You are on page 1of 47

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya (Smeltzer, 2001).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa/ trauma. Trauma yang
menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung, misalnya benturan
pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna, dan dapat
berupa trauma tidak langsung misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang
menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah, (Sjamsuhidayat &
Wim De Jong, l 998).
Fraktur Tibia adalah fraktur yang terjadi pada bagian tibia sebelah kanan
maupun kiri akibat pukulan benda keras atau jatuh yang bertumpu pada kaki.
Fraktur ini sering terjadi pada anak- anak dan wanita lanjut usia dengan tulang
osteoporosis dan tulang lemah yang tak mampu menahan energi akibat jatuh
atau benturan benda keras (Henderson, 1998).
Fraktur tibia (Fraktur Colles) adalah fraktur yang terjadi pada bagian tibia
sebelah kanan akibat jatuh yang bertumpu pada tangan dorsifleksi terbuka.
Fraktur ini sering terjadi pada anak- anak dan wanita lanjut usia dengan tulang
osteoporesis dan tulang lemah yang tak mampu menahan energi akibat jatuh,
(Oswari, 1995).
Negara Indonesia merupakan negara berkembang yang berada dalam taraf
halusinasi menuju industrialisasi tentunya akan mempengaruhi peningkatan
mobilisasi masyarakat /mobilitas masyarakat yang meningkat otomatisasi
terjadi peningkatan penggunaan alat-alat transportasi /kendaraan bermotor
khususnya bagi masyarakat yang tinggal diperkotaan. Sehingga menambah
kesemrawutan arus lalu lintas. Arus lalu lintas yang tidak teratur dapat
meningkatkan kecenderungan terjadinya kecelakaan kendaraan bermotor.
Kecelakaan tersebut sering kali menyebabkan cidera tulang atau disebut
fraktur.
Menurut Smeltzer (2001 : 2357) fraktur adalah terputusnya kontinuitas
tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.

Berdasarkan data dari rekam medik RS Fatmawati di ruang Orthopedi


periode Januari 2005 s/d Juli 2005 berjumlah 323 yang mengalami gangguan
muskuloskletel, termasuk yang mengalami fraktur Tibia Fibula berjumlah 31
orang (5,59%).
Penanganan segera pada klien yang dicurigai terjadinya fraktur adalah
dengan mengimobilisasi bagian fraktur adalah salah satu metode mobilisasi
fraktur adalah fiksasi Interna melalui operasi Orif (Smeltzer, 2001 : 2361).
Penanganan tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Komplikasi umumnya oleh akibat tiga fraktur utama yaitu penekanan lokal,
traksi yang berlebihan dan infeksi (Rasjad, 1998 : 363).
1.2.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas , maka kita dapat merumuskan masalah
sebagai berikut : Bagaimana penerapan asuhan keperawatan perioperatif
pada klien dengan fraktur tibia .

1.3.
Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Agar penulis dapat menerapkan asuhan keperawatan perioperatif
pada klien yang menderita fraktur tibia dengan menggunakan pendekatkan
proses keperawatan secara benar, tepat, dan sesuai dengan standar
keperawatan profesional.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian pada klien yang mengalami fraktur
tibia
b. Mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada penderita fraktur
tibia
c. Intervensikan asuhan keperawatan pada klien yang mengalami fraktur
tibia
d. Implementasikan asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur tibia
e. Mengevaluasi hasil asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur
tibia.
1.4 Metode Penulisan
Dalam penulisan laporan ini, penulis menggunakan metode :
1. Deskriptif
1) Studi kasus, yang meliputi observasi, partsipasi dengan cara melakukan
pengamatan secara langsung dan tidak langsung kepada klien dengan

cara wawancara dengan keluarga, melihat catatan medis, melihat catatan


keperawatan dan informasi dari rekan satu profesi maupun dari tim lain.
2) Studi dokumentasi yaitu menggunakan format pengkajian untuk
melakukan pemeriksaan.
2. Studi literatur yaitu dengan membaca dan mempelajari buku kepustakaan
yang berkaitan dengan fraktur tibia untuk mendapatkan dasar-dasar ilmiah
yang berhubungan dengan isi laporan ini.
.5 Ruang Lingkup
Dalam penulisan

laporan

ini,

penulis

membatasi

pada Asuhan

Keperawatan perioperatif pada Tn.R dengan diagnosa Neglected Closed # Of


The Left Sheft Tibia di IBS RSAU DR.M SALAMUN.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
.1. Konsep Dasar
.1.1
Pengertian
Fraktur tibia(Fraktur Colles) adalah fraktur yang terjadi pada bagian tibia
sebelah kanan akibat jatuh yang bertumpu pada tangan dorsifleksi terbuka.
Fraktur ini sering terjadi pada anak- anak dan wanita lanjut usia dengan tulang
osteoporesis dan tulang lemah yang tak mampu menahan energi akibat jatuh,
(Oswari, 1995)
Fraktur tibia adalah terjadinya trauma, akibat pukulan langsung jatuh
dengan kaki dalam posisi fleksi atau gerakan memuntir yang keras ( Brunner
and suddart th 2000 hal 2386 ).

Fraktur tibia dan fibula adalah trauma dari kebanyakan organ ekstrimitas
bawah, terutama fraktur dan kedua tibia dan fibula ( Joys M. Black, tahun
1997).
Anatomi dan Fisiologi
Tulang tibia merupakan tulang besar dan utama pada tungkai bawah. Ia

.1.2

mempunyai kondilus besar tempat berartikulasi. Pada sisi depan tulang hanya
terbungkus kulit dan periosteum yang sangat nyeri jika terbentur. Pada
pangkal proksimal berartikulasi dengan tulang femur pada sendi lutut. Bagian
distal berbentuk agak pipih untuk berartikulasi dengan tulang tarsal. Pada tepi
luar terdapat perlekatan dengan tulang fibula.
Pada ujung medial terdapat maleolus medialis. Tulang fibula merupakan
tulang panjang dan kecil dengan kepala tumpul tulang fibula tidak
berartikulasi dengan tulang femur ( tidak ikut sendi lutut ) pada ujung
distalnya terdapat maleolus lateralis.
Tulang tibia bersama-sama dengan otot-otot yang ada di sekitarnya
berfungsi menyangga seluruh tubuh dari paha ke atas, mengatur pergerakan
untuk menjaga keseimbangan tubuh pada saat berdiri.
Dan beraktivitas lain disamping itu tulang tibia juga merupakan tempat
deposit mineral ( kalsium, fosfor dan hematopoisis). Fungsi tulang adalah
sebagai berikut, yaitu :
a. Menahan jaringan tubuh dan memberi bentuk kepada kerangka tubuh
b. Melindungi organ-organ tubuh ( contoh, tengkorak melindungi otak )
c. Untuk pergerakan ( otot melekat kepada tulang untuk berkontraksi dan
bergerak.
d. Merupakan gudang untuk menyimpan mineral ( contoh, kalsium )
e. Hematopoeisis ( tempat pembuatan sel darah merah dalam sum-sum
tulang )
Etiologi
Penyebab fraktur secara umum disebabkan karena pukulan secara

.1.3

langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot
eksterm (Suddart, 2002).
Sedangkan menurut Henderson, (1989) fraktur yang paling sering adalah
pergerseran condilius lateralis tibia yang disebabkan oleh pukulan yang
membengkokkan sendi lutut dan merobek ligamentum medialis sendi tersebut.
Penyebab terjadinya fraktur yang diketahui adalah sebagai berikut :
1. Trauma langsung ( direct )

Fraktur yang disebabkan oleh adanya benturan langsung pada jaringan


tulang seperti pada kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan
benturan benda keras oleh kekuatan langsung.
2. Trauma tidak langsung ( indirect )
Fraktur yang bukan disebabkan oleh benturan langsung, tapi lebih
disebabkan oleh adanya beban yang berlebihan pada jaringan tulang atau
otot , contohnya seperti pada olahragawan atau pesenam yang
menggunakan hanya satu tangannya untuk menumpu beban badannya.
3. Trauma pathologis
Fraktur yang disebabkan oleh proses penyakit seperti osteomielitis,
osteosarkoma, osteomalacia, cushing syndrome, komplikasi kortison /
ACTH,

osteogenesis

imperfecta

(gangguan

congenital

yang

mempengaruhi pembentukan osteoblast). Terjadi karena struktur tulang


yang lemah dan mudah patah.
a. Osteoporosis terjadi karena kecepatan reabsobsi tulang melebihi
kecepatan pembentukan tulang, sehingga akibatnya tulang menjadi
keropos dan rapuh dan dapat mengalami patah tulang.
b. Osteomilitis merupakan infeksi tulang dan sum-sum tulang yang
disebabkan oleh bakteri piogen dimana mikroorganisme berasal dari
fokus ditempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah.
c. Ostheoartritis itu disebabkan oleh rusak atau menipisnya bantalan sendi
.1.4

dan tulang rawan (Muttaqin, 2008).


Patofisiologi
Terjadinya trauma yang mengakibatkan fraktur akan dapat merusak
jaringan lunak disekitar fraktur mulai dari otot fascia, kulit sampai struktur
neuromuskuler atau organ- organ penting lainnya, pada saat kejadian
kerusakan terjadilah respon peradangan dengan pembentukan gumpulan atau
bekuan fibrin , osteoblas mulai muncul dengan jumlah yang besar untuk
membentuk suatu metrix baru antara Fragmen- fragmen tulang. Klasifikasi
terjadinya fraktur dapat dibedakan yang terdiri dari fraktur tertutup dan fraktur
terbuka, fraktur tertutup yaitu tidak ada luka yang menghubungkan fraktur
dengan kulit, fraktur terbuka yaitu terdapat luka yang menghubungkan luka
dengan kulit,(Suriadi & Rita yuliani, 1995).
Setelah terjadinya fraktur periosteum tulang terkelupas dari tulang dan
terobek terus kesisi berlawanan dari sisi yang mendapat truma, akibatnya
darah keluar melalui celah- celah periosteum dan ke otot disekitarnya dan
5

disertai dengan oedema, selain keluar melalui celah periosteum yang rusak,
darah juga keluar akibat terputusnya pembuluh darah didaerah terjadinya
fraktur.
Infiltrasi dan pembengkakan segera terjadi dan bertambah selam 24 jam
pertama, menjelang akhir periode ini otot menjadi hilang elastisitasya, oleh
karena itu reposisi lebih mudah dilakukan selama beberapa jam setelah cedera,
setelah dilakukan reposisi atau immobilitas maka pertumbuhan atau penyatuan
tulang dimulai dengan pembentukan kallus, (Sjamsuhidajat & wim de jong,
1998).
.1.5
Tanda dan Gejala
a. Nyeri sedang sampai hebat dan bertambah berat saat digerakkan.
b. Hilangnya fungsi pada daerah fraktur.
c. Edema/bengkak dan perubahan warna local pada kulit akibat trauma yang
mengikuti fraktur.
d. Deformitas/kelainan bentuk.
e. Rigiditas tulang.
f. Krepitasi saat ekstremitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik
tulang akibat gesekan fragmen satu dengan yang lain.
g. Syok yang disebabkan luka dan kehilangan darah dalam jumlah banyak
Manisfestasi Klinis
Menurut Brunner dan Suddart (2002; 2358) Manifestasi klinis fraktur

.1.6

adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstermitas, krepitus,


pembengkakan lokal, dan perubahan warna.
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untum meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap
rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau
6

tungkai menyebabkan deformitas (terliahat maupun teraba) ekstermitas


yang bisa diketahui dengan membandingkan ekstermitas yang normal.
Ekstermitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
c. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur.
Fragmen sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5-5cm (1-2
inchi).
d. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. Uji kreptus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
yang lebih berat.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagi
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru
terjadi setelah beberapa jam atau cedera.
Komplikasi Fraktur Tibia
a. Komplikasi awal
Komplikasi awal dapat terjadi syok hipovolemik atau traumatik

.1.7

yang terjadi karena perdarahan dan kehilangan cairan ekstra sel kejaringan
yang rusak, sindrome emboli lemak (terjadi dalam 24 sampai 72 jam
setelah cedera), dan sindrom kompartemen terjadi karena perfusi jaringan
dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan
komplikasi awal lain adalah infeksi, tromboemboli(emboli paru ),yang
dapat menyebabkan kematian beberapa minggu setelah cedera dan
koagulopati Intravaskuler Desiminata (KID).
b. Komplikasi lanjut
Delayed union( proses penyembuhan yang berjalan lambat)Adalah fraktur
yang tidak sembuh setelah selang waktu 3-5 bulan untuk anggota gerak
atas dan 5 bulan untuk anggota gerak bawah. Hal ini juga merupakan
kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan
tulang untuk menyambung. Hal ini terjadi karena suplai darah ke tulang
menurun.
Non-union (suatu kegagalan penyembuhan tulang setelah 6-9 bulan)
adalah fraktur yang tidak sembuh antara 6-8 bulan dan tidak didapatkan
konsilidasi sehingga terdapat sendi palsu.

Mal-union (proses penyembuhan tulang berjalan normal tetapi bentuk


abnormal )adalah keadaan ketika fraktur menyembuh pada saatnya, tetapi
terdapat deformitas yang berbentuk anggulasi, vagus atau valgus, rotasi,
pemendekan.
.1.8

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur trauma
b. Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan fraktur, juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d. Hitung daerah lengkap : HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi )
atau menurun ( pendarahan sel darah putih adalah respon stress normal
setelah trauma).
e. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien
ginjal.(Doenges, 2000 : 762 )
Penatalaksanaan Medis
Menurut Price, Sylvia Anderson, alih bahasa Peter Anugerah, (1994:1187),

.1.9

empat konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani


fraktur :
a. Rekognisi, menangani diagnosis pada tempat kejadian kecelakaan dan
kemudian dibawa ke rumah sakit.
b. Reduksi, reposisi fragmen-fragmen fraktur semirip mungkin dengan
keadaan letak normal, usaha-usaha tindakan manipulasi fragmen-fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak asalnya.
c. Retensi, menyatakan metoda-metoda yang dilaksanakan untuk menahan
fragmen-fragmen tersebut selama penyembuhan.
d. Rehabilitasi, dimulai segera setelah dan sesudah dilakukan bersamaan
pengobatan fraktur, untuk menghindari atropi otot dan kontraktur sendi.
Penatalaksanaan medis pada fraktur tibia.
1.
a.
b.
c.

Pada fraktur tibia fibula tertutup


Imobilisasi dengan gips sepanjang tungkai, gips digunakan 3-4 mg.
Reduksi tertutup, bila sulit pasang pin perkutaneos dan fiksasi eksterna.
Kurangi aktivitas untuk mengurangi edema dan meningkatkan peredaran
darah.

2. Pada fraktur tibia fibula terbuka

a. Fiksasi interna dengan plat, nail


b. Fiksasi eksterna
c. Dipasang traksi skeletal selama 4-6 minggu.
.2 Pemilihan Tindakan anestesi umum
.2.1

Pengertian Anestesi umum


Anestesi umum (General Anesthesia) disebut pula dengan nama Narkose
Umum (NU). Anastesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara
sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum
yang sempurna menghasilkan ketidak sadaran, analgesia, relaxasi otot tanpa
menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien.

.2.2

Anestesi umum dengan Face mask


Menggunakan teknik TIVA(Total Intra Venous Anaesthesia) atau induksi
intravena dan maintenance inhalasi. Anestesi umum dengan face mask biasa
dikena dengan sungkup muka . penggunaan teknik ini pada pasien yang tidak
memiliki gangguan atau kelainan jalan nafas karena teknik ini menggunakan
inhalasi sehingga harus menguasai jalan nafas pasien. Penggunaan face mask
dapat memfasilitasi oksigen dan gas anestesi dari sistm breathing ke pasien.
Face mask bisa digunakan retaining hook untuk mengaitkan head scrap
sehingga face mask tidak perlu terus dipegang.
Hal-hal yang harus diperhatikan adalah :

a. Jalan nafas
Harus selalu mengontrol jalan napas karena kemungkinan ada
obstruksi akibat saliva atau terjadi aspirasi
b. Resiko aspirasi

Kemungkinan terjadi aspirasi akibat hiperventilasi . pemberian


ventilasi harus sesuai dengan volume tidal pasien . aspirasi dapat
menyebabkan pnemonisa dan hipoksia.
c. Penekanaan pada daerah mata
Penggunaan face mask dapat menyebabkan penekanan pada daerah
mata sehingga kemungkinan cedera mata dapat terjadi . hal ini perlu
diperhatikan dengan pemberian kasa basah pada daerah mata untuk
mengurangi resiko cedera mata.
d. Pemeliharaan anestesi yang adekuat untuk mencegah pasien bangun intra
operasi
Untuk kasus ruptur tendon bisa menggunakan anetesi umum
dengan face mask jika lokasi ruftur tendon kurang daro 30%.
.2.3

Anestesi Umum dengan LMA (Laringeal Mask Airway )


LMA bisa menggantikan ETT dan face mask. Pemilihan ukuran LMA
sesuai dengan berat badab pasien
Ukuran LMA

Ukuran LMA
1
2
21/2
3
4
5
Dikutip dari edward morgan,2007

Pasien
Infant
Child
Child
Small adult
Normal adult
Large adult

Adapun kontra indikasi penggunaan LMA adalah


a.
b.
c.
d.

Kelainan faring (abses)


Sumbatan faring
Lambung penuh (pasien puasa kurang)
Complinance paru-paru kurang

10

Berat Badan (Kg)


<6,5
6,5-20
20-30
30
<70
>70

Komplikasi penggunaan LMA adalah


a. Distensi lambung
Hal ini dapat terjadi akibat hiperventilasi karena penempatan LMA
tepat diatas trachea dan esofagus kemungkinan besar udara lebih banyak
masuk ke lambung.
b. Regurgitasi
Kemungkinan terjadi reguritasi akibat hiperventilasi, sehingga
pemberian ventilasi harus sesuai dengan tidal volume pasien. Untuk kasus
ruftur tendon penggunaan teknik anestesi semacam ini sering digunakan .
.2.4
Anestesi umum dengan intubasi
Anestesi umum dengan intubasi yaitu dengan memasukan ETT atau pipa jalan
nafas langsung ke trachea tepat diatas karina (percabangan bronkus). Intubasi
digunakan dengan TIVA dan maintanance inhalasi. Ukuran ETT dipilih sesuai
dengan umur dan berat badan pasien.adapunrumus menetukan ukuran ETT
4+ n
4

(n adalah umur dalam tahun).

Dibawah ini adalah nomer ETT king king dan non king king
King-king
2,5

Non king-king
12

14

3,5

16

18

4,5

20

22

5,5

24

26

6,5

28

30

7,5

32

8
34
Indikasi penggunaan ETT adalah :
a. Operasi lama
b. Operasi yg memerlukan relaksasi
c. Operasi pada pasien yg puasanya kurang
d. Operasi pada daerah wajah, mulut, leher
e. Operasi dengan posisi miring, telungkup dll ETT Non King-king

11

f. Pasien dengan resiko aspirasi


g. Gagal nafas
.2.5

Obat Anestesi umum


.2.5.1
Obat Anestesi Intravena
Pemakaian obat anestetik intravena, dilakukan untuk : induksi
anesthesia,

induksi

dan

pemeliharaan

anesthesia

bedah

singkat,

suplementasi hypnosis pada anesthesia atau tambahan pada anelgesia


regional dan sedasi pada beberapa tindakan medik atau untuk membantu
prosedur diagnostik misalnya tiopental, ketamin dan propofol. Keuntungan
anestesi intravena lebih dapat diterima pasien, kurang perasaan
klaustrofobik (perasaan akan-akan wajah ditutupi topeng), tahap tidak
sadar yang lebih cepat dan lebih menyenangkan bagi ahli anestesi. Oleh
karena itu, agen intravena dapat digunakan sendiri untuk menimbulkan
anestesi
1. Hipnotik sedatif
Penggunaan obat hipnotik sedatif memberikan sensasi tidur pada pasien.
Bekerja dengan GABA(gamma amino butyric acid) neurotransmitter
utama pada siste syaraf pusat. Ada beberapa golongan obat hipnotik sedatif
antara lain
1) Propofol
Dosis 2-2,5 mg/kgBB , Propofol dikemas dalam cairan emulsi
lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1
ml=10 mg). Onset cepat, lama kerja pendek. Efek kerja dicapai dalam
15-45 detik. Efek puncak 1 menit, lama aksi 5-10 menit. Akumulasi
minimal, cepat dimetabolisme, pemulihan cepat. Efek anti emetik positif.
Mekanisme kerja diduga menghasilkan efek sedatif hipnotik melalui
interaksi dengan GABA (gamma-amino butyric acid), neurotransmitter
inhibitori utama pada SSP.
2) Ketamin
Dosis induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk intramuskular
3-10 mg. Efek analgesik dicapai dengan dosis sub anestetik 0,2-0,5
mg/kg IV. Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1 ml=
10mg), 5% (1 ml = 50 mg) dan 10% (1 ml = 100 mg). Mula kerja 30
detik pada IV, 2-4 menit pada IM. Lama kerja pada IV 10-20 menit,

12

tetapi memerlukan waktu 60-90 menit untuk berorientasi penuh. Waktu


paruh 7-11 menit
Ketamin meningkatkan tekanan darah sistolik 23% dari baseline,
denyut jantung meningkat, kadang-kadang timbul aritmia, serta
menimbulkan

hipersekresi.

Efek

samping

sering

menimbulkan

takikardia, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat


menimbulkan mual muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk.
3) Diazepam
Dosis premedikasi 10-20 mg IM, induksi 0,3-0,6 mg/kgBB IV.
Anak-anak 0,1-0,2 mg/kgBB 1 jam sebelum induksi. Dewasa dan remaja
2-20 mg/kg IM/IV tergantung indikasi dan beratnya gejala. Kemasan
suntik 5 mg/ml. Injeksi dilakukan secara lambat 0,5-1 ml/menit
Adalah obat yang berkhasiat ansiolitik, sedatif, relaksasi otot,
antikonvulsi dan amnesia. Menembus sawar darah otak dan sawar
plasenta serta ditemukan dalam ASI. efek anestesi diazepam kurang
memuaskan karena mula kerjanya lambat dan masa pemulihannya lama.
Kontraindikasi pemberian obat terhadap pasien dengan hipersensitivitas,
insufisiensi pulmonal akut, depresi nafas, keadaan phobia atau obsesi,
psikosis kronis, glaukoma sudut sempit akut dan lebar

2. Analgetik
1) Morfin
Terhadap Sistem Saraf Pusat, mempunyai dua sifat yaitu depresi
dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesi, sedasi, perubahan
emosi, hipoventilasi alveolar stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis,
miosis, mual-muntah, hiperaktif reflex spinal, konvulsi, dan sekresi
hormone antidiuretik (ADH).
Terhadap Sistem Jantung-Sirkulasi dosis besar merangsang vagus
dan beralkibat bradikardi, walaupun tidak mendepresi miokardium. Dosis
terapetik pada dewasa sehat normal tidur terlentang hamper tidak
mengganggu sistem jantung-sirkulasi. Morfin menyebabkan hipotensi
ortostatik.

13

Terhadap Sistem Respirasi harus hati-hati, karena morfin dapat


melepaskan histamine, sehingga menyababkan konstriksi bronkus. Oleh
sebab itu di indikasi-kontrakan pada kasus asma dan bronchitis kronis.
Terhadap Sistem Saluran Cerna morfin mrnyababkan kejang otot usus,
sehingga terjadi konstipasi. Kejang sfingter Oddi pada empedu
menyebabkan kolik, sehingga tidak dianjurkan digunakan pada gangguan
empedu. Kolik empedu menyerupai serangan jantung, sehingga untuk
membedakannya diberikan antagonis opioid.
Terhadap Sistem Ekskresi Ginjal, morfin dapat menyebabkan
kejang sfingter buli-buli yang berakibat retensio urin.
2) Petidin
Petidin bersifat seperti atropine menyebabkan kekeringan mulut,
kekaburan pandangan dan takikardia. Petidin cukup efektif untuk
menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tak ada hubungannya dengan
hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada dewasa. Morfin tidak. Lama
kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.
Dosis petidin intramuscular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih kuat)
dapat diulang tiap 3-4 jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin
subkutan tidak dianjurkan karena iritasi. Rumus bangun menyerupai
lidokain, sehingga dapat digunakan untuk analgesia spinal pada
pembedahan dengan dosis 1-2 mg/kg BB.
3) Fentanil
Dosis besar 50-15- ug/kgBB digunakan untuk induksi anesthesia
dan pemeliharaan anesthesia dengan kombinasi bensodiasepin dan
anestetik kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan
pelumpuh otot.
Efek depresi napasnya lebih lama disbanding efek analgesinya.
Dosis 1-3 ug/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit,
karena itu hanya dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk
pasca bedah.
Ringkasan Efek Obat Anestesi Nonvolatile
Obat
Barbiturat
Thiopental

Jantung
HR
MAP

Respirasi
Vent.drv Br.Dil

14

CBF

Otak
CMRO2

ICP

Thiamylal
Methohexital
Benzodiazepi

0`

n
Diazepam
0
0/

Lorazepam
0
0/

Midazolam
0

Opioid
Meperidin
*
*

Morfin
*
*

Fentanyl
0

Sufentanil
0

Alfentanil
0

Remifentanil
0

Ketamin

Etomidat
0
0

Propofol
0
0

Droperidol
0
0

*
: efeknya tergantung dari besarnya pelepasan histamin
0

: tidak ada perubahan

0/ : tidak ada perubahan ataupun terjadi perubahan ringan

: menurun (sedikit, sedang , banyak)

: meningkat (sedikit, sedang, banyak)

3. Muscle relaxant
Obat pelumpuh otot yang berfungsi untuk memberikan relaksasi pada otot.
Ada beberapa pilihan untuk obat pelumpuh otot.
Table 91. Depolarizing and Nondepolarizing Muscle Relaxants.
Depolarizing
Nondepolarizing
Short-acting
Short-acting
Succinylcholine
Mivacurium
Intermediate-acting
Atracurium (Tramus, Notrixum)
Cicatracurium
Vecuronium (Norcuron)
Rocuronium (Esmeron, Roculax)
Long-acting
Doxacurium
Pancuronium
Pipecurium
15

Clinical Characteristics of Nondepolarizing Muscle Relaxants.


Drug

ED95

Intub

Onset

Duratio

for

ation

of

n of

ance

nce

Adduc

Dose

Action

Intubati

Dosing

Dosing

tor

(mg/k

for

ng Dose

by

by

Pollicis

g)

Intubat

(min)

Boluses

Infusion (

(mg/kg)

g/kg/min

During

ing

N2/O2

Dose

Anesth

(min)

Mainten Maintena

esia
(mg/kg
)
Succinylcholi

0.5

1.0

ne
Rocuronium
0.3
0.8
Mivacurium
0.08
0.2
Atracurium
0.2
0.5
Cisatracurium
0.05
0.2
Vecuronium
0.05
0.12
Pancuronium
0.07
0.12
Pipecuronium
0.05
0.1
Doxacurium
0.025
0.07
1) Golongan depolarisasi
Sucsinil colin merupakan

0.5

510

0.15

215

1.5
2.53.0
2.53.0
2.03.0
2.03.0
2.03.0
2.03.0
4.05.0

3575
1520
3045
4075
4590
60120
80120
90150

0.15
0.05
0.1
0.02
0.01
0.01
0.01
0.05

mg/min
912
415
512
12
12

obat golongan depolarisasi dimana transmisi

jaringan saraf ke otot terjadi pada neuro muscular junction atau hubungan
saraf otot melalui mediator neuromuscular asethilkolin. Kerja sucsinil
colin cepat dan durasinya cepat . dosisnya 1-2 mg/kgBB . efek
sampingnya menyebabkan fasikulasi, bradikardi dan pemajangan efek.

16

2) Golongan non depolarisasi


a. Artacurium
Dosis 0,5-0,6 mg/kgBB . onset 2-3 menit durasi 15-35 menit . efek
samping menyebabkan pelepasan histamin release.
b. Recuronium
Dosis 0,6-1,0 mg/kgBB . onsetnya 3-5 menit durasi 15-35 menit. Obat
ini memiliki efek samping yang minimal sehingga menjadi pilihan
yang baik.
c. Pancuronium
Dosis 0,15 mg/kgBB onset 2-3 menit durasi 30-45 menit . efek
samping hipertensi dan tackhikardi
.2.5.2 Obat anestesi inhalasi
Merupakan obat anestesi umum berupa cairan atau gas yang
mudah menguap diberikan melalui pernafasan pasien.
Properties of Modern Inhalation Anesthetics
Agent

Structure

MAC

Vapor Pressure (mm Hg

%1

at 20C)

Nitrous oxide

105

Halothane

0.75

243

1.2

240

6.0

681

2.0

160

(Fluothane)
Isoflurane
(Forane)
Desflurane
(Suprane)
Sevoflurane
(Ultane)

1) Halotan

17

Merupakan turunan etran, berbau enak dan tak merangsang jalan


nafas. Halotan harus disimpan dalam botol gelap (coklat tua) supaya tidak
dirusak oleh cahaya dan diawetkan oleh timol 0,01%. Selain untuk induksi
dapat juga untuk laringoskopi intubasi. MAC 0,75 volume %. Efeknya
depresi sistemik
2) N2O
N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak
iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Zat ini dikemas
dalam bentuk cair, dalam silinder warna biru 9000 liter atau 1800 liter
dengan tekanan 750 psi atau 50 atm. Pemberian anestesia dengan N 2O
harus disertai O2 minimal 25%.
Gas ini bersifat anestesi lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga
sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Jarang
digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu cairan anestetik
lain. Pada akhir anestesia setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat
keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pegenceran O2 dan terjadilah
hipoksia difusi. Untuk menghindarinya, berikan O2 100% selama 5-10
menit
3) Enfluran
Merupakan halogenasi eter dan cepat poluer setelah ada kecurigaan
gangguan fungsi hepar setelah pengunaan ulang oleh halotan. Pada EEG
menunjukkan

tanda-tanda

epileptik,

apalagi

disertai

hipokapnia.

Kombinasi dengan adrenalin lebih aman 3 kali dibanding halotan. Di


metabolisme hanya 2-8% oleh hepar menjadi produk non volatil yang
dikeluarkan lewat urin. Sisanya dikeluarkan lewat paru dalam bentuk asli.
Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan halotan. Efek depresi
nafas lebih kuat, depresi terhadap sirkulasi lebih kuat, dan lebih iritatif
dibandingkan halotan, tetapi jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi
terhadap otot lurik lebih baik dibandingkan halotan MAC 1,6 volume %
4) Isofluran
Dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi
meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal ini

18

dapat dikurangi dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga banyak


digunakan untuk bedah otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga
digemari untuk anesthesia teknik hipotensi dan banyak digunakan pada
pasien dengan gangguan koroner. Isofluran dengan konsentrasi > 1%
terhadap uterus hamil menyebabkan relaksasi dan kurang responsive jika
diantisipasi dengan oksitosin, sehingga dapat menyebabkan perdarahan
pasca persalinan. Dosis pelumpuh otot dapat dikurangi sampai 1/3 dosis
biasa jika menggunakan isofluran. MAC 1,2 volume %
5) Sevofluran
Merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih
cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak
merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia
inhalasi di samping halotan. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil,
jarang menyebbakan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat sama seperti
isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian
dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Belum ada laporan
yang membahayakan terhadap tubuh manusia. MAC 2,0 volume %.
6) Desfluran
Mempunyai efek yang sama dengan isofluran . MAC 6,0 voluem %.
N2O

Tekanan darah
Laju nadi

TB
TB

Tahanan vascular
Curah jantung

TB
TB

Halot

Enflura

an
n
Kardiovaskular

TB

Isoflura

Desflura

Sevoflur

an

TB atau

TB

TB

TB atau

Volum tidal
Laju napas
PaCO2 Istirahat
Challenge
Serebral
Aliran darah
Tekanan Intrakranial

Respirasi

TB

19

Laju metabolism
Seizure

0.2%

<0.1%

Blokade
Pelumpuh otot non
depolarisasi
Aliran darah
Laju
filtrasi

Ginjal

glomerulus
Output urin

0.004

Aliran darah
Metabolisme

Hepar

152-5%

2-3%

%
20%
Tabel 1. Farmakologi Klinik Anestetik Inhalasi
.3 Persiapan Pasien
.3.1
Anamnesis
Anamnesis merupakan tindakan awal yaitu tanya jawab antara pasien
dan keluarga dengan dokter spesialis aanestesi atau perawat anestesi. Pada
tahap anamnesis hal-hal yang perlu ditanyakan adalah
1) Riwayat kesehatan pasien
Untuk menentukan jenis tindakan anestesi dan obat-obat anestesi
yang akan diberikan kepada pasien ketika dilakukan operasi serta dapat
menentukan ASA.
2) Riwayat penyakit penyerta.
Berkaitan dengan penggunaan obat anestesi dan resiko intra
operasi. Untuk kasus tibia salah satu penyebabnya adalah diabetes
melitus , sehingga perlu diketahui sebelum dilakukan tindakan anestesi.
3) Riwayat alergi, mual muntah, nyeri otot, sesak nafas.
4) Riwayat tentang apakah pasien pernah mengalami anestesi atau tindakan
operasi sebelumnya.
5) Kebiasaan merokok
Sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelum operasi untuk eliminasi
nikotin

yang

mempengaruhi

sistem

kardio

sirkulasi

dan

dapat

meningkatkan saliva pada jalan nafas. Sedangkan dihentikan 1-2 minggu


.3.2

untuk mengurangi produksi sputum.


Pemeriksaan fisik

20

Pemeriksaan gigi geligi , tindakan buka mulut , lidah kotor, leher


pendek dan kaku sangat penting untuk tindakan laringoskopi intubasi.
Selain itu juga pemeriksaan sistem organ lain tetap dilakukan.
Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan

.3.3

dugaan penyakit yang walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor,
misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, leukosit, masa perdarahan dan
masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada
anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. Untuk menegakkan diagnosa
fraktur tibia juga perlu adanya foto rontengen untuk mengetahui luas
fraktur tibia.
.3.4

Klasifikasi Status Fisik


Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai status fisik pasien yang akab
dilakukan tindakan anestesi mengikuti standar yang berasal dari the american
society of anesthesiologists (ASA)
ASA I
:Pasien normal sehat
ASA II
: Pasien dengan kelainan sistemik ringan dan tidak gangguan
fungsional
ASA III : Pasien dengan kelainan sistemik sedang-berat dengan beberapa
gangguan fungsi
ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang mengancam hidup
dan inkapasitansi fungsional
ASA V
: Pasien yang tidak diharapkan hidup dalam 24 jam dengan atau
tanpa tindakan operasi.
ASA VI : Pasien mati batang otak
E
: Prosedur emergency, status fisik diikuti dengan E, contoh ASA II
E

.3.5

Persiapan puasa
Pada pasien dewasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, bayi 3-4 jam .
makanan tak berlemk diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia.
Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam sebelum induksi dan
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam
sebelum induksi. Persiapan puasa ini bertujuan untuk mengurangi
regurgitasi isi lambung, kotoran selama anestesi.

.3.6

Premedikasi

21

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi


anesthesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)

dari anesthesia diantaranya:


Meredakan kecemasan dan ketakutan.
Memperlancar induksi anesthesia.
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.
Meminimalkan jumlah obat anestetik.
Mengurangi mual-muntah pasca bedah.
Menciptakan amnesia.
Mengurangi isi cairan lambung.
Mengurangi reflex yang membahayakan.
Pada pasien yang akan dilakukan operasi fraktur tulang sebelum operasi

biasanya mengalami kecemasan berhubungan dengan tindakan operasi yang


akan dilakukan. Untuk itu pemberian premedikasi menjadi salah satu pilihan
untuk mengurangi kecemasan dengan diazepam peroral 10-20 mg sebelum
induksi anestesi dan untuk mengurangi mual muntah pasca bedah diberikan
ondansentron 2-4 mg intavena.
.3.7

Penggunaan tourniquet
Pada pembedahan fraktur tulang menggunakan tourniquet untuk
mengurangi resiko pendarahan .Masalah yang dihadapi dalam penggunaan
tourniquet adalah :
1) Perubahan hemodinamik
2) Nyeri
3) Tromboeboli pada arteri
4) Emboli paru
Pengembangan tourniquet lebih dari 100 mmHg( sistolik). Untuk operasi
yang lama jika penggunaan tourniquet lebih dari 2 jam dapat mengakibatkan
1) Disfungsi otot
2) Kerusakan saraf tepi permanen
Kehilangan darah pada ekstremitas bawah dan pemasangan tourniquet
menyebabkan volume darah menyebabkan darah masuk ke sirkulasi pusat.
Penggunaan tourniquet lebih lama dapat menyebabkan tourniquet pain. Tandatanda tourniquet pain adalah hipertensi, takikardi, diaphoresis.

22

Sehingga penggunaan tourniquet harus menjadi pertimbangan jika operasi


lama. Oleh karena itu jika sudah 30 menit-1 jam maka harus dikempeskan
sebelum operasi dilanjutkan. Bila cuff dikempeskan akan terjadi
1) Cvp dan tekanan darah arteri menurun
2) Nadi meningkat
3) Suhu inti menurun
Penatalaksanaan pada pasien yang menggunakan tourniquet adalah
maintenance O2 normokarbia, hidrasi, normotermi .

23

BAB III
TINJAUAN KASUS
.1 Pengkajian
.1.1
Identitas
a. Identitas Klien
Nama
Umur
Jenis kelamin
Medrec
Agama
Pendidikan
Alamat
b. Identitas Penanggung jawab
Nama
Umur
Agama
Hubungan dengan klien
Alamat
.1.2
Anamnesa Masuk
Tgl/Bln/Thn
Diagnose medic
Cara pasien datang
Keluhan
Tekanan darah
Pulse
Suhu
Respirasi
SPo2
Berat badan
Tanggal pengkajian

: Tn. R
: 30 tahun
: Laki-laki
: 218030
: Islam
: S1
: Jl. Cikutra
: Tn. T
: 52 tahun
: Islam
: Ayah kandung
: Jl. Cikutra
: 12 November 2014
: Nelected closed #of the left Tibia
: Menggunakan blankar
: Nyeri di daerah tibia
: 110/80 mmHg
: 97
: 36,2 0 C
: 19x/menit
: 95%
: 64 kg
: 13 November 2014

.1.3
Riwayat Kesehatan
1. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien datang ke RSAU dr. M. Salamun pada tanggal 12
November 2014 dengan keluhan nyeri di bagian tibia dan memburuk saat
digerakkan. Serta nyeri berkurang saat istirahat dengan skala nyeri 6 (110) sejak 5 bulan yang lalu.
2. Riwayat Kesehatan Dahulu
Pasien mengatakan pernah mengalami kecelakaan lalu lintas 5
bulan yang lalu dan ia mengalami patah tulang pada daerah tibia dan tidak
memiliki penyakit hipertensi, diabetes mellitus, asma, dan penyakit
menular lainnya.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
24

Keluarga tidak memiliki penyakit hipertensi, diabetes mellitus,


asma, dan penyakit menular lainnya.
.1.4
Pemeriksaan fisik
1. Sistem Pernafasan
Hidung simetris, tidak ada secret, tidak terdapat nyeri tekan.
Bentuk dada simetris antara kiri dan kanan. Pengembangan dada simetris,
tidak ada retraksi dinding dada. Irama nafas regular dengan frekuensi
19x/menit.
2. Sistem kardiovaskuler
Konjungtiva anemis (-) JVP tidak membesar, CRT kembali dalam 3
detki, TD 108/59 mmHg, nadi 97 x/menit, dan irama jantung regular
3. Sistem pencernaan
Bentuk bibir simetris, mukosa lembab, gigi bersih, jumlah gigi 28
buah, lidah bersih, warna merah muda, tidak terdapat lesi, refleks menelan
baik, gusi berwarna merah muda, bentuk abdomen cembung, tidak
terdapat nyeri tekan, bising usus 7x/menit.
4. Sistem Persyarafan
Kesadaran composmentis, GCS: 15 (E:4, M:6, V:5), orientasi klien
terhadap tempat, waktu dan orang cukup baik terbukti klien dapat
menyebutkan keluarganya, lokasi sekarang dia berada dan mengingat
kejadian lampau dan baru dialami.
5. Sistem Endoktrin
Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar getah bening.
6. Sistem Urinaria
Ginjal teraba, blass penuh, genetalia bersih.
7. Sistem Muskuloskeletal
a. Ekstremitas atas
Bentuk simetris, ROM kiri dan kanan mampu bergerak ke segala
arah. Tidak terdapat nyeri pada persendian dan tulang, tidak tampak
deformitas tulang dan kontraktur sendi. Kekuatan otot 5 5, klien mampu
menahan tahanan penuh dari perawat. Refleks biceps ++/++, refleks
triceps ++/++.
b. Ekstremitas bawah
Bentuk tidak simetris, ROM kanan bebas bergerak ke segala arah,
ROM kiri gerakan terbatas, terdapat nyeri pada ekstremitas kiri, ada
kontraktur dan deformitas.
8. Sistem Integumen

25

Kulit kepala dan rambut tampak bersih, warna rambut hitam,


distribusi merata, kulit tubuh lembab, turgor kulit baik dan kuku tangan
dan kaki bersih.
9. Sistem Pendengaran
Bentuk telinga simetris, bersih, klien dapat menjawab pertanyaan
dengan baik
10. Sistem Pengelihatan
Bentuk mata simetris, konjungtiva merah muda, sclera berwarna
putih, refleks kedua pupil terhadap cahaya positif terjadi midriasis, fungsi
penglihatan baik, klien dapat membaca papan nama perawat dengan jarak
30 cm, lapang pandang baik.

11. Data Psikologis


a. Status Emosi
Status emosi tidak stabil dengan klien tampak gelisah dan cemas
akibat nyeri.
b. Pola Koping
Pola koping cukup baik klien menerima penjelasan dari perawat
dan keluarga sering bertanya tentang penyakitnya.
c. Gaya Komunikasi
Klien dapat berkomunikasi dengan baik
d. Gambaran diri
Klien terlihat sedih dengan keadaan kakinya yang mengalami
penurunan fungsi.
e. Harga diri
Klien merasa harga dirinya kurang baik karena kaki sebelah kiri
mengalami keterbatasan gerak akibat post kecelakaan.
f. Ideal diri
Klien berharap cepat sembuh agar dapat melakukan aktivitas seharihari.
12. Data Sosial
Klien mengatakn hubungan dengan keluarga baik
13. Data Spiritual
Klien mengatakn bahwa ia selalu berdoa dan berharap pada Tuhan
agar cepat diberikan kesembuhan.
14. Data Penunjang
Tanggal
Pemeriksaan
11/11/2014 Hb

Hasil
11,3

26

Nilai Normal
L : 13,2 17,3 gr/dl

P : 11,7 15,5 gr/dl


L : 3.800 10.600/mm3
Leukosit

6.600

Trombosit

246.000

Hematokrit

41

Laju endap darah

14

Waktu pendarahan
Waktu pembekuan
Glukosa sewaktu

300
600
169

P : 3.600 11.000/mm3
Bayi

38.000/mm3
150.000 -

13.000

440.000

/mm3
L : 40 52
P : 35 47
L : 0 10
P : 0 20
13
17
< 120

15. Pola Aktivitas Sehari-hari


No
1.

Pola Kebiasaan
Nutrisi
a. Makanan
Jenis
Frekuensi
Pantangan
Masalah
b. Minuman
Jenis
Jumlah

Di Rumah/ 24 jam

Nasi, sayur, tahu, tempe, bakso dan makanan yang


pedas.
3x perhari satu porsi habis
Tidak ada
Tidak ada
Air putih
(1200-1600 cc)

2.

Eliminasi
a. BAB
Konsistensi
Frekuensi
Warna
b. BAK
Frekuensi
Warna

Lembek
1x
Kuning
5-6 x/hari (1500 cc)

27

Kuning jernih
3.

Istirahat
Tidur siang

Sering 1-2 jam

Tidur malam

8 jam
(20.00-04.00 WIB)

4.

5.

Keluhan
Personal hygine

Tidak ada

Mandi

2x/ hari

Gosok gigi

2x/ hari

Keramas

2x/ minggu

Gunting kuku
Aktivitas

1x/ minggu
Kliem merasa sulit beraktivitas seperti biasanya
karena kaki kirinya mengalami keterbatasan gerak
akibat post kecelakaan.

.2 PRE OPERASI
.2.1
Analisa Data
No
1.

Data

Etiologi
Cidera tulang

Data Subjektif
Klien mengatakan kaki kirinya
sakit
- P : Nyeri
- Q : Nyeri bertambah ketika
kaki
-

digerakkan,

nyeri

berkurang saat diimobilisasi


R : Area tibia
S : 36,2 0 C
T : Saat digerakan sampai
diimobilisasi

Diskontuinitas tulang

Proses inflamasi

Menekan ujung syaraf


bebas

Nyeri

Data Objektif
Pasien terlihat meringis menahan
nyeri, bengkak, rontgen fraktur
tibia (+)
RR : 19
TD : 105/59 mmHg
HR : 60 x/menit

28

Masalah
Gangguan rasa
nyaman nyeri

2.

Data subjektif

Fraktur tibia

Pasien mengatakan takut karena


belum

pernah

Pembedahn

dioperasi

sebelumnya

Kurang pengetahuan

Data objektif

Pasien tampak gelisah dengan raut

Ansietas

Cemas

muka terlihat pucat


RR : 19 x/menit
TD : 105/59 mmHg
S : 36,2 0 C
N : 60 x/menit

.2.2

Diagnosa keperawatan
1) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan fraktur tibia tertutup
ditandai dengan hasil foto rontgen (+) fraktur tibia, pasien tampak
meringis menahan nyeri
2) Ansietas berhubungan dengan akan dilaksanakannya tindakan operasi,
ditandai dengan pasien mengatakan takut, muka pasien tampak pucat.

.2.3

Rencana Keperawatan

No

Diagnosa Keperawatan

1.

Tujuan
Gangguan rasa nyaman Tupan :
nyeri
dengan

berhubungan Nyeri Hilang


fraktur

tibia Tupen :

Perencanaan
Intervensi
Rasional
1. Kaji
lokasi 1. Mengetahui
dan intensitas

tingkat

nyeri.

klien

nyeri
sehingga

tertutup ditandai dengan

Setelah

dapat diketahui

Data Subjektif

dilakukan

tindakan

Klien mengatakan kaki tindakan


kirinya sakit
Data Objektif

keperawatan
dalam

2. Kaji TTV

waktu

Pasien terlihat meringis 1x24 jam nyeri


menahan
nyeri, berkurang
rontgen dengan kriteria : 3. Ajarkan
- Skala nyeri 1-2
menegemen
fraktur tibia (+)
- TTV
dalam
bengkak,

29

yang

akan dilakukan.
2. Mengetahui
tingkat

nyeri

dalam
mempengaruhi
TTV
3. Klien

dapat

mengatasi yang

RR : 19
TD : 105/59 mmHg
HR : 60 x/menit

batas normal
TD: 90/60

nyeri dengan

ringan

secara

cara distraksi
mandiri
130/90 mmHg
4. Mengurangi
dan
nafas
HR: 60-100x
nyeri hebat pada
RR: 12-20x
dalam
S: 36,5-37,50C 4. Kolaborasi
klien
untuk
pemberian

2.

Ansietas

berhubungan Tupan :

dengan

1.

tindakan

sejauh

Tupen :

mempengaruhi

dilakukan

2.

Pasien tampak gelisah tindakan

kepada

selama
1x30
terlihat pucat
Pasien terlihat meringis menit ansietas
menahan
nyeri, berkurang

Berikan
pengetahuan

muka keperawatan

raut

klien

TTV
2. Klien

yang

telah mendapat
informasi, lebih

tentang
pembedahan

mudah
menerima
penanganan dan

rontgen dengan criteria

fraktur tibia (+)


RR : 19
TD : 105/59 mmHg
S : 36,2 0 C
HR : 60 x/menit

mana

ansietas

operasi, Setelah

ditandai dengan

bengkak,

1. Mengetahui

akan Ansietas teratasi

dilaksanakan-nya

dengan

analgetik
Kaji TTV

mematuhi

- Klien

3. Orientasikan

mengatakan

klien

cemas
berkurang
- Klien
tampak
rileks
- TTV

intruksi.
pada 3. Pengenalan

lingkungan

terhadap

yang baru.

lingkungan
membantu

dalam

batas normal
TD: 90/60

mengurangi
4.

Sarankan
klien

ansietas.
untuk 4. Dengan berdoa

130/90 mmHg
berdoa
HR: 60-100x
RR: 12-20x
5.
Kolaborasi
S:36,5-37,50C

dalam
pemberian
obat sedasi

30

dapat
mengurangi
kecemasan.
5. Untuk
mengurangi
kecemasan

.2.4

Implementasi dan Evaluasi

No

Tgl/Jam

Dx

13-11-14

07.20

Implementasi
Tindakan/hasil
1. Mengkaji

lokasi

Evaluasi

a jelas
dan S:klien

intensitas nyeri
mengatakan nyeri
Hasil :
berkurang
Lokasi nyeri berada pada
O:klien
tampak
10 cm di bawah lutut
tenang
Intensitas nyeri 6
A:Masalah teratasi
2. Mengkaji TTV
P:Intervensi
Hasil :
TD : 105/59
dihentikan
HR : 60
RR : 19
S : 36,2 0 C

07.30

3. Mengajarkan

menegemen

nyeri dengan cara distraksi


dan nafas dalam
Hasil:
Pasien mampu melakukan

07.30

menegemen nyeri
Nyeri berkurang menjadi
skala 2

4. Mengkolaborasikan

untuk

pemberian obat
Hasil:
Diberikan obat parasetamol

2.

07.30
13-11-14
07.30

500 mg oral
Nyeri hilang
1. Mengkaji TTV
Hasil :
TD : 105/59
HR : 60
RR : 19
S : 36 0 C

31

Paraf/nam

S:klien
mengatakan sudah
tidak cemas lagi
O:klien
rileks

tampak

2. Memberikan
kepada
07.30

pengetahuan A:masalah teratasi

klien

tentang P:intervensi

pembedahan
dihentikan
Hasil :
Klien
mendengarkan

penjelasan perawat
Klien mengatakan mengerti

tentang penjelasan perawat


Klien tampak tenang

3. Mengorientasikan klien pada


lingkungan yang baru
Hasil :
Klien
mengerti

akan

orientasi perawat
Klien tidak takut untuk
masuk ruang OK

4. Menyarankan

klien

berdoa
Hasil :
Klien

untuk

menundukan

kepalanya sejenak untuk

berdoa
Klien tampak tenang

07.30

.3 INTRA OPERATIF
.3.1
Persiapan pasien
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Ruangan
No.Medrek
Tanggal operasi
Masuk ke ruang OK
Diagnosa pre operasi
Tindakan operasi
Kesadaran
Status Fisik

: Tn.R
: 30 tahun
: laki-laki
: Gelatik
: 218019
: 13 November 2014
: 07.20 WIB
: Nelected closed # of the left Tibia
: ORIF
: Compos mentis
: BB 64 kg TB 165 cm

32

Posisi Pasien
: Supine (terlentang)
Jenis Anestesi
: Anestesi Umum
Tekanan Darah
: 105/59 mmHg
Nadi
: 60 x/menit
Respirasi
: 19 x/menit
Suhu
: 36,50C
Saturasi
: 100 %
Lama Puasa
: 9 jam
Kebutuhan cairan pengganti puasa
M = (4;2;1) x BB
4 x 10 = 40
2 x 10 = 20
1 x 44 = 44 +
M
= 104 cc
Kebutuhan cairan pengganti puasa (P)
P = Lama puasa x M
P = 9 x 104
P = 936 cc
IWL
= BB x Jenis Operasi
= 64 x 8
= 512 cc
Status Alergi
: klien mengatakan tidak memiliki riwayat alergi
Penyulit intubasi
: klien mengatakan tidak menggunakan gigi palsu

dan tidak ada gigi tumbang


Status ASA
: ASA I ( pasien sehat normal, tidak ada penyakit

penyerta selain penyakit pembedahannya )


Inform Consent
: Tindakan anestesi yang akan dilakukan telah
dijelaskan dan disetujui oleh pasien dan keluarga serta ditandatangani oleh
istri pasien

.3.2

Persiapan alat dan obat-obatab anestesi


Spesialis Anestesi
: dr.Sembodo soerjowirawan.Sp.An
Penata anestesi
:Serma Ony sandra dewi Amd.kep / Luhut Amk.An
Obat-obatan anestesi
1. Profopol 100+30 mg
2. Fentanyl 75 mg
3. Artacurium 15 mg
4. Sulfat atrofin 0.25 mg
5. Tramadol 50 mg
6. Fosmicin 2gr
7. Ephedrine 10 mg
8. Pronalgesupp 1
Alat-alat anestesi
33

1. Mesin anestesi
2. Stetoscope
3. Laringoskope
4. Endotrakea tube no 6, 6,5 7
5. Laring mask airway no 3, 4
6. Oro faringeal airway
7. Tape(plester)
8. Stilet/ mandrin
9. Conector
10. Suction
11. Spuit 10 cc
.3.3

Tgl/jam

Penatalaksanaan Anestesi
Laporan Anestesi
Tindakan

07.20
07.35

Paraf/nama

Klien

dorong .
Mengkaji tingkat kecemasan klien,mengatakan siap

untuk operasi dan memasrahkan kepada tuhan .


Mengantar klien ke OK II dan memindahkan kemeja

operasi
Memasang monitor TD : 105/59 mmHg, N : 60

diantar

perawat dengan menggunakan kereta

x/menit , p : 19 x/menit , SpO2 : 100 %, S:36,20C


07.40

Observasi TTV TD : 100/60 mmHg ,N : 67 x/menit , SpO2 :98


%

Operator

dianestesi
Memberitahukan kepada pasien untuk berdoa kerena

memberitahukan

bahwa

pasien

boleh

operasi akan diawali dengan pembiusan ,pasien

07.45

mengatakan siap dioperasi


Melakukan induksi dengan propofol 100 mg .fentanyl

75 mg .noveron 15 mg halothan 2,5 vol %


TD :82/43 ,N :55 , SpO2 :97 % onset obat tercapai dilanjutkan
dengan

membuka

mulut

pasien

dengan

kepala

ekstensi,masukkan LMA no 4 yang telah diisi udara balonnya

34

,sambungkan dengan reservoir Bag dan mesin anestesi, inspeksi


komplayen dada, apabila sudah sama LMA difiksasi oleh
07.50

plester ,mengatur posisi pasien lateral kiri


TD : 80/39 mmHg , N : 42 x/menit SpO2 97 % menyampaikan
ke operator pembedahan siap di mulai dan mengganti infus RL
dengan D5 yang telah di drive Fosmicin 2gr ,menambah obat
propofol 30 mg agar mempermudah operator agar pasien lebih

07.55

rileks,memberi Sulfat atropine 1 amp, ephedrine 10 mg


TD : 90/45 mmHg ,N : 100 x/menit SpO2 98 %

08.00

TD : 99/59 mmHg , N : 105 x/menit SpO2 98%

08.05

TD : 85 /60 mmHg , N : 128 x/menit SapO2 99%, ganti cairan

08.10

dengan RL
TD : 80/40 mmHg , N : 125 x/menit spO2 99%,memberikan

08.15

obat ephedrine 10 mg
TD : 85/59 mmHg , N :139 x/menit Sp02 99% ,memberikan

08.20

tramadol 50 mg
TD : 100/62 mmHg , N :125 x/menitSpO2 98 %

08.25

TD : 103/65 mmHg , N :123 x/menit SpO2 98% dan

08.30

memberikan analgetik pronalges supp 100 mg ( supositoria )


TD : 108/63 mmHg, N : 119 x/menit SpO2 98%,dilakukan

08.35

ekstubasi dan dilanjutkan oksigenisasi dengan face mask


TD : 100/70 mmHg, N : 105 x/mennit SpO2
99%,memindahkan pasien ke blangkar kemudian dipindahkan

08.40

ke RR
Klien membuka mata ,oksigenasi dengan kanul masih

09.05

terpasang 2 ltr
Pasien dipindahkan ke ruang gelatik dengan aldert score 8

.3.4

Persiapan alat dan obat-obatan bedah


Operator
: prof. Dr.Fahry SpOT dan dr. Dicky M,SpOT
Asisten
: Br.prayugo, Br.fahrul
Instrumen
: Br.Sahala
Persiapan alat

35

Basic set
Gunting kassa
Gunting jaringan
Klem
Pinsetanatomis

jumlah
1
1
10
2

(besar/kecil)
Pinset cirugis

(besar/kecil)
Kocher
Dukklem
Nail fuder
Scuple fudur
(no 4)
Kom
bengkok

Alat tambahan
Jas operasi
Handscoon
Duk besar
Duk sedang /sarung kaki
Canul suction
Selang suction
Kassa
Pisturi no.22
Cutter
Benang :crumic 2/0,

5
2
2
2

jumlah
4
4
3
1
1
1
5
1
1
side 1

2/0,plain 2/0
1
Jarum : taper no 24 ,cutting no

30
Set ORIF :
Bone klem
Reduction
Respatorium
Kuret
Mata bor
Screw driver 3,5
Plate 1/3 tubeler 6 whole

2
2
1
1
1
1
1 set

Penatalaksanaan operasi/instrumen

No
1
2
3
5

Tindakan
Desinfektan
Drapping
Menandai daerah sayatan
Melakukan sayatan pada kuit

Peralatan
Kom,betadine,alcohol,klem panjang,kassa
Duk besar,duk lubang,duk klem
Pisau,klem,kassa
Pisau,kassa,klem arteri,pinset curigis,gunting

6
7
8

sampai otot
Mempertahankan hemostatis
Kassa klem cutter,suction
Membersihkan area fraktur
Kuret
Reposisi fraktur menahan area Respatorium

9
10
11
12
13
14
15

fraktur
Fiksasi fraktur
Bor 6 whole area fraktur
Memasang plate
Mencuci daerah operasi
Hecting otot
Hecting sub cutis
Hecting kulit

Bone klem,respatorium
Bor,mata bor
Plate,screw driver
NaCL
Plain 2/0, taper no 30
Chromic 2/0,taper no 24
Side 2/0,cuting no 30
36

16
17

Desinfeksi
Balut luka

.3.5

Kassa betadine
Kassa steril,kassa betadine dan hipafix

Analisa data

No
1

Data
Subjektif

Etiologi
pasien Gangguan

Masalah
Gangguan hemodinamik

mengatakan telah berpuasa keseimbangan cairan


selama 9 jam
Objektif : pada

dan elektrolit
ststus

pasienn tercatat pasien telah


puasa dari jam 22.00
Subjektif : Objektif : Insisi 20 cm

.3.6

Perdarahan

akibat Resiko syok hipovolemik

pembedahan

Diagnosa keperawatan
1) Gangguan hemodinamik berhubungan dengan kekurangan cairan dan
elektrolit ditandai dengan pasien telah berpuasa selam 9 jam
2) Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan pendarahan akibat
pembedahan ditandai luka insisi 20 cm

.3.7
NO
1

Intervensi keperawatan

DIAGNOSA
Gangguan

TUJUAN
INTERVENSI
Tupan
hemodinamik 1. Kaji TTV

hemodinamik

stabil
Tupen:setelah dilakukan

berhubungan
dengan kekurangan
cairan
elektrolit

dan
ditandai

dengan pasien telah


berpuasa selama 9

mengetahui
sejauh

tindakankeperawatan
1x20 menit hemodinamik
stabil

dengan

kriteria

cairan pengganti puasa

2. Menghitung
kebutuhan
cairan

selama

puasa

terpenuhi.

RASIONAL
1. Untuk

kekurangan
cairan pasien.
2. Untuk
mengetahui
seberapa
banyak

jam

mana

cairan

yang harus di
gantikan untuk
3. Loading cairan
pengganti untuk
mengganti

37

memenuhi
hemodinamik
normal.

cairan

selama 3. Untuk

puasa

mengembalikan

4. Kaji

TTV

setelah

di

hemodinamik
ke

status

normal.

loading

4. Untuk
mengetahui
tingkat
perkembangan
hemodinamik
setelah
2.

Resiko

syok Tupan

hipovolemik
berhubungan
dengan pendarahan
akibat pembedahan
di tandai dengan
luka insisi kurang

tindakan

keperawatan

selama operasi 1x1 jam


dan

loading cairan.
1.untuk mengetahui

syok 1. monitor

hipovolemik tidak terjadi


Tupen : setelah dilakukan

diharapkan

syok

pendarah

di seberapa

daerah

output

pembedahan

dapat

,pada

keada

balance cairan
2. untuk mencegah
terjadinya
pendarahan

yang

lebih hebat

pendarahan
an

sehingga

dan kasa setelah input agar terjadi

dilakukan insisi
dengan kriteria hasil:
lebih 20 cm dan
Tidak ada tanda
2. ingatkan
perdarahan
di
-Tanda
syok
operator
dan
suction dan kasa
hipovolemik(cyanosis)
asisten
bila
1380 cc
-TTV
dalam
batas
terjadi
kuran<20%

banyak

suction merencanahakan

hipovolemik tidak terjadi

normal/penuerunan

di

hebat

semula.

3.mengetahui lebih
3. monitor

TTV

tiap 5 menit
4. kaji

TTV

sebelum pasien
di pindahkan ke

38

dini terjadinya syok


hipovolemik
4.untuk mengetahui
keadaan

umum

pasien sebelum di

RR

.3.8

pindah ke RR

Implementasi dan evaluasi

Tanggal / Dx

jam
13
november

Implementasi
Tindakan /hasil

Evaluasi

ma jelas

1. Mengkaji TTV

S:-

Hasil :

O : TD : 99/59

TD : 82/43 mmHg
N :55 x/menit
RR : 20 x /menit
S :360C
2. Mengitung kebutuhan cairan

2014/07.4
5 wib

mmHg
N : 105 x/menit
RR : 19 x/menit
S : 36,50C

selama 9 jam dengan rumus A: Masalah belum


teratasi

(4:2:1) ,
Hasil :
Kebuthaan

07.45

pengganti

cairan
puasa

=(Rumus 4:2:1) X BB
4 x 10 = 40
2 x 10 = 20
1 x 44 = 44 +
M

= 104

Kebutuhan cairan pengganti puasa (P)


P = Lama Puasa x M
P = 9 x 104
P = 936 cc
3. Meloading cairan pengganti
untuk

menggantikan

cairan

selama puasa.
Meloading cairan RL
lewat IV sebanyak +
07.50

Paraf/na

936 cc
4. Mengkaji TTV
loading
39

setelah

di

Intervensi

dilanjutkan

Hasil :

08.00

08.50

08.10

TD : 99/59 mmHg
N : 105 x/menit
RR : 19 x/menit
S : 36,50C

1. Memonitor

pendarahan

daaerah

pembedahan

suction

dan

kasa

dilakukan insisi.
Hasil :
Terjadi pendarahan

di S : ,pada O

terjadi

setelah pendarahan , klien


tampak anemis
sekitar

A : masalah belum
teratasi

08.15

200 cc
Terjadi

08.18

400 cc
Terjadi perdarahan sekitar 600 mengembalikan

08.20
08.25

pendarahan

sekitar P : Intervensi
dilanjutkan untuk

cc
keseimbangan
Terjadi perdarahan sekitar 800
cairan
dan
cc
elektrolit
Terjadi perdarahan sekitar
1100 cc

2. Meningkatkan

operator

dan

07.35-

asisten bila terjadi pendarahan

08.30

hebat.
Hasil :
Operator dan asisten segera
menghentikan

08.35

pendarahan

menggunakan cutter setelah


mereka membuat pendarahan.
3. Memonitoring TTV tiap 5 menit
Hasil :
Terlampir dalam laporan
anestesi.
4. Mengkaji TTV sebelum pindah
ke RR
Hasil :

40

TD : 100/70 mmHg
N : 105x/menit
RR : 20 x/menit
S : 36,5 0C

.4 POST OPERATIF
.4.1
Keadaan klien di RR(Recovery room)
No
1

Tanggal/waktu Jenis score


08.40
aktivitas

Jenis tindakan
a. Daapat menggerakkan 4

Nilai score
2

ekstremitas
b. Dapat menggerakkan 2

ekstremitas
c. Tidak
menggerakkan
2

08.45

Respirasi

08.45

Sirkulasi

a.
b.
c.
a.

score klien
2

0
dapat
sama

sekali
Bernafas dalam
Dispneu
apneu
tekanan darah 20 %
dari keadaan sebelum

operasi
b. tekanan darah 20-50%

2
1
0
2

2
1

1
0

dari keadaan sebelum


operasi
c. tekanan darah >50 %
dari keadaan sebelum
operasi
a. sadar penuh
b. respon bila dipanggil
c. tidak ada respon
5
08.45
Warna kulit a. normal
b. pucat
c. sianosis
Catatan :klien dapat masuk keruangan bila score >(7-10)
Keterangan klien dipindahkan ke ruang gelatik .
4

08.45

Kesadaran

41

2
1
0
2
1
0
10

2
1
8

Laporan Kartu Anestesi.


3.4.2 Analisa Data
NO
1

Data Fokus
S : Pasien mengatakan nyeri di
kaki kiri
O : Terdapat Luka Operasi

Etiologi
Adanya

Masalah
Gangguan

Kerusakan

Rasa aman

Jaringan

nyeri

Seluas 20 cm
3.4.3 Diagnosa Keperawatan
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya kerusakan
jaringan ditandai dengan terdapat sayatan 20 cm di daerah pada bagian atas,
pasien mengatakan nyeri pada daerah luka dan resiko infeksi berhubungan
dengan implamasi bakteri kedaerah luka ditandai dengan terdapat drain pada
daerah luka.
N

Diagnosa

Tujuan

Intervensi

O
42

Rasional

Ganguan rasa

Tupan ; nyeri

aman nyeri

dapat hilang
Tupen

berhubungan
dengan adanya
kerusakan
jaringan di
tandai dengan
terdapat
sayatan di
daerah betis
pasien
mengalami
nyeri pada
daerah luka

:setelah di
lakukan
tindakan
keperawatan
selama 1x24
jam pasien

1.Kaji TTV
2.Kaji type
atau lokasi
nyeri
Perhatikan
intensiitas
pada skala 0
10
Perhatikan
respon

1.Dengan mengkaji TTV


kita bisa mengetahui
tingkat kesakitan pasien
2.mengguatkan indikasi
ketidak
nyamanan,terjadinya
komplikasi dan evaluasi
ke efektifan intervensi
3.meningkatkan

relaxsasi,memfokuskan
terhadap obat
kembali perhatian,dan
mengontrol
3.Motivasi
dapat meninggkatkan
nyeri ,
penggunan
kemampuan
dengan
teknik
koping,menghilangkan
kriteria hasil : manajemen
nyeri
Melaporkan
stres, contoh:
4.obat obatan analgetik
nyeri hilang
Nafas dalam
dapat menekan pusat
atau
dan
nyeri di hipotalamus
tercontrol
visualisasi.
sehingga nyeri dapat
Mengikuti
4.Kolaborasi
hilang dengan cepat
program
pemberian
dapat

pengobatan

obat

yang di

analgesik

berikan
Menunjukan
penggunan
teknik
relaxsasi
relax

3.4.5 Implementasi dan Evaluasi

43

NO

Tanggal/Jam

13/11/2014
Pukul 08.45

D
X
1

Implementasi
Tindakan/hasil

Evaluasi

1.Mengkaji TTV
Hasil :
TD : 100/60
Nadi : 105
R : 20
Suhu : 36,2 c
2.Mengkaji type

S:K/mengatakan

Atau Lokasi nyeri


Perhatikan
Intensitas Pada
skala 0-10
Hasil :
K/perih dan
nyeri pada luka
operasi
Skala 7
K / Tampak
meringis
Kesakitan
3.Motivasi
penggunan teknik
manajemen nyeri
contoh nafas
dalam dan
fisualisasi
Hasil :
Klien
Melakukan teknik
maajemen nyeri
K tampak lebih
tenang
Skala nyeri 5
4.kolaborasi
pemberian obat
analgesik

44

nyeri hilang
O:K/Tampak
tenang dan
beristirahat
dengan nyaman
A : Masalah
teratasi
P : Intervensi di
hentikan

Paraf

Hasil :
Diberikan
keterolac 30mg
dan tramadol
50mg dalam RL
500 cc dengan
kecepatan20
gtt/menit
Klien
mengatakan
nyerinya

berkurang
Skala nyeri 2
Perhatikan Respon
terhadap obat dan
analgetik
Hasil :
Tidak ada
Reaksi alergi pada
pasien akibat obat
analgetik
Nyeri
Hilang,Klien
tampak tenang
Klien Dapat
beristirahat dengan
Nyaman

45

BAB IV
PENUTUP
.1 Kesimpulan
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya (Smeltzer, 2001).
Fraktur Tibia adalah fraktur yang terjadi pada bagian tibia sebelah kanan
maupun kiri akibat pukulan benda keras atau jatuh yang bertumpu pada kaki.
Fraktur ini sering terjadi pada anak- anak dan wanita lanjut usia dengan tulang
osteoporosis dan tulang lemah yang tak mampu menahan energi akibat jatuh
atau benturan benda keras (Henderson, 1998).
Didalam pre operasi ditemukan masalah gangguan rasa nyaman nyeri
berhubungan dengan fraktur tibia tertutup ditandai dengan photo rontagen (+)
fraktur tibia, pasien tampak meringis terlihat kesakitan. Ansietas berhubungan
akan dilakukan tindakan operasi ditandai dengan pasien mengatakan takut.
Di dalam intra operasi ditemukan diagnosa Gangguan hemodinamik
berhubungan dengan kekurangan cairan dan elektrolit ditandai dengan pasien
telah berpuasa selam 9 jam dan resiko syok hipovolemik berhubungan dengan
pendarahan akibat pembedahan ditandai luka insisi 20 cm
Di dalam post operasi ditemukan masalah Gangguan rasa nyaman nyeri
berhubunga dengan adanya kerusakan kerusakan jaringan ditandai dengan
terdapat sayatan 20 cm di daerah pada bagian atas, pasien mengatakan nyeri
pada daerah luka dan resiko infeksi berhubungan dengan implamasi bakteri
kedaerah luka ditandai dengan terdapat drain pada daerah luka.
4.2.
Saran

46

Dalam melakukan tindakan operasi terlebih dahulu harus mempersiapkan


pasien untuk mengurangi resiko-resiko yang terjadi setelah dilakukan
pembedahan.
Pasien maupun keluarga pasien harus diberikan pendidikan kesehatan
sesudah dilakukan operasi yang berkaitan dengan perawatan luka operasi
Kerjasama team bedah harus lebih ditingkatkan lagi guna tercapainya
model praktek keperawatan profesiona di ruang Instalasi Bedah Sentral ( IBS)
RSAU dr.M.Salamun.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.healthyenthusiast.com/fraktur-tibia-fibula.html
2. Dobson, M.B.,ed. Dharma A., Penuntun Praktis Anestesi. EGC, Jakarta ,
1994
3. Ganiswara, Silistia G. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy
Pharmacology). Alih Bahasa: Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta, 1995
4. Latief SA, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta, 2010
5. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesiology. 4th ed. Appleton &
Lange. Stamford, 1996
6. Sabiston, DC. Buku Ajar Bedah Bagian 1. EGC, Jakarta, 1995
7. Soerasdi E., Satriyanto M.D., Susanto E. Buku Saku Obat-Obat Anesthesia
Sehari-hari. Bandung, 2010
8. Werth, M. Pokok-Pokok Anestesi. EGC, Jakarta, 2010
9. Engram, Barbara. (1998), Rencana Asuhan Keperawatan Medical Bedah
Volume 2. Jakarta. EGC.
10. Mansjoer, Arief. (2000), Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta. Media
Aesculapius.
11. Tueker, Susuan Martin (1993). Standar Perawatan Pasien Edisi V Vol 3.
Jakarta: EGC.
12. Dongoes Marilym, E. (1993). Rencana Asuhan Kep[erawatan Edisi 3.
Jakarta: EGC.
13. Smeltzer suszanne, C. (1997). Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Vol 3.
Jakarta: EGC.
14. Price Sylvia, A. (1994). Patofisiologi Konsep Klinis Proses
Penyakit.Jilid 2 Edisi 4. Jakarta : EGC.
15. http://asuhankeperawatanfrakturtibia.blogspot.com/

47

You might also like