You are on page 1of 26

REFERAT

ABSES LEHER DALAM

Disusun oleh:
Claudia Susanto
406148133
Pembimbing :
dr. Yohanis Yan Runtung, Sp.THT

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara


Kepaniteraan Telinga Hidung Tenggorokan
RS Pelabuhan Jakarta
Periode 14 Desember 2015 16 Januari 2016

BAB 1
PENDAHULUAN
Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka
mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam.1
Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam
sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus
paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan
pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat.
Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus,
kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran.
Abses leher dalam dapat berupa: 1,2
1.
2.
3.
4.
5.

abses peritonsil
abses retrofaring
abses parafaring
abses submandibula
angina Ludovici (Ludwigs Angina)

BAB 2
ABSES LEHER DALAM

2.1.

ABSES PERITONSIL (QUINSY)

2.1.1. Definisi 1,2,3


Abses peritonsil merupakan akumulasi pus terlokalisir di jaringan peritonsil yang
terbentuk akibat dari tonsilitis supuratif. Penjelasan lain adalah abses peritonsil merupakan
abses yang terbentuk di kelompok kelenjar air liur di fosa supratonsil, yang disebut sebagai
kelenjar Weber. Nidus akumulasi pus terletak antara kapsul tonsil palatina dan muskulus
konstiktor faringeus. Pilar anterior dan posterior, torus tubarius (superior), dan sinus
piriformis (inferior) membentuk batas ruang peritonsil potensial. Karena terbentuk dari
jaringan ikat longgar, infeksi parah area ini bisa secara cepat membentuk material purulen.
Inflamasi dan supurasi progresif bisa menyebar langsung melibatkan palatum mole, dinding
lateral faring, dan kadang-kadang dasar dari lidah.
2.1.2. Epidemiologi
Insidensi abses peritonsil di Amerika Serikat adalah sekitar 30 kasus per 100.000
orang per tahun, mewakili sekitar 45.000 kasus per tahun. Tidak ada data akurat secara
internasional.3
Meskipun tonsilitis penyakit anak, hanya sepertiga kasus abses peritonsil ditemukan
di kelompok umur ini. Umur pasien dengan abses peritonsil bervariasi, dengan jarak 1-76
tahun, dengan insidensi tertinggi pada pasien dengan usia 15-35 tahun.3
Tidak ada predileksi jenis kelamin ataupun ras.3
2.1.3. Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari
kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab
tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.1

Biasanya, organisme Gram positif aerob dan anaerob diidentifikasi melalui kultur.
Kultur menunjukkan Streptococcus beta hemolyticus yang paling sering. Selanjutnya, yang
paling sering adalah Staphlococcus, Pneumococcus, dan Haemophilus. Terakhir, organisme
lain yang bisa dikultur adalah Lactobacillus, bentuk-bentuk filamentosa seperti Actinomyces
sp., Micrococcus, Neisseria sp., diphteroid, Bacteroides sp., dan bakteri tidak bersporulasi.
Beberapa bukti menunjukkan bakteri anaerob sering menyebabkan infeksi ini. 4
2.1.4. Patofisiologi
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh
karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menampati daerah ini,
sehingga tampak palatum mole membengkak. Proses inflamasi dan supurasi dapat melebar
melibatkan palatum mole, dinding lateral faring, dan kadang-kadang, dasar lidah. Walaupun
sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di bagian inferior.1
Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak
permukaannya hiperemis, bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut
lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral.
Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan
iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan,
mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.
Fosa tonsiler kaya akan pembuluh limfa menuju ke ruang parafaring dan kelenjar
limfa servikal superior, yang menjelaskan pola limfadenopati secara klinis. Limfadenopati
servikal superior ipsilateral adalah hasil penyebaran infeksi ke kelenjar limfa regional.
Kadang-kadang, keparahan proses supuratif dapat menuju abses servikal, khususnya pada
kasus yang sangat fulminan atau progresif cepat.
2.1.5. Gejala dan tanda1,2,3
1. Anamnesis
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, juga terdapat odinofagia (nyeri menelan) yang
hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga (otalgia), mungkin terdapat
muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara
gumam (hot potato voice) dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta
pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. Pasien biasanya memiliki riwayat
faringitis akut ditemani dengan tonsilitis dan rasa faring tidak nyaman unilateral dan makin
3

memburuk. Pasien mungkin mengalami malaise, kelelahan, dan sakit kepala. Pasien sering
mengalami demam dan rasa tenggorokan penuh yang tidak simetris. Karena limfadenopati
dan inflamasi otot servikal, pasien sering mengalami nyeri leher dan bahkan keterbatasan
gerak leher. Dokter harus memikirkan diagnosis abses peritonsil pada pasien dengan gejala
faring persisten meskipun sudah diberikan rejimen antibiotik yang adekuat.
Seiring derajat inflamasi dan infeksi berlanjut, gejala berlanjut ke dasar mulut, ruang
parafaring, dan ruang prevertebral. Kelanjutan di dasar mulut mengkhawatirkan karena
obstruksi jalan napas; dokter harus sadar dengan gawat darurat yang mungkin terjadi.
2. Pemeriksaan
Pada pemeriksaan fisik mungkin hasil bervariasi dari tonsilitis akut dengan faring
asimetris unilateral sampai dehidrasi dan sepsis, Kebanyakan pasien memiliki nyeri berat.
Pemeriksaan rongga mulut menunjukkan tanda-tanda eritem, palatum mole asimetris,
eksudasi tonsil, dan uvula disposisi kontralateral.
Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring, karena trismus. Palatum mole
tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan
terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan
terdorong ke arah tengah, depan dan bawah.
Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di kutub superior tonsil yang terkena,
pada fosa supratonsil. Pada tingkat lipatan supratonsil, mukosa dapat tampak pucat dan
mungkin menunjukkan bintil-bintil kecil. Palpasi pada palatum mole sering menunjukkan
fluktuasi. Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel dianjurkan untuk pasien dengan
airway distress. Laringoskopi adalah kunci untuk menyingkirkan epiglotitis dan supraglotitis,
juga kelainan pita suara.
Derajat trismus tergantung dari inflamasi ruang faring lateral. Penemuan
limfadenopati servikal ipsilateral melibatkan satu atau lebih kelenjar tidak tak biasa. Kelenjar
limfa yang terkena mungkin agak padat. Pada pasien dengan inflamasi kelenjar limfa yang
signifikan, tortikolis dan keterbatasan mobilitas mungkin dialami.

Gambar 1. Abses peritonsil dengan deviasi uvula.5


2.1.6. Pemeriksaan Penunjang2,3
1. Pemeriksaan laboratorium

Darah perifer lengkap, elektrolit, kultur darah: pasien dengan abses peritonsil sering
tampak septik dan dapat menunjukkan derajat bervariasi dehidrasi karena intake oral
yang kurang. Untuk mengetahui dua peristiwa ini perlu pemeriksaan darah perifer
lengkap, elektrolit, dan kultur darah.

Tes Monospot
o

Pada pasien yang menunjukkan tonsilitis dan limfadenopati servikal bilateral,


tes Monospot (antibodi heterofil) harus dipertimbangkan

Jika hasil tes positif, pasien membutuhkan evaluasi hepatosplenomegali. Tes


fungsi hati harus dipertimbangkan pada pasien dengan hepatomegali.

Kultur swab tenggorok: untuk membantu identifikasi organisme infeksius, swab


tenggorok dan kultur harus dipertimbangkan. Hasil dapat membantu seleksi antibiotik
yang paling tepat saat organisme teridentifikasi, mebatasi resiko resitensi antibiotik.

2. Pemeriksaan radiologi

Foto x-ray jaringan lunak polos


o

Foto jaringan lunak leher lateral menampakkan nasofaring dan orofaring dapat
membantu dokter untuk menyingkirkan abses retrofaring.

Pada foto anteroposterior, foto menunjukkan distorsi jaringan lunak tetapi


tidak berguna untuk menentukan lokasi abses.

CT scan

Pada kasus tertentu dan pasien yang sangat muda, evaluasi radiologi dapat
dilakukan dengan CT scan rongga mulut dan leher menggunakan kontras intravena.

Temuan yang biasa adalah adanya kumpulan cairan hipodens pada apex
tomnsil yang terkena, dengan penebalan pinggiran.

Temuan lain dapat termasuk pembesaran asimetrik tonsil dan fosa di


sekitarnya.

Penggambaran lebih jauh limfadenopati servikal dibutuhkan, karena


identifikasi kumpulan cairan intranodal mungkin, yang mengindikasikan abses
servikal dan membantu perencanaan penanganan bedah.

Ultrasonografi6
o

Ultrasonografi intraoral sederhana, dapat ditolerir, non invasif yang dapat


membantu membedakan selulitis dan abses.

USG juga dapat membantu pilihan aspirasi lebih langsung pada fosa tonsil
sebelum penanganan bedah definitif.

3. Aspirasi jarum

Aspirasi jarum dapat dilakukan sebelum drainase. Ini membantu identifikasi lokasi
abses di ruang peritonsil.

Lokasi aspirasi dianestesi dengan lidocaine dengan epinefrin, dan jarum ukuran 16-18
G dipasang di spuit 10cc. Infiltrasi adalah metode pilihan untuk anestesi lokal untuk
aspirasi dan insisi abses peritonsil.

Jarum ditusukkan di mukosa yang telah teranestesi dimana aspirasi akan dilakukan.

Aspirasi material purulen merupakan diagnostik, dan dapat dikirim untuk kultur.

Gambar 2. Aspirasi jarum pada abses peritonsil.5


6

2.1.7. Diagnosis
Indikasi untuk mempertimbangkan kemungkinan abses peritonsil meliputi sebagai
berikut: 3
-

Pembengkakan unilateral area peritonsil.

Pembengkakan unilateral palatum mole, dengan disposisi anterior tonsil ipsilateral.

Tonsilitis yang non resolusi, dengan pembesaran tonsil unilateral persisten.


Aspirasi jarum dapat digunakan untuk diagnostik dan terapeutik, karena dapat

menentukan lokasi akurat ruang abses. Cairan aspirasi dapat dikultur, dan pada beberapa
kasus, insisi dan drainase mungkin tidak perlu. Jika pasien terus menerus melaporkan nyeri
tenggorok berulang dan/atau kronik setelah insisi dan drainase, ini dapat menjadi indikasi
tonsilektomi.
2.1.8. Terapi 1,3
1. Medikamentosa

Pasien dengan dehidrasi membutuhkan cairan intravena sampai inflamasi hilang dan
pasien bisa melanjutkan intake cairan oral adekuat.

Antipiretik dan analgetik digunakan untuk meredakan demam dan rasa tidak nyaman.

Terapi antibiotik sebaiknya dimulai setelah kultur diperoleh dari abses. Penggunaan
penisilin intravena dosis tinggi tetap sebagai pilihan baik untuk terapi empiris untuk
abses peritonsil.

Sebagai pilihan alternatif, karena biasanya pus mikrobial, obat yang mengobati
kopatogen dan tahan terhadapp beta laktamase juga dianjurkan sebagai pilihan pertama.

Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher.

2. Bedah
a. Aspirasi jarum

Aspirasi jarum dapat dilakukan pada anak berumur 7 tahun, khususnya jika sedasi
sadar dilakukan.

Aspirasi jarum dapat digunakan untuk diagnostik dan terapeutik karena bisa
menentukan lokasi rongga abses secara akurat.

Cairan aspirasi dapat dikirim untuk kultur dan pada beberapa kasus, dpat tidak
dilanjutkan dengan insisi dan drainase.

b. Insisi dan drainase

Insisi dan drainase intraoral dilakukan dengan menginsisi mukosa di atas abses,
biasanya terletak di lipatan supratonsil.

Setelah abses terlihat lokasinya, diseksi tumpul dilakukan untuk memecahkan


lokulisasi.

Pembukaan dibiarkan terbuka untuk drainase, dan pasien diminta untuk berkumur
dengan larutan NaCl, supaya material yang terakumulasi keluar dari rongga abses.

Aspirasi atau drainase yang berhasil menuju ke perbaikan segera gejala-gejala pasien.
Pada pasien sangat muda atau inkooperatif atau saat abses terletak di tempat tidak

biasa, sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.

Gambar 3. Insisi dan drainase pada abses peritonsil.5


c. Tonsilektomi

Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan bersamasama tindakan drainase abses disebut tonsilektomi achaud. Bila tonsilektomi
dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi atiede, dan bila
tonsilektomi 4-6 minggu setelah drainase abses, disebut tonsilektomi afroid.
8

Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu
setelah drainase abses.

2.1.9. Komplikasi.1,3
1. Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia.
2. Penjalaran infeksi atau abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.
Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus
kavernosus, meningitis, dan abses otak.
4. Penjalaran dapat berlanjut ke ruang submandibular dan sublingual di dasar mulut
(Angina Ludovici).
5. Perdarahan merupakan komplikasi potensial jika arteri karotid eksterna atau cabangnya
terluka. Perdarahan dapat terjadi intraoperatif atau periode awal pascaoperasi.
2.1.10. Prognosis
Kebanyakan pasien yang diobati dengan antibiotik dan drainase adekuat sembuh
dalam beberapa hari. Sebagian kecil pasien mengalami abses kembali, membutuhkan
tonsilektomi. Jika pasien berlanjut melaporkan nyeri tenggorok berulang dan/atau kronis
setelah insisi dan drainase tepat, tonsilektomi diindikasikan. 3

2.2.

ABSES RETROFARING

2.2.1. Definisi1,2,7
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada
daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam ( deep
neck infection ). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang retrofaring berasal dari proses
infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan sinus paranasal, yang menyebar ke kelenjar limfe
retrofaring.
Penyakit ini ditemukan biasanya pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal ini
terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masing-masing
2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa dari hidung, sinus
paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius, dan telinga tengah. Pada usia di atas 6 tahun
kelenjar limfa akan mengalami atrofi.
Abses retrofaringeal menghasilkan gejala nyeri tenggorok, demam, kaku leher, dan
stridor. Abses retrofaringeal terjadi lebih sedikit daripada jaman dahulu karena penggunaan
9

antibiotik meluas pada infeksi saluran napas atas supuratif. Abses retrofaringeal, dulu secara
eksklusif merupakan penyakit anak, sekarang meningkat frekuensinya pada orang dewasa.
Abses retrofaringeal menunjukan tantangan diagnostik pada dokter gawat darurat karena
kejadiannya yang tidak frekuen dan presentasi yang bervariasi.
Pengenalan segera dan penanganan agresif terhadap abses retrofaringeal penting
karena penyakit ini masih memiliki mortalitas dan morbiditas yang signifikan.
2.2.2. Epidemiologi
Frekuensi
Abses retrofaringeal relatif berkurang frekuensinya dibanding dulu karena
penggunaan antibiotik. Namun pada beberapa studi di Amerika Serikat yang merupakan
negara maju juga didapatkan peningkatan frekuensi dalam 12 tahun sebanyak 4,5 kali.8
Jenis Kelamin
Abses retrofaringeal lebih biasa terjadi pada laki-laki daripada perempuan, dengan
frekuensi 50-67% pada laki-laki dan 33-50% pada perempuan, dari hasil beberapa studi.9
Umur
Abses retrofaringeal dulu merupakan penyakit yang biasa terjadi pada anak, namun
sekarang frekuensi pada dewasa meningkat.7
2.2.3. Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah (1) infeksi
saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring, (2) trauma dinding belakang
faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis, seperti adenoidektomi,
intubasi endotrakea, dan endoskopi, (3) tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses
dingin). Pasien dengan penyakit immunocompromised atau penyakit kronis seperti diabetes,
kanker, alkoholisme, dan AIDS memiliki resiko yang meningkat terhadap abses
retrofaringeal.1,2,7
2.2.4. Gejala dan tanda 1,2,7
Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak kecil,
rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau makan atau minum. Juga
10

terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak napas karena sumbatan, terutama
di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul stridor.
Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu resonansi suara sehingga terjadi perubahan
suara. Pada bayi, nyeri tenggorok dan/atau pembengkakan leher dapat menyebabkan asupan
gizi yang kurang disertai letargi.
Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral. Mukosa terlihat
bengkak dan hiperemis. Kelenjar getah bening leher juga dapat membengkak. Pada anak
dapat ditemukan gejala dan tanda tonsilitis, faringitis, dan juga otitis media.
2.2.5. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium 7

Darah perifer lengkap

Kultur darah diindikasikan sebelum pemberian antibiotik, tapi hasil kultur mungkin
negatif pada sekitar 82% kasus abses retrofaringeal.

Kultur pus, yang diaspirasi pada saat drainase abses retrofaringeal, dapat
menumbuhkan satu atau lebih organisme 91% dari setiap pemeriksaan.

Protein C-reaktif (CRP)

2. Pemeriksaan radiologi 7

Foto x-ray jaringan lunak leher lateral


Pelebaran

jaringan

lunak

retrofaringeal diamati pada 88% pasien dengan abses retrofaringeal menunjukan


pembengkakan jaringan lunak lebih dari 7 mm pada C2 dan lebih dari 14 mm pada
C6. Studi lain menemukan pembengkakan jaringan lunak lebih dari 7 mm pad C2
dan lebih dari 22 mm pada C6; jadi, radiografi leher lateral bisa kurang sensitif
untuk mendeteksi abses retrofaringeal daripada studi ini.
Selain

pembengkakan

jaringan

lunak, radiografi leher lateral kadang-kadang tetapi jarang dapat menunjukan air
fluid level, gas di jaringan, atau benda asing.

CT scan leher
o

CT scan leher dengan kontras intravena sangat bergun untuk diagnosis dan
manajemen abses retrofaringeal. Abses retrofaringeal tampak sebagai lesi hipodens
pada ruang retrofaringeal dengan penebalan cincin perifer. Temuan lain pada CT
scan meliputi pembengkakan jaringan lunak, lapisan lemak yang terobliterasi, dan
efek masa.
11

Lakukan CT scan leher dengan kontras intravena saat temuan x-ray leher

lateral kurang jelas atau gejala klinis abses retrofaringeal memenuhi tetapi x-ray
leher lateral memberi hasil negatif. X-ray leher lateral dapat menyesatkan, terutama
pada anak-anak.
CT scan leher dengan kontras intravena juga dapat berguna jika x-ray positif

karena CT scan dapat membedakan antara abses retrofaringeal dan selulitis. CT scan
leher juga dapat membandingkan abses retrofaringeal dan limfadenopati pada anak,
yang dapat membantu dokter bedah THT untuk menentukan pengobatan dengan
antibiotik intravena saja atau dengan drainase abses.

Foto x-ray dada diindikasikan untuk melihat pneumonia spirasi dan mediastinitis.

MRI dengan gadolinium dapat melihat abses retrofaring, tetapi modalitas ini belum
digunakan secara luas.

Ultrasonografi dapat menunjukkan abses retrofaringeal, tetapi penggunaannya belum


diklarifikasi.

2.2.6. Diagnosis 1
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagian atas
atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto Rontgen jaringan
lunak leher lateral. Pada foto Rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7
mm pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih
dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat terlihat berkurangnya lordosis vertebra
servikal.
2.2.7. Diagnosis banding 1,7
1.
2.
3.
4.
5.

Adenoiditis
Tumor
Aneurisma aorta
Epiglotitis
Abses peritonsil

2.2.8. Terapi 1
Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan tindakan bedah. Sebagai
terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob,
diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi
langsung dalam posisi pasien baring Trendelenburg. Pus yang keluar segera diisap, agar tidak
terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau anestesia umum. Pasien
dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.

12

Gambar 4.(A)Insisi pada abses retrofaring dengan posisi Trendelenburg.(B) Insisi


pada abses peritonsil.10
2.2.9. Komplikasi 1
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.

penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler visera


mediastinitis
obstruksi jalan napas sampai asfiksia
bila pecah spontan, dapat menyebabkan pneumonia aspirasi dan abses paru

2.2.10. Prognosis
Prognosis umumnya baik jika abses retrofaringeal diidentifikasi segera, ditangani
secara agresif, dan komplikasi tidak terjadi. Tingkat kematian bisa setinggi 40-50% jika
pasien mengalami komplikasi serius.
2.3.

ABSES PARAFARING

2.3.1. Definisi 1,2,11


Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan pus pada ruang
parafaring. Ruang parafaring dapat mengalami infeksi secara langsung akibat tusukan saat
tonsilektomi, limfogen dan hematogen.
2.3.2. Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara:1
1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan
analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi
13

kuman menembus lapisan otot tipis (m.konstriktor faring superior) yang memisahkan
ruang parafaring dan fosa tonsilaris.
2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus
paranasal, mastoid, dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk
terjadinya abses ruang parafaring.
3. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, atau submandibula.
2.3.3. Patofisiologi 11
Infeksi yang bersumber dari gigi dapat menyebar ke jaringan sekitar dan membentuk
abses sublingual, submental, submandibula, mastikator atau parafaring. Dari gigi anterior
sampai M1 bawah biasanya yang mula-mula terlibat adalah ruang sublingual dan submental.
Bila infeksi dari M2 dan M3 bawah, ruang yang terlibat dulu adalah submandibula. Hal ini
disebakan posisi akar gigi M2 dan M3 berada di bawah garis perlekatan m. milohiod pada
mandibula sedang gigi anterior dan M1 berada diatas garis perlekatan tersebut.

Gambar 5. Jalur infeksi dari gigi.11


2.3.4. Gejala dan tanda 1
Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar
angulus submandibula, demam tinggi dan pembengkakan diniding lateral faring, sehingga
menonjol ke arah medial.
2.3.5. Pemeriksaan Penunjang 11
1. Pemeriksaan laboratorium
14

Pemeriksaan kultur dan tes resistensi dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan
pemberian antibiotika yang sesuai.
2. Pemeriksaan Radiologi
Foto jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral merupakan prosedur diagnostik
yang penting. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi tersebut dapat
diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan di dalam jaringan lunak
dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher.
Keterbatasan pemeriksaan foto polos leher adalah tidak dapat membedakan antara
selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto toraks dapat digunakan untuk
mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks, pneumomediastinum atau pembesaran
kelenjar getah hilus. Pemeriksaan tomografi komputer dapat membantu menggambarkan
lokasi dan perluasan abses. Dapat ditemukan adanya daerah densitas rendah, peningkatan
gambaran kontras pada dinding abses dan edema jaringan lunak disekitar abses.
2.3.6. Diagnosis 1
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila
meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto Rontgen jaringan lunak AP
atau CT scan.
2.3.7. Terapi 1
Untuk terapi diberikan antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman aerob
dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan
antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui insisi
dari luar dan inttra oral.
Insisi dari luar dilakukan 2 setengah jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara
tumpu eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.sternokleidomastoideus ke arah atas
belakang menyusuri bagian medial mandibula dan m.pterigoid interna mencapai ruang
parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis,
insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan
m.sternokleidomastoideus (cara Mosher).

15

Gambar 6. Insisi Mosher.


Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri
eksplorasi dilakukan dengan menembus m.konstriktor faring superior ke dalam ruang
parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap
insisi eksternal.
Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.
2.3.8. Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen, atau langsung (per
kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan
intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum.
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh
karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila
terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis atau septikemia.
2.4.

ABSES SUBMANDIBULA

2.4.1. Definisi
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada
daerah submandibula.1,2,12 Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam
(deep neck infection). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang submandibula berasal dari
proses infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga
kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain.1,2
2.4.2. Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur, atau kelenjar
limfa submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain. 1
16

Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman
aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering ditemukan adalah
Stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus influenza, Streptococcus Pneumonia, Moraxtella
catarrhalis, Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman anaerob yang sering ditemukan pada abses
leher dalam adalah kelompok batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun
Fusobacterium.13
2.4.3. Patofisiologi

Gambar 7. Patofisiologi abses submandibula.14


Ruang submandibula berhubungan dengan beberapa struktur didekatnya (gambar di
bawah) oleh karena itu abses submandibula dapat menyebar ke struktur didekatnya.
2.4.5. Gejala dan tanda 1,2
Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan atau
di bawah lidah. Pasien juga biasanya akan mengeluhkan air liur yang banyak, trismus akibat
keterlibatan muskulus pterigoideus, disfagia dan sesak nafas akibat sumbatan jalan nafas oleh
lidah yang terangkat ke atas dan terdorong ke belakang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
adanya pembengkakan di daerah submandibula, fluktuatif, dan nyeri tekan. Pada insisi
didapatkan material yang bernanah atau purulent (merupakan tanda khas). Angulus
mandibula dapat diraba. Lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang.
17

2.4.6. Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan leukositosis. Aspirasi material yang
bernanah (purulent) dapat dikirim untuk dibiakkan guna uji resistensi antibiotik.
2. Radiologis
a. Foto x-ray jaringan lunak kepala AP
b. Foto x-ray panoramik: dilakukan apabila penyebab abses submandibuka berasal
dari gigi.
c. Foto x-ray thoraks: perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema
subkutis, pendorongan saluran nafas, dan pneumonia akibat aspirasi abses.
d. CT-scan: CT-scan dengan kontras merupakan pemeriksaan gold standard pada
abses leher dalam. Berdasarkan suatu penelitianbahwa hanya dengan pemeriksaan
klinis tanpa CT-scan mengakibatkan estimasi terhadap luasnya abses yang terlalu
rendah pada 70% pasien. Gambaran abses yang tampak adalah lesi dengan
hipodens (intensitas rendah), batas yang lebih jelas, dan kadang ada air fluid
level.13
2.4.7. Diagnosis 1,2
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
2.4.8. Terapi1
1. Antibiotik (parenteral)
2. Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan. Evakuasi abses
dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau
eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat
yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung letak dan luas abses. Pasien
dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.
3. Mengingat adanya kemungkinan sumbatan jalan nafas, maka tindakan trakeostomi
perlu dipertimbangkan.
2.4.9. Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung
(perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula paling sering meluas ke
ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini cukup tipis. Perluasan ini dapat secara
langsung atau melalui ruang mastikor melewati muskulus pterigoideus medial kemudian ke
parafaring. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.13

18

Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri


selubung karotis mencapai mediastinum menyebabkan medistinitis. Abses juga dapat
menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah.
2.4.10. Prognosis
Pada umumnya prognosis abses submandibula baik apabila dapat didiagnosis secara
dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak terjadi.Apabila telah terjadi
mediastinitis, angka mortalitas mencapai 40-50% walaupun dengan pemberian antibiotik.
Ruptur arteri karotis mempunyai angka mortalitas 20-40% sedangkan trombosis vena
jugularis mempunyai angka mortalitas 60%.
2.5.

ANGINA LUDOVICI (LUDWIGS ANGINA)

2.5.1. Definisi 1,2,15


Angina Ludovici ialah infeksi ruang submandibula berupa selulitis (peradangan
jaringan ikat) dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak
membentuk abses, sehingga keras pada perabaan submandibula. Penyakit ini termasuk dalam
grup penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri berasal dari rongga mulut seperti
gigi, lidah, gusi, tenggorokan, dan leher. Karakter spesifik yang membedakan angina
Ludovici dari infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta kedua
ruang submandibularis (sublingualis dan submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral).
2.5.2. Etiologi 1,2,16
Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh kuman aerob dan
anaerob. Rute infeksi pada kebanyakan kasus ialah dari terinfeksinya molar ketiga rahang
bawah atau dari perikoronitis, yang merupakan infeksi dari gusi sekitar gigi molar ketiga
yang erupsi sebagian. Selain gigi molar ketiga, gigi molar kedua bawah juga menjadi
penyebab odontogenik dari angina Ludwig. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak pada
tingkat m. myohyloid, dan abses seperti perimandibular abses akan menyebar ke ruang
submandibular. Di samping itu, perawatan gigi terakhir juga dapat menyebabkan angina
Ludwig, antara lain: penyebaran organisme dari gangren pulpa ke jaringan periapikal saat
dilakukan terapi endodontik, serta inokulasi Streptococcus yang berasal dari mulut dan
tenggorokan ke lidah dan jaringan submandibular oleh manipulasi instrumen saat perawatan
gigi.
Ada juga penyebab lain yang sedikit dilaporkan antara lain sialadenitis kelenjar
submandibula, fraktur mandibula terbuka, infeksi sekunder akibat keganasan mulut, abses
peritonsilar, infeksi kista ductus thyroglossus, epiglotitis, injeksi obat intravena melalui leher,
19

trauma oleh karena bronkoskopi, intubasi endotrakeal, laserasi oral, luka tembus di lidah,
infeksi saluran pernafasan atas, dan trauma pada dasar mulut.
Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita angina Ludwig melalui
isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus. Bakteri anaerob yang
diisolasi seringkali berupa bacteroides, peptostreptococci, dan peptococci.
Bakteri gram positif yang telah diisolasi adalah Fusobacterium nucleatum, Aerobacter
aeruginosa, spirochetes, Veillonella, Candida, Eubacteria, dan spesies Clostridium. Bakteri
Gram negatif yang diisolasi antara lain spesies Neisseria, Escherichia coli, spesies
Pseudomonas, Haemophillus influenza dan spesies Klebsiella.
2.5.3. Gejala dan tanda 1,2
Gejala awal biasanya berupa nyeri pada area gigi yang terinfeksi. Dagu terasa tegang
dan nyeri saat menggerakkan lidah. Penderita mungkin akan mengalami kesulitan membuka
mulut, berbicara, dan menelan, yang mengakibatkan keluarnya air liur terus-menerus serta
kesulitan bernapas. Penderita juga dilaporkan mengalami kesulitan makan dan minum. Gejala
klinis umum angina Ludovici meliputi malaise, lemah, lesu, malnutrisi, dan dalam kasus yang
parah dapat menyebabkan stridor atau kesulitan bernapas. Gejala klinis ekstra oral meliputi
eritema, pembengkakan, perabaan yang keras seperti papan (board-like) serta peninggian
suhu pada leher dan jaringan ruang submandibula-sublingual yang terinfeksi; disfonia (hot
potato voice) akibat edema pada organ vokal. Gejala klinis intra oral meliputi pembengkakan,
nyeri dan peninggian lidah; nyeri menelan (disfagia); hipersalivasi (drooling); kesulitan
dalam artikulasi bicara (disarthria).
Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan adanya demam dan takikardi dengan
karakteristik dasar mulut yang tegang dan keras. Karies pada gigi molar bawah dapat
dijumpai. Biasanya ditemui pula indurasi dan pembengkakkan ruang submandibular yang
dapat disertai dengan lidah yang terdorong ke atas. Trismus dapat terjadi dan menunjukkan
adanya iritasi pada m. masticator. Tanda-tanda penting seperti pasien tidak mampu menelan
air liurnya sendiri, dispneu, takipneu, stridor inspirasi dan sianosis menunjukkan adanya
hambatan pada jalan napas yang perlu mendapat penanganan segera. Pada pasien juga
mungkin akan ditemukan tanda-tanda dehidrasi karena kurangnya asupan makanan dan
minuman.
2.5.4. Pemeriksaan Penunjang17
1.

Pemeriksaan laboratorium

20

Pemeriksaan darah: tampak leukositosis yang mengindikasikan adanya infeksi akut.

Pemeriksaan waktu bekuan darah penting untuk dilakukan tindakan insisi drainase.
Pemeriksaan kultur dan sensitivitas: untuk menentukan bakteri yang menginfeksi
(aerob dan/atau anaerob) serta menentukan pemilihan antibiotik dalam terapi.

2.

Pemeriksaang radiologi

Foto x-ray: walaupun radiografi foto polos dari leher kurang berperan dalam
mendiagnosis atau menilai dalamnya abses leher, foto polos ini dapat menunjukkan
luasnya pembengkakkan jaringan lunak. Radiografi dada dapat menunjukkan
perluasan proses infeksi ke mediastinum dan paru-paru. Foto panoramik rahang dapat
membantu menentukan letak fokal infeksi atau abses, serta struktur tulang rahang

yang terinfeksi.
USG: USG dapat menunjukkan lokasi dan ukuran pus, serta metastasis dari abses.
USG dapat membantu diagnosis pada anak karena bersifat non-invasif dan nonradiasi. USG juga membantu pengarahan aspirasi jarum untuk menentukan letak

abses.
CT-scan: CT-scan merupakan metode pencitraan terpilih karena dapat memberikan
evaluasi radiologik terbaik pada abses leher dalam. CT-scan dapat mendeteksi
akumulasi cairan, penyebaran infeksi serta derajat obstruksi jalan napas sehingga

dapat sangat membantu dalam memutuskan kapan dibutuhkannya pernapasan buatan.


MRI: MRI menyediakan resolusi lebih baik untuk jaringan lunak dibandingkan
dengan CT-scan. Namun, MRI memiliki kekurangan dalam lebih panjangnya waktu
yang diperlukan untuk pencitraan sehingga sangat berbahaya bagi pasien yang
mengalami kesulitan bernapas.

2.5.5. Diagnosis 1,2


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang ditambah adanya riwayat sakit gigi, mengorek atau cabut gigi.
2.5.6. Terapi
Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu:
pertama dan paling utama, menjaga patensi jalan napas.
kedua, terapi antibiotik secara progesif, dibutuhkan untuk mengobati dan

membatasi penyebaran infeksi.


ketiga, dekompresi ruang submandibular, sublingual, dan submental.

Selain itu, dilakukan pula eksplorasi dengan tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan) dan
evaluasi pus, di mana pada umumnya angina Ludwig jarang terdapat pus atau jaringan
nekrosis. Eksplorasi lebih dalam dapat dilakukan memakai cunam tumpul. Jika terbentuk
21

nanah, dilakukan insisi dan drainase. Insisi dilakukan di garis tengah secara horisontal
setinggi os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula). Insisi dilakukan di bawah dan paralel dengan
corpus mandibula melalui fascia dalam sampai kedalaman kelenjar submaksila. Insisi
vertikal tambahan dapat dibuat di atas os hyoid sampai batas bawah dagu. Jika gigi yang
terinfeksi merupakan fokal infeksi dari penyakit ini, maka gigi tersebut harus diekstraksi
untuk mencegah kekambuhan. Pasien di rawat inap sampai infeksi reda.1,18

Gambar 8. Insisi pada angina Ludovici.10


2.5.7. Komplikasi 1,2,15
Angina Ludwig merupakan selulitis bilateral dari ruang submandibular yang terdiri
dari dua ruang yaitu ruang sublingual dan ruang submaksilar. Secara klinis, kedua ruang ini
berfungsi sebagai satu kesatuan karena adanya hubungan bebas serta kesamaan dalam tanda
dan gejala klinis. Celah buccopharingeal, yang dibentuk oleh m. styloglossus melalui m.
constrictor media dan superior, merupakan penghubung antara ruang submandibular dengan
ruang pharingeal lateral. Infeksi angina Ludwig dapat menyebar secara langsung melalui
celah buccopharingeal ini ke ruang pharingeal lateral, di mana selulitis akan dengan cepat
menjadi berbahaya serta menimbulkan obstruksi jalan napas yang berat.
2.5.8. Prognosis
Prognosis angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas untuk
mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta pengurangan radang. Sekitar
45% 65% penderita memerlukan insisi dan drainase pada area yang terinfeksi, disertai

22

dengan pemberian antibiotik untuk memperoleh hasil pengobatan yang lengkap. Selain itu,
35% dari individu yang terinfeksi memerlukan intubasi dan trakeostomi.17

23

DAFTAR PUSTAKA
1. Fachruddin D. Abses Leher Dalam. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.
Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2008. Hal. 226-30.
2. Adams, G.L. Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies, Buku Ajar
Penyakit THT. Jakarta : EGC. 1997. Hal.333.
3. Gosselin BJ, Geibel J. Peritonsillar Abscess. Terakhir diperbaharui: 4 Februari 2010.
Diakses:

Desember

2011.

Terdapat

pada:

http://emedicine.medscape.com/

article/194863-overview#showall.
4. Repanos C, Mukherjee P, Alwahab Y. Role of microbiological studies in management
of peritonsillar abscess. J Laryngol Otol. Aug 2009;123(8):877-9.
5. Peritonsillar Abscess. Dalam: Access Emergency Medicine from McGraw-Hill.
Diakses: 13 Desember 2011. Terdapat pada: http://www.accessemergencymedicine
.com/overflow.aspx?
searchStr=peritonsillar+abscess&hasExactMatch=True&hasDrugMatch=False&search
Source=Images&ftbool=False.
6. Ramirez-Schrempp D, Dorfman DH, Baker WE, Liteplo AS. Ultrasound soft tissue
applications in the pediatric emergency department: to drain or not to drain?. Pediatr
Emerg Care. Jan 2009;25(1):44-8.
7. Kahn JH, OConnor RE. Retropharyngeal Abscess in Emergency Medicine. Terakhir
diperbaharui: 17 Juni 2010. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://emedicine.medscape.com/ article/764421-overview#showall.
8. Abdel-Haq NM, Harahsheh A, Asmar BL. Retropharyngeal abscess in children: the
emerging role of group A beta hemolytic streptococcus. South Med J. Sep
2006;99(9):927-31.
9. Ridder GJ, Technau-Ihling K, Sander A, Boedeker CC. Spectrum and management of
deep neck space infections: an 8-year experience of 234 cases. Otolaryngol Head Neck
Surg. Nov 2005;133(5):709-14.
10. The Surgery of Sepsis. Terakhir diperbaharui: 20 April 2010. Diakses: 14 Desember
2011. Terdapat pada: http://ps.cnis.ca/wiki/index.php/The_surgery_of_ sepsis.
11. Abses Parafaring. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada: www.scribd.com/
doc/66624613/abses-parafaring.
12. Rizzo PB, Mosto MCD. Submandibular space infection: a potentially lethal infection.
International Journal of Infectious Disease 2009;13:327-33.

24

13. Pulungan MR. Pola Kuman abses leher dalam. Diakses: 14 Desember 2011. Terdapat
pada:http://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-ABSES-LEHERDALA
M-Revisi.
14. Tooth Decahy

progression.

Diakses:

desember

2011.

Terdapat

pada:

http://www.moondragon.org/health/graphics/toothdecayprogression.jpg.
15. MD Guidelines. Ludwigs Angina. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:
http://www.mdguidelines.com/ludwigs-angina.
16. Topazian R. Oral and Maxillofacial Infection. 4th ed. St. Louis: W.B. Saunders; 2002.
17. Ludwigs Angina. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada: www.scribd.com/doc /
62080690/Angina-Ludwig.
18. Raharjo SP. Penatalaksanaan Angina Ludwig. Jurnal Dexa Media. Januari-Maret
2008;Vol.21.

25

You might also like