You are on page 1of 11

Menurut Mulawarman (2012) akuntansi pertanian hanya

digiring pada prinsip agribisnis yang sarat dengan aspek


ekonomi sehingga tidak melihat petani sebagai homo
socius apalagi homo religious. Triyuwono (1998) secara
eksplisit mengemukakan bahwa praktik akuntansi
keuangan ditentukan oleh faktor-faktor sosial dan budaya
masyarakat lokal, hal ini terlihat mendesak untuk
menciptakan konsep akuntansi pertanian Indonesia
berdasarkan kondisi sosial budaya yang ada. Penciptaan
konsep akuntansi berbasis pada budaya masyarakat lokal
akan memungkinkan praktik akuntansi pertanian untuk
dilaksanakan.

Dalam akuntansi pertanian, selain memperhatikan aspek


keuangan baik itu dari sudut pandang petani (dalam hal ini
pendapatan yang diperoleh petani serta biaya yang harus
dikeluarkan petani), sudut pandang koperasi (selaku pemberi
pinjaman kredit), dan bagi pemerintah (selaku regulator
penetapan harga), juga harus memperhatikan aspek lainnya
yang secara langsung berhubungan dengan proses pertanian.
Dalam hal ini berhubungan dengan prinsip ataupun nilai-nilai
syariah yang didasarkan pada nilai keadilan, kejujuran,
amanah, dan tanggungjawab. Menurut Triyuwono 2001 (Dalam
Mulawarman) Allah sebagai Pencipta dan Pemilik Tunggal dari
seluruh sumberdaya yang ada di dunia ini. Allah sebagai
sumber amanah utama dan sumber daya yang dimiliki para
stakeholders. Dalam sumber daya tersebut melekat suatu
tanggung jawab dalam penggunaan, cara dan tujuan yang
ditetapkan. Sang Pemberi Amanah. Bentuk amanah akuntansi
syariah mewujud pada akuntabilitas.

Berdasarkan pada hal ini tentunya jika dilihat dari sudut pandang
petani, maka petani seharusnya bisa bersikap jujur dalam
mengelola lahan pertanian tebu. karena hal ini merupakan bentuk
amanah yang diberikan Allah kepada petani melalui petani besar
(dalam hal ini petani yang memiliki lahan). Petani juga seharusnya
menganggap bahwa hal ini merupakan bentuk amanah petani
bagaimana bisa menafkahi keluarganya melalui pekerjaan yang
halal, bukan sekedar halal saja namun dari sisi baiknya juga harus
diperhatikan. Namun jika dilihat dari sisi petani besar (petani yang
memiliki lahan) terkadang menimbulkan ketidak seragaman bagi
hasil antara petani besar dan petani penggarap (petani yang tidak
memiliki lahan). Bahkan pada beberapa daerah yang ada di
Sulawesi khususnya di Gorontalo, biasanya penetapan bagi hasil
pertanian bergantung pada sistem pertanian yang digunakan.
Selama proses penggarapan petani dianggap memiliki kuasa untuk
mengolah tanah sehingga petani penggarap yang tidak mampu
mengerjakan sendiri tanah garapannya, terkadang mempekerjakan
seseorang untuk membantunya. Seseorang tersebut biasanya
orang dekat petani, baik keluarga maupun teman.

Meskipun pekerja tambahan merupakan inisiatif sendiri dari


petani penggarap. Sistem bagi hasil yang diterapkan juga tidak
memiliki aturan yang jelas terkait pembebanan biaya dan
pembagian hasil setelah panen. Penanggungan biaya mengikuti
kebiasaan biasanya juga petani penggarap diwajibkan
menyediakan bibit tebu. Pembebanan terhadap kerugian yang
berpotensi tidak proporsional ini berimplikasi secara langsung
terhadap tingkat kesejahteraan perekonomian petani penggarap,
apalagi jika hasil dari panen tanah garapan tersebut merupakan
sumber penghasilan satu-satunya bagi petani penggarap. Dari
berbagai masalah yang dihadapi oleh petani baik eksternal
berupa kebijakan yang tidak konsisten maupun internal seperti
permasalahan irigasi dan sistem bagi hasil yang dirasakan
memberatkan petani maka profesi petani tidak lagi menjadi
profesi yang menjanjikan dalam segi pendapatan serta
kesejahteraan petani.

Dalam Islam, bagi hasil pertanian ini biasanya dikenal dengan


istilah Muzaraah. Muzaraah adalah kerja sama pengolahan
pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik
lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk
ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari
hasil panen (Antonio, 2014; Suhendra, 2010; Al-Khalafi, 2005;
Rivai dan Arviyan: 2010). Muzaraah seringkali identik dengan
mukharabah. Namun antara Muzaraah maupun mukharabah
ada sedikit perbedaan. Perbedaannya yakni: murazaah
biasanya benih berasal dari pemilik lahan. Sedangkan
mukharabah biasanya benih dari penggarap (Antonio: 2014).

Hal yang melandasi Muzaraah ini sebagaimana


diriwayatkan dari Ibu Umar bahwa Rasulullah saw. pernah
memberikan tanah Khaibar kepada penduduknya (waktu
itu mereka masih yahudi untuk digarap dengan imbalan
pem-bagian hasil buah-buahan dan tanaman.
Dalam riwayat Bukhari dari Jabir yang mengatakan bahwa
bangsa Arab senantiasa mengolah tanahnya secara
Muzaraah dengan rasio bagi hasil 1/3:2/3, 1/4:3/4, 1/2:1/2,
maka Rasulullah pun bersabda: Hendaklah menanami
atau menyerahkannya untuk digarap. Barangsiapa tidak
melakukan salah satu dari keduanya, tahanlah tanahnya.
Bagi hasil ini sudah dilakukan oleh Sayyidina Ali, Saad bin
Abi Waqash, Ibnu Masud, Umar bin Abdul Azis, Qasim,
Urwah, Keluarga Abu Bakar dan keluarga Ali (Antonio:
2014; Rivai dan Arviyan: 2010).

Syarat-syarat yang
menyangkut dengan
hasil panen:

Akad Muzaraah ini erat kaitannya dengan prinsip keadilan. Dalan


Islam, keadilan bertujuan untuk membentuk tatanan masyarakat
yang solid. Dalam tatanan tersebut setiap manusia diikat oleh
persaudaraan kasih sayang dan keadilan sebagai satu keluarga.
Tak ada hal yang membatasi sebuah persaudaraan (Antonio:
2014) termasuk persaudaraan dalam hal keadilan bagi hasil
pertanian. Setiap manusia(dalam hal ini petani) harus
terbebaskan dari eksploitasi manusia lainnya. Begitupun dengan
alam. Manusia tidak boleh serta merta mengeksploitasi alam
dengan seenaknya karena islam seara tegas melarang seorang
muslim merugikan orang lain dan menyebabkan kerusakan di
muka bumi . Konsep keadilan dalam islam mengharuskan setiap
orang dan alam (lingkungan) mendapatkan haknya. Keadilan
dalam Muzaraah menghendaki setiap petani mendapatkan sesuai
dengan amal dan karyanya. Ketidaksamaan pendapatan
dimungkinkan dalam islam karena kontribusi masing-masing
orang berbeda-beda.

You might also like