
didapatkan melalui seks secara anal dapat dirasakan nyeri pada rektum, keluar
cairan, tenesmus, dan beberapa gejala dari proctitis. Demam, malaise, nyeri
kepala juga sering ada, dan kadang-kadang fotofobia dan kaku pada leher.(3)
Gambar 3A. Infeksi Primer Herpes Genitalis dengan Vesikel, 3B. Vulvitis Herpetik Primer
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7th ed.
12
2.5.2
2.5.3
Gambar 4A. Herpes genitalis rekuren pada penis. Vesikel berkelompok dengan krusta di bagian sentral,
dasar yang meninggi dan berwarna merah. 4B. Herpes genitalis rekuren pada vulva. Erosi berukuran
besar dan sangat nyeri di labia.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7th ed.
13
Pemeriksaan sitologi
Pemeriksaan
sitologi
dilakukan
dengan
Tzanck
smears,
pewarnaan
Gambar 5. Pemeriksaan Tzanck Smears positif dengan pewarnaan Giemsa, sampel diambil
dari dasar vesikel. Terlihat keratinosit berukuran besar dan multinuklear.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7th ed.
14
2.6.2
2.6.3
Kultur virus
Kultur virus digunakan untuk menentukan tipe virus, sudah lama menjadi
landasan untuk penegakan diagnosis infeksi HSV selama dua dekade terakgir
dan sudah ditentukan sebagai gold standard diagnosis laboratoris untuk
infeksi HSV. Sampel diambil dari swab, kerokan lesi kulit, cairan dari vesikel,
eksudat dari dasar vesikel, atau dari mukosa yang tanpa lesi. Pemeriksaan ini
cukup mahal, tidak lebih sensitif dari PCR, sensitivitasnya bervariasi dari
rendah ke tinggi tergantung keadaan klinis pasien dan spesifisitasnya cukuo
tinggi.(8)
2.6.4
15
Gambar 6. Ulkus mole yang melebar dengan eksudat, telah menghancurkan frenulum
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7th ed.
Gambar 8. Pembesaran kelenjar getah bening inguinal unilateral. Kulit di permukaannya eritematosa
dan terdapat indurasi. Lesi primer belum terbentuk.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7th ed.
c. Sifilis, adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum, sangat
kronik dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir semua
alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat
ditularkan dari ibu ke janin. Pada anamnesis diketahui masa inkubasi, tidak terdapat
gejala konstitusi, demikian pula gejala setempat yaitu tidak ada rasa nyeri. pada
afek primer yang penting adalah terdapat erosi/ulkus yang bersih, soliter,
bulat/lonjong, teratur, indolen dengan indurasi: T. Pallidum positif. Kelainan dapat
nyeri jika disertai infeksi sekunder. Kelenjar regional dapat membesar, indolen,
tidak berkelompok, tidak ada periadenitis, tanpa supurasi.Berbeda dengan sifilis,
herpes simpleks bersifat residif, dapat disertai keluhan berupa rasa gatal atau nyeri,
17
lesi berupa vesikel di atas kulit yang eritematosa, berkelompok. Jika telah pecah
tampak kelompok erosi, sering berkonfluensi dan polisiklik, tidak terdapat
indurasi.(1)
Gambar 9. Ulkus pada awal sifilis, tampak sebagai papul yang datar dan mengalami erosi, dengan
tepi yang meninggi dan dasar yang halus, bersih.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7th ed.
2.8 PENATALAKSANAAN
2.8.1
18
2.8.2
19
2.9 PROGNOSIS
Selama pencegahan rekurens masih merupakan masalah, hal tersebut secara
psikologik akan memberatkan penderita. Pengobatan secara dini dan tepat memberi
prognosis yang lebih baik, yakni masa penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurens
lebih panjang. Pada orang dengan gangguan imunitas misalnya pada penyakit-penyakit
dengan tumor di sistem retikuloendotelial, pengobatan dengan imunosupresan yang
lama atau fisik yang sangat lemah, menyebabkan infeksi ini dapat menyebar ke alat-alat
dalam dan dapat fatal. Prognosis akan lebih baik seiring dengan meningkatnya usia
seperti pada orang dewasa.(1)
2.10 KOMPLIKASI
Infeksi HSV-2 selain dapat menyebabkan penyakit herpes genitalis, juga dapat
menyebabkan komplikasi pada retina, otak, batang otak, nervus kranialis, medulla
spinalis, dan nerve roots. Secara umum, infeksi HSV-2 dapat menyebabkan
meningitis. Manifestasi kelainan neurologis akibat infeksi HSV-2 antara lain herpes
simpleks ensefalitis pada neonatus, meningitis aspetik akut pada dewasa, meningitis
aseptik rekuren, ensefalitis dan meningonesefalitis HSV-2 pada dewasa, radikulopati
HSV-2, serta nekrosis retina akut.(9)Sacral radiculopathy dapat ditunjukkan dengan
adanya gejala hyperesthesia pada saat terjadi infeksi herpes simpleks primer.
Amitriptilin dapat menjadi pilihan untuk terapi infeksi ini jika terapi antiviral sistemik
tidak adekuat atau tidak efektif.(10)
Sesuai dengan rekomendasi European guideline for the management of Genital
Herpes pada tahun 2010, jika herpes genitalis disertai dengan komplikasi penyakit
lainnya, maka waktu pengobatan dapat diperpanjang lebih dari lima hari.(13)
20
2.11 PENCEGAHAN
Kunci dari penanganan orang yang terinfeksi HSV-2 adalah dengan melakukan
konseling mengenai pencegahan penularan penyakit tersebut. Menghindari kontak
seksual dengan pasangan terutama selama masih ada lesi pada daerah genital dan saat
terjadi gejala prodormal, serta penggunaan kondom, ternyata telah terbukti dapat
menurunkan angka penularan infeksi HSV-2, meskipun tidak menghilangkan sama
sekali. Ditambah dengan pemberian Valacyclovir 500 mg setiap hari pada penderita
awal dapat mengurangi angka penularan hingga 50%. Pengembangan vaksin untuk
HSV adalah pendekatan terbaik untuk pencegahan infeksi ini.
2.12.2 NEONATUS
Infeksi HSV pada neonatus memiliki angka mortalitas sebesar 65% dan
angka disabilitas jangka panjang sebesar 80%, meskipun telah diberikan terapi
antiviral. Lesi kutaneus sering ditemukan. Infeksi kongenital sangat jarang
terjadi dan hanya terjadi jika tertular saat usia kehamilan trimester ketiga,
manifestasinya berupa mikrosefali dan korioretinitis. Penatalaksanaan untuk
penyakit ini adalah asiklovir intravena dosis tinggi (20mg/kgBB setiap 8 jam
selama 21 hari). Penularan yang paling sering adalah pada saat melahirkan,
sedangkan kasus setelah proses kelahiran jarang ditemukan. Bayi yang lahir
dari ibu yang sedang terinfeksi herpes genitalis dengan lesi aktif, harus
ditempatkan di ruang isolasi dan dilakukan kultur virus, pemeriksaan fungsi
hati dan pemeriksaan cairan serebrospinal.(6)
21
2.12.3 HIV/AIDS
Penderita dengan immunocompromised biasanya memiliki gejala yang
lebih berat serta lebih lama pada daerah genital, perianal, atau oral. Lesi yang
disebabkan oleh HSV biasanya bersifat atipik, lebih nyeri, serta lebih berat.
Meskipun terapi antiretroviral bisa menurunkan tingkat keparahan dari infeksi
herpes genital, namun infeksi subklinik tetap dapat terjadi. Pemberian terapi
supresif atau terapi episodik menggunakan agen antivirus oral terbukti efektif
dalam memperingan manifestasi klinik dari HSV yang disertai dengan infeksi
HIV.
22
BAB III
KESIMPULAN
Virus herpes simpleks tipe 2 (HSV-2) adalah penyebab herpes genitalis yang umum,
namun selain di daerah genital, virus ini juga dapat bereplikasi di semua jaringan pada tubuh
manusia, dan terkadang dapat menyebabkan keratitis, hepatitis, pneumonitis, meningitis dan
sepsis neonatal. Seroprevalensi dari herpes genitalis masih tinggi di seluruh dunia, di
Amerika sebesar 17%. Pada pasien yang simtomatik dan asimtomatik, infeksi tidak selalu
ditandai dengan adanya keluhan maupun lesi di daerah genital, hal tersebut menyebabkan
penularan dan inflamasi yang persisten.(6)
HSV-2 masih menjadi patogen yang dapat menyebar luas ke banyak populasi dan
biasanya menyebabkan infeksi berat pada neonatus dan pasien dengan sistem imun yang
rendah. Yang sekarang menjadi sorotan adalah pengembangan obat-obatan antivirus yang
dapat menekan rekurensi, viral shedding, penularan secara seksual, penularan pada neonatus;
serta pengembangan vaksin terhadap HSV.(6)
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Handoko RP. Herpes Simpleks. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2010. P.380-2.
2. Marques AR, Straus SE. Herpes Simplex. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine.
7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. P.1873-85
3. Handsfield HH. Color Atlas & Synopsis of Sexually Transmitted Diseases. 3rd ed.
New York: McGraw-Hill; 2011. P.109-31.
4. Centers for Disease Control and Prevention. Press Release: CDC Study Finds U.S.
Herpes Rates Remains High. Available
at:http://www.cdc.gov/nchhstp/newsroom/2010/hsv2pressrelease.html. Updated
December 26, 2013. Accessed July 3, 2015.
5. Melancon JM. Herpes Simplex. In: Arndt KA, Hsu JTS, Alam M, Bhatia A, Chilukuri
S. Manual of Dermatologic Therapeutics. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2014. P.150-9.
6. Schiffer JT, Corey L. New Concept in Understanding Genital Herpes. Curr Infect Dis
Rep 2009; 11(6): 457-64.
7. Tronstein E, Johnston C, Huang ML, Selke S, Magaret A, Warren T, et al. Genital
Shedding of Herpes Simplex Virus Among Symptomatic and Asymptomatic Persons
with HSV-2 Infection. JAMA 2011; 305(14): 1441-9.
8. Legoff J, Pere H, Belec L. Diagnosis of Genital Herpes Simplex Virus Infection in the
Clinical Laboratory. Virology Journal 2014; 11: 1-17. doi:10.1186/1743-422X-11-83.
9. Berger JR, Houff S. Neurological Complications of Herpes Simplex Virus Type 2
Infection. Arch Neurol 2008; 65(5): 596-600.
10. Ooi C, Zawar V. Hyperaesthesia Following Genital Herpes: A Case Report.
Dermatology Research and Practice 2011. doi:10.1155/2011/903595.
11. Bauer ME, Townsend CA, Doster RS, Fortney KR, Zwicki BW, Katz BP, et al. A
Fibrinogen-Binding Lipoprotein Contributes to the Virulance of Haemophilus ducreyi
in Humans. J Infect Dis 2009; 199(5): 684-92.
12. Sen P, Barton SE. Genital Herpes and Its Management. BMJ 2007; 334: 1048-52.
doi: 10.1136/bmj.39189.504306.55.
13. Patel R, Alderson S, Geretti A, Nilsen A, Foley E, Lautenschlager S, et al. European
Guideline for the Management of Genital Herpes. Int J STD AIDS 2011; 22(1): 1-10.
doi: 10.1258/ijsa.2010.010278.
24