You are on page 1of 39

MAKALAH

KEGAWATDARURATAN NAPZA

OLEH
RIYAN REZA PRATAMA S.KEP
NPM : 11062 AS1

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH BANJARMASIN


PROGRAM PROFESI NERS A
2015

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyalahgunaan NAPZA di Indonesia semakin memperihatinkan, dimana Indonesia
bukan hanya sebagai market terbesar bagi para pengedar obat-obatan terlarang tetapi
sekaligus sebagai salah satu tempat yang memproduksi. Salah satu dampak dari
penyalahgunaan NAPZA tersebut adalah timbulnya berbagai masalah kesehatan yang
berujung pada kematian.Sebagai salah satu ujung tombak dalam pelayanan kesehatan,
perawat memiliki peran yang sangat besar untuk meminimalkan timbulnya kematian yang
berhubungan dengan kegawatdaruratan akibat penyalahgunaan NAPZA.
Kegawatdaruratan NAPZA merupakan keadaan dimana individu mengalami
ancaman kehidupan sebagai dampak dari penggunaan NAPZA baik disengaja maupun tidak.
Dalam perkembangan selanjutnya, penanganan kegawatdaruratan di IGD RSKO Jakarta
tidak hanya yang memiliki hubungan langsung dengan penyalahgunaan NAPZA, akan tetapi
juga mencakup berbagai masalah kesehatan lainnya yang timbul sebagai dampak jangka
panjang dari penyalahgunaan NAPZA.
Data yang diperoleh dari Institusi Gawat Darurat RSKO menunjukkan bahwa jumlah
kasus kegawatdaruratan NAPZA pada Tahun 2005 sebanyak 319 kunjungan, sedangkan
pada tahun 2006 sebanyak 561 kunjungan. Dari data tersebut dapat diketahui adanya
peningkatan jumlah kunjungan kegawatdaruratan di RSKO Jakarta sebanyak 242 kunjungan
atau sebanyak 57% di tahun berikutnya. Berdasarkan hal tersebut di atas diperlukan
pengetahuan dan keterampilan bagi perawat dalam memberikan pelayanan kegawatdaruratan
bagi klien sehingga masalah klien dapat teratasi secara cepat dan tepat dengan prinsip do
not further harm.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian yang terdapat pada latar belakang maka rumusan masalah yang didapat
adalah bagaimana cara Asuhan Keperawan pada klien dengan Kegawatdaruratan NAPZA.

1.3 Tujuan
1 Tujuan Umum
Untuk memberikan sumber informasi tentang Masalah dan Penangannan Pasien
dengan Kegawat Daruratan NAPZA kepada pembaca dan masyarakat pada umumnya.
2

Tujuan Khusus
Diharapkan setelah mempelajari materi ini kita dapat mengetahui tentang :
a

Definisi dari Kegawatdaruratan NAPZA

Asuhan Keperawatan dari Kegawatdaruratan NAPZA

1.4 Metode Penulisan


Dalam penulisan makalah ini penulis melakukan beberapa studi literature dan dengan
melakukan searching di internet.
1.5 Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari empat BAB, BAB 1, 2, 3, dan BAB 4. Dimana BAB 1
merupakan pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang, Masalah, Tujuan Umum maupun
Khusus, Metode penulisan, dan Sistematika Penulisan.
Kemudian BAB 2 merupakan pembahasan yang dimulai dari Konsep NAPZA,
kegawatdaruratan NAPZA, Jenis-jenis dan terapi kegawatdaruratan NAPZA.
Berikutnya adalah BAB 3 merupakan Asuhan Keperawatan dari kegawatdaruratan
NAPZA.
Dan yang terakhir adalah BAB 4 penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 KONSEP NAPZA
a

Pengertian NAPZA
Napza merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika, dan zat / bahan adiktif lainnya
adalah bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi
tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan
fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta
ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA.

b Rentang Respon Gangguan Penggunaan NAPZA


Rentang respons ganguan pengunaan NAPZA ini berfluktuasi dari kondisi yang
ringan sampai yang berat, indikator ini berdasarkan perilaku yang ditunjukkan oleh
pengguna NAPZA.
Eksperimental: Kondisi pengguna taraf awal, yang disebabkan rasa ingin tahu dari
remaja. Sesuai kebutuan pada masa tumbuh kembangnya, klien biasanya ingin mencari
pengalaman yang baru atau sering dikatakan taraf coba-coba.
Rekreasional: Penggunaan zat adiktif pada waktu berkumpul dengan teman sebaya,
misalnya pada waktu pertemuan malam mingguan, acara ulang tahun. Penggunaan ini
mempunyai tujuan rekreasi bersama teman- temannya.
Situasional: Mempunyai tujuan secara individual, sudah merupakan kebutuhan bagi
dirinya sendiri. Seringkali penggunaan ini merupakan cara untuk melarikan diri atau
mengatasi masalah yang dihadapi. Misalnya individu menggunakan zat pada saat
sedang mempunyai masalah, stres, dan frustasi.
Penyalahgunaan: Penggunaan zat yang sudah cukup patologis, sudah mulai digunakan
secara rutin, minimal selama 1 bulan, sudah terjadi penyimpangan perilaku mengganggu
fungsi dalam peran di lingkungan sosial, pendidikan, dan pekerjaan.
Ketergantungan: Penggunaan zat yang sudah cukup berat, telah terjadi ketergantungan
fisik dan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan adanya toleransi dan
sindroma putus zat (suatu kondisi dimana individu yang biasa menggunakan zat adiktif
3

secara rutin pada dosis tertentu menurunkan jumlah zat yang digunakan atau berhenti
memakai, sehingga menimbulkan kumpulan gejala sesuai dengan macam zat yang
digunakan. Sedangkan toleransi adalah suatu kondisi dari individu yang mengalami
peningkatan dosis (jumlah zat), untuk mencapai tujuan yang biasa diinginkannya.
c

Jenis-jenis NAPZA
NAPZA dapat dibagi ke dalam beberapa golongan yaitu:
1. Narkotika
Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis maupun sintetis yang dapat
menyebabkan turunnya kesadaran, menghilangkan atau mengurangi hilang rasa atau
nyeri dan perubahan kesadaran yang menimbulkan ketergantungna akan zat tersebut
secara terus menerus. Contoh narkotika yang

terkenal adalah seperti ganja, heroin,

kokain, morfin, amfetamin, dan lain-lain. Narkotika menurut UU No. 22 tahun 1997
adalah zat atau obat berbahaya yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik
sintesis maupun semi
perubahan kesadaran,

sintesis yang dapat menyebabkan penurunan maupun


hilangnya rasa,

mengurangi sampai menghilangkan

rasa

nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Wresniwiro dkk. 1999).


Golongan narkotika berdasarkan bahan pembuatannya adalah:
a

Narkotika alami yaitu zat dan obat yang langsung dapat dipakai sebagai
narkotik tanpa perlu adanya proses fermentasi, isolasi dan proses lainnya terlebih
dahulu karena bisa langsung dipakai dengan sedikit proses sederhana. Bahan alami
tersebut umumnya tidak boleh digunakan untuk terapi pengobatan secara langsung
karena terlalu berisiko. Contoh narkotika alami yaitu seperti ganja dan daun koka.

Narkotika sintetis adalah jenis narkotika yang memerlukan proses yang bersifat
sintesis

untuk

keperluan

medis

dan

penelitian

sebagai penghilang rasa

sakit/analgesik. Contohnya yaitu seperti amfetamin, metadon, dekstropropakasifen,


deksamfetamin, dan sebagainya. Narkotika sintetis dapat menimbulkan dampak
sebagai berikut:
a. Depresan
b. Stimulan

= membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri.


= membuat pemakai bersemangat dalam beraktivitas kerja dan
merasa badan lebih segar.
4

c. Halusinogen = dapat membuat si pemakai jadi berhalusinasi yang mengubah


perasaan serta pikiran.
c) Narkotika semi sintetis yaitu zat/obat yang diproduksi dengan cara isolasi, ekstraksi,
dan lain sebagainya seperti heroin, morfin, kodein, dan lain-lain.
2. Psikotropika
Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002, psikotropika adalah zat
atau obat, baik sintesis maupun semisintesis yang berkhasiat psikoaktif

melalui

pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku. Zat yang tergolong dalam psikotropika (Hawari, 2006)
adalah: stimulansia yang membuat pusat syaraf menjadi sangat aktif karena
merangsang syaraf simpatis. Termasuk dalam golongan stimulan adalah amphetamine,
ektasy (metamfetamin), dan fenfluramin. Amphetamine sering disebut dengan speed,
shabu-shabu, whiz, dan sulph. Golongan stimulan lainnya adalah halusinogen yang dapat
mengubah perasaan dan pikiran sehingga perasaan dapat terganggu.

Sedative dan

hipnotika seperti barbiturat dan benzodiazepine merupakan golongan stimulan yang


dapat mengakibatkan rusaknya daya ingat dan kesadaran, ketergantungan secara
fisik dan psikologis bila digunakan dalam waktu lama.
3. Zat Adiktif Lainnya
Zat adiktif lainnya adalah zat, bahan kimia, dan biologi dalam bentuk tunggal
maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan lingkungan hidup secara
langsung dan tidak langsung yang mempunyai sifat karsinogenik, teratogenik,
mutagenik, korosif, dan iritasi. Bahan- bahan berbahaya ini adalah zat adiktif yang
bukan termasuk ke dalam narkotika dan psikoropika, tetapi mempunyai pengaruh dan
efek merusak fisik seseorang jika disalahgunakan (Wresniwiro dkk. 1999). Adapun
yang termasuk zat adiktif ini antara lain: minuman keras (minuman beralkohol)
yang meliputi minuman keras golongan A (kadar ethanol 1% sampai 5%) seperti bir,
green sand; minuman keras golongan B (kadar ethanol lebih dari 5% sampai 20%)
seperti anggur malaga; dan minuman keras golongan C (kadar ethanol lebih dari 20%
sampai 55%) seperti brandy,

wine, whisky. Zat dalam alkohol dapat mengganggu


5

aktivitas sehari-hari bila kadarnya dalam darah mencapai 0,5% dan hampir semua akan
mengalami gangguan koordinasi bila kadarnya dalam darah 0,10% (Marviana dkk.
2000). Zat adiktif lainnya adalah nikotin, votaile, dan solvent/inhalasia.
d Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA
Harboenangin (dikutip dari Yatim, 1986) mengemukakan ada beberapa faktor yang
menyebabkan seseorang menjadi pecandu narkoba yaitu faktor eksternal dan faktor
internal.
1. Faktor Internal
a. Faktor Kepribadian
Kepribadian seseorang turut berperan dalam perilaku ini. Hal ini lebih cenderung
terjadi pada usia remaja. Remaja yang menjadi pecandu biasanya memiliki konsep
diri yang negatif dan harga diri yang rendah. Perkembangan emosi yang terhambat,
dengan

ditandai oleh ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar,

mudah cemas, pasif, agresif, dan cenderung depresi, juga turut mempengaruhi. Selain
itu, kemampuan untuk memecahkan masalah secara adekuat berpengaruh terhadap
bagaimana ia mudah mencari pemecahan masalah dengan cara melarikan diri.
b. Inteligensia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inteligensia pecandu yang datang untuk
melakukan konseling di klinik rehabilitasi pada umumnya berada pada taraf di bawah
rata-rata dari kelompok usianya.
c. Usia
Mayoritas pecandu narkoba adalah remaja. Alasan remaja menggunakan narkoba karena
kondisi sosial, psikologis yang membutuhkan pengakuan, dan identitas dan kelabilan
emosi; sementara pada usia yang lebih tua, narkoba digunakan sebagai obat penenang.
d. Dorongan Kenikmatan dan Perasaan Ingin Tahu
Narkoba dapat memberikan kenikmatan yang unik dan tersendiri. Mulanya merasa
enak yang diperoleh dari coba-coba dan ingin tahu atau ingin merasakan seperti yang
6

diceritakan oleh teman-teman sebayanya. Lama kelamaan akan menjadi satu kebutuhan
yang utama.
e. Pemecahan Masalah
Pada umumnya para pecandu narkoba menggunakan narkoba untuk menyelesaikan
persoalan. Hal ini disebabkan karena pengaruh narkoba dapat menurunkan tingkat
kesadaran dan membuatnya lupa pada permasalahan yang ada.

Faktor Eksternal
a

Keluarga
Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab seseorang
menjadi pengguna narkoba. Berdasarkan hasil penelitian tim UKM Atma Jaya dan
Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta pada tahun 1995, terdapat beberapa tipe
keluarga yang berisiko tinggi anggota keluarganya terlibat penyalahgunaan
narkoba, yaitu:
1

Keluarga

yang

memiliki

riwayat

(termasuk

orang

tua)

mengalami

ketergantungan narkoba.
2

Keluarga dengan manajemen yang kacau, yang terlihat dari pelaksanaan


aturan yang tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan ibu (misalnya ayah bilang
ya, ibu bilang tidak).

Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya penyelesaian
yang memuaskan semua pihak yang berkonflik. Konflik dapat terjadi antara
ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak, maupun antar saudara.

Keluarga dengan orang tua yang otoriter. Dalam hal ini, peran orang tua sangat
dominan, dengan anak yang hanya sekedar harus menuruti apa kata orang tua
dengan alasan sopan santun, adat istiadat, atau demi kemajuan dan masa depan
anak itu sendiri tanpa

diberi

kesempatan

untuk

berdialog

dan

menyatakan ketidaksetujuannya.
5

Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut anggotanya


mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang harus dicapai dalam
banyak hal.
7

Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan dengan alasan
yang kurang kuat, mudah cemas dan curiga, sering berlebihan dalam
menanggapi sesuatu.

b. Faktor Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)


Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan kelompok, yaitu cara temanteman

atau

orang-orang

seumur

untuk

mempengaruhi seseorang agar

berperilaku seperti kelompok itu. Peer group terlibat lebih banyak dalam delinquent
dan penggunaan obat-obatan. Dapat dikatakan bahwa faktor-faktor sosial tersebut
memiliki dampak yang berarti kepada keasyikan seseorang dalam menggunakan
obat-obatan, yang kemudian mengakibatkan timbulnya ketergantungan fisik dan
psikologis.
Sinaga (2007) melaporkan bahwa faktor penyebab penyalahgunaan NAPZA pada
remaja adalah teman sebaya (78,1%). Hal ini menunjukkan betapa besarnya
pengaruh teman sekelompoknya, sehingga remaja menggunakan narkoba. Hasil
penelitian ini relevan dengan studi yang dilakukan oleh Hawari (1990) yang
memperlihatkan bahwa teman kelompok yang menyebabkan remaja memakai
NAPZA mulai dari tahap coba-coba sampai ketagihan.
c

Faktor Kesempatan
Ketersediaan narkoba dan kemudahan memperolehnya juga dapat disebut sebagai
pemicu seseorang menjadi pecandu. Indonesia yang sudah menjadi tujuan pasar
narkoba internasional, menyebabkan obat-obatan ini mudah diperoleh. Bahkan
beberapa media massa melaporkan bahwa para penjual narkotika menjual barang
dagangannya di sekolah-sekolah, termasuk di Sekolah Dasar. Pengalaman feel
good saat mencoba drugs akan

semakin memperkuat keinginan untuk

memanfaatkan kesempatan dan akhirnya menjadi pecandu. Seseorang dapat


menjadi pecandu karena disebabkan oleh beberapa faktor sekaligus atau secara
bersamaan. Karena ada juga faktor yang muncul secara beruntun akibat dari satu
factor tertentu.

Tanda dan Gejala NAPZA


Pengaruh NAPZA pada tubuh disebut intoksikasi. Selain intoksikasi, ada juga sindroma
putus zat yaitu sekumpulan gejala yang timbul akibat penggunaan zat yang dikurangi
atau dihentikan. Tanda dan gejala intoksikasi dan putus zat berbeda pada jenis zat yang
berbeda.

Dampak Penyalahgunaan NAPZA


Martono (2006) menjelaskan

bahwa penyalahgunaan NAPZA mempunyai

dampak

yang sangat luas bagi pemakainya (diri sendiri), keluarga, pihak sekolah (pendidikan),
serta masyarakat, bangsa, dan negara. Bagi diri
dapat

mengakibatkan terganggunya

sendiri.

Penyalahgunaan

NAPZA

fungsi otak dan perkembangan moral pemakainya,

intoksikasi (keracunan), overdosis (OD), yang dapat menyebabkan kematian karena


terhentinya pernapasan dan perdarahan otak, kekambuhan,

gangguan perilaku (mental

sosial), gangguan kesehatan, menurunnya nilai-nilai, dan masalah ekonomi dan hukum.
Sementara itu, dari segi efek dan dampak yang ditimbulkan pada para pemakai narkoba
dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan/jenis: 1) Upper yaitu jenis narkoba

yang

membuat si pemakai menjadi aktif seperti sabu-sabu, ekstasi dan amfetamin, 2)


Downer yang merupakan golongan narkoba yang dapat membuat orang yang memakai jenis
narkoba itu jadi tenang dengan sifatnya

yang menenangkan/sedatif seperti obat tidur

(hipnotik) dan obat anti rasa cemas, dan 3) Halusinogen adalah napza yang beracun karena
lebih menonjol sifat racunnya dibandingkan dengan kegunaan medis.
Bagi

keluarga.

Penyalahgunaan NAPZA dalam keluarga dapat mengakibatkan

suasana nyaman dan tentram dalam keluarga terganggu. Dimana orang tua akan merasa
malu karena memilki anak pecandu, merasa bersalah, dan berusaha menutupi perbuatan
anak mereka. Stres keluarga meningkat, merasa putus asa karena pengeluaran yang
meningkat akibat pemakaian narkoba ataupun melihat anak yang harus berulangkali dirawat
atau bahkan menjadi penghuni di rumah tahanan maupun lembaga pemasyarakatan.
Bagi pendidikan atau sekolah. NAPZA akan merusak disiplin dan motivasi yang
sangat

tinggi

untuk

proses

belajar. Penyalahgunaan NAPZA berhubungan dengan

kejahatan dan perilaku asosial lain yang menganggu suasana tertib dan aman, rusaknya
barang-barang sekolah dan meningkatnya perkelahian.
Bagi masyarakat, bangsa, dan negara.Penyalahgunaan NAPZA mengakibatkan terciptanya
hubungan pengedar narkoba dengan korbannya sehingga terbentuk pasar gelap
perdagangan NAPZA yang sangat sulit diputuskan mata rantainya. Masyarakat yang rawan
narkoba tidak memiliki daya tahan dan kesinambungan pembangunan terancam. Akibatnya
negara mengalami kerugian karena masyarakatnya tidak produktif, kejahatan meningkat
serta sarana dan prasarana yang harus disediakan untuk mengatasi masalah tersebut.

Penanggulangan NAPZA
Penanggulangan masalah NAPZA dilakukan mulai dari pencegahan, pengobatan sampai
pemulihan (rehabilitasi).
1) Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan, misalnya dengan:
a

Memberikan informasi dan pendidikan yang efektif tentang


NAPZA

Deteksi dini perubahan perilaku

Menolak tegas untuk mencoba (Say no to drugs) atau Katakan tidak pada
narkoba

2) Pengobatan
Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi. Detoksifikasi
adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara
yaitu:
a. Detoksifikasi tanpa subsitusi
Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat

yang

mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala putus
zat tersebut. Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti
sendiri.
b. Detoksifikasi dengan substitusi
Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya kodein,
bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol
10

dapat dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah
dengan cara penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti sama sekali.
Selama pemberian substitusi dapat juga diberikan obat yang menghilangkan gejala
simptomatik, misalnya obat penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat tidur
atau sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat putus zat tersebut.
3) Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu
melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA
yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai
fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya pemulihan

kemampuan
dan

pengembangan

pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan
harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2001).
Sesudah klien penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA menjalani program

terapi

(detoksifikasi) dan konsultasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan
program pemantapan (pascadetoksifikasi) selama 2 (dua)

minggu, maka yang

bersangkutan dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari,


2003).
Lama rawat di unit rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena
tergantung pada jumlah dan kemampuan sumber daya, fasilitas, dan sarana penunjang
kegiatan yang tersedia di rumah sakit. Menurut Hawari (2003), bahwa setelah klien
mengalami perawatan selama 1 minggu menjalani program terapi dan dilanjutkan
dengan pemantapan terapi selama 2 minggu maka klien tersebut akan dirawat di
unit rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi, dan unit lainnya) selama 3-6 bulan.
Sedangkan lama rawat di unit rehabilitasi berdasarkan parameter sembuh menurut
medis bisa beragam 6 bulan dan 1 tahun, mungkin saja bisa sampai 2 tahun..
Berdasarkan pengertian dan lama rawat di atas, maka perawatan di ruang rehabilitasi
tidak terlepas dari perawatan sebelumnya yaitu di ruang detoksifikasi. Untuk lebih
jelas dapat dilihat pada bagan di bawah ini (bagan 1).
Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi
sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa

11

rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi

(DepKes,

2001).

Dengan

rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat:


1. Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi
2. Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA
3. Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya
4. Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik
5. Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja
6. Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan dengan
lingkungannya.
Jenis program rehabilitasi:
a

Rehabilitasi psikososial
Program rehabilitasi psikososial merupakan persiapan untuk kembali ke masyarakat
(reentry program). Oleh karena itu, klien perlu dilengkapi dengan pengetahuan dan
keterampilan misalnya dengan berbagai kursus atau balai latihan kerja di pusat-pusat
rehabilitasi. Dengan demikian diharapkan bila klien selesai menjalani program
rehabilitasi dapat melanjutkan kembali sekolah/kuliah atau bekerja.

Rehabilitasi kejiwaan
Dengan menjalani

rehabilitasi diharapkan agar klien rehabilitasi yang semua

berperilaku maladaptif berubah menjadi adaptif atau dengan kata lain sikap dan
tindakan antisosial dapat dihilangkan, sehingga mereka dapat bersosialisasi dengan
sesama

rekannya

maupun

personil

yang membimbing dan

mengasuhnya.

Meskipun klien telah menjalani terapi detoksifikasi, seringkali perilaku maladaptif


tadi belum hilang, keinginan untuk menggunakan NAPZA kembali atau craving
masih sering muncul, juga keluhan lain seperti kecemasan dan depresi serta tidak
dapat tidur (insomnia)

merupakan keluhan

yang sering disampaikan

melakukan konsultasi dengan psikiater. Oleh


masih dapat
diberikan

dilanjutkan,
tidak

dengan

bersifat

karena itu,

catatan

adiktif

jenis

terapi

ketika

psikofarmaka

obat psikofarmaka

yang

(menimbulkan ketagihan) dan tidak

menimbulkan ketergantungan. Dalam rehabilitasi kejiwaan ini yang penting adalah


psikoterapi baik secara individual maupun secara kelompok. Untuk mencapai
12

tujuan psikoterapi, waktu 2 minggu (program pascadetoksifikasi) memang tidak


cukup; oleh karena itu, perlu

dilanjutkan dalam rentang waktu 3 6 bulan

(program rehabilitasi). Dengan demikian dapat dilaksanakan bentuk psikoterapi


yang

tepat

bagi masing-masing klien rehabilitasi. Yang termasuk rehabilitasi

kejiwaan ini adalah psikoterapi/konsultasi keluarga yang dapat dianggap sebagai


rehabilitasi keluarga terutama keluarga broken home. Gerber (1983 dikutip dari
Hawari, 2003) menyatakan bahwa konsultasi keluarga perlu dilakukan agar
keluarga dapat memahami aspek-aspek kepribadian anaknya yang mengalami
penyalahgunaan NAPZA.
c. Rehabilitasi komunitas
Berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam satu tempat.
Dipimpin oleh mantan pemakai yang dinyatakan memenuhi syarat sebagai koselor,
setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan. Tenaga profesional hanya sebagai
konsultan saja. Di sini klien dilatih keterampilan mengelola waktu dan perilakunya
secara efektif dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga dapat mengatasi
keinginan mengunakan narkoba lagi atau nagih (craving) dan mencegah relaps.
Dalam program ini semua klien ikut aktif dalam proses terapi. Mereka bebas
menyatakan perasaan dan perilaku sejauh tidak membahayakan orang lain. Tiap
anggota bertanggung jawab terhadap perbuatannya, penghargaan bagi yang
berperilaku positif dan hukuman bagi yang berperilaku negatif diatur oleh mereka
sendiri.
d. Rehabilitasi keagamaan
Rehabilitasi keagamaan masih perlu dilanjutkan
tidaklah cukup untuk memulihkan

klien

karena

waktu

detoksifikasi

rehabilitasi menjalankan ibadah sesuai

dengan keyakinan agamanya masing-masing. Pendalaman, penghayatan, dan


pengamalan keagamaan atau keimanan ini dapat

menumbuhkan kerohanian

(spiritual power) pada diri seseorang sehingga mampu menekan risiko seminimal
mungkin terlibat kembali dalam penyalahgunaan NAPZA apabila taat dan rajin
menjalankan ibadah, risiko kekambuhan hanya 6,83%; bila kadang-kadang beribadah
risiko kekambuhan

21,50%, dan apabila tidak sama sekali menjalankan ibadah

agama risiko kekambuhan mencapai 71,6%.


13

2.2 KEGAWATDARURATAN NAPZA


a. Pengertian
Kegawatdaruratan merupakan suatu keadaaan dimana seseorang mengalami ancaman
kehidupan dan apabila tidak dilakukan pertolongan/tindakan dengan cepat dan tepat dapat
menyebabkan cacat atau meninggal.
Kegawatdaruratan NAPZA adalah suatu keadaan yang mengancam kehidupan
seseorang akibat penggunaan zat/obat yang berlebihan (intoksikasi/over dosis) sehingga
dapat mengancam kehidupan, apabila tidak dilakukan penanganan dengan segera.
Pada dasarnya didalam melakukan penanganan kasus kegawatdaruratan NAPZA tidak jauh
beda dengan kasus-kasus kegawatdaruratan yang laian, dimana dalam melakukan
penanganan adalah dengan tahapan triage atau pemilihan berdasarkan prisnsp ABC.
b. Prinsip-prinsip Penanganan kegawatdaruratan NAPZA
Mengingat kasus intoksikasi dapat mengancam nyawa, maka upaya penatalaksanaan
kasus intoksikasi ditujukan pada hal sebagai berikut :
1

Penatalaksanaan Kegawatan
Berhubungan dengan intoksikasi dapat mengancam nyawa, maka walaupun tidak
dijumpai adanya kegawatan maka setiap kasus intoksikasi harus diperlakukan seperti
pada keadaan kegawatan yang mengancam nyawa. Penilaian terhadap tanda vital seperti
tanda jalan napas, pernapasan sirkulasi dan penurunan kesadaran harus dilakukan secara
cepat dan seksama sehingga tindakan resusitasi tidak terlambat dimulai. Berikut ini
adalah urutan resusitasi seperti yang umumnya dilakukan.
A = Airway Support
Factor utama yang membuat klien tidak sadar adalah adanya sumbatan di jalan napas
klien, seperti lidah, makanan ataupun benda asing lainnya. Lidah merupakan penyebab
utama tertutupnya jalan napas pada klien tidak sadar karena pada kondisi tidak sadar
itulah lidah klien akan kehilangan ototnya sehingga akan terjatuh kebelakang rongga
mulut. Hal ini mengakibatkan tertutupnya trachea sebagai jalan napas.Sebelum
diberikan bantuan pernapasan, jalan napas korban harus terbuka.
14

Tekhnik yang dapat dilakukan penolong adalah cross-finger (silang jari), yaitu
memasukkan jari telunjuk dan jempol menyentuh gigi atau rahang klien.Kemudian
tanpa menggerakkan pergelangan tangan, silangkan kedua jari tersebut denagn geraakan
saling mendorong sehingga rahang atas dan rahang bawah terbuka.periksa adanya benda
yang menyumbat atau berpotensi menyumbat.Jika terdapat sumbatan, bersihkan dengan
teknik finger-sweep (sapuan jari) dengan menggunakan jari telunjuk yang terbungkus
kassa (jika ada).
Ada dua maneuver yang lazim digunakan untuk membuka jalan napas, yaitu head
tilt / chin lift dan jaw trust.
Head tilt atau chin lift
Teknik ini hanya dapat digunakan pada klien pengguna NAPZA tanpa cedera kepala,
leher, dan tulang belakang. Tahap-tahap untuk melakukan teknik ini adalah :
1

Letakkan tangan pada dahi klien (gunakan tangan yang paling dekat denga dahi
korban).

Pelan-pelan tengadahkan kepala kliendengan mendorong dahi kearah belakang.

Letakkan ujung-ujung jari tangan yang satunya pada bagian tulang dari dagu
korban.

Angkat dagu bersamaan dengan menengadahkan kepala. Jangan sampai mulut


klien tertutup.

Pertahankan posisi ini.

Jaw trust
Teknik ini dapat digunakan selain teknik diatas. Walaupun teknik ini menguras
tenaga, namaun merupakan yang paling sesuai untuk klien pengguna NAPZA denag
cedera tulang belakang. Tahap-tahap untuk melakukan teknik ini adalah :
1

Berlutut diatas kepala korban. Letakkan siku pada lantai di kedua sisi kepala
korban. Letakkan tangan dikedua sisikepalakorban.

Cengkeram rahang bawah korbsn pada kedua sisinya. Jika korban anak-anak,
gunakan dua atau tiga jari dan letakkanpada sudut rahang.

Gunakan gerakan mengangkat untuk mendorong rahang bawah korban keatas.


Hal ini menarik lidah menjauhi tenggorokan.

15

Tetap pertahankan mulut korban sedikit terbuka. Jika perlu, tarik bibir bagian
bawah denagn kedua ibu jari.

B = Breathing Support
Bernafas adalah usaha seseorang yang dilakukan secara otomatis.Untuk menilai
secara normal dapat dilihat dari pengembangn dada dan berapa kali seseorang
bernafas dalam satu menit.Frekuensi/ jumlah pernafasan normal adalah 12-20x /
menit pada klien deawasa.
Pernafasan dikatakan tidak normal jika terdapat keadaan terdapat tanda-tanda sesak
nafas seperti peningkata frekuensi napas dalam satu menit, adanya napas
cupinghidung (cuping hidung ikut bergerak saat bernafas), adanya penggunaan otototot bantu pernapasan (otot sela iga, otot leher, otot perut), warna kebiruan pada
sekitar bibir dan ujung-ujung jari tangan, tidak ada gerakan dada, tidak ada suara
napas, tidak dirasakan hembusannapas dan klien dalam keadaan tidak sadar dan tidak
bernapas.
Breathing support atau ksiganisasidarurat adalah penilain status pernapasan klien
untuk mengetahuiapakah klienmasih dapatbernapas secara spontan atau tidak. Prinsip
dari melakukan tindakan ini adalah dengan cara melihat, mendengar dan merasakan
(Look, Listen and Feel = LLF). Lihat, ada tidaknya pergerakan dada sesuai dengan
pernapasan.Dengar, ada tidaknya suara napas (sesuai irama) dari mulut dan hidung
klien.Rasakan, dengan pipi penolong ada tidaknya hembusan napas (sesuai irama)
dari mulut dan hidung korban.Lakukan LLF dengan waktu tidak lebih dari 10 detik.
Jika terlihat pergerakan dada, terdengar suara napas dan terasa hembusan napas klien,
maka berarti klientidak menglami henti napas.masalah yang ada hanyalah penurunan
kesadaran.dalam kondisi ini, tindakan terbaik yang dilakukan perawat adalah
mempertahankan jalan napas tetap terbuka agan ogsigenisasi klien tetap terjaga dan
memberikan posisi mantap.
Jika korban tidak bernapas, berikan 2 kali bantuan per-napasan dengan volume yang
cukup untuk dapat mengembangkan dada. Lamanya memberikan bantuan pernapasan
sampai dada mengembang adalah 1detik.Demikian halnya berlaku jika bantuan
pernapasan diberikan melalui mulut ke mulut dan mulut ke sungkup muka. Hindari
16

pemberian pernapasan yang terlalu banyak dan terlalu kuat karena akan menyebabkan
kembung (distensi abdomen) dan dapat menimbulan komplikasi pada paru-paru.
Bantuan pernapasan dari mulut ke mulut bertujuan memberikan ventilasi oksigen
kepada klien. Untuk memberikan bantuan tersebut, buka jalan napas klien, tutup
cuping hidung klien dan mulut penolong mencakup seluruh mulut klien.Berikan 1
kali pernapasan dalam waktu 1 detik.lalu penolong bernapas biasa dan berikan
pernapasan 1 kali lagi.Perhatikan adakah pengenbangan dada klien. Jika tidak terjadi
pengembangan dada, maka cara penolong tidaak tepat dalam membuka jalan napas.
Cara yang samaa dilakukan jika alat pelindung terdiri dari 2 tipe, yaitu pelindung
wajah dan sungkup wajah.Pelindung wajah berbentuk lembaran yang terbuat dari
plastic bening atau silicon yang dapat mengurangi kontak antara klien dengan
penolong.Sedangkan jika memakai sungkup wajah, maka biasanya terdapat lubang
khusus untuk memasukkan oksigen.Ketika oksigen telah tersedia, maka berikan aliran
oksigen sebanyak 10-12 liter/menit.
C = Circulation Support
Circulation support adalah pemberian ventilasi buatan dan kompresi dada luar yang
diberikan

pada

klien

yang

mengalami

henti

jantung.

Selain

itu

untuk

mempertahankan sirkulasi spontan dan mempertahankan sistem jantung paru agar


dapat berfungsi optimal dilakukan bantuan hidup lanjut (advance life support). Jika
tindakan ini dilakukan dengan cara yang salah maka akan menimbulkan penyulitpenyulit seperti patah tulang iga, atau tulang dada, perdarahan rongga dada dan injuri
organ abdomen.
Sebelum melakukan RJP pada klien perawat harus memastikan bahwa klien dalam
keadaan tidak sadar, tidak bernapas dan arteri karotis tidak teraba. Cara melakukan
pemeriksaan arteri karotis adalah dengan cara meletakkan dua jari diatas laring
(jakun). Lalu geser jari penolong ke arah samping dan hentikan disela-sela antara
laring dan otot leher. Setelah itu barulah penolong merasakan denyut nadi. Perabaan
dilakukan tidak boleh lebih dari 10 detik.
Melakukan resusitasi yang benar adalah dengan cara meletakkan kedua tangan
ditulang dada bagian sepertiga bawah dengan jari mengarah ke kiri dengan posisi
17

lengan tegak lurus dengan sendi siku tetap dalam eksteni (kepala tengkorak). Untuk
memberikan kompresi dada yang efektif. Lakukan kompresi dengan kecepatan
100x/menit dengan kedalaman kompresi 4-5 cm. Kompresi dada harus dilakukan
selam nadi tidak teraba dan hindari penghentian kompresi yang terlalu sering. Rasio
kompresi ventilasi yang direkomendasian adalah 30:20. Rasio ini dibuat untuk
menigkatkan jumlah kompresi dada, mengurangi kejadian hiperventilasi, dan
mengurangi pemberhentian kompresi untuk melakukan ventilasi.

2. Penilaian Klinik
Penatalaksanaan intoksikasi harus segera dilakukan tanpa menunggu hasil
pemeriksaan toksikologi. Beberapa keadaan klinik perlu mendapat perhatian karena
dapat mengancam nyawa seperti koma, kejang, henti jantung, henti nafas, dan syok.
3. Anamnesis
Pada keadaan emergensi, maka anamnesis kasus intoksikasi ditujukan pada tingkat
kedaruratan klien. Yang paling penting dalam anamnesis adalah mendapatkan
informasi yang penting seperti :
a

Kumpulkan informasi selengkapnya tentang obat yang digunakan, termasuk obat


yang ering dipakai, baik kepada klien (jika memungkinkan), anggota keluarga,
teman, atau petugas kesehatan yang biasa mendampingi (jika ada) tentang obat
yang biasa digunakan.

Tanyakan riwayat alergi atau riwayat syok anafilaktik.

Pemeriksaan fisik

Lakukan pemeriksaan fisik untuk menemukan tanda/kelainan akibat intosikasi, yaitu


pemeriksaan kesadaran, tekanan darah, nadi, denyut jatung, ukuran pupil, keringat,
dan lain-lain. Pemeriksaan penunjang diperlukan berdasarkan skala prioritas dan pada
keadaan yang memerlukan observasi maka pemeriksaan fisik harus dilakukan
berulang.

Contoh Format Proses Keperawatan Emergenci


18

Rumah Sakit Ketergantungan Obat


Jl. Lpangan Tembak No.75 Cibubur, Jakarta Timur
Telp.(021)877 11968-69
Fax. 750 4022
PROSES KEPERAWATAN EMERGENSI
No RM

:.............................

Agama :..........................

Nama

:.............................

Pendidikan

:.........................

Umur

:.............................

Pekerjaan

:.........................

Jenis Kelamin

:.............................

Status Perkawinan:.......................
Pengkajian Keperawatan
I

Jenis
Zat

II

Anamnesa
1

Keluhan Utama

:........................

Riwayat Pemakaian

:........................

Cara Pakai

Frekwensi
Pemakaian

Terakhir
Pakai

Riwayat penyakit yang pernah diderita/sedang :

Lain-lain:

Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda vital

Lama
pemakaian

TD:
mmHg
N :
x/menit
o
S :
C
P :
x/menit
Airway (Sumbatan)
Lidah
Darah
Sputum
Benda asing

Diagnosa Keperawatan

Aktual
Resiko bersihan
nafas tidak efektif

Tindakan keperawatan

jalan

Membersihkan
jalan
nafas
Memberikan posisi yang
nyaman
Mengajarkan cara batuk
efektif
Melakukan pengisapan
lendir

19


Breathing (pernafasan)
pola nafas

Dipsneu
Thacipneu
Bradipneu
Orthopneu
Apneu
Bunyi nafas :
Wheezing
Stridor
Irama pernafasan :
Teratur
Tidak teratur
2

Aktual

Resiko pola nafas tidak

efektif

Memasang orofaringeal
tube atau gudel
Mengatur posisi tempat
tidur
Menakaji
frekuensi
irama, kedalaman suara
nafas
Mengajarkan cara nafas
yang benar

Aktual
Mengobservasi
Pengembangan paru :
Resiko gagal petukaran
perubahan warna kulit
Menurun
gas
dan mukosa mulut
Retraksi dada
Resiko gagal sirkulasi
Memonitor tanda-tanda
Pengunaan otot bantu nafas :
vital
Bahu diangkat

Melakukan palpasi nadi


Cuping hidung
perifer, catat frekwensi
Pernafasan dada
irama
Pernafasan perut
Menghitung
balance
Pengisian kapiler :
cairan
<3 detik
Mengatur posisi tidur
>3 detik
sesuai kondisi pasien
Ekstremitas :
Akral dingin
Pucat
Sianosis
3 Sirkulasi
Hipotensi
Hipertensi
Nyeri dada
Pusing
Ekral dingin
Kesemutan
Pucat
Edema
Tremor
Pengisian kapiler:
o <3 detik
o >3 detik
4 Disibility
(tingkatan Aktual
Mengkaji kondisi pupil
kesadaran)
resiko gagal gangguan perfusi Mengkaji tanda-tanda vital
kompos mentis (tdk sadar)
jaringan serebral
Mengkaji
dan
catat
apatis
perubahan
tingkat
somnolen
kesadaran
stupor / spoor
Memonitor
tanda-tanda
coma
peningkatan TIK

20

Mengatur posisi supine


GCS (Glascow Coma Scale) :
dengan kaki TT daerah
3-8
kepala ditinggikan 15-30
9-12
derajat
13-15
Mengobservasi
perubahan
Peningkatan TIK:
prilaku pasien
Sakit kepala
Muntah
Bingung
Hipertensi
Pusing
Hipotensi
Pupil :
Normal
Sokor
Miosis
Anisokor
Midriasis
5 Intoksikasi
Resiko penyebaran toxin ke Mengkaji jenis dan sifat
Zat kimia
seluruh tubuh
racun/toxin
Obat-obatan
Memonitor tanda-tanda vital
Makanan
dan tingkat kesadaran
Gigitan binatang
Mengatur posisi pasien
Menenangkan pasien dan
keluarga
6 Nyeri
Skala :
1-4 ringan
5-7 sedang
8-10 berat
Intensitas :
Sering
Kadang-kadang
Jarang
Lokasi :
Local
Menyebar
7 Integument
Needle tracks
Luka baker
Luka robek
Jamur
Lecet
Luka dekubitus
Luka gangren

Nyeri

8 Cairan dan Eliminasi


Turgor kulit :
Baik
Menurun
Edema :
Ekstremitas

Aktual
Resiko
keseimbangan
cairan

Aktual
Resiko
kulit

Mencatat durasi, intensitas,


dan penyebaran nyeri
Mencatat perubahan yang
terjadi pada kulit pasien
Mengkaji penyebab nyeri
Mengalihkan
perhatian
pasien
Mengajarkan teknik relaksasi
untuk mengurangi nyeri

ganguan

Mengkaji kondisi luka


integritas Mengobservasi
perubahan
yang terjadi pada kulit
pasien
Melakukan perawatan kulit
secara aseptic
Mengatur posisi daerah yang
mengalami luka, hindari
kerusakan lebih lanjut
Mengkaji kemampuan pasien
untuk memasukkan peroral
gangguan
minuman
volume Memberikan
bertahap
bila
kondisi
pasien memungkinkan

21

Seluruh tubuh
Memonitor tanda-tanda vital
Asites
Menghitung jumlah intake
Palpebra
dan output
Mukosa mulut :
Mengobservasi tanda-tanda
Kering
dehidrasi
Lembab
Mengobservasi tanda-tanda
BAB :
kelebihan cairan
Frekwensi .........
Memonitor tetesan infuse
Warna ..............
BAK :
Frekwensi .........
Warna ..............
Konsistensi .......
Muntah :
Frekwensi ..........
Muntah .............
Perdarahan :
Jumlah ...............
Warna ................
9 Muskulo skeletal
Resiko cidera
Mengkaji adanya twitching
Kerusakan jaringan/luka
pada kaki/tangan/wajah
Perubahan
bentuk
Memasang pengaman tempat
ekstremitas
tidur
o Fraktur
Mengistirahatkan
pasien
o Dislokasi
selama fase akut
o Luksasio
Mencegah
terjadinya
Perubahan sensorik
kerusakan jaringan dan
Perubahan motorik
terjadinya infeksi
10 Psikososial
Aktual
menciptakan
lingkungan
Kecemasan/ketakutan : Resiko gangguan psikologis :
yang baik
Sedang
menggunakan
komunikasi
cemas/takut
Berat
teraupetik
Panik
memberikan
kesempatan
Koping mekanisme :
untuk
mengungkapkan
Merusak diri
perasaan
Menarik diri/isolasi sosial
mengkaji
penyebab
Perilaku kekerasan
kecemasan atau takut
Konsep diri :
pasien
Gangguan citra tubuh
memberikan
kesempatan
Harga diri rendah
pada
pasien
utuk
Seksualitas :
bertanya/mengung- kapkan
trauma seksual
perasaannya
memonitor
kecemasan
pasien
menawarkan solusi terbaik
penyelesaian
masalah
pasien
memfiksasi pasien jika perlu

Kolaborasi
oksigen

Hasil Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium :

22

antidotum
EKG
IVFD
Debridemen
Nebulizer
Tranfuse darah
Irigasi mata
Kateter
NGT
Explorasi
DC shock
Obat
Mengumbah lambung
Evaluasi :

Diagnosa Medis :

Dibuat di
:
Hari
:
Tanggal
:
Oleh
:
Tanda tangan :

Dekontaminasi
Umumnya zat atau bahan kimia tertentu dapat dengan cepat diserap kulit, sehingga sering
dekontaminasi permukaan sangat diperlukan. Sedang dekontaminasi saluran cerna
ditujukan agar bahan yang tertelan akan sedikit diabsorpsi. Biasanya dapat diberikan
arang aktif, pencahar, obat perangsang muntah dan kumbah lambung.

Pemberian Antidotum
Mengingat tidak semua intoksikasi ada penawarnya, sehingga prinsip utama adalah
mengatasi sesuai dengan besarnya masalah.

Terapi Modalitas dan Rehabilitasi


Terapi Modalitas dan Rehabilitasi harus dilihat secara holistik dan cost efectifity
disesuaikan dengan kondisi di masing-masing pelayanan kesehatan.

C. Jenis-jenis Kegawatdaruratan NAPZA


Berikut ini adalah jenis-jenis kegawatdaruratan NAPZA :

23

Yang dimaksud dengan intoksikasi (Over Dosis) adalah kondisi fisik dan prilaku abnormal
akibat penggunaan zat yang dosisnya melebihi batas toleransi tubuh.
1

Intoksikasi/Over Dosis
a

Intoksokasi Opioida
Intoksikasi opioida ditunjukkan dengan adanya tanda dan gejala penurunan
kesadaran, (stupor sampai koma), pupil pinpoint (dilatasi pupil karena anoksia
akibat overdosis), pernapasan kurang dari 12x/menit sampai henti napas, ada
riwayat pemakaian opioida (needle track sign), bicara cadel, dan gangguan atensi
atau daya ingat. Perilaku mal adaptif atau perubahan psikologis yang bermakna
secara klinis misalnya euforia awal yang diikuti oleh apatis, disforia, agitasi atau
retardasi psikomotor atau gangguan fungsi sosial dan fungsi pekerjaan selama atau
segera setelah pemakaian opioid.
Penatalaksanaan kegawatdaruratan intoksikasi opioida adalah:
a. Bebaskan jalan napas
b. Berikan oksigen 100% atau sesuai kebutuhan
c. Pasang infuse Dextrose 5% atau NaCL 0,9% dan cairan koloid jika diperlukan
d. Pemberian antidotum Nalokson

Tanpa hipoventilasi berikan Narcan 0,4 mg IV

Dengan hipoventilasi berikan Nalokson (Narcan) 1 -2 mg IV

Jika dalam 5 menit tidak ada respon maka berikan 1 2 mg Narcan hingga
ada respon berupa peningkatan kesadaran, dan fungsi pernapasan membaik

Rujuk ke ICU jika dosis Narcan telah mencapai 10 mg dan belum


menunjukkan adanya perbaikan kesadaran

Berikan 1 ampul Narcan/500 cc dalam waktu 4-6 jam mencegah terjadinya


penurunan kesadaran kembali

Observasi secara invensif tanda-tanda vital,pernapasan, dan besarnya ukuran


pupil klien dalam 24 jam

Pasang intubasi, kateterisasi, sonde lambung serta EKG

Puasakan klien untuk menghindari aspirasi

Lakukan pemeriksaan rnntgen thoraks serta laboraturium, yaitu darah


lengkap, urin lengkap dan urinalisis
24

Intoksikasi Sedatif Hipnotik (Benzodiazepin)


Intoksikasi sedatif hipnotik jarang memerlukan pertolongan gawat darurat atau
intervensi farmakologi.Intoksikasi benzodiazepin yang fatal sering terjadi pada
anak-anak atau individu dengan gangguan pernapasan atau bersama obat depresi
susunan syaraf pusat lainnya seperti opioida.Gejala intoksikasi benzodiazepin
yang progresif adalah hiporefleksia, nistagmus dan kurang siap siaga, ataksia,
berdiri tidak stabil. Selanjutnya gejala berlanjut dengan pemburukan ataksia, letih,
lemah, konfusi, somnolent, koma, pupilmiosis, hip[otermi, depresi sampai dengan
henti pernapasan.bila diketahui segera dan mendapat terapi kardiorespirasi maka
dampak intoksikasi jarang bersifat fatal. Namun pada perawatan yang tidak
memadai maka fungsi respirasi dapat memburuk karena asapirasi isi lambung
yang merupakan faktor resiko yang sangat serius.
Penatalaksanaan adalah dengan memberikan tindakan kolaboratif berupa
pemberian terapi kombinasi yang ditujukan untuk :
1

Mengurangi efek obat didalam tubuh


Untuk mengurangi efek sedatif hipnotik dengan memberikan Flumazenil 0,2
mg secara IV, kemudian setelah 30 detik diikuti dengan 0,3 mg dosis tunggal.
Obat tersebut lalu dapat diberikan lagi sebanyak 0,5 mg setelah 60 detik
sampai total kumulatif 3 mg. Tindakan suppurtive adalah dengan
mempertahankan jalan napas, dan memperbaiki gangguan asam basa.

Mengurangi absorbsi obat lebih lanjut


Mengurangi absorbsi merangsang muntah jika baru terjadi pemakaian. Jika
pemakaian sudah lebih dari 6 jam maka berikan antidot berupa karbon aktif
yang berfungsi untuk menetralkan efek obat.

Mencegah komplikasi jangka panjang


Observasi tanda-tanda vital dan depresi pernapasan, aspirasi dan edema
paru.Bila sudah terjadi aspirasi maka dapat diberikan antibiotik.Bila klien ada
usaha untuk bunuh diri maka klien tersebut harus ditempatkan ditempat
khusus dengan pengawasan ketat setelah keadaan darurat diatasi.

Intoksikasi Anfetamin

25

Tanda dan gejala intoksikasi anfetamin biasanya ditunjukkan dengan adanya dua
atau lebih gejala-gejala seperti takikardi atau bradikardi, dilatasi pupil,
peningkatan atau penurunan tekanan darah, banyak keringat atau kedinginan,
mual atau muntah, penurunan berat badan, agitasi atau retardasi psikomotot,
kelelahan otot, depresi sistem pernapasan, nyeri dada atau aritmiajantung,
kebingungan, kejang-kejang, diskinesia, distonia atau koma. Penatalaksanaan
adalah dengan memberikannya terapi symtomatik dan pemberian terapi suportife
lain, misal: anti psikotik, anti hipertensi, dll.

Intoksikasi alkohol
Intoksikasi alkohol biasanya ditunjukkan dengan adanya gejala-gejala (satu atau
lebih) bicara cadel, inkoordinasi, jalan sempoyongan nistagmus, tidak dapat
memusatkan perhatian, daya ingat menurun dan stupor atau koma.
Penatalaksanaan untuk klien yang mengalami koma adalah dengan menidurkan
klien terlentang dan posisi face down untuk mencegah aspirasi, melakukan
observasi tanda vital dengan ketat tiap 15 menit,memberikan tindakan kolaboratif
dengan pemberian Thiamine 100 mg secara IV untuk profilaksis terjadinya
Wernicke Encephalopaty kemudian memberikan 50 ml Dextrose 5% secara IV
serta dengan memberikan 0,4 2 mg Naloksone bila klien memiliki riwayat atau
kemungkinan pemakaian opioida.
Dalam penatalaksanaan intoksikasi alkohol , perawat harus selalu waspada atas
perilaku klien, diantaranya adalah antipasi jika klien agresif,. Untuk itu diperlukan
sikap toleran dari perawat sehingga tidak membuat klien merasa ketakutan dan
terancam.Untuk itu harus diciptakan suasana yang tenang dan bila perlu tawarkan
klien untuk makan.Untuk mengatasi klien yang agresif, dapat diberikan sedatif
dengan dosis rendah dan jika perlu dapat diberikan Halloperidol injeksi secara IM.

Intoksikasi Kokain
Tingkah laku maladaptif yang bermakna secara klinis atau perubahan psikologis
misalnya euforia atau efek mendatar, perubahan dalam stabilitas, hypervigilance /
26

kewaspadaan yang meningkat, interpersonal sensitivity, ansietas, kemarahan,


tingkah laku yang stereotip, menurunnya fungsi sosial dan fungsi pekerjaan yang
berkembang selama atau setelah penggunaan kokain.
Tanda dan gejala ( dua atau lebih) yang muncul diantaranya adalah takikardia atau
bradikardia, dilatasi pupi, peningkatan atau penurunan tekanan darah, berkeringat
atau rasa dingin, mual atau muntah, penurunan berat badan, agitasi atau retardasi
psikomotor, kelemahan otot, depresi, nyeri dada atau arimia jantung, bingung
(confusion), kejangdyskinesia, dystonia, hingga dapat menimbulkan koma.
Penatalaksanaan setelah pemberian bantuan hidup dasar adalah dengan melakukan
tindakan kolaborati berupa pemberian terapi-terapi simtomatik, misalnya
pemberian Benzodiazepin bila timbul gejala agitasi, pemberian obat-obat anti
psikotik jika timbul gejala psikotik , dan pemberian terapi-terapi lainnya sesuai
dengan gejala yang ditemukan.
2

Ketergantungan NAPZA (Withdrawl/ Sindrome Putus Zat)


Ketergantungan atau yang disebut dengan withdrawl adalah suatu kondisi cukup berat
yang ditandai dengan adanya ketergantungan fisik yaitu toleransi dan sindrome putus zat.
Sindroma putus zat adalah suatu kondisi dimana orang yang biasa menggunakan secara
rutin, pada dosis tertentu berhenti menggunakan atau menurunkan jumlah zat yang biasa
digunakan, sehingga menimbulkan gejala pemutusan zat.
Terapi yang dapat diberikan pada keadaan sindrom putus zat yaitu :

Terapi putus zat opioida, terapi ini sering dikenal dengan istilah detoksifikasi.
Terapi detoksifikasi dapat dilakukan dengan cara berobat jalan maupun rawat
inap. Lama program terapi detoksifikasi berbeda-beda ada yang 1-2 minggu untuk
detoksifikasi konvensional dan ada yang 24-48 jam untuk detoksifikasi opioid
dalam anestesi cepat (Rapid Opiate Detoxification Treatment). Detoksifikasi
hanyalah

merupakan

langkah

awal

dalam

proses

penyembuhan

dari

penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA.
27

Beberapa jenis cara mengatasi putus opioida :

Tanpa diberi terapi apapun,putus obat seketika (abrupt withdrawal atau cold
turkey). Terapi hanya simptomatik saja. Untuk nyeri diberi analgetika kuat
seperti : Tramadol, Analgrtik non-narkotik,asam mefenamat dan sebagainya.
Untuk rhinore beri dekongestan,misalnya fenilpropanolamin, Untuk mual beri
metopropamid, Untuk kolik beri spasmolitik, Untuk gelisah beri antiansietas,
Untuk insomnia beri hipnotika,misalnya golongan benzodiazepine.

Terapi

putus

opioida

bertahap

(gradual

withdrawal),

Dapat

diberi

morfin,petidin,metadon atau kodein dengan dosis dikurangi sedikit demi sedikit.

Terapi putus opioida dengan substitusi non opioda Dipakai Clonidine dimulai
dengan 17 mikrogram/kg BB perhari dibagi dalam 3-4 kali pemberian. Dosis
diturunkan bertahap dan selesai dalam 10 hari. Sebaiknya dirawat inap (bila
sistole < 100 mmHg atau diastole < 70 mmHg), terapi harus dihentikan.

Terapi putus opioida dengan metode Detoksifikasi cepat dalam anestesi (Rapid
Opioid Detoxification). Prinsip terapi ini hanya untuk kasus single drug opiat saja,
dilakukan di RS dengan fasilitas rawat intensif oleh Tim Anestesiolog dan
Psikiater, dilanjutkan dengan terapi menggunakan anatagonist opiat (naltrekson)
lebih kurang 1 tahun.

Terapi putus zat sedative/hipnotika dan alcohol Harus secara bertahap dan dapat
diberikan Diazepam. Tentukan dahulu test toleransi dengan cara : Memberikan
benzodiazepin mulai dari 10 mg yang dinaikan bertahap sampai terjadi gejala
intoksikasi. Selanjutnya diturunkan kembali secara bertahap 10 mg perhari sampai
gejala putus zat hilang.

Terapi putus Kokain atau Amfetamin, Rawat inap perlu dipertimbangkan karena
kemungkinan melakukan percobaan bunuh diri. Untuk mengatasi gejala depresi
berikan anti depresi.

Terapi untuk waham dan delirium pada putus NAPZA


- Pada gangguan waham karena amfetamin atau kokain berikan Injeksi
Haloperidol 2.5-5 mg IM dan dilanjutkan peroral 3x2,5-5 mg/hari.
- Pada gangguan waham karena ganja beri Diazepam 20-40 mg IM.
28

- Pada delirium putus sedativa/hipnotika atau alkohol beri Diazepam seperti


pada terapi intoksikasi sedative/hipnotika atau alkohol

Terapi putus opioida pada neonates, Gejala putus opioida pada bayi yang
dilahirkan dari seorang ibu yang mengalami ketergantungan opioida, timbul
dalam waktu sebelum 48-72 jam setelah lahir. Gejalanya antara lain : menangis
terus(melengking), gelisah, sulit tidur, diare, tidak mau minum, muntah, dehidrasi,
hidung tersumbat, demam, berkeringat. Berikan infus dan perawatan bayi yang
memadai. Selanjutnya berikan Diazepam 1-2 mg tiap 8 jam setiap hari diturunkan
bertahap,selesai dalam 10 hari

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN NAPZA

3.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah utama dalam proses keperawatan. Data yang valid dan tepat
akan menentukan langkah-langkah berikutnya. Kesalahan dalam pengumpulan data akan
berdampak pada penentuan rencana keperawatan yang salah. Untuk memperoleh data yang
lengkap diperlikan keahlian wawancara dan pemeriksaan fisik khusus karena umumnya klien
cenderung manipulatif.
1

Anamesa/wawancara

Pada saat melakukan anamnesa, yang perlu dilakukan adalah mengkaji keluhan utama saat ini,
riwayat pemakaian zat, jenis zat, cara pakai zat dan dosis setiap kali pakai, frekuensi
pemakaian zat (jam/hari/minggu/bulan/dan kapan terakhir pemakaian zat tersebut digunakan.
Hal ini penting untuk menentukan anti dotum dan menentukan waktu timbul dan berakhirnya
withdrawal atau ketagihan dari masing-masing zat.
Informasi dapat dikumpulkan dari anggota keeluarga, teman, atau petugas tentang obat yang
digunakan. Tanyakan dan simpan sisa obat muntahan (jika ada) untuk pemeriksaan
toksikologi. Tanyakan juga riwayat alergi obat, riwayat shock anafilaktik dan riwayat penyakit
yang pernah sedang diderita.
29

Pemeriksaan Fisik
a

Kaji jalan napas


Periksa adanya sumbatan seperti lidah, sekret, benda asing, dan darah. Bebaskan
dengan teknik chin lift atau jaw trust. Bila diperlukan pasang orofaringeal atau
nosofaringeal.

Kaji pernapasan
Periksa adanya bunyi napas, irama pengembangan paru dan pola napas. Atasi bila
kurang baik, karena pada beberapa kasus seperi pada opioida, sedatif hipnotik, dan
multi drug abuse seringkali ditemukan depresi pernapasan sampai dengan henti
napas.
c) Kaji sirkulasi
Periksa sirkulasi dengan memeriksa kulit, akral dan nadi. Atasi segera jika kulit
pucat dan andi cepat atau kecil, karena ada kemungkinan terjadi syok.

Kaji tingkat kesadaran


Periksa status neurologis dengan GCS (Glasgow Coma Scale).Respon yang dinilai
adalah respon membuka mata, respon motorik dan respon verbal. Untuk lebih jelas,
perhatikan table di bawah ini,

Daerah yang
diperiksa
Mata

Verbal

Motorik

Respon
Membuka mata denga spontan
Membuka mata denga instruksi
Membuak mata dengan rangsangan
Tidak ada respon
Orientasi orang, tempat dan waktu
Berbicara tapi tidak sepenuhnya dapat dimengerti
Bersuara tapi tidak dapat dimengerti
Bersuara tetapi tidak dikenal kata-katanya
Tidak ada respon
Mengikuti perintah dengan mudah
Mengenal lokasi nyeri tetapi tidak dapat mengikuti perintah
Menari dari rangsangan dengan tangan difleksikan
Fleksi abnormal
Ekstensi abnormal ( deserebrasi)
Tidak ada respon

Nilai
4
3
2
1
5
4
3
2
1
6
5
4
3
2
1

e Kaji intoksikasi
30

Intoksikasi perlu dikaji untuk mengetahui adanya obat atau zat makanan, kimia, gas
karena sering ditemui kasus di IGD seringkali klien datang dengan masalah depresi
berat yang mencoba bunuh diri dengan bahan-bahan tersebut.
f

Kaji nyeri
Kaji skala nyeri, intensitas dan lokasi dimana hal tersebut sering timbul pada klien
dengan pemakaian zat jenis heroin, morfin, atau opiat

Kaji integumen
Kaji adanya neadle track atau bekas suntikan, lihat kondisi baru atau atau sudah lama
serta letak bekas suntikan tersebut.

Turgor kulit
Kaji adanya dehidrasi, mukosa mulut, muntah, dan adanya pendarahan. Atasi bila ada
gangguan keseimbangan volume cairan.

Kaji muskoloskeletal
Kaji adanya perubahan sensorik-motorik, adanya kerusakan jaringan serta perubahan
bentuk ektremitas.

Kaji psikososial
Kaji adanya kecemasan, perilaku kekerasan yang dapat mencederai diri dan orang
lain.

3.2 Masalah Keperawatan


Masalah keperawatan yang sering ditemukan pada kegawatdaruratan NAPZA
diantaranya:
a

Bersihan jalan napas tidak efektik behubungan dengan adanya sumbatan

Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi susunan syaraf pusat.

Volume cairan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake dan output tidak
seimbang.

Resiko injuri berhubungan dengan kejang, agitasi

Perilku kekerasan.

3.3 Tindakan Keperawatan


a. Bersihan jalan napas tidak efektif
31

Tujuan keperawatan : jalan napas efektif


Intervensi :
1

Membersihkan jalan napas

Mengobservasi TTV

Memberikan posisi yang nyaman : fowler/semi fowler/supine ekstensi

Mengajarkan cara batuk efektif

Melakukan penghisapan lender

Memasang orofaringeal tube atau gudel

Kolaborasi :

Pemberian obat Bronchodilator

Pemberian O2

Inhalasi

Pemeriksaan laboratorium : AGD

b. Pola napas tidak efektif


Tujuan keperawatan : pola napas kembali efektif
Intervensi :
1

Observasi TTV

Obsevasi irama, kedalaman pernapasan serta penggunaan otot bantu pernapasan

Atur posisi tidur klien dengan posisi nyaman (ekstensi kepala/semi fowler/fowler.

Terapkan teknik kewaspadaan universal dalam melakukan tindakan asuhan keperawatan

Kolaborasi :

Pemberian cairan,

Pemberian oksigen,

Pemberian anti dotum sesuai dengan masalah klien

Pemeriksaaan : Analisa Gas darah (AGD) urinalisis, thorax foto

Melakukan suction sesuai kebutuhan

Melakukan fisioterpi dada, jika perlu nebulizar.

c. Volume cairan kurang dari kebutuhan tubuh


Tujuan keperawatan : kekurangan cairan dapat teratasi
32

Intervensi :
1

Observasi TTV

Catat adanya peningkatan suhu tubuh dan durasi demam

Bantu klien untuk memakai pakaian yang mudah menyerap keringat serta pertahankan
agar pakaian tetap kering

Observasi turgor kulit, membran kulit dan perasaan haus yang berlebihan

Catat input dan output klien

Anjurkan klien minum 2500-3000 cc/hari atau sesuai kebutuhan.

Berikan makanan yang mudah dicerna/lunak

Hindari pemberian makanan yang pedas, berlemak tinggi, kacang, kubis, dan susu

Kolaborasi :

Pemberian makan parenteral

Pemeriksaan laboratorium Hemoglobin, Ht, Elektrolit

Pemberian obat anti emetik, anti diare dan anti piretik.

d. Resiko injuri
Tujuan keperawatan : injuri tidak terjadi
Intervensi :
1

Observasi TTV

monitor tingkat kesadaran dan perilaku

beriakn restain halus pada pergelangan (fixasi)

tempatkan klien pada lokasi yang muadah dilihat

jauhkan klien terhadap hal-hal yang membahayakan

kolaborasi : pemberian terapi sedatif

e. perilaku kekerasan
Tujuan : perilaku kekerasan tidak terjadi
Intervensi :
1

Bina hubungan saling percya

Terapkan komunikasi terupetik


33

Ajarkan telnik relaksasai

Tempatkan klien pada ruangan yag terang, amandan nyaman

Jauhkan benda-benda taja yang dapat digunakan untuk menyakiti diri sendiri dan orang
lain

Berikan desempatan pada kien untuk melampiasakna kemarahannya secara verbal

Identifikasi penyebab klien marah

Tawarkan pada klien untuk melakukan aktifiatas yang dapat mengurangi tindakan agresif

Jelaskan pada klien kemungkiann konsekuensi yang akan diterima atas perilaku klien

10 Pasang fiksasi dan isolasikan klien


11 Observasi klien secara intensif
12 Kolaborasi :

pemberian teraoi Chlopromazine (torzine), dizepam (valium), halloperidol


(haldol) atau klordiazikpoksida (librium)

konsulkan ke psikiater

3.4 Evaluasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan :
a

Bersihan jalan napas efektif

Pola napas adekuat

Volume cairan terpenuhi

Injuri tidak terjadi

Perilaku kekerasan tidak terjadi

Adapun Diagnosa Keperawatan dari jenis Kegawatdaruratan Napza yang dapat muncul adalah :
1. Ancaman kehidupan
a. Gangguan keseimbangan cairan: mual, muntah berhubungan dengan pemutusan zat opioda
b. Resiko terhadap amuk berhubungan dengan intoksikasi sedatif hipnotik
c. Resiko cidera diri berhubungan dengan intoksikasi aklkohol, sedatif, hipnotik
d. Panik berhubungan dengan putus zat alcohol
2. Intoksikasi
34

a. Cemas berhubungan dengan intoksikasi ganja


b. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan intoksikasi sedatif hipnotik, alcohol,
opioda
3. Withdrawl
a. Perubahan proses piker: waham berhubungan dengan putus zat alcohol, sedatif, hipnotik
b. Nyeri berhubungan dengan putus zat opioda, MDMA: extasy
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan putus zat opioda
4. Pasca detoksikasi
a. Gangguan pemusatan perhatian berhubungan dengan dampak penggunaan zat adiktif
b. Gangguan konsep diri : harga diri rendah berhubungan dengan tidak mampu mengenal
kualitas yang positif dari diri sendiri.
c. Resiko melarikan diri berhubungan dengan ketergantungan tehadap zat adiktif
sehingga diagnosa yang mungkin timbul :
1. Resiko tinggi menciderai diri sendiri berhubungan dengan intoksikasi
2. Intoksikasi berhubungan dengan menarik diri
3. Harga diri rendah berhubungan dengan gangguan konsep diri
4. Harga diri rendah berhubungan dengan koping mal adaptif
Rencana Tindakan Keperawatan :
1. Kondisi overdosis
Tujuan : Klien tidak mengalami ancaman kehidupan
Rencana tindakan:
- Observasi tanda tanda vital, kesadaran pada 15 menit pada 3 jam pertama, 30menit pada 3
jam kedua tiap 1 jam pada 24 jam berikutnya
- Bekerja sama dengan dokter untuk pemberian obat
- Observasi keseimbangan cairan
- Menjaga keselamatan diri klien
- Menemani klien
- Fiksasi bila perlu
2. Kondisi intoksikasi
35

Tujuan: intoksikasi pada klien dapat diatasi, kecemasan berkurang/hilang


Rencana tindakan:
a. Membentuk hubungan saling percaya
b. Mengkaji tingkat kecemasan klien
c. Bicaralah dengan bahasa yang sederhana, singkat mudah dimengerti
d. Dengarkan klien berbicara
e. Sering gunakan komunikasi terapeutik
f. Hindari sikap yang menimbulkan rasa curiga, tepatilah janji, memberi jawaban nyata, tidak
berbisik di depan klien, bersikap tegas, hangat dan bersahabat
3. Kondisi withdrawl
a. Observasi tanda- tanda kejang
b. Berikan kompres hangat bila terdapat kejang pada perut
c. Memberikan perawatan pada klien waham, halusinasi: terutama untuk menuunkan perasaa
yang disebabkan masalah ini: takut, curiga, cemas, gembira berlebihan, benarkan persepsi
yang salah
d. Bekerja sama dengan dokter dalam memberikan obat anti nyeri
4. Kondisi detoksikasi
a. Melatih konsentrasi: mengadakan kelompok diskusi pagi
b. Memberikan konselin untuk merubah moral dan spiritual klien selama ini yang
menyimpang, ditujukan agar klien menjadi manusia yang bertanggung jawab, sehat mental,
rasa bersyukur, dan optimis
c. Mempersiapkan klien untuk kembali ke masyarakat, dengan bekerja sama dengan pekerja
social, psikolog.

36

BAB 4
PENUTUP

Kesimpulan
Kegawatdaruratan NAPZA adalah suatu keadaan yang mengancam kehidupan
seseorang akibat penggunaan zat/obat yang berlebihan (intoksikasi/over dosis) sehingga
dapat mengancam kehidupan, apabila tidak dilakukan penanganan dengan segera.
Masalah keperawatan yang sering ditemukan pada kegawatdaruratan NAPZA diantaranya:
a

Bersihan jalan napas tidak efektik behubungan dengan adanya sumbatan

Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi susunan syaraf pusat.

Volume cairan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake dan output
tidak seimbang.

Resiko injuri berhubungan dengan kejang, agitasi

Perilku kekerasan.

4.2 Saran
1

Bagi Perawat
Untuk memberikan Asuhan keperawatan yang optimal bagi klien kegawatdaruratan
NAPZA.

Bagi Klien
Untuk tidak melakukan kesalahan yang kedua kali dalam penyalahgunaan NAPZA.

37

DAFTAR PUSTAKA

Cokingting, P.S., Darst,E, dan Dancy, B. 1992. Mental Health and Psichiatric Nursing.
Philadelpia, J.B. : Lippincott Company (Chapter 8)
Shults. Y.M. 1968. Manual of Psichiatric Nursing Care Plans. Boston : Little.Brown and
Company (Chapter 20-22)
Stuart, G.W.,dan Sundeen, S.J. 1991. Pocket Guide to Psichyatric Nursing. (2nd,ed), St. Louis
Mosby Year Book (Chapter 17)
Stuart, Gail W. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Alih bahasa Yani : Achir. Edisi 3. Jakarta :
EGC
Hawari, Dadang. 2003. Penyelahgunaan dan ketergantungan NAZA. FKUI. Jakarta : Gaya Baru
http://maidun-gleekapay.blogspot.com/2008/07/asuhan-keperawatan-klien-dengan-sindrom.html.
Diakses pada tanggal 7 Desember 2015

http://blog.ilmukeperawatan.com/napza.html. Diakses pada tanggal 7 Desember 2015

http://nursenapza.blogspot.com/2009/11/over-dosis.html. Diakses pada tanggal 7 Desember 2015

38

You might also like