You are on page 1of 33

PRESENTASI KASUS

CONGESTIVE HEART FAILURE

Diajukan kepada Yth. :


dr. Heppy Oktafianto, Sp.PD

Disusun oleh :
Rahmat Vanadi N.

G4A014023

Keyko Lampita M. G4A014024

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO
2015

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
CONGESTIVE HEART FAILURE

Disusun Oleh :
Rahmat Vanadi N.

G4A014023

Keyko Lampita M. G4A014024

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di


bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal :

2016

Dokter Pembimbing :

dr. Heppy Oktafianto, Sp. PD

BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit kardiovaskular akan menjadi penyebab kematian pertama di
negara-negara berkembang, menggantikan kematian akibat penyakit infeksi. Di
Indonesia penyakit kardiovaskuler dikelompokkan menjadi penyakit sistem
sirkulasi sejak 1992 dan secara konsisten menjadi peringakat pertma penyebab
kematian. Saat ini salah satu penyakit kardiovaskular yang menyebabkan
kematian adalah gagal jantung kongestif.
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa
darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi jaringan terhadap oksigen dan
nutrisi dikarenakan adanya kelainan fungsi jantung yang berakibat jantung gagal
memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan.
Kematian akibat penyakit kardiovaskuler khususnya gagal jantung adalah
27 %. Sekitar 3 - 20 per 1000 orang mengalami gagal jantung, angka kejadian
gagal jantung meningkat seiring pertambahan usia (100 per 1000 orang pada usia
di atas 60 tahun. Dari hasil penelitian Framingham pada tahun 2000 menunjukkan
angka kematian dalam 5 tahun terakhir sebesar 62% pada pria dan 42% wanita,
berdasarkan data dari di Amerika terdapat 3 juta penderita gagal jantung dan
setiap tahunnya bertambah dengan 400.000 orang, sedangkan untuk di Indonesia
angka kejadian gagal jantung menyebab kematian nomor satu, padahal
sebelumnya menduduki peringkat ketiga. Gagal jantung dapat disebabkan oleh
beberapa factor yang dapat dihindari dan yang tidak dapat dihindari (Marantz,
2012).
Faktor-faktor penyebab gagal jantung diantaranya adalah kebiasaan
merokok, diabetes, hipertensi, kolestrol, kelebihan berat badan hingga stress. Ada
tiga faktor lainnya yang tidak bisa dihindari oleh manusia yakni faktor keturunan
dan latar belakang keluarga, faktor usia dan jenis kelamin yang banyak ditemui
pada kasus kegagalan jantung (Brunner & Suddart, 2002). Selain hipertensi,
penyebab gagal jantung adalah kelainan otot jantung, ateriosklerosis dan
peradangan pada miokardium. Hal ini didukung oleh pendapat Gray (2003),

bahwa penyebab lainnya adalah aritmia, mengkonsumsi Obat-obatan yang


berlebihan, mengkonsumsi alkohol, sepsis, hipertiroid, gagal ginjal, dan emboli
paru (Craig, 2006).

BAB II
STATUS PENDERITA

A. Identitas Penderita
Nama
Umur
Jenis kelamin
Alamat
Agama
Status
Pekerjaan
Tanggal masuk RSMS
Tanggal periksa
No.CM

: Tn. A
: 70 tahun
: Laki-laki
: Karanganyar 02/RW 01 Jatilawang
: Islam
: Menikah
: Buruh tani
: 19 Januari 2016
: 20 Januari 2015
: 00974749

A. ANAMNESIS
1. Keluhan utama :
Sesak Nafas
2. Keluhan tambahan :
Cepat lelah ketika beraktivitas, nyeri dada yang menjalar hingga ke
lengan kiri pasien, batuk berdahak, bengkak pada kedua kaki, mual, nafsu
3.

makan menurun
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS rujukan dari puskesmas Jatilawang
tanggal 19 Januari 2016 dengan keluhan sesak nafas. Keluhan dirasakan
sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas hilang timbul dan
dirasakan memberat saat beraktivitas ringan serta tidur terlentang. Pasien
sering terbangun pada malam hari karena sesak nafas dan berkurang ketika
posisi duduk. Pasien juga mengaku tidur menggunakan bantal yang lebih
tebal. Selain itu, pasien mengeluhkan nyeri dada yang menjalar hingga ke
lengan kiri pasien serta mudah lelah. Pasien juga mengeluhkan batuk
berdahak, mengi -, bengkak di kedua kaki namun sudah berkurang, mual,
dan nafsu makan yang menurun. Satu hari sebelum masuk RS pasien
merasakan sesak semakin bertambah parah sehingga memutuskan untuk ke
IGD RS.

4. Riwayat penyakit dahulu


a. Riwayat penyakit yang sama
b. Riwayat darah tinggi
c. Riwayat penyakit gula

: diakui
: diakui
: disangkal

d. Riwayat alergi
: disangkal
e. Riwayat sakit ginjal
: disangkal
f. Riwayat penyakit jantung
: diakui
g. Riwayat sakit kuning/liver
: disangkal
h. Riwayat sakit tenggorokan/penyakit kulit: disangkal
i. Riwayat konsumsi obat-obatan
: disangkal
5. Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat penyakit yang sama
: disangkal
b. Riwayat darah tinggi
: diakui
c. Riwayat penyakit gula
: disangkal
d. Riwayat asma
: disangkal
e. Riwayat alergi
: disangkal
6. Riwayat sosial dan exposure
a. Community
Pasien adalah seorang ayah dari 4 orang anak. Pasien tinggal bersama
dengan istri dan keempat anaknya di lingkungan pedesaan yang cukup
padat penduduknya. Hubungan antara pasien dengan tetangga dan
keluarga dekat dan baik.
b. Home
Pasien tinggal di sebuah rumah dengan keluarganya. Rumah terdiri
dari 3 kamar dan masing-masing dihuni oleh 1-2 orang. Kamar mandi
dan jamban di dalam rumah. Atapnya memakai genteng dan lantai
terbuat dari ubin.
c. Occupational
Pasien adalah seorang buruh tani.
d. Personal habit
Pasien mempunyai kebiasaan jarang minum air putih. Pasien juga
mengaku suka mengkonsumsi ikan asin dan menyukai gorengan.
Selain itu pasien suka merokok 1/2 bungkus dalam 1 hari.
e. Drugs and Diet
Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan. Menu makan pasien
terdiri dari nasi dan sayur-mayur, terkadang lauk-pauk. Pasien makan
sehari 3 kali.
f. Biaya pengobatan

Pasien berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi rendah. Sumber


pembiayaan kesehatan berasal dari BPJS PBI.
B. PEMERIKSAAN FISIK
20 Januari 2016
1. Keadaan umum
: Tampak Sesak
2. Kesadaran
: Compos mentis
3. Vital sign tanggal 20 Januari 2016
a. Tekanan darah
: 140/90 mmHg
b. Nadi
: 82 /menit reguler, isi cukup
c. Pernapasan
: 26 /menit
d. Suhu
: 36,0 C
4. Tinggi badan
: 158 cm
5. Berat badan
: 62 kg
6. Status gizi (IMT)
: 24,8 (overweight)
7. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
1) Bentuk kepala
Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-)
2) Rambut
Warna rambut sudah beruban, tidak rontok dan terdistribusi
merata.
3) Mata
Simetris, edema palpebra (-/-) konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), mata kering (-), refleks cahaya (+/+)
normal, pupil isokor diameter 3 mm/3mm.
4) Telinga
Discharge (-)
5) Hidung
Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)
6) Mulut
Bibir kering (-), bibir pucat (-), bibir sianosis (-), lidah
sianosis (-), lidah kotor (-)
b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Palpasi : JVP 5+ 3cm
c. Pemeriksaan thorax
Paru
Inspeksi
: dinding dada tampak simetris dan tidak tampak
ketertinggalan gerak antara hemithorax kanan dan
kiri. Kelainan bentuk dada (-), retraksi intercostalis
(-).

Palpasi

: Apex vokal fremitus sinistra = dextra


Basal vokal fremitus sinistra = dextra
Perkusi
: Perkusi orientasi selurus lapang paru sonor
Batas paru-hepar SIC V LMCD
Auskultasi : Apex suara dasar vesikuler +/+, RBH+/+, RBK-/Basal suara dasar vesikuler +/+ dan Wheezing-/Jantung
Inspeksi
: Ictus Cordis tampak di SIC VI 2 jari lateral LMCS
P.parasternal (-) p.epigastrium (-).
Palpasi
: Ictus Cordis teraba pada SIC VI 2 jari lateral
LMCS, kuat angkat (-)
: Batas atas kanan
: SIC II LPSD
Batas atas kiri
: SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri
: SIC VI 2 jari lateral LMCS
Auskultasi : M1>M2 P1<P2
T1>T2
A1>A2reguler, Gallop (-), Murmur (-)
Perkusi

d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi
: datar
Auskultasi : bising usus (+) terdengar setiap 2-5 detik (normal)
Perkusi
: timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-), nyeri ketok
costo vertebrae (-/-)
Palpasi
: supel, nyeri tekan(-), undulasi (-)
Hepar
: teraba 3 jari BACD, tepi tajam, permukaan rata
Lien
: tidak teraba
e. Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan

Ekstremitas

superior
Dextra
Edema (pitting)
Sianosis
Kuku
kuning (ikterik)
Akral dingin
Reflek fisiologis
Bicep/tricep
Patela
Reflek patologis
Reflek babinsky
Sensoris
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium

Ekstremitas

Sinistra
-

inferior
Dextra
+
-

Sinistra
+
-

+
+

+
+

+
+

+
+

D=S

D=S

D=S

D=S

Darah lengkap
No
1
2
3
4
5
6
7
8

Pemeriksaan EKG

Jenis Pemeriksaan
Hb
Leukosit
Ht
Eritrosit
Trombosit
Na
K
Cl

Hasil
13,0
5290 /ul
39 %
4,7
416.000
182
3.0
87

gr/dL
/ul
%
x 106 /ul
/ul
gr/dL
gr/dL
gr/dL

Ket.
(N)
(N)
(L)
(N)
(L)
(H)
(L)
(L)

Gambar 1 Hasil Pemeriksaan Elektrokardiografi

Rontgen Thoraks

Gambar 2
Hasil Pemeriksaan Rontgen Thoraks
Kesan :
Bronchitis
Cardiomegali (LV)
D. RESUME
1. Anamnesis
a. Keluhan utama sesak nafas
b. Sesak nafas dirasakan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak
nafas hilang timbul dan dirasakan memberat saat beraktivitas ringan
serta tidur terlentang sehingga sering terbangun pada malam hari.
Sesak berkurang ketika posisi duduk dan menggunakan bantal yang

lebih tebal. Terdapat nyeri dada yang menjalar hingga ke lengan kiri
pasien, batuk berdahak, mudah lelah dan bengkak di kedua kaki.
c. Pasien memiliki riwayat tekanan darah tinggi dan sakit jantung
d. Pasien mempunyai kebiasaan jarang minum air putih. Pasien juga
menyukai gorengan dan ikan asin. Selain itu pasien suka merokok 1/2
bungkus dalam 1 hari
2. Pemeriksaan Fisik
Vital sign
Tekanan darah

: 140/90 mmHg

Nadi
Pernapasan
Suhu
Status generalis
Mata

: 82 /menit reguler, isi cukup


: 26 /menit
: 36,0 C
: conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), edema

palpebra (-/-)
Mulut
: bibir sianosis (-)
Status lokalis
Paru
Inspeksi
: dinding dada tampak simetris dan tidak tampak
ketertinggalan gerak antara hemithorax kanan dan kiri. Kelainan bentuk
dada (-), retraksi intercostalis (-).
Palpasi
: vokal fremitus sinistra = dextra
Perkusi
: selurus lapang paru sonor
Auskultasi
: suaradasar vesikuler +/+, RBH+/+, RBK-/-,
Wheezing-/Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

Auskultasi

: ictus Cordis di SIC VI 2 jari lateral LMCS


: ictus Cordis teraba pada SIC VI 2 jari lateral
LMCS, kuat angkat (-)
: Batas atas kanan
: SIC II LPSD
Batas atas kiri
: SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri
: SIC VI 2 jari lateral LMCS
: M1>M2 P1<P2
T1>T2
A1>A2reguler, Gallop (-), Murmur (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar
Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi
: supel, undulasi (-), NT (-)
Ekstremitas
Pemeriksaan

Ekstremitas

Ekstremitas

superior
Dextra

inferior
Dextra

Sinistra

Sinistra

Edema (pitting)

3. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Hemoglobin : normal
Hematokrit : menurun
Eritrosit
: normal
Trombosit : normal
Natrium
: meningkat
Kalium
: menurun
Clorida
: menurun
E. DIAGNOSIS KERJA
Congestive Heart Failure
Diagnosis Etiologi

: Hipertensi

Diagnosis Anatomi

: LVH

Diagnosis fungsional

: NYHA 3

F. PENATALAKSANAAN
1. Farmakologi :
a. O2 4 lpm NK
b. IVFD RL 10 tpm
c. Inj. Furosemid 2x1 Amp
d. P.O Digoxin 1x 1/2 tab
e. Spironolakton 1x 25 mg
f. P.O Terasma 3x1 Cth
2. Non farmakologi :
a. Istirahat, dianjurkan tirah baring.
b. Batasi asupan natrium dengan menggunakan garam secukupnya dalam
makanan dan menghindari makanan yang diasinkan.
c. Diet protein
d. Merokok harus dihentikan
e. Aktivitas fisik : olahraga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda
dianjurkan untuk pasien gagal jantung yang stabil dengan intensitas
yang nyaman bagi pasien aktivitas fisik berpengaruh pada peningkatan
bebas jantung dan meningkatkan kebutuhan jaringan terhadap oksigen.

f. Edukasi penyakit kepada pasien meliputi terapi, komplikasi penyakit,


prognosis penyakit dan cara pencegahan perburukan penyakit.
G. PROGNOSIS
Ad fungsional
Ad vitam

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam

Ad sanationam

: dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Gagal jantung merupakan suatu keadaan dimana jantung tidak dapat lagi
memompa darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh,
walaupun darah balik masih dalam keadaan normal. Dengan kata lain, gagal
jantung merupakan suatu ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah
dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh
(forward failure) atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan
pengisian jantung yang tinggi (backward failure) atau keduanya (Sudoyo,
2006). Gagal jantung kongestif biasanya disertai dengan kegagalan pada
jantung kiri dan jantung kanan (Hauser et al., 2005).
B. Etiologi
Mekanisme yang mendasari terjadinya gagal jantung kongestif
meliputi gangguan kemampuan konteraktilitas jantung, yang menyebabkan
curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal. Tetapi pada gagal
jantung dengan masalah yang utama terjadi adalah kerusakan serabut otot
jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat
dipertahankan. Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada

setiap konteraksi tergantung pada tiga faktor: yaitu preload, kontraktilitas,


afterload.
Preload adalah jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung
dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut otot
jantung.
Kontraktilitas mengacu pada perubahan kekuatan konteraksi yang terjadi
pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut
jantung dan kadar kalsium
Afterload mengacu pada besarnya tekanan venterikel yang harus dihasilkan
untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh
tekanan arteriol.
Pada gagal jantung, jika salah satu atau lebih faktor ini terganggu,
maka curah jantung berkurang. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban
awal meliputi : regurgitasi aorta dan defek septum ventrikel, beban akhir
meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta dan hipertensi sistemik.
Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan
kardiomiopati. Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung
melalui penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa : aritmia, infeksi
sistemik, infeksi paru-paru dan emboli paru (Sudoyo, 2006).
Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik,
penyakit katup mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit
miokardium primer. Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal
ventrikel kiri, yang menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan
arteria pulmonalis. Gagal jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal
jantung kiri pada pasien dengan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh
paru (kor polmunale) dan pada pasien dengan penyakit katup arteri pulmonalis
atau trikuspid (Donald;Mercedes;Bruce;Todd, 2010).
C. Klasifikasi Gagal Jantung
Untuk
mempermudah

hal

klasifikasi

fungsional,

NYHA

mengklasifikasikan gagal jantung menjadi 4 kelas fungsional yang dapat


ditentukan melalui anamnesa. Klasifikasi menurut

New York Heart

Association (NYHA), merupakan pedoman untuk pengklasifikasian penyakit


gagal jantung kongestif berdasarkan tingkat aktivitas fisik.
Tabel 1. Klasifikasi Fungsional NYHA
Klasifikasi Fungsional NYHA
(Klasifikasi berdasarkan Gejala dan Aktivitas Fisik)
Kelas I

Tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas sehari hari tidak


menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.

Kelas II

Sedikit pembatasan aktivitas fisik. Berkurang dengan istirahat, teta


pi
aktivitas sehari hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesa

Kelas III

k
Adanya
pembatasan yang bermakna pada aktivitas fisik. Berkuran
g
dengan istirahat, tetapi aktivitas yang lebih ringan dari aktivitas sehari

Kelas IV

Tidak dapat melakukan aktivitas sehari hari tanpa adanya kelelahan.


Gejala terjadi pada saat istirahat. Jika melakukan aktivitas fisik, keluha
n

Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure, hampir
selalu disertai peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena (backward
failure), karena ventrikel yang lemah tidak mampu memompa darah dalam
jumlah normal, hal ini menyebabkan peningkatan volume darah di ventrikel
pada waktu diastol, peningkatan tekanan diastolik akhir di dalam jantung dan
akhirnya peningkatan tekanan vena . Gagal jantung kongestif mungkin
mengenai sisi kiri dan kanan jantung atau seluruh rongga jantung (Brainwauld,
2009)..
D. Patofisiologi
Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal mulai
terpacu dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respons tersebut
mencakup peningkatan aktivitas adrenergik simpatik, peningkatan beban awal
akibat aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan hipertrofi ventrikel.
Mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada
tingkat normal atau hampir normal pada awal perjalanan gagal jantung, dan
pada keadaan istirahat. Namun, kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah

jantung biasanya tampak saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung,


kompensasi menjadi semakin kurang efektif (Margaret Jean Hall, Shaleah
Levant , and Mand Carol J. DeFrances., 2010).
1. Peningkatan aktivitas adrenergik simpatis :
Salah satu respons neurohumoral terhadap penurunan curah
jantung adalah peningkatan aktivitas sistem adrenergik simpatis.
Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis merangsang pengeluaran
katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan medulla adrenal.
Katekolamin ini akan menyebabkan kontraksi lebih kuat otot jantung (efek
inotropik positif) dan peningkatan kecepatan jantung. Selain itu juga
terjadi vasokontriksi arteri perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan
redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah ke organ-organ
yang

metabolismenya

rendah

misal

kulit

dan

ginjal

untuk

mempertahankan perfusi ke jantung dan otak (Brainwauld, 2009).


Vasokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan
jantung, untuk selanjutnya menambah kekuatan kontraksi sesuai dengan
hukum Starling. Kadar katekolamin dalam darah akan meningkat pada
gagal jantung, terutama selama latihan. Jantung akan semakin bergantung
pada katekolamin yang beredar dalam darah untuk mempertahankan kerja
ventrikel.namun pada akhirnya respons miokardium terhadap rangsangan
simpatis akan menurun; katekolamin akan berkurang pengaruhnya
terhadap kerja ventrikel (Gautam V. Ramani, Patricia A. Uber, Pharm D,
and Mandeep R. Mehra, 2010).

Gambar 2. 1. Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan


parasimpatik pada gagal jantung.

2. Peningkatan beban awal melalui aktivasi sistem Renin-AngiotensinAldosteron :


Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi
natrium dan air oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel. Mekanisme
yang mengakibatkan aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron pada
gagal jantung masih belum jelas (Kart, 2002). Namun apapun mekanisme
pastinya, penurunan curah jantung akan memulai serangkaian peristiwa
berikut:
a) Penurunan aliran darah ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus
b) Pelepasan renin dari apparatus jukstaglomerulus
c) Interaksi renin dan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan
angiotensinI
d) Konversi angotensin I menjadi angiotensin II
e) Rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal.
f) Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus kolektifus.
Angiotensin

II

juga

menghasilkan

efek

vasokonstriksi

yang

meningkatkan tekanan darah.


3. Hipertrofi ventrikel :
Respon kompensatorik terakhir adalah hipertrofi miokardium atau
bertambah tebalnya dinding. Hipertrofi miokardium akan mengakibatkan
peningkatan kekuatan kontraksi ventrikel (ROUNDS, 2002).
Awalnya, respon kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang
menguntungkan; namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat
menimbulkan gejala, meningkatkan kerja jantung, dan memperburuk
derajat gagal jantung. Retensi cairan yang bertujuan untuk meningkatkan
kekuatan kontraktilitas menyebabkan terbentuknya edema dan kongesti
vena paru dan sistemik. Vasokontriksi arteri juga meningkatkan beban
akhir dengan memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel; beban
akhir juga meningkat karena dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja
jantung dan kebutuhan oksigen miokardium juga meningkat. Hipertrofi
miokardium dan rangsangan simpatis lebih lanjut akan meningkatkan
kebutuhan oksigen miokardium. Jika peningkatan kebutuhan oksigen
tidak dapat dipenuhi akan terjadi iskemia miokardium dan gangguan
miokardium lainnya. Hasil akhir dari peristiwa yang saling berkaitan ini
adalah meningkatnya beban miokardium dan terus berlangsungnya gagal
jantung (Walter, 2002) (Ghanie, 2006).

E. Diagnosis Gagal Jantung


1. Anamnesis
Gejala kardinal gagal jantung adalah sesak nafas, intoleransi saat
aktivitas, dan lelah. Keluhan lelah secara tradisional dianggap diakibatkan
oleh rendahnya kardiak output pada gagal jantung, abnormalitas pada otot
skeletal dan komorbiditas non-kardiak lainnya seperti anemia dapat pula
memberikan kontribusi. Gagal jantung pada tahap awal, sesak hanya
dialami saat pasien beraktivitas berat, seiring dengan semakin beratnya
gagal jantung, sesak terjadi pada aktivitas yang semakin ringan dan
akhirnya dialami pada saat istirahat. Penyebab dari sesak ini kemungkinan
besar multifaktorial, mekanisme yang paling penting adalah kongesti
paru, yang diakibatkan oleh akumulasi cairan pada jaringan intertisial atau
intraalveolar alveolus. Hal tersebut mengakibatkan teraktivasinya reseptor
juxtacapiler J yang menstimulasi pernafasan pendek dan dangkal yang
menjadi karakteristik cardiac dypnea. Faktor lain yang dapat memberikan
kontribusi pada timbulnya sesak antara lain adalah kompliance paru,
meningkatnya tahanan jalan nafas, kelelahan otot respiratoir dan
diagfragma, dan anemia. Keluhan sesak bisa jadi semakin berkurang
dengan mulai timbulnya gagal jantung kanan dan regurgitasi tricuspid
(Kelder, 2011).
a. Orthopnu dan Paroxysmal Nocturnal Dyspnea
Ortopnu didefinisikan sebagai sesak nafas yang terjadi pada saat
tidur mendatar, dan biasanya merupakan menisfestasi lanjut dari gagal
jantung dibandingkan sesak saat aktivitas.1 Gejala ortopnu biasanya
menjadi lebih ringan dengan duduk atau dengan menggunakan bantal
tambahan. Ortopnu diakibatkan oleh redistribusi cairan dari sirkulasi
splanchnic dan ekstrimitas bawah kedalam sirkulasi sentral saat posisi
tidur yang mengakibatkan meningkatnya tekanan kapiler paru. Batukbatuk pada malam hari adalah salah satu manisfestasi proses ini, dan
seringkali terlewatkan sebagai gejala gagal jantung. Walau orthopnea

merupakan gejala yang relatif spesifik untuk gagal jantung, keluhan


ini dapat pula dialami pada pasien paru dengan obesitas abdomen atau
ascites, dan pada pasien paru dengan mekanik kelainan paru yang
memberat pada posisi tidur (Kelder, 2011).
Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) adalah episode akut sesak
nafas dan batuk yang umumnya terjadi pada malam hari dan
membangunkan pasien dari tidurnya, biasanya terjadi 1 hingga 3 jam
setelah pasien tertidur. Manisfestasi PND antara lain batuk atau
mengi, umumnya diakibatkan oleh meningkatnya tekanan pada arteri
bronchialis yang mengakibatkan kompresi jalan nafas,disertai edema
pada intersitial paru yang mengakibatkan meningkatnya resistensi
jalan nafas. Keluhan orthopnea dapat berkurang dengan duduk tegak
pada sisi tempat tidur dengan kaki menggantung, pada pasien dengan
keluhan PND, keluhan batuk dan mengi yang menyertai seringkali
tidak menghilang, walau sudah mengambil posisi tersebut. Gejala
PND relatif spesifik untuk gagal jantung. Cardiac Asthma(asma
cardiale) berhubungan erat dengan timbulnya PND, yang ditandai
dengan timbulnya wheezing sekunder akibat bronchospasme, hal ini
harus dibedakan dengan asma primer dan penyebab pulmoner
wheezing lainnya (Dickstein, 2008).
b. Edema Pulmonal Akut
Hal ini diakibatkan oleh transudasi carian kedalam rongga alveolar
sebagai akibat meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler paru secara
akut sekunder akibat menurunnya fungsi jantung atau meningkatnya
volume intravaskular. Manisfestasi edema paru dapat berupa batuk
atau sesak yang progresif. Edema paru pada gagal jantung yang berat
dapat bermanifestasi sebagai sesak berat disertai dahak yang disertai
darah. Jika tidak diterapi secara cepat, edema pulmoner akut dapat
mematikan (Dickstein, 2008).
c. Respirasi Cheyne Stokes
Dikenal pula sebagai respirasi periodik atau siklik, adalah temuan
umum pada gagal jantung yang berat, dan umumnya dihubungkan
dengan kardiak output yang rendah. Respirasi cheyne-stokes

disebabkan oleh berkurangnya sensitifitas pusat respirasi terhadap


kadar PCO2 arteri. Terdapat fase apnea, dimana PO2 arteri jatuh dan
PCO2 arteri meningkat. Perubahan pada gas darah arteri ini
menstimulasi pusat nafas yang terdepresi dan mengakibatkan
hiperventiasi dan hipokapni, yang diikuti kembali dengan munculnya
apnea. Respirasi cheyne-stokes dapat dicermati oleh pasien atau
keluarga pasien sebagai sesak nafas berat atau periode henti nafas
sesaat (Kelder, 2011).
d.

Gejala Lainnya
Pasien dengan gagal jantung juga dapat muncul dengan gejala
gastrointestinal. Anorexia, nausea, dan rasa cepat kenyang yang
dihubungkan dengan nyeri abdominal dan kembung adalah gejala
yang sering ditemukan, dan bisa jadi berhubungan dengan edema dari
dinding usus dan/atau kongesti hati. Kongesti dari hati dan pelebaran
kapsula hati dapat mengakibatkan nyeri pada kuadran kanan atas.
Gejela serebral seperti kebingungan, disorientasi, gangguan tidur dan
emosi dapat diamati pada pasien dengan gagal jantung berat, terutama
pada pasien lanjut usia dengan arteriosklerosis serebral dan
berkurangnya perfusi serebral. Nocturia juga umum ditemukan dan
dapat memperberat keluhan insomnia.

e. Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung


Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah
digunakan secara luas. Diagnosis gagal jantung mensyaratkan minimal
dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor disertai dua kriteria minor.
Kriteria minor dapat diterima jika kriteria minor tersebut tidak
berhubungan dengan kondisi medis yang lain seperti hipertensi
pulmonal, PPOK, sirosis hati, atau sindroma nefrotik. Kriteria mayor
dan minor dari Framingham untuk gagal jantung dapat dilihat pada
Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung

Kriteria Mayor:

Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea

Distensi vena leher

Rales paru

Kardiomegali

Edema paru akut

S3 gallop

Peningkatan tekanan vena jugular

Hepatojugular reflux
Kriteria Minor:

Edema pergelangan kaki bilateral

Batuk pada malam hari

Dyspnea on ordinary exertion

Hepatomegali

Efusi pleura

Takikardi 120x/menit
Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang cermat harus selalu dilakukan dalam
mengevaluasi pasien dengan gagal jantung. Tujuan pemeriksaan adalah
untuk membantu menentukan apa penyebab gagal jantung dan juga untuk
mengevaluasi beratnya sindroma gagal jantung. Memperoleh informasi
tambahan mengenai profil hemodinamik, sebagai respon terhadap terapi
dan menentukan prognosis adalah tujuan tambahan saat pemeriksaan fisik
(Borlaug, 2011).
a. Keadaan Umum dan Tanda Vital
Pada gagal jantung ringan atau sedang, pasien bisa tampak tidak
memiliki keluhan, kecuali merasa tidak nyaman saat berbaring datar
selama lebih dari beberapa menit. Pada pasien dengan gagal jantung
yang lebih berat, pasien bisa memiliki upaya nafas yang berat dan bisa

kesulitan untuk menyelesaikan kata-kata akibat sesak. Tekanan darah


sistolik bisa normal atau tinggi, tapi pada umumnya berkurang pada
gagal jantung lanjut karena fungsi LV yang sangat menurun. Tekanan
nadi bisa berkurang, dikarenakan berkurangnya stroke volume, dan
tekanan diastolik arteri bisa meningkat sebagai akibat vasokontriksi
sistemik. Sinus tachycardia adalah gejala non spesifik yang
diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang meningkat. Vasokontriksi
perifer mengakibatkan ekstrimitas perifer menjadi lebih dingin dan
sianosis dari bibir dan ujung jari juga diakibatkan oleh aktivitas
simpatis yang berlebihan (Fonseca, 2006).
b. Pemeriksaan vena jugularis
Pemeriksaan vena jugularis memberikan perkiraan tekanan pada
atrium kanan, dan secara tidak langsung tekanan pada atrium kiri.
Pemeriksaan tekanan vena jugularis dinilai terbaik saat pasien tidur
dengan kepala diangkat dengan sudut 45o. Tekanan vena jugularis
dihitung dengan satuan sentimeter H2O (normalnya kurang dari 8
cm), dengan memperkirakan tinggi kolom darah vena jugularis diatas
angulus sternalis dalam centimeter dan menambahkan 5 cm (pada
postur apapun). Pada tahap awal gagal jantung, tekanan vena jugularis
bisa normal saat istirahat, tapi dapat secara abnormal meningkat saat
diberikan tekanan yang cukup lama pada abdomen (refluk
hepatojugular positif). Giant V wave menandakan keberadaan
regurgitasi katup tricuspid (Fonseca, 2006).
c. Pemeriksaan Paru
Pulmonary Crackles (ronkhi atau krepitasi) dihasilkan oleh
transudasi cairan dari rongga intravaskular kedalam alveoli. Pada
pasien dengan edema paru, ronki dapat didengar pada kedua lapang
paru dan dapat disertai dengan wheezing ekspiratoar (asma kardiale).
Jika ditemukan pada pasien tanpa penyakit paru, ronkhi spesifik untuk
gagal jantung. Walau demikian harus ditekankan bahwa ronkhi
seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan gagal jantung kronik,
bahkan ketika pulmonary capilary wedge pressure kurang dari 20

mmHg, hal ini karena pasien sudah beradaptasi dan drainase sistem
limfatik cairan rongga alveolar sudah meningkat. Efusi pleura timbul
sebagai akibat meningkatnya tekanan sistem kapiler pleura, hasilnya
adalah transudasi cairan kedalam rongga pleura. Karena vena pada
pleura bermuara pada vena sistemik dan pulmoner, effusi pleura
paling sering terjadi pada kegagalan kedua ventrikel (biventricular
failure). Walau effusi pleura biasanya ditemukan bilateral, angka
kejadian pada rongga pleura kanan lebih sering daripada yang kiri
(Kelder, 2011).
d. Pemeriksaan Jantung
Pemeriksaan jantung, walau penting, seringkali tidak dapat
memberikan informasi yang berguna mengenai beratnya gagal
jantung. Jika terdapat kardiomegali, titik impulse maksimal (ictus
cordis) biasanya tergeser kebawah intercostal space (ICS) ke V, dan
kesamping (lateral) linea midclavicularis. Hipertrofi ventrikel kiri
yang berat mengakibatkan pulsasi prekodial (ictus) teraba lebih lama
(kuat angkat). Pemeriksaan pulsasi prekordial ini tidak cukup untuk
mengevaluasi beratnya disfungsi ventrikel kiri. Pada beberapa pasien,
bunyi jantung ketiga dapat didengar dan teraba pada apex (Kelder,
2011).
Pada pasien dengan ventrikel kanan yang membesar dan
mengalami hipertrofi dapat memiliki impulse yang kuat dan lebih
lama sepanjang sistole pada parasternal kiri (right ventricular
heave).Bunyi jantung ketiga (gallop) umum ditemukan pada pasien
dengan volume overload yang mengalami tachycardia dan tachypnea,
dan seringkali menunjukkan kompensasi hemodinamik yang berat.
Bunyi jantung keempat bukan indikator spesifik gagal jantung, tapi
biasanya ada pada pasien dengan disfungsi diastolik. Murmur
regurgitasi mitral dan trikuspid umumnya ditemukan pada pasien
dengan gagal jantung yang lanjut (Dickstein, 2008).
e. Pemeriksaan Abdomen dan Ekstremitas

Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum pada


pasien dengan gagal jantung. Jika memang ada, hati yang membesar
seringkali teraba lunak dan dapat berpulsasi saat sistol jika terdapat
regurgitasi katup trikuspid. Ascites dapat timbul sebagai akibat
transudasi karena tingginya tekanan pada vena hepatik dan sistem
vena yang berfungsi dalam drainase peritenium (Dickstein, 2008).
Jaundice dapat juga ditemukan dan merupakan tanda gagal jantung
stadium lanjut, biasanya kadar bilirubin direk dan indirek meningkat.
Ikterik pada gagal jantung diakibatkan terganggunya fungsi hepar
sekunder

akibat

kongesti

(bendungan)

hepar

dan

hipoksia

hepatoselular. Edema perifer adalah manisfestasi kardinal gagal


jantung, hal ini walau demikian tidaklah spesifik dan biasanya tidak
terdapat pada pasien yang telah mendapat diuretik. Edema perifer
pada pasien gagal jantung biasanya simetris, beratnya tergantung pada
gagal jantung yang terjadi, dan paling sering terjadi sekitar
pergelangan kaki dan daerah pretibial pada pasien yang masih
beraktivitas. Pada pasien tirah baring, edema dapat ditemukan pada
sakrum dan skrotum. Edema yang berlangsung lama dihubungkan
dengan kulit yang mengeras dan pigmentasi yang bertambah
(Dickstein, 2008).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Laboratorium yang umum dilakukan pada gagal jantung antara lain
adalah : darah rutin, urine rutin, elektrolit (Na & K), ureum &
kreatinine, SGOT/PT, dan BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus
dilakukan pada pasien dengan gagal jantung karena beberapa alasan
berikut : (1) untuk mendeteksi anemia, (2) untuk mendeteksi
gangguan elektrolit (hipokalemia dan/atau hiponatremia), (3) untuk
menilai fungsi ginjal dan hati, dan (4) untuk mengukur brain
natriuretic peptide (beratnya gangguan hemodinamik) (Borlaug,
2011).

Kandungan elektrolit biasanya normal pada gagal jantung ringansedang, namun dapat menjadi abnormal pada gagal jantung berat
ketika dosis obat ditingkatkan. Kadar serum kalsium biasanya normal,
tapi penggunaan diuretik kaliuretik seperti thiazid atau loop diuretik
dapat mengakibatkan hipokalemia. Derajat hiponatremia juga
merupakan penanda beratnya gagal jantung, hal ini dikarenakan kadar
natrium secara tidak langsung mencerminkan besarnya aktivasi sistem
renin angiotensin yang terjadi pada gagal jantung. Selain itu, rektriksi
garam bersamaan dengan terapi diuretik yang intensif dapat
mengakibatkan hiponatremia. Gangguan elektrolit lainnya termasuk
hipofasfatemia, hipomagnesemia, dan hiperurisemia (Borlaug, 2011).
Anemia

dapat

memperburuk

gagal

jantung

karena

akan

menyebabkan meningkatnya kardiak output sebagai kompensasi


memenuhi metabolisme jaringan, hal ini akan meningkatkan volume
overload miokard. Penelitian juga telah menunjukkan bahwa anemia
(kadar Hb <12 gr/dl) dialami pada 25% penderita gagal jantung
(Borlaug, 2011).
Fungsi ginjal memiliki peran penting pada progresi disfungsi
ventrikel dan gagal jantung. Penurunan pada fungsi renal, terutama
pada glomerular filtration rate (GFR), menurut NYHA adalah
prediktor mortalitas yang lebih kuat dibandingkan klasifikasi kelas
fungsional. Fungsi hepar sering ditemukan abnormal pada gagal
jantung sebagai akibat hepatomegali yang menyertai. Aspartate
aminotransferase

(AST/SGOT)

(ALT/SGPT)

dapat

memanjang,

dan

meningkat,
pada

dan

alanine

protrombin

sebagian

kecil

aminotransferase
time

kasus

(PT)
dapat

dapat
terjadi

hiperbilirubinemia. Urinalisis harus dilakukan pada semua pasien


dengan gagal jantung untuk mencari infeksi bakteri, mikroalbunuria
dan mikrohematuri. Konsentrasi dan volume urine harus mendapat
perhatian seksama terutama pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal dan yang mendapat diuretic (Borlaug, 2011).

b. Foto Thorax
Pemeriksaan Chest X-Ray (CXR) sudah lama digunakan dibidang
kardiologi, selain menilai ukuran dan bentuk jantung, struktur dan
perfusi dari paru dapat dievaluasi. Kardiomegali dapat dinilai melalui
CXR, cardiothoracic ratio (CTR) yang lebih dari 50%, atau ketika
ukuran jantung lebih besar dari setengah ukuran diameter dada, telah
menjadi parameter penting pada follow-up pasien dengan gagal
jantung. Bentuk dari jantung menurut CXR dapat dibagi menjadi
ventrikel yang mengalami pressure-overload atau volume-overload,
dilatasi dari atrium kiri dan dilatasi dari aorta asenden (Borlaug,
2011).
Pasien dengan gagal jantung akut dapat ditemukan memiliki
gambaran hipertensi pulmonal dan/atau edema paru intersitial,
sementara pasien dengan gagal jantung kronik tidak memilikinya.
Kongesti paru pada CXR ditandai dengan adanya Kerley-lines, yaitu
gambaran opak linear seperti garis pada lobus bawah paru, yang
timbul akibat meningkatnya kepadatan pada daerah interlobular
intersitial akibat adanya edema. Edema intersitial dan perivaskular
terjadi pada dasar paru karena tekanan hidrostatik di daerah tersebut
lebih tinggi. Temuan tersebut umumnya tidak ditemukan pada pasien
gagal jantung kronis, hal ini dikarenakan pada gagal jantung kronis
telah terjadi adaptasi sehingga meningkatkan kemampuan sistem
limfatik untuk membuang kelebihan cairan interstitial dan/atau paru.
Hal ini konsisten dengan temuan tidak adanya ronkhi pada
kebanyakan pasien gagal jantung kronis, walau tekanan arteri
pulmonal sudah meningkat. Keberadaan dan beratnya effusi pleura
juga merupakan informasi penting dalam evaluasi pasien dengan gagal
jantung, dan terbaik dinilai melalui CXR dan CT-scan.
c. Elektrokardiogram
Pemeriksaan elektrokardiogram (ECG) harus dilakukan untuk
setiap pasien yang dicurigai gagal jantung.1 Dampak diagnostik
elektrokardiogram (ECG) untuk gagal jantung cukup rendah, namun

dampaknya terhadap terapi cukup tinggi.1 Temuan EKG yang normal


hampir selalu menyingkirkan diagnosis gagal jantung.1 Gagal jantung
dengan perubahan EKG umum ditemukan. Temuan seperti gelombang
Q patologis, hipertrofi ventrikel kiri dengan strain, right bundle
branch block (RBBB), left bundle branch block (LBBB), AV blok,
atau perubahan pada gelombang T dapat ditemukan. Gangguan irama
jantung seperti takiaritmia supraventrikuler (SVT) dan fibrilasi atrial
(AF) juga umum. Ekstrasistole ventrikular (VES) dapat sering terjadi
dan tidak selalu menggambarkan prognosis yang buruk, sementara
takikardi ventrikular sustained dan nonsustained dapat dianggap
sebagai sesuatu yang membahayakan. Jenis aritmia seperti ini
biasanya tidak terdeteksi pada resting ECG tapi dapat terdeteksi pada
monitoring holter 24- atau 48- jam (Borlaug, 2011).
d. Echocardiography
Pemeriksaan echo saat ini telah menjadi metode diagnostik umum
digunakan untuk menilai anatomi dan fungsi jantung, myokardium
dan perikadium, dan mengevaluasi gerakan regional dinding jantung
saat istirahat dan saat diberikan stress farmakologis pada gagal
jantung. Pemeriksaan ini non-invasif, dapat dilakukan secara cepat di
tempat rawat, dapat dengan mudah diulang secara serial, dan
memungkinkan penilaian fungsi global dan regional ventrikel kiri.
Pada penilaian gagal jantung echocardiography adalah metode
diagnostik yang dapat dipercaya, dapat diulang, dan aman dengan
banyak fitur seperti doppler echo, doppler tissue imaging, strain rate
imaging, dan cardiac motion analysis (Borlaug, 2011).
Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung adalah
penilaian

Left-ventricular

ejection

fraction

(LVEF),

beratnya

remodelling ventrikel kiri, dan perubahan pada fungsi diastolik.14


Echo dua dimensi sangat berharga dalam menilai fungsi sistolik dan
diastolik pada pasien dengan gagal jantung (Borlaug, 2011).

F. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan


secara non farmakologis dan secara farmakologis. Penatalaksanaan gagal
jantung baik akut maupun kronik ditujukan untuk mengurangi gejala dan
memperbaiki prognosis, meskipun penatalaksanaan secara individual
tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi.
Terapi :
a.

Non Farmakalogi :
- Anjuran umum :
Terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan.
Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan
seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih

bisa dilakukan.
Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.
Tindakan Umum :
Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung
ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada
gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.
Hentikan rokok
Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang
lainnya.
Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30
menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan
beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan
dan sedang).
Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut.

b.

Farmakologi
Terapi farmakologik terdiri atas ; panghambat ACE, Antagonis
Angiotensin II, diuretik, Antagonis aldosteron, -blocker, vasodilator lain,
digoksin, obat inotropik lain, anti-trombotik, dan anti-aritmia.
1) Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan
paling sedikit diuretik reguler dosis rendah. Permulaan dapat
digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila respon tidak cukup baik,
dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik intravena, atau
kombinasi loop diuretik dengan tiazid. Diuretik hemat kalium,
spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi

mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas
fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik.
2) Penghambat
ACE
bermanfaat
untuk
menekan

aktivitas

neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi


sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan dosis rendah,
dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif.
3) Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian
dimulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu
dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya diberikan bila
keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas fungsional II dan III.
Penyekat Beta yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau metaprolol.
Biasa digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE dan
diuretik.
4) Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada intoleransi
terhadap ACE ihibitor.
5) Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung
disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi
atrial, digunakan bersama-sama diuretik, ACE inhibitor, beta blocker.
6) Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk
pencegahan emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial
dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan
pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat emboli, trombosis
dan Trancient Ischemic Attacks, trombus intrakardiak dan aneurisma
ventrikel.
7) Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik
atau aritmia ventrikel yang menetap. Antiaritmia klas I harus dihindari
kecuali pada aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia klas III
terutama amiodaron dapat digunakan untuk terapi aritmia atrial dan
tidak digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak dapat digunakan
untuk mencegah kematian mendadak.
8) Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis
untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal jantung.
Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 2
l/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring
jangka pendek dapat membantu perbaikan gejala karena mengurangi

metabolisme serta meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian heparin


subkutan perlu diberikan pada penderita dengan imobilitas. Pemberian
antikoagulan diberikan pada penderita dengan fibrilasi atrium, gangguan
fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel.

BAB IV
KESIMPULAN

1.

Diagnosis pasien Tn. AD, usia 78 tahun adalah Congestif Heart Failure.

2.

Penegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang.

3.

Prognosis pasien pada kasus ini adalah:


Ad fungsional
Ad vitam

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam

Ad sanationam

: dubia ad bonam

DAFTAR PUSTAKA
Borlaug BA, Paulus WJ. Heart failure with preserved ejection fraction:
pathophysiology, diagnosis, and treatment. Eur Heart J 2011;32:670679.
Brainwauld, E. (2009). Heart Failure and cor pulmonale. Dalam H. L. Kasper,
Horrison's Principal Internal Medicine (hal. 216-230). New York:
McGrewHill.
Craig R, Mindell J. Survei Kesehatan untuk Inggris, 2006. Volume 1, Penyakit
kardiovaskular dan faktor risiko pada orang dewasa. Tersedia di
http://www.ic.nhs.uk/pubs/hse06cvdandriskfactors [diakses 14/07/2010].
Dickstein K, Cohen-Solal A, Filippatos G, McMurray JJ, Ponikowski P, PooleESC guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure 2008: the Task Force for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2008 of the European Society of Cardiology. Developed
in collaboration with the Heart Failure Association of the ESC (HFA) and
endorsed by the European Society of Intensive Care Medicine (ESICM). Eur
J Heart Fail 2008; 10:933989.

Donald; Mercedes; Bruce; Todd. (2010). Heart Disease. AIHA , 165, 121-128.
Fonseca C. Diagnosis of heart failure in primary care. Heart Fail Rev 2006;11:95
107.
Hauser K, Longo B, Jameson F. 2005. Harrisons principle of internal medicine.
Ed XVI.
Kelder JC, Cramer MJ, van Wijngaarden J, van Tooren R, Mosterd A, Moons KG,
Lammers JW, Cowie MR, Grobbee DE, Hoes AW. The diagnostic value of
physical examination and additional testing in primary care patients with
suspected heart failure. Circulation 2011;124:28652873.
McMurray, J. J. (2002). Systolic Heart Failure. NEJM , 362, 228-228.
P R Marantz et al. 2012. The relationship between left ventricular systolic
function and congestive heart failure diagnosed by clinical criteria.
Circulation Journal Of The American Heart Association. Available from :
http://circ.ahajournals.org
Sudoyo A W dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III ed.IV, Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta

You might also like